Categories
Domestic S&T News

Ekonomi Berbasis Iptek Harus Jadi Prioritas Negara

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Namun, langkah ini dinilai belum menjadi prioritas utama.

Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang, dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini belum mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarak salah satu penyebabnya karena minimnya pemanfaatan  iptek.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang (duduk no 3 dari kiri), dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025). (Dok CTIS)

“Peran negara dalam membangun perekonomian berbasis  (iptek) harus ditingkatkan, karena sektor swasta /perusahaan di Indonesia saat ini umumnya masih berorientasi jangka pendek dan disibuki berbagai kewajiban, aturan dan prosedural yang kerap berubah . Belum banyak yang berperan dalam membangun industri  berbasis iptek,” ujarnya.

Wendy mencontohkan, dalam mengembangkan industri transportasi publik seperti kereta api, di sini negara harus hadir karena customernya hanya “tunggal” yaitu negara.  Iptek dan industri yang menyangkut kepentingan negara seperti Hankam, Industri Pangan Pokok, Kedirgantaraan dan Antariksa , Riset Kelautan; dan sektor-sektor strategis lainnya harus diperankan oleh negara karena menyangkut NKRI, persaingan negara, dan kemandirian negara. Jadi tidak boleh dibiarkan sepenuhnya   kepada swasta karena orientasinya berbeda, meskipun tentunya dimungkinkan kerjasama dan partisipasi swasta  di tahap hilirnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek
Negara harus hadir dalam pengembangan transportasi publik seperti kereta api karena customer tunggal yaitu negara.  (Dok PT KAI)

Ia juga menyoroti dukungan pemerintah terhadap lembaga Iptek yang cenderung menurun, seperti terlihat dari berkurangnya support dan perhatian terhadap sejumlah lembaga yang lahir sejak era Presiden Soekarno hingga BJ Habibie dan SBY, seperti LAPAN, LIPI, BATAN, BPPT, Bapeten; dan litbang-litbang sektor yang seyogyanya diharapkan menjadi penopang Iptek nasional. “Lembaga iptek yang ada masih sangat sedikit. Indonesia sebagai negara besar seharusnya memiliki lebih banyak institusi /pusat iptek, bukan dikurangi” tambahnya.

Sejarah menunjukkan, Soekarno merancang penguasaan teknologi kedirgantaraan agar Indonesia mampu memproduksi pesawat penghubung antarpulau. Cita-cita itu kemudian diwujudkan BJ Habibie dengan pengembangan pesawat komuter, industri pertahanan, serta berdirinya PT PAL, PT PINDAD, dan PT Dirgantara Indonesia. Habibie juga memperluas iptek di sektor pangan, kelautan, dan energi.

Namun, menurut Wendy, political will dalam pengembangan iptek kini cenderung semakin meredup. Lembaga R&D yang ada bahkan sudah “dilebur” ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berubah orientasinya. “Negara harus hadir di sektor pangan dan komoditas pokok, kesehatan, pertahanan, kelautan, dan sektor strategis lainnya. BRIN jangan hanya mengurusi riset, tetapi juga harus banyak aspek pengembangan (development),” tegasnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ia juga menilai di beberapa aspek adanya “back-log” peraturan dan kebijakan menyebabkan terjadinya  “pembiaran”  yang  menyebabkan akumulasi permasalahan publik yang semakin sulit  diselesaikan. Salah satunya kasus truk ODOL (Over Dimension Over Loading) yang terus berlarut. “Padahal bila sejak awal peraturan diikuti dengan benar bisa diatasi dengan optimalisasi jembatan timbang dan integrasi teknologi ETLE serta WIM (Weight-in-Motion), atau teknologi lainnya,” katanya.

Peserta diskusi  menekankan dalam peningkatan peran Iptek bagi pembangunan pentingnya konsep sinergi antara pemerintah, dunia usaha, Universitas; dan pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi ini  dinilai krusial untuk mendorong inovasi dan membangun ekonomi berbasis iptek yang dapat lebih  memakmurkan rakyat. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari Konsumen ke Inovator: Masa Depan Industri Kedirgantaraan RI

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Bayangkan bila suatu hari pesawat hemat energi buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bisa menghubungkan kota-kota kecil, atau satelit karya anak bangsa mampu memantau cuaca, pertanian, dan bencana. Itu bukan mimpi, asalkan strategi pembangunan teknologi dirancang sejak sekarang.

Riset dan SDM Jadi Fondasi

Langkah awal adalah memperkuat riset. PTDI dan BRIN harus mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan teknologi pesawat, drone logistik, hingga satelit. Kerja sama dengan universitas dan mitra internasional bisa mempercepat penguasaan teknologi.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Namun, secanggih apa pun teknologinya tidak akan berarti tanpa manusia yang menguasai. Karena itu, Indonesia harus melahirkan lebih banyak SDM unggul di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Penguasaan matematika, fisika, dan komputer sejak dini menjadi syarat mutlak agar anak muda siap menjadi insinyur, teknisi, maupun peneliti penerbangan.

Tantangan Nyata

Prospek industri kedirgantaraan memang besar, tetapi masalahnya juga banyak:

• Anggaran riset terbatas sehingga inovasi sering berhenti di tahap prototipe.

• Ketergantungan impor komponen penting masih tinggi, mulai dari avionik hingga material khusus.

• Kekurangan tenaga ahli di bidang aerodinamika, material komposit, hingga kecerdasan buatan (AI) untuk navigasi.

• Rantai pasok industri lokal masih lemah, UKM belum sepenuhnya terlibat.

• Birokrasi dan regulasi lambat, kerap menghambat pengembangan produk baru.

Jika masalah-masalah ini tidak diatasi, sulit bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dulu menguasai teknologi penerbangan dan antariksa.

Alih Teknologi: Dari “Transfer” ke “Development”

Selama ini kita akrab dengan istilah technology transfer. Namun, istilah ini menyesatkan karena memberi kesan prosesnya sederhana—teknologi tinggal dipindahkan begitu saja dari negara maju ke negara berkembang. Padahal, alih teknologi jauh lebih rumit.

Lebih tepat jika dipahami sebagai technology development, cooperation, and transaction through its stages.

• Development (Pengembangan): teknologi harus dikuasai, dimodifikasi, hingga bisa dikembangkan mandiri.

• Cooperation (Kerja Sama): alih teknologi menuntut kolaborasi, misalnya riset bersama atau produksi bersama.

• Transaction (Transaksi): teknologi selalu terkait lisensi, kontrak, dan negosiasi komersial.

Dengan kerangka ini, alih teknologi tidak lagi dipahami sebagai ketergantungan, tetapi sebagai proses membangun kapasitas nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ekosistem Industri dan Investasi

B.J. Habibie bukan hanya dikenal sebagai Presiden RI ke-3, tetapi juga tokoh teknologi kelas dunia. Salah satu gagasannya yang menarik adalah Holistic Technology Proficiency Development and Acquisition (berdasarkan pemahaman penulis), atau secara sederhana:  menguasai teknologi secara utuh mulai dari hilir dan secara bertahap menguasai pengetahuan dan proses hulunya, atau dari assembling, manufaktur, modifikasi, desain bersama, desain mandiri, dan meneliti untuk keunggulan kompetitif. Filosofi ini dikenal dengan ungkapan: Start from the End, End with the Beginning”.

Apa maksudnya? Habibie menekankan bahwa untuk bisa mandiri dalam teknologi, bangsa kita harus berani menguasai produk teknologi terkini, canggih, atau strategis untuk kebutuhan dalam negeri yang belum kita kuasai secara pragamatis melalui proses yang berbasis filosofi di atas . Misalnya pesawat terbang, kapal selam, atau kereta super-cepat. Dari sana, kita bisa belajar bukan hanya tentang produk akhirnya, tetapi juga seluruh proses produksinya—mulai dari bahan baku, kualitas, standar keamanan, hingga industri pendukungnya.

