Indonesia tengah menghadapi darurat mikroplastik. Negara ini disebut sebagai yang tertinggi dalam konsumsi mikroplastik, setara ukuran satu kartu ATM setiap minggunya per orang. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi salah satu penghasil sampah mikroplastik terbesar di dunia.
Hal tersebut diungkapkan CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono, dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. Diskusi tersebut mengangkat tema Research-Based Seaweed Bioplastic Manufacturer.
“Sampah plastik dan mikroplastik harus dikurangi. Negara kepulauan seperti Indonesia terdampak langsung karena lautan kita penuh sampah,” ujar Noryawati.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut, tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik. Bioplastik berbahan rumput laut dinilai lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.
Menurut Noryawati, nilai ekonomi rumput laut sebagai bahan pengganti plastik terus berkembang. Laporan Research and Markets memperkirakan pasar global bioplastik akan tumbuh dari US$10 miliar pada 2023 menjadi lebih dari US$27 miliar pada 2032.
“Rumput laut tumbuh cepat, tidak butuh lahan pertanian atau air tawar, bisa menyerap karbon, dan mudah dibudidayakan,” ujarnya.

Bioplastik dari rumput laut dapat digunakan untuk kemasan makanan, sachet, hingga pembungkus yang bisa terurai alami—bahkan dapat dimakan. Meski harganya masih tinggi, sekitar US$4,47 per lembar, produk ini menawarkan nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari rumput laut kering biasa.
Penelitian Noryawati yang dimulai sejak 2010 dan didukung L’Oreal For Women in Science, kini telah berkembang menjadi produk komersial melalui perusahaan yang ia dirikan: PT Seaweedtama Biopac Indonesia (BIOPAC). Perusahaan ini menjadi pelopor inovasi bioplastik dari rumput laut di Indonesia.
BIOPAC kini rutin menyerap hasil panen rumput laut petani melalui koperasi di Makassar dan Jakarta. Setiap empat bulan, perusahaan membeli hingga 8 ton rumput laut. Pola ini membantu petani memiliki pendapatan tetap dan mengurangi penumpukan hasil panen di gudang seadanya.
“Dengan adanya industri ini, petani tidak perlu lagi menyimpan rumput laut terlalu lama. Hasil panen bisa langsung dibeli,” kata Noryawati.
Dampaknya, selain membantu menjaga laut dari polusi plastik, juga meningkatkan kesejahteraan petani dan mencegah risiko sosial seperti perdagangan manusia akibat kemiskinan.
Produk-produk BIOPAC yang ramah lingkungan kini mencakup tas serut, tinta, kemasan makanan yang dapat dimakan, hingga kemasan sachet. Semua diproduksi menggunakan mesin buatan dalam negeri.

Dari sisi ekonomi, bioplastik berbasis rumput laut bernilai tinggi: Rp150.000–Rp300.000 per kilogram, dibanding rumput laut kering yang hanya Rp15.000–Rp25.000 per kilogram. Ini membuka peluang ekspor, terutama ke negara-negara Eropa yang sudah memperketat regulasi plastik konvensional.
“Bioplastik dari rumput laut mendukung ekonomi sirkular, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan industri hijau,” ujarnya.
Meski tantangan masih ada seperti biaya produksi tinggi dan keterbatasan skala industri, Noryawati optimistis bioplastik berbahan rumput laut bisa jadi solusi nyata bagi laut Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari polusi plastik. ***