Categories
Domestic S&T News

Bantu Kendalikan Perubahan Iklim, Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Makin Berkembang

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi. Saat ini  pemanfaatan panas bumi sekitar 2000 MW saja.

Guna meningkatkan pemanfaatkan energi panas bumi di Indonesia, perlu dipertimbangkan tiga hal. Pertama layak secara teknis, kedua secara ekonomis menguntungkan, dan ketiga adanya regulasi yang ramah investasi.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) Tentang “Tantangan Penggunaan Teknologi Konvensional di Geothermal”, Rabu, 6 Maret, 2024.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Dr. Arcandra Tahar (Duduk No.2 dari Kanan), Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Tentang Teknologi Geothermal, Rabu, 6 Maret 2024.

Berbicara dalam diskusi CTIS tersebut, Dr. Arcandara Tahar, mantan Menteri dan Wakil Menteri Energi & Sumberdaya Mineral. Diskusi dimoderatori Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Priyanto yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Arcandra menegaskan bahwa salah satu sumber energi ramah lingkungan dan berpotensi mengurangi dampak perubahan iklim adalah geothermal atau panas bumi.   Lapisan kerak bumi yang panas, dikenal sebagai “Hot Rocks” menghasilkan uap air, antara lain, digunakan sebagai tempat pemandian air panas.

Untuk skala besar, uap geothermal digunakan untuk memutar turbin dan membangkitkan Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). Di tahun 2023, 60% energi panas bumi digunakan untuk pemanas dan sisanya untuk pembangkit listrik, menghasilkan listrik sekitar 16.000 MW. Pada tahun 2050, diperkirakan sekitar 80% energi geothermal akan digunakan untuk pembangkit listrik. Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, Turki, dan Selandia Baru adalah beberapa negara yang sudah memanfaatkan geothermal untuk pembangkit listrik. Sementara China, Turki, Jepang dan Islandia memanfaatkan geothermal untuk pemanas.

Pemanfaatan geothermal untuk energi memerlukan inovasi.  Arcandra menegaskan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah menghitung seberapa besar cadangan terbukti (proven reserve) dari besaran potensi energi geothermal yang diprakirakan.  Berbagai pemboran eksplorasi, survey geologi maupun survey geofisika diperlukan guna menghitung seberapa besar uap air yang dihasilkan agar dapat memutar turbin dan menghasilkan listrik.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Pertamina Geothermal Energy. (Dok Pertamina)

Sebuah reservoir panas bumi dapat dikembangkan apabila memiliki panas di atas 120 derajat Celcius, lokasi reservoir yang dangkal serta tingkat permeabilitas yang besar, yaitu tingkat kelolosan uap air yang mampu melewati celah-celah batuan di reservoir, dengan ukuran permeabilitas diatas 10 darcy-meter. Semakin tinggi angka permeabilitas maka semakin mudah uap air untuk mengalir.

Lokasi reservoir diupayakan sedangkal mungkin karena menyangkut biaya pemboran yang semakin mahal bila semakin dalam.  Temperatur akan naik sekitar 30 derajat Celcius per-kilometer.  Berarti, untuk mendapatkan temperatur diatas 120 derajat Celcius, diperlukan pengeboran sedalam 4 kilometer, atau 4000 meter.

Mempertimbangkan syarat reservoir geothermal yang harus memiliki temperatur di atas 120 derajat Celcius, tingkat permeabilitas batuan diatas 10 darcy-meter dan lokasi reservoir yang dangkal, maka ternyata hanya 0,6% reservoir panas bumi di Dunia yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi melalui penerapan teknologi konvensional geothermal yang ada saat ini.  Oleh sebab itu, hitung-hitungan dari potensi sumber daya panas bumi untuk menjadi cadangan terbukti (proven reserve) menjadi sangat penting agar dapat ditentukan tingkat keekonomiannya.

Menurut Arcandra para ahli geothermal Dunia saat ini tengah memutar otak guna mengembangkan energi panas bumi tanpa tergantung keberadaan gunung api lagi.  Yang penting dicari adalah keberadaan “Hot Rocks” di kerak Bumi.

Para ahli mengkaji data dari  45.000 sumur pemboran migas di seluruh Dunia guna menentukan lokasi lokasi berpotensi hot rocks untuk pembangkit listrik.  Dicobakan penerapan Advanced Geothermal System (AGS) dengan melakukan pemboran batuan di lapisan kerak bumi tadi guna mendapat batuan panas bertempartur tinggi di kedalaman, lalu dialirkan fluida ke arah batuan panas tadi sehingga memproduksi uap guna memutar turbin dan membangkitkan tenaga listrik.

Ada juga Enhanced Geothermal Systems (EGS) dengan cara melakukan pemboran ke kerak bumi, hingga diperoleh batuan panas di kedalaman, kemudian dimasukkan air ke lubang sumur pemboran tadi agar menghasilkan uap air, lalu melalui saluran pipa lainnya maka uap air tadi dialirkan ke permukaan Bumi guna dipakai untuk memutar turbin pembangkit listrik tenaga panas bumi.  Dengan demikian, potensi panas bumi tidak lagi harus bergantung pada panas dan uap air dari sumber gunung api, melainkan bisa dari sumber batuan panas di lokasi lapisan batuan dimana saja di Bumi.

