Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Dari Konsumen ke Inovator: Masa Depan Industri Kedirgantaraan RI

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Bayangkan bila suatu hari pesawat hemat energi buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bisa menghubungkan kota-kota kecil, atau satelit karya anak bangsa mampu memantau cuaca, pertanian, dan bencana. Itu bukan mimpi, asalkan strategi pembangunan teknologi dirancang sejak sekarang.

Riset dan SDM Jadi Fondasi

Langkah awal adalah memperkuat riset. PTDI dan BRIN harus mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan teknologi pesawat, drone logistik, hingga satelit. Kerja sama dengan universitas dan mitra internasional bisa mempercepat penguasaan teknologi.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Namun, secanggih apa pun teknologinya tidak akan berarti tanpa manusia yang menguasai. Karena itu, Indonesia harus melahirkan lebih banyak SDM unggul di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Penguasaan matematika, fisika, dan komputer sejak dini menjadi syarat mutlak agar anak muda siap menjadi insinyur, teknisi, maupun peneliti penerbangan.

Tantangan Nyata

Prospek industri kedirgantaraan memang besar, tetapi masalahnya juga banyak:

• Anggaran riset terbatas sehingga inovasi sering berhenti di tahap prototipe.

• Ketergantungan impor komponen penting masih tinggi, mulai dari avionik hingga material khusus.

• Kekurangan tenaga ahli di bidang aerodinamika, material komposit, hingga kecerdasan buatan (AI) untuk navigasi.

• Rantai pasok industri lokal masih lemah, UKM belum sepenuhnya terlibat.

• Birokrasi dan regulasi lambat, kerap menghambat pengembangan produk baru.

Jika masalah-masalah ini tidak diatasi, sulit bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dulu menguasai teknologi penerbangan dan antariksa.

Alih Teknologi: Dari “Transfer” ke “Development”

Selama ini kita akrab dengan istilah technology transfer. Namun, istilah ini menyesatkan karena memberi kesan prosesnya sederhana—teknologi tinggal dipindahkan begitu saja dari negara maju ke negara berkembang. Padahal, alih teknologi jauh lebih rumit.

Lebih tepat jika dipahami sebagai technology development, cooperation, and transaction through its stages.

• Development (Pengembangan): teknologi harus dikuasai, dimodifikasi, hingga bisa dikembangkan mandiri.

• Cooperation (Kerja Sama): alih teknologi menuntut kolaborasi, misalnya riset bersama atau produksi bersama.

• Transaction (Transaksi): teknologi selalu terkait lisensi, kontrak, dan negosiasi komersial.

Dengan kerangka ini, alih teknologi tidak lagi dipahami sebagai ketergantungan, tetapi sebagai proses membangun kapasitas nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ekosistem Industri dan Investasi

B.J. Habibie bukan hanya dikenal sebagai Presiden RI ke-3, tetapi juga tokoh teknologi kelas dunia. Salah satu gagasannya yang menarik adalah Holistic Technology Proficiency Development and Acquisition (berdasarkan pemahaman penulis), atau secara sederhana:  menguasai teknologi secara utuh mulai dari hilir dan secara bertahap menguasai pengetahuan dan proses hulunya, atau dari assembling, manufaktur, modifikasi, desain bersama, desain mandiri, dan meneliti untuk keunggulan kompetitif. Filosofi ini dikenal dengan ungkapan: Start from the End, End with the Beginning”.

Apa maksudnya? Habibie menekankan bahwa untuk bisa mandiri dalam teknologi, bangsa kita harus berani menguasai produk teknologi terkini, canggih, atau strategis untuk kebutuhan dalam negeri yang belum kita kuasai secara pragamatis melalui proses yang berbasis filosofi di atas . Misalnya pesawat terbang, kapal selam, atau kereta super-cepat. Dari sana, kita bisa belajar bukan hanya tentang produk akhirnya, tetapi juga seluruh proses produksinya—mulai dari bahan baku, kualitas, standar keamanan, hingga industri pendukungnya.

Pertama, penguasaan teknologi dimulai dari penguasaan teknologi manufaktur produk canggih yang strategis bagi negara, seperti pesawat transportasi, kapal selam, atau kereta super-cepat. Tahap ini mencakup pemahaman proses produksi secara menyeluruh: mulai dari persyaratan teknis, pengendalian mutu, jaminan kualitas, hingga pengembangan industri hulu yang menopang ekosistem produksi.

Kedua, setelah menguasai dasar-dasar manufaktur, langkah berikutnya adalah mengembangkan kemampuan kreatif untuk menciptakan produk baru. Proses ini dilakukan melalui kerja sama yang komprehensif, baik dalam riset, produksi, sertifikasi mutu, maupun perluasan pasar global.

Ketiga, kemampuan kreatif yang sudah terbentuk harus diarahkan menuju kemandirian. Artinya, bangsa ini mampu mengembangkan produk baru secara mandiri, termasuk proses produksi, jaminan mutu, dan pemasaran global, sehingga dapat mendorong daya saing industri nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter militer. (Dok PTDI)

Keempat, pengembangan kreativitas perlu terus ditopang oleh riset yang komprehensif, dengan menetapkan prioritas riset terapan tanpa melupakan riset dasar. Pada tahap ini, penguatan kapasitas sumber daya manusia berbasis STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika) menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan inovasi.

Keempat tahap tersebut dapat dijalankan secara paralel maupun bertahap, bergantung pada kesiapan sumber daya manusia di setiap bidang. Masalah yang muncul dalam proses penguasaan teknologi dapat dipecahkan melalui riset dan pemanfaatan lembaga penelitian dalam negeri, sehingga terbentuk ekosistem industri nasional yang matang dan berdaya saing.

Akhirnya, semua itu perlu dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri dan lapangan kerja, seperti yang pernah dicanangkan konteknya  oleh Prof.Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998 dengan istilah “link and match”, yang merupakan bagian/subsistem system Pendidikan holistic berkelanjutan mulai dari usia dini sampai S1 (untuk zaman sekarang ini) yang harus dilakukan Pemerintah atas mandat dari rakyat. Demikian juga, pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati maupun non-hayati, yang harus dilakukan secara progresif dan berkelanjutan untuk membentuk ekosistem hulu-hilir yang kondusif.

Dengan pendekatan holistik inilah, warisan pemikiran B.J. Habibie memberi inspirasi tentang bagaimana bangsa ini dapat membangun kemandirian teknologi sekaligus memperkuat daya saing industri nasional di era global.

Jika ini dilakukan, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta dan pemain utama di panggung global.***

 

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Opini ini ditulis oleh :

Prof Harijono Djojodiharjo Sc.D.,IPU, ACPE

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) periode 1999-2000, anggota CTIS

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter