Categories
Domestic S&T News

Indonesia, Surga Baru Perdagangan Karbon

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.

Indonesia juga telah mengambil peran aktif dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Bersama lebih dari 200 negara lainnya, Indonesia menyepakati komitmen melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai bagian dari implementasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Dalam diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, CEO TruCarbon, Debby Reynata, mengungkapkan berbagai potensi besar perdagangan karbon di Indonesia.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, dengan narasumber CEO TruCarbon, Debby Reynata (no 3 duduk dari kanan). (dok CTIS)

“Potensi karbon dari hutan Indonesia sangat besar, mencapai 240 juta ton per tahun. Untuk membangun proyek karbon di sektor kehutanan memang butuh waktu panjang, sekitar 30–40 tahun,” jelas Debby.

Ia menyebutkan bahwa dari total 120 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, sekitar 50 juta hektare merupakan hutan lindung, sementara 61 juta hektare lainnya adalah hutan produksi yang sangat potensial untuk proyek karbon.

Selain itu, terdapat sekitar 20 juta hektare hutan produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal. Area ini dianggap sangat cocok untuk pengembangan proyek karbon berbasis alam seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), ARR (Afforestation, Reforestation, and Revegetation), dan IFM (Improved Forest Management).

Secara keseluruhan, potensi karbon dari hutan Indonesia diperkirakan mencapai 2,8 miliar ton setara CO2 (tCO2e), angka yang diyakini mampu mendukung pencapaian target NDC.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Penanaman mangrove di pesisir pantai sebagai bagian gerakan blue carbon oleh Pemerintah RI. (dok CTIS)

Enam Tipe Proyek Karbon Berbasis Alam

Ia memaparkan bahwa terdapat enam tipe pendekatan utama dalam proyek karbon hutan yang bisa diterapkan di Indonesia, yakni:

  1. Penghutanan kembali (afforestation/reforestation)
  2. Pengelolaan hutan yang ditingkatkan (Improved Forest Management/IFM)
  3. Perlindungan dan restorasi tanah gambut
  4. Karbon biru (blue carbon) seperti mangrove
  5. Agroforestri atau sistem tumpang sari
  6. Konservasi kawasan dengan fungsi ekologis tinggi

“Agroforestri, misalnya, mampu menjaga kesehatan tanah karena vegetasinya tidak monokultur, dan memberikan alternatif pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat lokal,” tambahnya.

Standar Proyek Karbon Berkualitas

Debby juga menekankan pentingnya menjaga integritas proyek karbon. Beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi, antara lain:

  • Additionality (pengurangan emisi yang tidak akan terjadi tanpa proyek tersebut)
  • Kuantifikasi emisi
  • Titik acuan atau baseline
  • Risiko kebocoran (leakage)
  • Manfaat bersama (co-benefits)
  • Keberlanjutan atau permanence
Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Petugas Manggala Agni tengah memadamkan api saat karhutla di Riau. Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor risiko dalam proyek karbon. (Dok CTIS)

Sebagai contoh, hutan lindung yang secara teori tidak bisa masuk dalam proyek karbon karena status perlindungannya, dalam praktiknya bisa dipertimbangkan jika perlindungan tersebut tidak berjalan optimal, seperti masih terjadi pembalakan liar atau kebakaran hutan.

“Jika perlindungan tidak efektif dan proyek karbon justru mampu menjaga keberlanjutan hutan tersebut, maka itu bisa masuk ke dalam skema,” jelas Debby.

Ia juga menegaskan bahwa proyek karbon harus tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. “Warga desa yang semula menggantungkan hidup dari aktivitas seperti penebangan liar atau penambangan emas, harus dialihkan ke pekerjaan lain yang tetap menjaga hutan tetap lestari,” tambahnya.

Tantangan dan Peluang

Menurut Debby, pengembangan proyek karbon melibatkan tahapan panjang, mulai dari studi kelayakan, penyusunan dokumen desain proyek, pendaftaran dan validasi, pelaksanaan dan pemantauan (MRV), hingga verifikasi dan penerbitan kredit karbon.

Namun demikian, tidak semua proyek karbon memiliki tingkat kesulitan yang sama. Proyek di lahan gambut dinilai paling kompleks karena memerlukan pengelolaan air yang ketat. Sementara proyek di ekosistem mangrove menghadapi kendala keterbatasan lahan karena berada di wilayah pesisir.