Istilah “Geothermal Anywhere” pun muncul.  Selama kerak Bumi panas, maka pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat dihasilkan di lokasi mana saja dimuka Bumi.  Perkembangan teknologi mutakhir pemanfaatkan panas bumi tadi diharapkan segera muncul hasilnya dan mulai operasional diterapkan pada sekitar tahun 2025 mendatang.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW. (dok Star Energy)

Indonesia memang belum memulai konsep “Geothermal Anywhere” mengingat potensi panas bumi konvensional yang dimiliki Kepulauan Nusantara ini masih sangat berlimpah.  Beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah beroperasi di tanah air, antara lain PLTP Kamojang, Jawa Barat dengan daya 235 Megawatt (MW), PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW, PLTP Darajat, Jabar dengan daya 270 MW, PLTP Gunung Salak, Jabar dengan daya 377 MW, PLTP Cibuni, Jabar dengan daya 85 MW,  PLTP Ulubelu, Lampung dengan daya 110 MW, PLTP Sarulla, Sumatera Utara dengan daya  330 MW dan PLTP Lahendong, Sulawesi Utara dengan daya 80 MW.

Mengingat riset tentang PLTP telah dilaksanakan BPPT sejak dekade 1980-an lalu, Dr. Unggul menyarankan kiranya PLTP BPPT di Kamojang dengan daya 3 MW dan PLTP BPPT Siklus Biner di Lahendong, dengan daya 0,5 MW dapat terus dipakai untuk uji coba penerapan beragam teknologi mutakhir energi geothermal, serta dipakai untuk memproduksi energi Hidrogen, selain juga bisa dipakai untuk kegiatan pengeringan produk produk pertanian guna memberikan nilai tambah produk pertanian di wilayah-wilayah tadi. ***

Sumber : https://agroindonesia.co.id/bantu-kendalikan-perubahan-iklim-pemanfaatan-potensi-panas-bumi-makin-berkembang/

Categories
Domestic S&T News

Punya Banyak Keanekaragaman Hayati, Ekspor Ikan Hias Indonesia Terhalang Masalah Klasik

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.

Namun, sejak 24 tahun lalu, permasalahan para pengekspor ikan hias di Indonesia hingga sekarang masih sama, yaitu ketiadaan standar produk yang diekspor, masalah kontinuitas produk, masalah logistik dan transportasi serta upaya penetrasi pasar global.

Dalam diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 6 November 2024, disepakati tentang perlunya menggarap potensi ikan hias dari “hilir”, yaitu penetrasi pasar global terlebih dahulu.

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di Dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.
Dr. Joni Haryadi (Depan No.2 dari Kanan), pada Pemaparan Tentang Ikan Hias Indonesia Menerobos Pasar Dunia

Secara bersamaan, para ahli ikan hias Indonesia memperkenalkan berbagai teknik untuk membuat ikan hias lebih cantik dipandang, antara lain dengan pemberian pakan khusus.

Pada tahapan “hulu”, para pembudidaya ikan hias, yang sebagian besar adalah pembudidaya kelas rumah tangga terus dibina agar bisa menghasilkan produk siap ekspor, sekaligus membuka lapangan kerja seluas-luasnya, terutama lapangan kerja bagi generasi Z dan generasi millenial.

Kepala Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Joni Haryadi, dalam paparannya yang berjudul “Peluang Usaha Ikan Hias Untuk Indonesia Maju” menegaskan bahwa dalam lingkup global, data tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia adalah eksportir ikan hias nomor dua terbesar di Dunia setelah Tiongkok.

Tiongkok memang eksportir ikan hias terbesar Dunia, namun ikan yang diekspor sebagian besar diimpor dari Indonesia, lalu diberi nilai tambah, seperti disiapkan pakan khusus agar semakin menyala warnanya, lalu kemasannya dipercantik dan diekspor ke jaringan global konsumen yang telah mereka bangun.

Joni Haryadi, yang Alumnus Universitas Indonesia ini,  menegaskan potensi bahan baku ekspor Ikan hias dimiliki Indonesia.

Khusus untuk ikan hias air tawar, 5 besar jenis ikan hias air tawar yang diminati Dunia adalah Ikan Koi, Ikan Arwana Super Red, Ikan Mas Koki, Ikan Cupang Hias dan Ikan Cupang Laga.

Jenis-jenis ikan hias tersebut mempunyai kriteria langka, unik, memiliki sejarah, eksoktik dan memiliki nilai jual.  Di seluruh Dunia, orang senang memelihara ikan hias untuk mengurangi stress kehidupan, memberikan ketenangan jiwa, melahirkan insiprasi inspirasi baru dan juga membuat manusia lebih fokus.

Sebaran 5 besar provinsi yang melaksanakan budidaya ikan hias adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta.  Diperkirakan, pada tahun 2022, ada sekitar 21.091 orang berbudidaya ikan hias di Indonesia dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal.’

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di Dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.
Ikan hias laut. (Dok KKP)

Menurut data World Integrated Trade Solution (WITS 2022), lima besar negara importir ikan hias dari Indonesia adalah: Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Negara-Negara Asia lainnya dan Singapura.

Memang, ekspor pada tahun 2022 baru mencapai Rp 586 miliar saja, tetapi Joni Haryadi telah menyusun program agar target ekspor ikan hias Rp 1,6 triliun pada tahun 2029 dapat dicapai.

Selain nilai ekspor, usaha ikan hias ini amat berpeluang dikembangkan oleh para millenial, dengan modal yang tidak besar.  Mereka bisa memulainya sebagai broker dan supplier, kemudian meningkat menjadi trader dan terakhir bisa memiliki usaha toko ikan hias sendiri.

Lewat perkembangan teknologi digital maka para generasi millenial dan Gen Z yang melek teknologi digital dan teknologi komunikasi ini bisa langsung terlibat dalam rantai pasok ikan hias Dunia.

Pada akhir Diskusi, disepakati tindak-lanjut kedepannya, diantaranya, guna memperluas pasar maka akan digelar pertemuan lewat zoom antara importir ikan hias di Tiongkok, Amerika Serikat dan Jepang dengan para eksportir ikan hias Indonesia, yang difasilitasi oleh Perwakilan Perwakilan RI di tiga negara tadi.

Lalu, segera diusulkan ke pada UNESCO agar ikan Arwana Super Red, yang merupakan ikan resmi Indonesia, mendapatkan status Warisan Dunia seperti orangutan dan komodo, sehingga dapat dipakai sebagai wahana promosi.

Di samping itu, segera digairahkan kembali lomba-lomba ikan hias, seperti lomba ikan cupang hias dan cupang laga, di tanah air.  Terakhir, para ahli ikan hias Indonesia perlu segera terjun langsung kemasyarakat guna memberikan pelatihan dan penyuluhan, mengingat usaha ini bisa menjadi usaha rumah tangga yang sangat menjanjikan. ***

Sumber: https://agroindonesia.co.id/punya-banyak-keanekaragaman-hayati-ekspor-ikan-hias-indonesia-terhalang-masalah-klasik/

Categories
Domestic S&T News

PII dan CTIS Jalin Kerja Sama Bangun Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menandatangani Naskah Kerjasama (Memorandum of Understanding/MOU) untuk penguatan sumberdaya manusia dan kajian bersama tentang teknologi semikonduktor dan sel surya guna mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.

Penandatanganan MOU dilakukan antara Ketua Umum PII, Dr. Ir. Danis Sumadilaga dan Ketua CTIS, Dr. Ir. Wendy Aritenang, disaksikan Pembina CTIS Prof. Indroyono Soesilo dan Co-CEO Indonesia Solar Energy Research Center (ISEREC), Professor Michael Goutama, di Jakarta, Jumat, 15 November 2024.

Dalam kesempatan itu, Danis Sumadilaga, menegaskan bahwa sesuai UU No.11/Th.2014 Tentang Keinsinyuran, salah satu tugas utama PII adalah pengembangan keprofesian insinyur secara berkelanjutan dan pembinaan keinsinyuran.

Itulah sebabnya pada KTT G-20, yaitu KTT 20 Negara dengan ekonomi terbesar di Dunia, di Bali, November 2022 lalu, PII telah merintis pembentukan Kelompok 20 Negara G-20 untuk mengembangkan keprofesian insinyur, yang dikenal sebagai Engineering 20, atau E-20.

Salah satu implementasi E-20 adalah pembangunan Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia dengan pendekatan “End To End”, atau “Hulu – Hilir.

Para ilmuwan Indonesia mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
Penandatangan Naskah Kerjasama antara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) diwakili Ketua Umum PII. Dr. Danis Sumadilaga dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), diwakili Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang

PII kemudian menggalang kerjasama dengan berbagai universitas dan lembaga riset di tanah air, salah satunya adalah dengan CTIS.

Dewan Pembina CTIS, Professor Indroyono Soesilo, dalam kesempatan itu menyambut baik kerjasama PII – CTIS ini, mengingat CTIS memiliki pakar pakar senior yang dapat menyumbangkan pengalaman mereka demi terwujudnya industri semionduktor dan sel surya kelas Dunia, yang siap masuk dalam rantai pasok Dunia di industri ini.

Indroyono mengatakan bahwa ide pembangunan industri semikonduktor di tanah air telah dirintis oleh Menteri Ristek/Kepala BPPT, Prof. BJ Habibie pada tahun 1978 lalu, yang menugasi Professor Samaun Samadikun dan Professor Barmawi, keduanya dari ITB-Bandung untuk membangun purwa rupa industri sel surya di tanah air.

Laboratorium Sel Surya dan Semikonduktor kemudian di bangun oleh LIPI di Puspiptek – Serpong, Jawa Barat, dan pada tahun 1992 sudah berhasil membangun purwa rupa waffer dan sel surya produksi dalam negeri.

Namun, Industri ini baru akan  terwujud setelah hampir 40 tahun dikerjakan oleh ahli-ahli Indonesia sendiri, mengingat, kala itu, pasar dalam negeri belum ada.

Sekarang, Indonesia siap memasuki era industri semikondutor dan sel surya dengan kekuatan pasar dalam negeri dan juga mendorong ekspor, pertama ke Singapura dan kemudian ke mancanegara dengan memposisikan diri sebagai salah satu bagian dari rantai pasok industri sel surya dan semikonduktor Dunia.

ISEREC sekarang sedang menyusun Peta Jalan (Road Map) industri ini di Indonesia serta riset pengukuran irradiasi sinar matahari dibeberapa lokasi di tanah air guna mendapatkan energi optimum untuk membangun pembangkit listrik tenaga sel surya.  NUS-Singapura juga mulai menawarkan beasiswa Program Doktor untuk kandidat Doktor dari Indonesia.

pengembangan  Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
dok Freepik

Rencana ini disambut baik oleh Dirut Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Dr.Andin Hadiyanto yang siap mendukung lewat program Co-Funding LPDP.  Apabila NUS menyiapkan 5 Beasiswa Doktor maka LPDP akan menyiapkan beasiswa dalam jumlah yang sama, sehingga kandidat Doktor dari Indonesia ke NUS mencapai 10 orang.  Kebetulan NUS dan LPDP sudah mempunyai Program Kerjasama.

Bersamaan dengan pendandatangan MOU antara PII – CTIS, maka diresmikan pula Sekretariat ISEREC dengan Sekretaris ISEREC Dr. Andhika Prastawa.

Hadir pada acara penandatangan MOU, antara lain, Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI), yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Marzan Azis Iskandar, Ketua Komite Energi CTIS dan Mantan Kepala BPPT, Dr. Unggul Priyanto.

Mantan Ketua Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) Prof. Harijono Djojodihardjo, Ketua Komite Telekomunikasi & Informatika CTIS, yang juga mantan Dirjen di Kementerian Komunikasi & Informatika, Dr. Ashin Sasongko, para ahli energi surya Indonesia, seperti Dr. Arya Rezavidi, Dr. Martin Djamin dan Ir.Wisnubroto, serta perwakilan dari BRIN dan Universitas Negeri 11 Maret. ***

Sumber: https://forestinsights.id/pii-dan-ctis-jalin-kerja-sama-bangun-industri-semikonduktor-dan-sel-surya-di-indonesia/

Categories
Domestic S&T News

Logam Tanah Jarang Bisa Dukung Industri Baterai Listrik di Indonesia, Apa Itu?

Ketika Presiden Jokowi berbicara tentang potensi “harta karun” mineral logam tanah jarang (LTJ) yang dimiliki Indonesia, 30 Mei 2023 lalu, banyak orang yang mengerenyitkan dahi.  Mineral apa ini? Ternyata inilah mineral yang dikenal sebagai Rare-Earth Minerals, yaitu mineral ikutan di tambang-tambang timah.

Bila saat ini Indonesia menambang bijih timah dari mineral Cassiterite (SnO2), maka ternyata banyak mineral ikutannya, seperti Monasit,  Zirkon (ZrSOI4),  Ilemenit (TiO3), Rutil (TiO2), Pasir Kwarsa (SiO2) dan  Xenotime (YPO4).  Dari mineral-mineral ikutan tadi, terutama mineral Monasit, dapat dihimpun 17 unsur kimia logam tanah jarang (LTJ), antara lain Er, Eu, Gd, Ho, La, Lu, Nd, Pr, Sm, Tb, Tm dan Yb.

para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan ogam tanah jarang untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia. 
Ahli Logam Tanah Jarang (LTJ), Purwadi Kasino Putri (No.4 dari kanan) pada Paparan di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024. /CTIS/

Ternyata para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan LTJ untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia.  Demikian dipaparkan pada diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024,

Ahli nuklir Indonesia, Purwadi Kasino Putro dari Prime Energi Terbarukan  dalam paparannya yang berjudul “Baterai Untuk Kendaraan Listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Berbasis Logam Tanah Jarang (LTJ), Menuju Kemandirian Energi di Indonesia”, memperlihatkan bahwa proses pemisahan LTJ dari mineral Cassiterite sudah bisa dilaksanakan di Indonesia. Beragam purwa rupa baterai dari LTJ juga sudah bisa diproduksi di tanah air.

Purwadi, yang insinyur teknik nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada dan ahli bahan bakar nuklir lulusan Universitas di Jerman itu menegaskan bahwa dengan mencampurkan LTJ pada komponen baterai listrik berbasis Nikel yaitu NMC (Lithium, Manganese, Cobalt Oxide ) atau baterai yang berbasis Lithium, yaitu Lithium Iron Phsophate (LFP), maka baterai listrik ini akan memiliki energi yang lebih kuat, efisiensi yang tinggi, juga baterai akan berusia  lebih panjang.

Secara ekonomis, ini akan sangat menguntungkan Dalam presentasi yang dipandu oleh Dr. Arie Rahmadi, Peneliti Senior BRIN, Purwadi menyampaikan bahwa bahan baku LTJ di Indonesia sangat melimpah, namun  belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bernilai tinggi.  Sebagai contoh, pasir kwarsa yang merupakan hasil sampingan produk timah, diekspor keluar negeri sebagai bahan tambang galian C.

“harta karun” mineral logam tanah jarang  yang dimiliki Indonesia
Logam Tanah Jarang (LTJ)

Padahal di situ banyak dijumpai mineral LTJ. Purwadi juga menyatakan bahwa tahap berikutnya dalam pembangunan baterai berbasis LTJ adalah membuat baterai dengan campuran komponen NMC dan LTJ yang siap mengisi pasar baterai mobil listrik dan sepeda motor listrik di tanah air.  Sumberdaya nikel dan LTJ sudah ada di Indonesia.  Tidak itu saja, baterai jenis ini juga dapat mengisi kebutuhan baterai di kapal-kapal nelayan yang sudah tidak menggunakan minyak solar lagi, namun sudah menggunakan motor listrik.

Dalam rangka transisi energi dan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maka ada potensi sangat besar untuk penggunaan baterai NMC-LTJ untuk PLTS di tanah air. Menurut Purwadi, target awal industri baterai berbasis LTJ mencapai produksi 7 MegaWatt per-harinya. Apalagi, Pemerintah sudah mematok Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mobil listrik dan motor listrik pada tahun 2026 adalah 80%.

Seperti diketahui, salah satu komponen bernilai ekonomi terbesar pada mobil listrik dan sepeda motor listrik adalah pada komponen baterainya.  Inilah pasar yang dibidik dari industri baterai berbasis LTJ di Indonesia. *

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1788078581/logam-tanah-jarang-bisa-dukung-industri-baterai-listrik-di-indonesia-apa-itu?page=all

Categories
Domestic S&T News

Vela-Alpha: Pesawat Listrik Karya Insinyur Indonesia yang Rendah Karbon

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.

