Categories
Domestic S&T News Uncategorized

 Menata Ulang Pendidikan: Anggaran Membengkak, Hasil Merosot

 Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membubarkan Kementerian Pendidikan sebagai bagian dari Project 2025 yang diprakarsai oleh  Kelompok Konservatif  (Partai Republik). Langkah ini diambil sebagai respons atas menurunnya kualitas pendidikan di AS, meskipun anggaran terus meningkat.

Berdasarkan Project 2025, perhatian diarahkan pada rendahnya “education outcome” warga Amerika, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan membaca. Di tengah derasnya regulasi dan besarnya anggaran, hasil yang dicapai justru melemah. Hal ini mendorong Trump memindahkan urusan pendidikan ke level negara bagian, membubarkan kementerian di tingkat federal.

Mengacu pada pemikiran Milton Friedman (1985), pendidikan idealnya berada di bawah keputusan keluarga, bukan negara. Pemerintah cukup menyediakan pembiayaan, sementara masyarakat menentukan pilihan pendidikan anak.

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi.
Penerimaan siswa baru di Indonesia yang menggunakan sistem zonasi.

Kondisi di Indonesia menunjukkan pola serupa. Meski 20% APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan, kualitas lulusan belum menunjukkan peningkatan signifikan yang antara lain ditunjukkan oleh hasil tes PISA yang mengalami stagnasi sejak tahun 2000. Sistem zonasi, kebijakan yang berubah seiring pergantian menteri, serta birokrasi yang membebani guru dan dosen memperburuk situasi.

Data menunjukkan bahwa 85% kualitas pendidikan ditentukan oleh guru yang kompeten dan murid yang sehat dan cerdas , sementara hanya 15% oleh infrastruktur. Namun, anggaran lebih banyak terserap oleh birokrasi. Guru dan dosen terpaksa menghabiskan waktu menyusun laporan administratif dibanding fokus pada proses belajar-mengajar.

Rekomendasi Reformasi Pendidikan:

  1. Fokus Anggaran pada Guru dan Murid
    • Alokasikan anggaran untuk diprioritaskan meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru serta untuk perbaikan gizi/kesehatan serta kecerdasan siswa.
    • pendidikan karateristik sesuai wilayah dan masyarakatnya
  2. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Guru
    • Kenaikan gaji dan tunjangan di daerah terpencil.
    • Pengurangan beban administratif melalui digitalisasi dan dukungan staf.
    • Jam kerja tepat waktu dan tidak boleh lembur, serta ambil cuti untuk menjaga kesehatan mental.
    • Pelatihan berkelanjutan dan mentoring.
    • Dukungan psikologis dan lingkungan kerja sehat.
    • Sistem penghargaan dan retensi guru.
    • Keterlibatan guru dalam kebijakan pendidikan.
  3. Meningkatkan Keterlibatan dan Kenyamanan Siswa
    • Lingkungan sekolah aman dan anti-bullying.
    • Pembelajaran aktif dan kontekstual sekaligus mengasah kemampuan murid dalam membaca, mendengar, menulis dan berbicara. 
    • Ruang untuk kreativitas dan eksplorasi.
    • Dukungan emosional dari guru dan orang tua.
    • Apresiasi atas usaha, bukan sekadar hasil.
    • Penguatan interaksi sosial dan kegiatan kelompok.
    • Orang tua mendukung tanpa tekanan berlebihan.

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi. ***

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi.
Penulis opini dari kiri-kanan, Soekotjo Soeparto, Bambang Goeritno, Chairil Abdini, Wawan Bayu PS, dan Wendy Aritenang.

Tulisan ini dirangkum dari hasil diskusi mini Rabu 7 Mei 2025 menjadi tulisan opini oleh anggota CTIS ; Wendy Aritenang, Bambang Goeritno, Chairil Abdini, Soekotjo Soeparto dan Wawan Bayu PS 

 