TruCarbon sebagai project development menggandeng mitra strategis untuk memastikan ketersediaan data valid terkait kondisi hutan yang dijadikan objek proyek karbon.

Debby mengakui bahwa risiko tetap ada, seperti kebakaran di area konsesi, rendahnya kualitas pembeli, hingga fluktuasi tren pasar. “Pembeli karbon biasanya melihat tren. Kalau sedang ramai, mereka beli. Kalau tidak, ya ditinggalkan,” jelasnya.

Perdagangan Karbon di Indonesia masih Dini

Saat ini, perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal. Meski sejumlah proyek karbon sudah berjalan, skalanya masih terbatas.

“Indonesia sebenarnya sangat seksi di mata pembeli karbon internasional. Banyak dari mereka mulai masuk ke pasar Indonesia,” ungkap Debby.

Namun, perdagangan karbon domestik masih terhambat oleh ketiadaan regulasi yang mewajibkan perusahaan menetapkan batas emisi. Akibatnya, belum banyak perusahaan dalam negeri yang terdorong untuk ikut menjual kredit karbon.

“Selama ini hampir seluruh permintaan berasal dari luar negeri. Pemerintah sedang berupaya mendorong keterlibatan pelaku usaha dalam negeri, sambil mempersiapkan regulasinya,” pungkas Debby. ***

Categories
Domestic S&T News

Fenomena “Kabur Aja Dulu” dan Peran Strategis Diplomasi RI dalam Penguatan SDM Iptekin

Ungkapan kabur aja dulu belakangan kerap muncul di kalangan anak muda Indonesia, khususnya di media sosial. Istilah ini mencerminkan keinginan generasi muda untuk pergi ke luar negeri demi mencari peluang hidup yang lebih baik untuk belajar, bekerja, maupun membangun karier.

Fenomena ini tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial. Tak jarang, istilah tersebut digunakan sebagai bentuk sindiran atau ekspresi kekecewaan terhadap kondisi ketenagakerjaan nasional.

Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Kabur Aja Dulu Versus Kepentingan Nasional: Penguatan SDM Iptekin dan Paradigma Diplomasi RI ke Depan” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 23 Juli 2025.

Hadir sebagai narasumber, Susanto Sutoyo, mantan Duta Besar RI untuk Italia sekaligus Wakil Tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005–2008), menyampaikan bahwa istilah “kabur aja dulu” seharusnya tidak langsung dimaknai secara negatif.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Susanto Sutoyo (no 4 duduk dari kanan) mantan dubes RI untuk Italia, wakil tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005-2008) memaparkan fenomena kabur aja dulu dalam diskusi CTIS, Rabu 23 Juli 2025. (dok CTIS)

Fenomena ini harus dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Banyak anak muda Indonesia yang ingin mengeksplorasi talenta mereka ke luar negeri karena keterbatasan di dalam negeri, terutama pada sektor lapangan kerja,” ujarnya.

Susanto menekankan bahwa bonus demografi Indonesia seharusnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan. Ia menyebutkan bahwa banyak negara seperti Tiongkok, India, dan Korea Selatan telah berhasil mendorong warganya untuk bekerja atau magang di luar negeri—yang kemudian menjelma menjadi SDM unggul dengan peran strategis di kancah global, khususnya dalam bidang sains, teknologi, dan informasi.

“Kabur bukan berarti tidak nasionalis. Justru di sinilah peran para diplomat Indonesia diperlukan menjadi jembatan diplomasi, memfasilitasi penguatan SDM, dan memperkuat jejaring internasional,” lanjutnya.

Susanto juga menyoroti bahwa diplomat memiliki peran penting dalam menyikapi eksodus talenta muda Indonesia. Alih-alih melihatnya sebagai kegagalan negara, para diplomat bisa mengarahkan para WNI di luar negeri menjadi “kontributor global” melalui program-program produktif seperti pelatihan, forum mahasiswa, promosi budaya, hingga inkubasi usaha.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan menggunakan AI di kantor pusat WHO untuk para pemagang kerja dari berbagai negara. (Dok WHO)

Dalam paparannya, Susanto menyampaikan bahwa terdapat sejumlah program strategis di berbagai organisasi internasional seperti WHO dan ILO yang dapat diakses oleh SDM Indonesia, termasuk:

  • Training Program

  • Internship Program

  • Secondment Program

  • Junior Professional Officer (JPO) / Associate Expert Program

  • Visiting Scholars Program

Program-program ini berada di bawah naungan badan-badan dunia seperti PBB, dengan berbagai skema pendanaan, baik melalui direct payment (dibiayai oleh negara pengirim) maupun indirect payment (pemerintah mentransfer dana ke organisasi internasional untuk mendanai peserta).