Rancang bangun VELA-Alpha dipaparkan kepada hadapan para anggota Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) oleh Chief Engineer Vela Prima Nusantara, Ilman Pamungkas, Rabu  22 Januari 2025.

VELA-Alpha dirancang oleh sepuluh insinyur muda Indonesia. Ini adalah pesawat Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik, yang bisa beroperasi seperti helikopter dan mampu mengangkut 1 Pilot dan 6 penumpang.

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.
pesawat rendah karbon Vela Alpha. (dok Vela Alpha)

Menurut Ilman Pamungkas AAM masuk sebagai kategori pesawat mobil udara berteknologi maju untuk transportasi  di wilayah urban dan wilayah regional.

Kajian potensi pasar pesawat AAM memperlihatkan bahwa pada tahun 2030, Dunia membutuhkan sekitar 7000 pesawat AAM. Separuh diantaranya untuk wilayah Asia Pasifik.

Kebutuhan pesawat jenis AAM ini akan meningkat terus menjadi 47.000 di tahun 2040, dimana 24.000  pesawat diantaranya akan beroperasi di wilayah Asia Pasifik.  Sudah pasti, negara kepulauan seperti Indonesia akan membutuhkan banyak pesawat jenis ini.

Oleh sebab itu, tahap pertama yang mereka bangun adalah pesawat untuk taksi udara wilayah urban dengan radius jangkauan sekitar 100 kilometer, cocok untuk angkutan antar-kota, untuk transportasi dari pusat kota ke bandara, untuk evakuasi medis, juga untuk pariwisata.

Hasil kajian awal, transportasi menggunakan kendaraan taksi dari pusat kota Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta membutuhkan waktu 60 hingga 90 menit, karena kemacetan lalu lintasnya, sedang dengan pesawat VELA-Alpha hanya membutuhkan waktu 8 menit saja.

Ilman juga menjelaskan bahwa pesawat VELA-Alpha bertenaga listrik, berarti skala kebisingan akan turun dan mengurangi emisi karbon. Juga berkemampuan Vertical Take Off & Landing (VTOL), sehingga tidak memerlukan landasan pacu.

Di samping itu, lewat perkembangan teknologi digital saat ini maka VELA-Alpha bisa bermitra dengan sistem transportasi darat lewat program “Ride-Sharing”, atau menumpang bersama.

Markas Vela Prima Nusantara berada di dalam kompleks Pabrik Pesawat Terbang Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung. Di sanalah kegiatan rancang-bangun pesawat digelar.  Direncanakan, kegiatan produksi pesawat VELA-Alpha akan dilaksanakan di fasilitas PT DI.

Sementara uji terowongan angin pada model pesawat telah dilaksanakan di Laboratorium Aeordinamika, Gas dan Getaran (LAGG) di Puspiptek Serpong, Jawa Barat.  Untuk Uji-Simulasi dilaksanakan di Laboratorium Vela Prima Nusantara sendiri.

Ilman dan group insinyur muda Indonesia ini mentargetkan bahwa Desain Rekayasa Rinci (Detailed Engineering Design) sudah bisa selesai pada  tahun 2025 ini.  Sedang terbang perdana diharapkan akan berlangsung tahun 2026 dan sertifikasi pesawat akan selesai pada tahun 2027, siap memasuki tahapan produksi.

Telah dijalin kerja sama dengan industri-industri pesawat terbang dunia untuk pengadaan baling baling, motor listrik, material komposit, baterai listrik, roda pendarat, struktur pesawat, kontrol pesawat dan avionic, untuk membangun VELA-Alpha sesuai Desain Rekayasa Rinci para Insinyur Indonesia.

Saat tampil pada Singapore Air Show 2024 lalu, telah terhimpun minat awal dari para kostumer untuk membeli pesawat VELA-Alpha sebanyak 120 unit. ***

sumber : https://ecobiz.asia/article/vela-alpha-pesawat-listrik-karya-insinyur-indonesia-yang-rendah-karbon

Categories
Domestic S&T News

Jaga Keberlanjutan Usaha, Industri Perlu Investasi Mitigasi Bencana

Indonesia yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam karena letak geografis dan geologinya. Kondisi itu pula yang menjadikan Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana. Diperlukan kemauan untuk menginvestasikan sebagian sumber daya perusahaan untuk dapat menjamin keberlanjutan bisnis.

Topik di atas dibahas dalam acara bertajuk “NGOPI Bareng BNPB” edisi Maret 2024 yang mengambil tema “Industri Berbasis Mitigasi Bencana dengan Sentuhan Teknologi”, Kamis, 28 Maret 2024. Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Indroyono Soesilo dari CTIS (Center for Technology and Innovation Studies) dan Sujica W Lusaka, Head CFOM (Corporate Fire Operation Management) Asia Pulp & Paper (APP) Sinarmas.

 Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.
Dari kiri: Trevi Jayanti, Indroyono Soesilo, Sujica W Lusaka dan Andrian Cader pada Acara NGOPI BARENG yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta.

Indroyono mengingatkan tentang kondisi geologi Indonesia yang merupakan bagian dari Ring of Fire, yaitu wilayah di sekeliling Samudra Pasifik yang memiliki banyak aktivitas kegempaan dan vulkanisme.

Hal ini menyebabkan indonesia rawan terhadap bencana, namun sekaligus dilimpahi kekayaan minyak dan gas alam serta berbagai mineral ekonomis.

Demikian pula kondisi geografis Indonesia menyebabkan negara ini terpengaruh oleh anomali iklim ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang. Dampaknya, Indonesia lebih rawan mengalami bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Pada saat yang sama, anomali iklim tersebut membuat kawasan laut Indonesia berlimpah ikan.