Categories
Uncategorized

Gempa Tak Terduga Bangunan Harus Siaga

Dua tahun terakhir ini, dunia diguncang bencana gempabumi bertubi-tubi. Pada Februari 2023, gempa M7,8 mengguncang Turki dan Suriah, menewaskan lebih dari 50.000 orang dan meluluh-lantakkan ribuan bangunan dalam hitungan detik. Awal tahun 2024, Semenanjung Noto, pantai barat Jepang, diguncang oleh gempa kuat dengan M7.5. Gempa yang memicu tsunami tersebu dan evakuasi masif masyarakat di sekitarnya. Namun, menelan 542 korban jiwa, menghancurkan 13.000 bangunan lebih, di berbagai lokasi terdampak. Awal April 2024, Taiwan dilanda gempa M7.4  mengguncang wilayah timur pulau itu. Belum cukup sampai di situ, Myanmar dan Filipina masing-masing mengalami gempa bermagnitudo di atas 6,5 pada awal 2025. Dan terakhir, 23 April 2025 yll, Istambul, Turki, dikagetkan dengan gempa yang mengguncang dengan magnitudo 6.2SR, kendati tidak menimbulkan korban jiwa.

Gempa Palu di Sulawesi Tengah tahun 2018 (M7,4) memicu kombinasi likuifaksi, tsunami, dan ambruknya bangunan, serta menyebabkan lebih dari 4.300 korban jiwa. Gempa Cianjur pada November 2022, yang “hanya” berkekuatan M5.6, namun menewaskan lebih dari 600 orang dan merusak lebih dari 53.000 bangunan. Mayoritas rumah tinggal yang tidak dibangun sesuai standar tahan gempa (non-engineered). Gempa Sumedang pada Januari 2024, berkekuatan M4,8, juga menyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak, dengan puluhan korban luka-luka. Di Bawean, Jawa Timur, dua gempa berturut-turut pada Maret 2024 (M6,0 dan M6,5) merusak ratusan rumah dan infrastruktur desa.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Rumah-rumah warga hancur dampak gempa tektonik. (Dok BNPB)

Taiwan atau Jepang, atau Chile sekalipun kerap mengalami gempa di atas M7, namun mampu menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan. Jika hal ini dibandingkan dengan kondisi Indonesia di atas, ini menegaskan bahwa keberhasilan mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada magnitudo dan teknologi peringatan dini, tetapi lebih pada kesiapan struktural, kualitas bangunan, dan disiplin dalam penerapan standar teknis.

Sebagai salah satu negara dengan aktivitas seismik tertinggi di dunia, Indonesia tak bisa hanya bergantung pada sistem peringatan dini. Teknologi deteksi memang mampu memberikan beberapa detik jeda sebelum guncangan tiba, cukup untuk menyelamatkan nyawa, jika infrastruktur dan masyarakat siaga. Namun kenyataannya, dalam berbagai peristiwa gempa belakangan ini, tingkat kerusakan dan jumlah korban tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan gempa itu sendiri.

Gempa di Turki pada 2023, meskipun tidak jauh berbeda intensitasnya dengan gempa di Taiwan pada 2024, menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang jauh lebih besar. Di sisi lain, Taiwan berhasil menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan, berkat penerapan disiplin terhadap standar bangunan tahan gempa dan kesiapan sistem tanggap darurat. Ini membuktikan bahwa keberhasilan mitigasi, sekali lagi bukan soal teknologi peringatan dini semata, tetapi juga soal kepatuhan dan kesiapan struktural yang menyeluruh.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Indonesia Tsunamy Early Warning System (InaTEWS). (Dok PT PAL)

Peringatan Dini Tak Bisa Berdiri Sendiri

Sistem peringatan dini gempabumi, termasuk jaringan sensor seismik, sirene peringatan, notifikasi seluler, dan protokol evakuasi telah menjadi garda terdepan dalam mitigasi bencana di banyak negara. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus mengembangkan jaringan peringatan dini, bahkan terhubung ke sistem peringatan tsunami (InaTEWS). Namun demikian, efektivitas sistem ini tetap sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat dan infrastruktur merespons peringatan tersebut.

Turki, misalnya, telah memiliki standar bangunan tahan gempa yang diperbarui setelah gempa besar di Marmara tahun 1999. Revisi kode bangunan terakhir dilakukan pada 2018, menekankan desain struktur untuk menahan beban lateral dari guncangan. Ketika gempa dahsyat melanda pada 2023, banyak bangunan yang runtuh justru bangunan baru.