Sebagai gambaran, WHO menetapkan biaya US$100.000–US$160.000 per tahun untuk skema indirect payment per peserta. Selain itu, negara pengirim juga diwajibkan membayar support cost sebesar 13 persen dari total pengeluaran tahunan untuk kebutuhan administratif seperti visa, izin tinggal, hingga akses ke gedung PBB.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan bioteknologi oleh WHO untuk para ahli bioteknologi di negara-negara miskin Afrika. (Dok WHO)

Susanto menegaskan bahwa sudah waktunya diplomasi Indonesia mengadopsi paradigma baru, yakni menjadikan penguatan kapasitas SDM di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) sebagai bagian dari kepentingan nasional.

“Penguatan kompetensi SDM Iptekin harus menjadi agenda utama diplomasi kita, bukan sekadar pelengkap. Ini adalah bentuk konkret dari upaya menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat global,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika dikelola dengan pendekatan inklusif dan suportif, fenomena “kabur aja dulu” dapat diarahkan menjadi gerakan “kembali membawa kontribusi”, baik melalui transfer ilmu, kolaborasi, maupun investasi SDM yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, diplomat Indonesia berperan sebagai penjaga, penghubung, dan pengarah. Mereka tidak hanya melindungi WNI di luar negeri, tetapi juga berkontribusi mengubah paradigma dari pelarian menjadi potensi. Dengan membaca dinamika diaspora sebagai masukan kebijakan, diplomasi Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem global yang mendukung pengembangan SDM unggul Indonesia ke depan. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari Petani untuk Dunia: Bioplastik Rumput Laut Buatan Indonesia

Indonesia tengah menghadapi darurat mikroplastik. Negara ini disebut sebagai yang tertinggi dalam konsumsi mikroplastik, setara ukuran satu kartu ATM setiap minggunya per orang. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi salah satu penghasil sampah mikroplastik terbesar di dunia.

Hal tersebut diungkapkan CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono, dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. Diskusi tersebut mengangkat tema Research-Based Seaweed Bioplastic Manufacturer.

“Sampah plastik dan mikroplastik harus dikurangi. Negara kepulauan seperti Indonesia terdampak langsung karena lautan kita penuh sampah,” ujar Noryawati.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik
CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono (duduk no 4 dari kiri) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. (dok CTIS)

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut, tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik. Bioplastik berbahan rumput laut dinilai lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.

Menurut Noryawati, nilai ekonomi rumput laut sebagai bahan pengganti plastik terus berkembang. Laporan Research and Markets memperkirakan pasar global bioplastik akan tumbuh dari US$10 miliar pada 2023 menjadi lebih dari US$27 miliar pada 2032.

“Rumput laut tumbuh cepat, tidak butuh lahan pertanian atau air tawar, bisa menyerap karbon, dan mudah dibudidayakan,” ujarnya.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik.
Lembaran bioplastik terbuat dari rumput laut produksi Biopac. (Dok CTIS)

Bioplastik dari rumput laut dapat digunakan untuk kemasan makanan, sachet, hingga pembungkus yang bisa terurai alami—bahkan dapat dimakan. Meski harganya masih tinggi, sekitar US$4,47 per lembar, produk ini menawarkan nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari rumput laut kering biasa.

Penelitian Noryawati yang dimulai sejak 2010 dan didukung L’Oreal For Women in Science, kini telah berkembang menjadi produk komersial melalui perusahaan yang ia dirikan: PT Seaweedtama Biopac Indonesia (BIOPAC). Perusahaan ini menjadi pelopor inovasi bioplastik dari rumput laut di Indonesia.

BIOPAC kini rutin menyerap hasil panen rumput laut petani melalui koperasi di Makassar dan Jakarta. Setiap empat bulan, perusahaan membeli hingga 8 ton rumput laut. Pola ini membantu petani memiliki pendapatan tetap dan mengurangi penumpukan hasil panen di gudang seadanya.

“Dengan adanya industri ini, petani tidak perlu lagi menyimpan rumput laut terlalu lama. Hasil panen bisa langsung dibeli,” kata Noryawati.