Dua sisi yang selalu berdampingan, antara bencana dan anugerah ini, menuntut kita untuk mampu menjalankan pemanfaatan sumber daya alam dan memperkuat resiliensi terhadap bencana secara beriringan.

Penggunaan teknologi, misalnya berupa buoy cuaca yang telah terpasang di lautan Indonesia merupakan salah satu wujud upaya tersebut.  “Dengan sistem pemantauan cuaca saat ini, potensi kemarau panjang akibat anomali iklim telah bisa dilihat sejak 12 bulan sebelumnya,” kata Indroyono.

Data cuaca ini pula yang menjadi satu pertimbangan penting untuk perusahaan pulp dan paper APP Sinarmas dalam memitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dapat menyebabkan perusahaan kekurangan kayu sebagai bahan baku dan asapnya dapat merusak tisu yang diproduksi.

Hal ini mendorong APP Sinarmas untuk menyusun program yang komprehensif untuk menanggulangi kebakaran hutan. Sujica menjelaskan, “APP Sinarmas menjalankan empat pilar penanggulangan kebakaran hutan yang kami sebut dengan Integrated Fire Management. Empat pilar itu adalah Prevention, Preparation, Early Warning, dan Rapid Response.” 

Prevention merujuk pada bagaimana perusahaan melibatkan masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar, mengingat sebagian besar kasus kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Perusahaan membuat program pemberdayaan masyarakat bernama Desa Makmur Peduli Api yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan tanpa pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pada tahapan Preparation dan Early Warning, pemanfaatan teknologi diwujudkan dalam bentuk penggunaan satelit kamera termal untuk memantau titik api. Selain itu, APP Sinarmas juga telah memasang AWS (Automatic Weather Station) secara mandiri, yang berfungsi untuk memantau tingkat bahaya kebakaran hutan di wilayah konsesi  perusahaan dan sekitarnya.

 Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.
Ratusan titik api di lahan gambut Riau terpantau dari udara. (BPBD Riau)

Perusahaan juga memiliki beberapa helikopter yang digunakan untuk pemantauan titik api secara konvensional maupun untuk upaya pemadaman bila terjadi kebakaran hutan pada tahapan Rapid Response.

Indroyono menilai bahwa manajemen kebakaran hutan APP Sinarmas merupakan contoh praktik baik yang perlu direplikasi oleh pelaku lain di sektor swasta. Tidak hanya dalam hal mitigasi bencana, namun juga untuk mencegah kerusakan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terbukti tidak semata menjadi beban anggaran, namun juga merupakan investasi yang berdampak baik bagi keberlanjutan bisnis.

Peran aktif pihak swasta adalah hal krusial dalam membangun resiliensi terhadap bencana, sebab pihak swasta memiliki kepentingan untuk terhindar dari bencana, serta memiliki sumber daya untuk menerapkan teknologi kebencanaan dan memberdayakan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan. Ketangguhan bencana di Indonesia mutlak hasil kolaborasi dan inklusi lintas sektor termasuk pihak swasta. ***

Sumber: https://agroindonesia.co.id/jaga-keberlanjutan-usaha-industri-perlu-investasi-mitigasi-bencana/

Categories
Domestic S&T News

Konvergensi Infrastruktur Telekomunikasi Satelit dan Terestris, Kesempatan Bagi Ahli-ahli Indonesia

Begitu dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi. Hal itu akan menjadikan seluruh infrastruktur sistem  komunikasi satelit  dan sistem komunikasi terestris di bumi dapat dimanfaatkan secara optimal, saling mendukung, melengkapi dan semakin effisien.

Pemanfaatannya lebih pada aplikasi sesuai proritas, seperti sistem informasi cuaca, sistem informasi geografis, sistem informasi digital, sistem komunikasi kuantum, Artificial Intelligence hingga Internet of Things (IoT).  Ahli-ahli Indonesia juga bisa terlibat pada perkembangan teknologi ini mengingat orang Indonesia dikenal memiliki nilai kreativitas yang tinggi.

Demikian kesimpulan Diskusi Center For Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 12 Juni 2024, yang mengambil topik: Satellite In Converging Infrastructure”.  Berbicara pada Diskusi CTIS ini, Dr Anggoro K. Widiawan, Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) yang juga Doktor Alumnus Universitas Surrey, Inggris.

dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi
Dr Anggoro K. Widiawan (Depan No.4 dari Kiri) Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies, Rabu 12 Juni 2024. /CTIS/

Bertindak sebagai moderator, Dr Agustan, Ketua Komite Teknologi Penginderaan Jauh CTIS, yang juga Ketua Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).  Menurut Anggoro teknologi satelit akan selalu menjadi penjuru di depan dan selalu mampu membuat terobosan teknologi.  Ia menyampaikan pula, sejak awal penerapan satelit komunikasi di dunia, maka Indonesia juga selalu tampil di depan.  Satelit komunikasi pertama bernama Comsat, beroperasi tahun 1965 dan hanya dalam tempo satu dekade, pada 1976, Indonesia sudah meluncurkan Satelit Palapa A-1  untuk menghubungkan  jaringan komunikasi pulau-pulau Nusantara.

Perkembangan teknologi serat optik pada awal dekade 1980-an telah memacu sangat cepat sistem konektivitas telekomunikasi terestris di bumi  dan meninggalkan sistem konektivitas telekomunikasi satelit.  Anggoro menyatakan bahwa saat ini pangsa sistem konektivitas satelit komunikasi tinggal 4%, sedang sistem komunikasi terestris di Bumi mencapai 96%.  Diprakirakan, penggunaan sistem konektivitas satelit komunikasi akan meningkat lagi dengan beroperasinya ribuan satelit internet di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) seperti Starlink.

