Categories
Domestic S&T News

Pemerintah Mau Bangun PLTN, CTIS Tekankan Soal Sosialisasi

Pemerintah baru saja membentuk Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).  Tim dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan.

Pada pernyataan awal, Menko Luhut minta diperhatikannya dua hal penting yaitu lokasi tempat PLTN akan dibangun, utamanya berkaitan dengan kondisi kegempaannya, serta tingkat disiplin dan keberterimaan masyarakat terhadap teknologi canggih ini.

Menanggapi rencana pembangunan PLTN tadi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk ”Perkembangan PLTN dan Daur Bahan Bakar Nuklir”, Rabu, 31 Januari 2024. Diskusi menghadirkan narasumber, ahli teknologi nuklir dan mantan Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Professor Jarot Wisnubroto dan dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Prijanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dalam diskusi,  Jarot merujuk skenario Dewan Energi Nasional (DEN) tentang kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2060, yang akan mencapai sekitar 400 GigaWatt, atau setara 400 Milyar Watt.

PLTN akan dibangun di Indonesia, membutuhkan proses sosialisasi ke masyarakat

Sesuai Perjanjian Paris 2015 Tentang Perubahan Iklim, saat itu Indonesia sudah harus mengurangi penggunaan energi fosil hingga semaksimal mungkin menuju “Net Zero Emission”, dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi hidro, biomassa, angin, gelombang, fotovoltaik dan panas bumi.  Diprakirakan, untuk mencukupi kebutuhan 400 Giga Watt tadi perlu tambahan pembangkit listrik dari PLTN.

Skenario DEN memperlihatkan bahwa kelak pada tahun 2032,  PLTN sudah bisa mulai dioperasikan di Indonesia, walaupun Jarot menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman di berbagai negara, perioda pembangunan PLTN, dari perencanaan hingga operasional, membutuhkan waktu 10 tahun.

Secara teknologis, Jarot Wisnubroto memaparkan bahwa rancang-bangun PLTN tidaklah rumit, hampir sama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang menghasilkan uap untuk memutar turbin lalu membangkitkan generator guna menghasilkan listrik.  Hanya bedanya, uap untuk memutar turbin diperoleh dari reaktor nuklir yang dibangun dengan tingkat keamanan dan keselamatan sangat tinggi.  Generasi pertama PLTN dibangun pada dekade 1950-an.

PLTN di Indonesia akan dibangun di Babel dan Jepara, Jawa Tengah

Saat ini, PLTN yang beroperasi di dunia ada pada Generasi III+ dan IV, mengarah pada Small Modular Reactor (SMR) yang semakin efisien secara ekonomis, dengan tingkat keselamatan semakin tinggi, hanya sedikit limbah dan anti proliferasi.  Musibah PLTN di Chernobyl, Rusia tahun 1986, maupun di Fukushima, Jepang tahun 2011, adalah hasil rancang-bangun PLTN dari Generasi I.

Khusus untuk PLTN Fukushima, bencana terjadi bukan akibat gempa bumi-nya, karena memang sudah diperhitungkan kekokohan PLTN untuk menghadapi bencana gempa bumi, namun akibat tinggi gelombang tsunami yang menerjang daratan Fukushima kala itu. Simak

Saat ini telah beroperasi sekitar 440 PLTN di 30 Negara.  Di Asia Tenggara, baru Filipina yang memiliki PLTN, dibangun sekitar dekade 1970-an di Bataan, namun belum sempat dioperasikan.

Sekarang, Malaysia dan Vietnam tengah merencanakan pembangunan PLTN. Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai Negara Nuklir sejak 1956 lalu, sesudah Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke AS dan mencanangkan “Nuklir Untuk Maksud-Maksud Damai”.

Presiden RI Pertama ini kemudian mengirimkan para insinyur muda Indonesia ke University of Michigan USA untuk belajar Nuclear Engineering disana, kemudian pada tahun 1958 dibentuk Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan sepulang para insinyur nuklir Indonesia dari studi di luar negeri, dibangunlah Reaktor Atom pertama di Bandung dan mulai beroperasi tahun 1965, kemudian Reaktor Atom RA Kartini di Yogyakarta mulai beroperasi tahun 1979, sedang Reaktor Atom GA Siwabessy di Serpong Jawa Barat, dengan daya 30 MW, mulai beroperasi tahun 1987.