Di sisi lain, Taiwan menunjukkan gambaran yang kontras. Gempa magnitudo 7,4 pada April 2024 mengguncang wilayah Hualien dan memicu kekhawatiran tsunami. Namun, jumlah korban jiwa sangat minim, dan sebagian besar gedung tetap berdiri kokoh. Hal ini tak lepas dari pengalaman panjang Taiwan dengan gempa dan komitmen kuat terhadap penerapan seismic design dalam setiap tahapan pembangunannya.

Jepang juga menjadi contoh global dalam upaya menekan risiko bencana. Melalui sistem Early Earthquake Warning (EEW) yang dikomandoi oleh JMA dan terintegrasi ke dalam sistem transportasi dan layanan publik, masyarakat Jepang terbiasa merespons peringatan dalam hitungan detik. Yang membuat Jepang berbeda bukan hanya teknologinya, tetapi juga budayanya, keteguhan terhadap norma bangunan, simulasi bencana secara rutin, dan kesadaran publik yang tinggi.

Belajar dari mereka

Indonesia tidak kekurangan regulasi. SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk perencanaan bangunan tahan gempa sudah ada sejak lama dan terus disempurnakan, seperti SNI 1726:2019. Tetapi seperti halnya Turki, tantangan terbesar kita adalah di ranah implementasi dan pengawasan. Banyak bangunan, termasuk fasilitas publik dan permukiman padat penduduk, tidak dibangun sesuai standar. Dalam sejumlah kasus gempa besar di Indonesia, seperti di Padang (2009), Palu (2018) dan Cianjur (2022), struktur bangunan yang runtuh mendominasi jumlah korban.

Dari data gempa BMKG, BNPB dan BPS, Indonesia mengalami puluhan kali gempa besar sejak tahun 2000, dan hampir semua menimbulkan dampak signifikan terhadap infrastruktur. Beberapa bahkan menyebabkan korban jiwa meskipun pusat gempanya berada di laut. Ini memperkuat urgensi, tidak hanya untuk memiliki sistem peringatan dini yang mumpuni, tetapi juga sistem konstruksi yang tangguh dan patuh aturan.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Membangun sistem peringatan dini yang canggih adalah langkah penting, tetapi tidak cukup. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-layered dalam mitigasi risiko gempa, yang mencakup:

  1. Penegakan Building Code SNI 1726:2019 secara afirmasi perlu menjadi standar wajib dalam semua jenis pembangunan, bukan hanya proyek pemerintah atau komersial berskala besar.
  2. Audit dan pengawasan konstruksi melalui pemeriksaan rutin terhadap proyek bangunan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran konstruksi.
  3. Reformasi perizinan bangunan dengan menerapkan secara terintegrasi kajian risiko bencana di sekitarnya ke dalam proses perizinan dan pengawasan tata-ruang, ruang publik.
  4. Edukasi dan simulasi dengan mendorong peningkatan literasi gempa bagi masyarakat umum dan pelatihan evakuasi secara rutin.
  5. Penguatan infrastruktur kritis dan strategis, termasuk misalnya sekolah, rumah sakit, dan fasilitas vital lainnya harus direnovasi agar sesuai standar tahan gempa.

Perjalanan menuju zero victim bukanlah utopia. Negara-negara seperti Jepang dan Taiwan membuktikan bahwa disiplin terhadap kode bangunan dan budaya siaga bencana menyelamatkan ribuan nyawa. Indonesia, sebagai negara yang terletak di “Ring of Fire”, tidak memiliki pilihan selain mengejar standar tersebut.

Sistem peringatan dini “hanyalah alarm”. Namun demikian, bangunan yang kokoh, masyarakat yang sadar, dan pemerintah yang tegas, bisa memastikan alarm tersebut menyelamatkan. ***

Andi Eka Sakya penulis opini
Dr Andi Eka Sakya M Eng
Periset diPeriset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

*) tulisan ini adalah opini ditulis oleh Dr Andi Eka Sakya M Eng Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Categories
Domestic S&T News

59 Iptek Pilihan untuk Indonesia  Emas

Inilah daftar 59 Iptek Pilihan untuk Indonesia  Emas yang sudah disusun oleh para pakar di bidang masing-masing tergabung dalam Center of Technology and Innovation Studies.

Categories
Domestic S&T News

Skema Iron Man untuk Perkuat Industri Startup di Indonesia

Startup menjadi kekuatan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara maju dengan menyokong startup baik dari segi pendanaan riset dan pasar market yang jelas.