Data dari  Kementerian Kominfo (2023) memperlihatkan bahwa  infrastruktur telekomunikasi di Indonesia sudah lengkap terbangun.  Saat ini beroperasi  610.581 Base Transceiver Stations (BTS), 835 ribu Kilometer Kabel Serat Optik, 10 satelit komunikasi aktif dan ada 221.5 juta pengguna internet, atau sekitar 76% Penduduk Indonesia.  Jaringan Komunikasi Palapa Ring juga sudah selesai dibangun pada tahun 2019 lalu.  Kehadiran infrastruktur komunikasi yang sudah lengkap di Indonesia ini tentu akan menjadikan sistem konektivitas komunikasi semakin handal dan semakin efisien.

Oleh sebab itu, Indonesia perlu bergerak ke arah penerapan teknologi internet yang lebih maju, seperti jasa internet untuk sistem komunikasi generasi kelima atau 5G, bahkan bersiap merintis ke sistem komunikasi generasi keenam, yaitu 6G. Menurut Anggoro, inilah kesempatan bagi ahli-ahli Indonesia untuk terjun ke bidang bidang seperti Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), Internet of  Things (IoT), Quantum Communication,  Quantum Sensing, sistem informasi geografis, sistem informasi digital hingga office automation, factory automation, mobil tanpa pengemudi, sistem transportasi logistik menggunakan pesawat nir-awak (Drone) dan masih banyak lagi kerja kreativitas lainnya.

Memang, untuk daerah  Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T) penerapan sistem komunikasi satelit lebih cocok, tapi untuk daerah perkotaan, di dalam mall, gedung, hanggar serta di pabrik pabrik, maka sistem infrastruktur komunikasi terestris lebih di depan.

dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi

Di luar itu semua, yang lebih utama adalah pengembangan teknologi informasi mutakhir dengan memanfaatkan sistem komunikasi 5G bahkan 6G yang disediakan infrastruktur satelit komunikasi dan infrastruktur komunikasi terestris.  Disinilah konvergensi akan terjadi dan disini pula Indonesia bisa terlibat aktif.  Tinggal dibuat pembagian tugas, Pemerintah yang menyusun Peta Jalan Industri Komunikasi dan Informatika, sedang penerapannya dalam IoT, AI, digital communication  dan lain-lain, digarap oleh para ahli di lembaga lembaga riset, di universitas unversitas dan di industri industri melalui penerapan program program prioritas yang sudah digariskan oleh Peta Jalan tadi. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788222201/konvergensi-infrastruktur-telekomunikasi-satelit-dan-terestris-kesempatan-bagi-ahli-ahli-indonesia?page=all

Categories
Domestic S&T News

Teknologi Remote Sensing untuk Eksplorasi Sumber Daya Alam, Profesor Indroyono Soesilo: Dasar Pengambilan Kebijakan

Dalam kegiatan eksplorasi geologi, data awal hasil remote sensing, atau penginderaan jauh diolah sebagai informasi untuk kemudian dianalisis serta diinterpretasikan guna dipakai untuk pengambilkan kebijakan tentang tahapan eksplorasi berikutnya.  Data penginderaan jauh diperoleh dari sensor yang dijejalkan pada satelit, pesawat udara dan pada pesawat nir-awak atau drone.

Demikian pandangan Prof. Dr.Indroyono Soesilo saat memberikan kuliah umum tentang Teknologi Remote Sensing Untuk Eksplorasi, Inventarisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia, di Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung, Jumat, 1 Maret, 2024.

Dihadapan sekitar sekitar 120 peserta dan mahasiswa ITB, baik secara langsung maupun secara daring, Indroyono juga memaparkan tahapan membangun Industri Jasa Penginderaan Jauh di Tanah Air sejak 30 tahun terakhir.

Satelit Remote Sensing yang pertama di Dunia, bernama Landsat-I, diluncurkan oleh Badan Antariksa dan Penerbangan AS, NASA pada tahun 1972.  Dua ahli dari Indonesia, yaitu Professor JA Katili dan Professor Jacub Rais diundang NASA sebagai Principal Investigator Landsat-1 untuk wilayah Asia Tenggara.

Dalam kegiatan eksplorasi geologi, data awal hasil remote sensing diolah sebagai informasi untuk bahan kebijakan tahapan berikutnya
Prof. Dr.Indroyono Soesilo (tengah) bersama para Dosen dan Mahasiswa Teknik Geologi ITB, usai Acara Kuliah Umum tentang Teknologi Remote Sensing Untuk Eksplorasi Geologi di Indonesia, di Kampus ITB Bandung, 1 Maret 2024.

Professor Katili memanfaatkan data Landsat-1 hasil rekaman Sensor Multi-Spectral Scanner (MSS) digital untuk kegiatan eksplorasi geologi di Indonesia.  Inilah kali pertama Indonesia memasuki era satelit, disusul dengan peluncuran satelit komunikasi domestik Palapa-1 pada tahun 1976.

Ahli-ahli remote sensing generasi berikutnya disiapkan pada awal dekade 1980-an, ke AS dan Perancis, yang kala itu sudah meluncurkan satelit satelit Landsat, Satelit SPOT, Satelit NOAA serta penerapan pesawat space shuttle untuk menghimpun data remote sensing dari ruang angkasa.