Dampaknya, selain membantu menjaga laut dari polusi plastik, juga meningkatkan kesejahteraan petani dan mencegah risiko sosial seperti perdagangan manusia akibat kemiskinan.

Produk-produk BIOPAC yang ramah lingkungan kini mencakup tas serut, tinta, kemasan makanan yang dapat dimakan, hingga kemasan sachet. Semua diproduksi menggunakan mesin buatan dalam negeri.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik.
Sabun berbahan baku rumput laut produksi Tanzif, dan dibungkus dengan bioplastik rumput laut yang diproduksi oleh Biopac. Sabun rumput laut untuk hotel di Bali. (Dok CTIS)

Dari sisi ekonomi, bioplastik berbasis rumput laut bernilai tinggi: Rp150.000–Rp300.000 per kilogram, dibanding rumput laut kering yang hanya Rp15.000–Rp25.000 per kilogram. Ini membuka peluang ekspor, terutama ke negara-negara Eropa yang sudah memperketat regulasi plastik konvensional.

“Bioplastik dari rumput laut mendukung ekonomi sirkular, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan industri hijau,” ujarnya.

Meski tantangan masih ada seperti biaya produksi tinggi dan keterbatasan skala industri, Noryawati optimistis bioplastik berbahan rumput laut bisa jadi solusi nyata bagi laut Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari polusi plastik. ***

Categories
Domestic S&T News

Langkah Indonesia Menuju Penerbangan Ramah Lingkungan

Perubahan iklim tidak hanya berdampak di darat dan laut, tetapi juga di udara. Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.

Menjawab tantangan tersebut, Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang, tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS.

“Ada dua jalur utama dalam pengembangan bahan bakar alternatif, yaitu untuk ketahanan energi dan untuk kepentingan lingkungan,” ujar Wendy.

Ia menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga mencapai net zero emission pada 2050, termasuk di sektor transportasi udara melalui pengembangan bioavtur sebagai alternatif dari avtur konvensional.

 Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.
Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang (duduk no 2 dari kiri), tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS. (Dok CTIS)

ICAO Dorong Reduksi Emisi Penerbangan Internasional

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengendalikan emisi karbon, termasuk melalui pengembangan Carbon Emissions Calculator (ICEC) yang memungkinkan penumpang menghitung jejak emisi perjalanan udara mereka. Alat ini diakui secara internasional dan mudah digunakan.

ICAO juga menerapkan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), sebuah skema global untuk menekan emisi karbon penerbangan internasional. Melalui CORSIA, maskapai wajib mengimbangi peningkatan emisi dengan penggunaan SAF, efisiensi operasional, atau pembelian kredit karbon.

“Maskapai punya tiga opsi untuk memenuhi CORSIA: menggunakan SAF, meningkatkan efisiensi penerbangan, atau membeli kredit karbon,” jelas Wendy.

SAF: Solusi Ramah Lingkungan untuk Aviasi

Menurut Wendy, penggunaan SAF harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca minimal 50%, bahkan hingga 80% dibandingkan avtur konvensional. SAF juga wajib diproduksi dari bahan non-fosil seperti limbah pertanian, minyak jelantah, limbah hutan, atau alga.

“Tidak boleh berasal dari lahan gambut atau hutan primer,” tegasnya.

Secara teknis, SAF harus memiliki karakteristik yang mirip dengan avtur agar dapat digunakan tanpa modifikasi mesin pesawat. SAF juga wajib melalui sertifikasi dari lembaga independen untuk memastikan kualitas dan keberlanjutannya.

Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.

Potensi Bahan Baku SAF di Indonesia

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan SAF. Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.

Dari seluruh sumber itu, kelapa sawit dan minyak jelantah menjadi bahan utama. Indonesia sendiri merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi 48,16 juta ton pada 2023. Sementara itu, produksi minyak jelantah nasional mencapai 3,9 juta ton per tahun.

“Inilah peluang Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri SAF global,” ujar Wendy.

Tantangan dan Harapan

Meski potensinya besar, harga bioavtur saat ini masih tergolong mahal dibandingkan avtur fosil. Namun Wendy menilai, investasi dalam SAF adalah langkah strategis untuk membangun industri penerbangan yang lebih hijau dan mandiri secara energi.