Indonesia sebagai negara yang terus berkembang di dunia startup bisa melakukannya dengan skema-skema pendanaan, dukungan riset dan berorientasi di sektor global.

Startup dalam kontek bisnis adalah perusahaan rintisan yang baru beroperasi dan fokus pada pengembangan produk atau layanan baru yang inovatif.

Startup umumnya memiliki usia bisnis kurang dari 3 tahun dan berakar pada inovasi untuk menciptakan atau meningkatkan produk yang ada di pasar.

Dan startup di industri militer merupakan salah satu yang potensial dikembangkan.

Siapa yang bisa menghidupkan startup-startup ini? Dunia membutuhkan sosok Tony Stark sosok dalam komik Marvel Iron Man. Tapi apa korelasi antara Iron Man dengan industri startup?

CTIS mengangkat tema Association the Iron Man Model: How Startups and The Military Can Work Together dalam diskusi publik Rabu, 30 Aprl 2025 dengan narasumber utama

Alexander Ludi Sekjen Indonesia Robotics dan moderator Dr Ir Jarot S Suroso M.Eng.IPU. ASEAN Eng.

Startup menjadi kekuatan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara maju dengan menyokong startup baik dari segi pendanaan riset dan pasar market yang jelas.
CTIS mengangkat tema Association the Iron Man Model: How Startups and The Military Can Work Together dalam diskusi publik Rabu, 30 Aprl 2025 dengan narasumber utama
Alexander Ludi Sekjen Indonesia Robotics (no 4 dari kiri berbaju hitam) dan moderator Dr Ir Jarot S Suroso M.Eng.IPU. ASEAN Eng. (no lima dari kiri)

Alexander Ludi menjelaskan bahwa saat ini ekosistem Artificilal intelligence (AI) berkembang luar biasa dan ditangkap oleh startup sebagai bisnis awal yang menjanjikan.

Ekosistem AI ini masuk ke ranah manapun hingga ke militer dan berorientasi ke bisnis global.

Dari AI ini kemudian merambah ke berbagai inovasi-inovasi baru mulai dari drone, aplikasi, robot pengganti tentara, dan lainnya.

Untuk menciptakan ekosistem startup agar terus hidup dibutuhkan model Iron Man. “ Di Amerika Serikat, teknologi dikembangkan para startup ini tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga kemampuan menguasai pasar global. Kemampuan deep dive ini mereka kuasai. Mereka benar-benar nyemplung di dalam,” kata Alexander Ludi.

Kemampuan-kemampuan ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Lahirlah sosok-sosok Tony Stark yang kaya raya berawal dari startup.

Tony Stark dalam film Iron Man, adalah seorang industrialis, petualang, filantropis, penemu dan ilmuwan. Ia tak segan-segan menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk mendukung inovasi dan riset.

Berbeda dengan di Indonesia, dari 50 ribu startup yang ada, hanya 350 startup mendapat pendanaan dari pemerintah. Namun hanya tiga startup yang jadi dan berkembang.

“Indonesia itu banyak Tony Stark tetapi mereka tidak punya uang. Kenapa startup banyak yang gagal karena di Indonesia penguasaan sampai ke dalam belum dikuasai,” jelasnya.

SDM Indonesia menguasai teknologi tetapi belum menguasai bagaimana harus mengembangkan teknologi itu agar terus berlanjut dan menguasai pasar global.

Hal itu menurut Alexander Ludi harus menjadi perhatian agar startup Indonesia bisa berkembang luas dan menguasai pasar global.

Selain itu, startup militer saat ini sangat menjanjikan. Alexander memberi contoh bahwa AS awalnya hanya memikirkan musuh utamanya adalah Rusia. Negara tersebut lupa bahwa musuh-musuh lainnya yang disebut non nation seperti Al Qaeda, Houthi dan lainnya telah menghancurkan keamanan negara super power itu.

Dari situlah AS mulai menaruh perhatian dukungan startup militer yang kemudian menghasilkan teknologi distruktif  dari segala matra untuk melawan teroris.

Mulai hadirnya drone dengan segala kecanggihannya, munculnya ekosistem AI hingga melahirkan ide-ide tentara robot untuk mengurangi jumlah tentara AS yang tewas atau cacat di medan perang.