Ketiga reaktor atom di Indonesia tadi dimanfaatkan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Jurusan pendidikan tekologi nuklir mulai dibuka di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1977.  Kegiatan riset dan pengembangan teknologi nuklir telah berlangsung di Indonesia lebih dari 60 tahun, kesemuanya disiapkan bila kelak Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membangun PLTN.

Tiga lokasi yang berpotensi sebagai tempat dibangunnya PLTN juga sudah di survei, yaitu di Jepara, Jawa Tengah, di Pulau Bangka dan Pantai Gosong, Kalimantan Barat.  Bahkan di Bangka dan di Kalimantan Barat terdapat potensi cadangan Uranium U-235 sebagai sumberdaya pembangkit PLTN.

PLTN sangat dibutuhkan
Batuan basal dari kompleks Gunung Api Adang, Mamuju, Sulawesi Barat mengandung radioakyif berupa uranium dan torium dalam jumlah cukup tinggi. (Dok Batan)

Pada tahun 2011, saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  telah dicanangkan rencana pembangunan PLTN ini, dan digelontorkan dana Rp250 miliar untuk kegiatan  studi kelayakan, survei lokasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Dalam studi kelayakan muncul kesimpulan bahwa bahwa teknologi PLTN yang akan diterapkan harus dari Generasi III+ atau Generasi IV dan sudah dioperasikan terlebih dahulu di tempat lain. Reaktor yang dipilih adalah Small Modular Reactor (SMR) yang bisa dibangun lebih cepat, dengan daya 250 MW.  Tingkat keberterimaan masyarakat terhadap PLTN mencapai 90%  di Kalbar, 49% di Bangka, dan hanya 20% di Jepara.  Nampaknya, upaya sosialisasi perlu lebih digencarkan sekiranya PLTN akan dibangun di Indonesia.

Dr. Unggul Priyanto menanggapi bahwa guna mencapai pembangkit listrik 400 Giga Watt pada 2060 maka mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus membangun PLTN.  Apalagi, saat itu konsumsi listrik untuk mobil listrik di tanah air, semakin meningkat.

Belum lagi semangat Indonesia untuk mencapai target “Net Zero Emission” pada tahun 2060.  Peserta diskusi sepakat bahwa sebelum melangkah lebih jauh, Pemerintah perlu lebih menggencarkan  sosialisasi kepada masyarakat tentang perlu dibangunnya PLTN di Indonesia, mengingat kelangkaan tenaga listrik mungkin akan terjadi saat Indonesia memasuki era sebagai Negara Industri pada peringatan 100 Tahun Kemerdekaan NKRI, pada 17 Agustus 2045. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787675587/pemerintah-mau-bangun-pltn-ctis-tekankan-soal-sosialisasi?page=2

Categories
Domestic S&T News

CTIS dan IATI Gelar Diskusi Pemanfaatan Teknologi untuk Pemilihan Umum (Pemilu) Elektronik di Indonesia

Meski teknologi sudah tersedia, namun pemanfaatan sistem Pemilu Elektronik atau E-Voting belum akan digunakan pada Pemilu 14 Februari 2024.

Dari sebelas tahapan Pemilu, sistem Pemilu digital elektronik  baru diterapkan pada tahapan Pendaftaran Partai Politik, Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Calon Peserta Pemilu.

Tahapan-tahapan pemilu berikutnya, seperti Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Pengiriman Hasil, Tabulasi dan Penayangan Hasil, ternyata masih akan dilaksanakan secara konvensional.

Memang, ada tahapan yang menggunakan sistem pemilu elektronik, yaitu sistem e-rekapitulasi dengan mengirimkan hasil dari TPS, oleh Kepala PPS sendiri, langsung ke pusat tabulasi data. Namun, itupun hanya dipakai sebagai verifikasi, tidak bisa dipakai sebagai hasil pemilu yang sahih.