Indroyono, yang Alumnus Teknik Geologi ITB 1978 itu, memaparkan bahwa pengiriman ahli-ahli Indonesia tadi, antara lain ke NASA, ke CNES-Perancis, ke European Space Agency di Frascati, Italia, maupun ke Radarsat di Canada adalah dalam rangka membangun industri jasa remote sensing menerapkan falsafah” Berawal di Hilir, Berakhir di Hulu” yang dicetuskan Professor BJ Habibie dalam membangun suatu industri bebasis teknologi.

Sekembali para ahli muda Indonesia ke tanah air, mereka membangun industri ini dari “hilir” dengan mengembangkan beragam aplikasi teknologi remote sensing untuk eksplorasi geologi, kehutanan, kelautan, pertanian, perencanaan wilayah dan kota, pemetaan sumberdaya alam serta untuk penanggulang bencana.

Daftar Proyek Proyek “Blue Book” Bappenas disisir satu persatu  guna diinventarisasi proyek proyek mana yang bisa menggunakan teknologi remote sensing.  Lalu sebuah perangkat lunak pengolahan citra digital satelit, diberi nama CITRA 88, dibangun oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan disebarkan kepada para calon pengguna secara gratis.  Alhasil, dalam tempo 4 tahun, jumlah pengguna data remote sensing semakin banyak dan pasar industri jasa ini mulai terbentuk.

Kebijakan selanjutnya diarahkan ke “hulu” dengan membangun Stasiun Bumi Satelit Remote Sensing di Parepare, Sulawesi Selatan, yang mulai beroperasi pada tahun 1994. Data satelit Landsat, SPOT, Radarsat dan NOAA sudah bisa diterima langsung oleh Stasiun Bumi Parepare.

Di samping itu, pengembangan pasar pengguna data remote sensing terus di gencarkan, berbagai uji-coba teknologi berikut aplikasinya terus dilaksanakan, termasuk penggunaan data satelit radar interferommetry untuk memprediksi erupsi gunung berapi, serta memantau pergerakan sesar/patahan dalam hitungan milimeter per tahun.

Bencana El Nino yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan hebat tahun 1997 di Tanah Air, membuka pasar aplikasi remote sensing lebih luas lagi, termasuk interpretasi “Hot Spot” dari data satelit NOAA tentang posisi lintang-bujur hutan yang terbakar, serta upaya pemadaman kebakaran hutan dengan teknologi modifikasi cuaca serta pemboman air dari udara.  Istilah “Hot Spot” sekarang sudah memasyarakat.  Juga uji coba teknologi Light Detection & ranging (LIDAR) serta Laser Airborne Depth Sounder (LADS) untuk pembuatan peta batimetri dasar laut sudah dilaksanakan para ahli BPPT di wilayah perairan Pulau Enggano, Sumatera Bagian Selatan pada tahun 1994.

teknologi remote sensing sangat diperlukan untuk olahan data awal yang digunakan sebagai kebijakan tahap berikutnya
Terra Drone Indonesia, melakukan survei menggunakan drone LiDAR (Light Detection and Ranging) di Kampus Institut Teknologi Bandung. (Dok BSKDN KEMENDAGRI)

Tahapan terakhir dari upaya pengembangan “Hulu” adalah membangun satelit remote sensing sendiri, dan ini berhasil diluncurkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tahun 2007.  Saat ini telah beroperasi 4 satelit remote sensing buatan LAPAN, dan diharapkan satelit ke 5 akan meluncur pada tahun 2024 ini.

Indroyono juga menjelaskan bahwa pasar untuk pengembangkan suatu industri berbasis teknologi perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan.  Pasca Reformasi 1998, beragam undang-undang dan Peraturan Pemerintah telah terbit agar penggunaan data satelit remote sensing dapat lebih memasyarakat, diantaranya UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan, UU No.4 tahun 2011 tentang Geospasial, serta UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  Kesemuannya memasukan remote sensing dan Sistem Informasi Geografis didalamnya.  Belum lagi beragam Peraturan Presiden, Instruksi Presiden serta Peraturan Menteri yang mengatur beragam penggunaan data remote sensing, sekarang sudah tersedia.

Dengan semakin gencarkan permasalahan perubahan iklim Dunia, perlu dilaksanakan aksi mitigasi termasuk transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan guna menurunkan emisi gas rumah kaca semaksimal mungkin.

Indroyono menyodorkan peran ahli geologi dan eksplorasi untuk menerapkan teknologi remote sensing ini untuk mencari dan menemukan potensi gas hidrogen alam (Natural Hydrogen) di wilayah Nusantara, yang sampai saat ini belum pernah dieksplorasi oleh ahli ahli kita.

Terakhir, mantan Menko Kemaritiman RI 2014-2015 ini juga mengharapkan kiranya para geologiwan dan explorationists Indonesia masa depan terus bergerak menerapkan dan mengembangkan industri 4.0, yaitu industri digital, yang telah Indroyono kerjakan sejak dekade 1980-an lalu, mengingat industri 4.0 amatlah penting.

teknologi remote sensing
Salah satu anggota Beehive Drones saat menyiapkan drone sniffing untuk uji coba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. (Dok Kemendiktisaintek)

Bahkan sekarang dunia sudah bergerak ke Society 5.0 yang merupakan imagination Society, yang lebih mengedepankan kreativitas.  Sejatinya, sejak awal para ahli geologi itu dilatih untuk menganalisis, menginterpretasikan dan membuat beragam imajinasi tentang mulajadi Bumi kita ini. ***

Sumber : https://forestinsights.id/teknologi-remote-sensing-untuk-eksplorasi-sumber-daya-alam-profesor-indroyono-soesilo-dasar-pengambilan-kebijakan/