 

Startup menjadi kekuatan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara maju dengan menyokong startup baik dari segi pendanaan riset dan pasar market yang jelas.
Leonardo salah satu perusahaan startup yang kemudian berkembang menjadi perusahaan yang mengembangkan teknologi militer dengan model skema Iron Man.(dok Leonardo)

Di Indonesia pun potensi itu bisa dikembangkan sejak seorang calon pengusaha itu duduk di bangku kuliah.

Titik tertinggi bagi seorang calon enterpreneur adalah saat ia bisa bertemu dengan para investor, supervisi dan ahli marketing untuk mengungkapkan gagasan, ide dan bagaimana ide-ide itu terus bisa dikembangkan seterusnya.

“Model Iron Man ini harus diperkuat. Indonesia dengan kekuatan 70 juta warga milenial, harus didukung dengan hadirnya ekosistem yang mendukung mereka menjadi enterpreneur dengan memperbanyak inkubator, akselerator dan ruang untuk mereka bergerak.’

Ia menambahkan bahwa birokrasi dengan startup di Indonesia tidak inline karena birokrasi masih ketinggalan dan kuno.

Akhirnya yang terjadi di birokrasi lahir asosiasi-asosiasi yang diibaratkan sebagai negara baru tetapi tidak saling terkoneksi.

Menurutnya proses inovasi dan trasnformasi kolaborasi riset dan inovasi dalam penyelenggaraan di industri harus terjadi dan berkolaborasi.

Di Indonesia hal ini belum bisa. Banyak asosiasi di birokrasi tetapi belum diimplementasikan.  “Akhirnya banyak asosiasi menjelma sebagai negara baru,” kritiknya.

Namun belakangan ini ada beberapa founder startup memasuki dunia birokrasi dan mengubah konsep di birokrasi yang masih kuno dengan cara mereka berbisnis selama ini. Hal ini menjadi langkah positif agar bisa mengubah aturan birokrasi yang lambat.

Alexander memberi contoh bagaimana sebuah usaha rintisan drone cargo yang dibuat bekerja sama dengan LAPAN dengan anggaran Rp600 miliar selama lima tahun. Skema ini mirip model Iron Man.

Bahkan fasilitas milik LAPAN di Rumpin digunakan untuk pengembangan drone cargo 120 kg itu sebab Garuda Indonesia siap membeli produk tersebut.

Sebelumnya Garuda Indonesia pernah akan membeli drone cargo dari China namun terhalang regulasi karena drone masuk dalam ranah militer.

Dengan hadirnya startup yang didukung LAPAN ini, Garuda siap membeli produk dalam negeri tersebut.

“Namun kemudian yang terjadi saat tahun kelima Kemenristek dibubarkan dan menjadi BRIN. Termasuk LAPAN juga dibubarkan. Akhirnya proyek rintisan model Iron Man ini tidak lanjut berproduksi,” ungkapnya.

Sementara Jepang saat ini mulai membangun role model Iron Man untuk bidang pertahanan. Amerika Serikat sebagai pelopor, Kementerian Pertahanan telah mengucurkan US$4 miliar untuk mendanai 7 ribu startup kecil di bidang militer.

Dan di Eropa, empat negara Uni Eropa membangun kerjasama di bidang industri militer yang berdampak membuka lapangan kerja dan pendapatan.

Startup menjadi kekuatan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara maju dengan menyokong startup baik dari segi pendanaan riset dan pasar market yang jelas.
Pesawat NC-212 adalah pesawat penumpang sipil dan militer diproduksi oleh PT Dirgantara Indonesia di bawah lisensi CASA.(dok PT DI)

Di Indonesia, PT Dirgantara Indonesia telah menyediakan inkubator bisnis untuk industri penerbangan.

Model Iron Man ini bisa diterapkan di Indonesia dengan membangun kerjasama antarprovinsi.

Alexander mencontohkan empat provinsi dengan Pendapatan Asli Daerah (APD) yang tinggi bekerja sama membangun industri drone. Pabriknya bisa dibangun diantara 4 daerah itu.

Kemudian SDM bisa digabungkan dari empat daerah dan pendanaan riset dari empat daerah tersebut.

Sebab dengan mengandalkan pemerintah daerah akan lebih solid karena teknologi yang dihasilkan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. ***