“Pengembangan bioavtur diharapkan bisa menjadi solusi ramah lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional,” pungkasnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Indroyono: Bangsa Ini Harus Memalingkan Pandangan ke Laut

Sebelum Republik Indonesia berdiri, kerajaan-kerajaan besar di Nusantara telah menunjukkan kekuatan sebagai negeri bahari. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa dua pertiga wilayah Indonesia merupakan lautan.

Sejumlah kerajaan maritim seperti Sriwijaya, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, hingga Mataram berkembang pesat berkat jalur perdagangan laut. Kapal-kapal dagang dari India, Tiongkok, Arab, hingga Eropa rutin singgah di pelabuhan-pelabuhan strategis di Nusantara.

Pelabuhan seperti Sriwijaya, Majapahit, Tuban, Gresik, Barus, Banten, Banda, Ambon, dan lainnya menjadi simpul perdagangan rempah-rempah, emas, dan barang bernilai lainnya. Teknologi pelayaran pun telah dikuasai masyarakat Nusantara sejak lama melalui pembuatan kapal seperti jukung, pinisi, dan jong.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Prof. Indroyono Soesilo (duduk no 3 dari kiri), mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), sebagai narasumber diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025. (dok CTIS)

Hal ini disampaikan oleh Prof. Indroyono Soesilo, mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) dalam diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025.

VOC Ubah Arah dari Laut ke Darat

Menurut Indroyono, kejayaan maritim Nusantara perlahan memudar sejak kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada awal abad ke-17. VOC datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga memonopoli jalur laut dan perdagangan rempah.

VOC mendirikan pos dagang dan benteng di Batavia, Ambon, Banda, dan memaksa masyarakat beralih dari sektor kelautan ke sektor agraris. Perkebunan kopi, tebu, dan rempah-rempah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa.

“VOC bahkan menekan raja-raja lokal untuk menutup pelabuhan agar monopoli dagang berjalan mulus. Sejak itu, orientasi bangsa berubah dari negeri bahari menjadi negeri daratan,” tegasnya.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Kapal bantu rumah sakit produksi PT PAL Indonesia. (dok PT PAL)

Deklarasi Djoeanda dan Visi Maritim Indonesia

Indroyono mengingatkan bahwa semangat maritim sempat kembali menguat saat Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.

Deklarasi ini menjadi dasar pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diperkuat dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.

Pada 1996, semangat pembangunan maritim kembali digaungkan oleh Presiden BJ Habibie (saat itu masih menjadi Menristek/Kepala BPPT) melalui inisiatif pembangunan benua maritim Indonesia yang ditandatangani di Makassar oleh berbagai lembaga negara.

Presiden setelahnya, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono ikut melanjutkan upaya pembangunan maritim. Di era Joko Widodo–Jusuf Kalla pada 2014, visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia diperkenalkan, lengkap dengan lima pilar pembangunan maritim.

Presiden juga menerbitkan Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang mencakup tujuh pilar utama seperti pengelolaan sumber daya laut, infrastruktur, pertahanan, hingga budaya bahari dan diplomasi maritim.

Namun, kata Indroyono, implementasi kebijakan ini tidak berlanjut secara konsisten. Bahkan Kementerian Kemaritiman telah dilebur, dan banyak program kelautan terabaikan.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Nelayan Indonesia penyangga budaya maritim. (Dok ESDM)

Saatnya Kembali ke Laut

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati,” ujarnya.

Ia menyoroti pentingnya pendidikan dan pelestarian sejarah maritim untuk generasi muda. Salah satunya melalui kunjungan ke Museum Bahari atau pelajaran sejarah tentang armada laut kerajaan seperti pasukan Sultan Agung yang dulu menyerbu Batavia melalui laut.

Ia juga menyinggung sosok Laksamana Alfonso de Albuquerque, arsitek ekspansi Portugis ke Asia Tenggara melalui laut yang berhasil menjalin hubungan dengan Sultan Ternate.

“Laut adalah kekuatan ekonomi, ketahanan, dan budaya kita,” tegasnya.

Indroyono menambahkan bahwa Indonesia sudah memiliki roadmap Blue Economy, yakni pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Hal ini juga berkaitan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang harus dicapai sebelum 2030.

“Semua perangkat hukum sudah ada. Tinggal dilaksanakan. Mulai dari pembangunan pelabuhan-pelabuhan dagang modern, hingga mengaktifkan kembali pelayaran nasional. Kalau sudah disiapkan infrastrukturnya, maka industri dan tenaga kerja akan mengikuti,” pungkasnya. ***