Demikian beberapa kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) bersama Ikatan Audit Teknologi Indonesia (IATI), Rabu 24 Januari 2024.

pemilu elektronik atau e-voting lebih praktis dan tidak gampang dicurangi
dok PT INTI

Dalam pertemuan yang diawali pengantar oleh Ketua IATI, Prof Hammam Riza, moderator Wakil Ketua IATI, Dr  Jarot Suroso dan pembicara Dr Andrari Grahitandaru, Ketua Cluster Teknologi Informatika dan Elektronika (TIE) IATI, berhasil dipaparkan progress penerapan E-voting yang telah dibangun sejak awal dekade 2010-an, namun baru mulai diterapkan pada E-Voting Pemilihan Kepala Desa di beberapa desa, mulai tahun 2013 lalu.

Hal ini bukan disebabkan teknologinya yang belum siap, melainkan aspek regulasinya yang belum mendukung.

Andrari menyatakan bahwa untuk penerapan E-Voting ini, minimal ada 5 komponen yang perlu diperhatikan yaitu komponen legalitas, komponen teknologi, komponen penyelenggara, komponen masyarakat dan komponen pembiayaan.

Komponen legalitas mengacu pada Putuskan Mahkamah Konstitusi No.147/PUU-VII/2009 yang mewajibkan pemilu harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.  Sedang untuk komponen elektronikanya mengacu pada UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah beberapa kali diubah, hingga terakhir menjadi UU No.1/Th.2024 Tentang ITE.

Pada penyusunan RUU Pemilu Tahun 2017 lalu, Kementerian Kominfo, ITB, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT. Inti mengadakan dengar pendapat bersama DPR RI.  Dari Hasil dengar pendapat dan beragam kajian, akhirnya disimpulkan bahwa Indonesia belum siap untuk melaksanakan Pemilu Elektronik atau E-Voting ini.

UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, akhirnya tidak memasukan sistem E-Voting ini. Yang baru bisa dicobakan hanyalah sistem e-rekapitulasi, itupun hanya untuk verifikasi yang tidak bersifat sahih.

e-voting dirintis oleh BPPT dan hingga kini terus dikembangkan
Teknologi e-Voting adalah teknologi pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Mulai dari pembuatan surat suara, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi, dan penayangan hasil otomatis secara elektronik. (Dok BRIN )

Para ahli BPPT telah merancang-bangun sistem E-Voting sejak awal dekade 2010-an.  Andrari menegaskan bahwa uji coba pertama dilaksanakan pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun 2017, yang mencakup 178 Desa di seluruh Indonesia.  Hingga tahun 2022 lalu telah diterapkan E-Voting pada Pilkades di 1.106 Desa di seluruh Indonesia.

Aspek regulasi yang dipakai adalah UU No 6 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa.  Pada tahun 2024 ditargetkan 3106 Desa akan menggelar Pilkades menggunakan E-Voting dan akan meningkat menjadi 11388 Pilkades pada tahun 2025 yad.

Lalu, apakah E-Voting sudah dapat diterapkan pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota? Andrari menegaskan bahwa sesuai UU No 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka E-Voting sudah bisa diterapkan.

Lewat E-Voting maka akurasi terjamin, berarti menjamin azas jujur.  E-Voting juga menjamin azas langsung dan umum karena Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperoleh secara Online.  E-Voting juga menjamin azas rahasia, dan sistem verifikasi pemilu elektroniknya menjamin azas jujur dan adil.

Para peserta diskusi CTIS-IATI juga sepakat kiranya sistem E-Voting ini bisa diuji-cobakan secara bertahap guna mendapatkan keyakinan dan penerimaan masyarakat yang semakin meningkat.  Hal ini menjadi penting karena melalui Sistem E-Voting ini diharapkan biaya pemilu dapat ditekan hingga maksimal 50% saja. ***

sumber : https://forestinsights.id/ctis-dan-iati-gelar-diskusi-pemanfaatan-teknologi-untuk-pemilihan-umum-pemilu-elektronik-di-indonesia/