Pertama, penguasaan teknologi dimulai dari penguasaan teknologi manufaktur produk canggih yang strategis bagi negara, seperti pesawat transportasi, kapal selam, atau kereta super-cepat. Tahap ini mencakup pemahaman proses produksi secara menyeluruh: mulai dari persyaratan teknis, pengendalian mutu, jaminan kualitas, hingga pengembangan industri hulu yang menopang ekosistem produksi.

Kedua, setelah menguasai dasar-dasar manufaktur, langkah berikutnya adalah mengembangkan kemampuan kreatif untuk menciptakan produk baru. Proses ini dilakukan melalui kerja sama yang komprehensif, baik dalam riset, produksi, sertifikasi mutu, maupun perluasan pasar global.

Ketiga, kemampuan kreatif yang sudah terbentuk harus diarahkan menuju kemandirian. Artinya, bangsa ini mampu mengembangkan produk baru secara mandiri, termasuk proses produksi, jaminan mutu, dan pemasaran global, sehingga dapat mendorong daya saing industri nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter militer. (Dok PTDI)

Keempat, pengembangan kreativitas perlu terus ditopang oleh riset yang komprehensif, dengan menetapkan prioritas riset terapan tanpa melupakan riset dasar. Pada tahap ini, penguatan kapasitas sumber daya manusia berbasis STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika) menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan inovasi.

Keempat tahap tersebut dapat dijalankan secara paralel maupun bertahap, bergantung pada kesiapan sumber daya manusia di setiap bidang. Masalah yang muncul dalam proses penguasaan teknologi dapat dipecahkan melalui riset dan pemanfaatan lembaga penelitian dalam negeri, sehingga terbentuk ekosistem industri nasional yang matang dan berdaya saing.

Akhirnya, semua itu perlu dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri dan lapangan kerja, seperti yang pernah dicanangkan konteknya  oleh Prof.Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998 dengan istilah “link and match”, yang merupakan bagian/subsistem system Pendidikan holistic berkelanjutan mulai dari usia dini sampai S1 (untuk zaman sekarang ini) yang harus dilakukan Pemerintah atas mandat dari rakyat. Demikian juga, pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati maupun non-hayati, yang harus dilakukan secara progresif dan berkelanjutan untuk membentuk ekosistem hulu-hilir yang kondusif.

Dengan pendekatan holistik inilah, warisan pemikiran B.J. Habibie memberi inspirasi tentang bagaimana bangsa ini dapat membangun kemandirian teknologi sekaligus memperkuat daya saing industri nasional di era global.

Jika ini dilakukan, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta dan pemain utama di panggung global.***

 

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Opini ini ditulis oleh :

Prof Harijono Djojodiharjo Sc.D.,IPU, ACPE

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) periode 1999-2000, anggota CTIS

Categories
Domestic S&T News

Dosen ITB Kembangkan Kendaraan Listrik Modular untuk Daerah Terpencil

Indonesia adalah negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sangat beragam. Banyak wilayah, khususnya daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), masih menghadapi keterbatasan akses transportasi. Jalan yang sulit ditembus, ketiadaan bahan bakar minyak (BBM), hingga minimnya infrastruktur membuat warga kesulitan melakukan distribusi barang.

Petani di wilayah 3T seringkali terhambat menjual hasil panen ke luar desa. Sebaliknya, pasokan bahan bangunan maupun kebutuhan logistik dari luar pun sulit masuk. Kondisi ini mengakibatkan disparitas pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin lebar.

Inovasi Transportasi dari ITB

Menjawab persoalan tersebut, Dr. Bismo Jelantik Joyodiharjo, M.Ds., dosen Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), memperkenalkan inovasi kendaraan serbaguna bernama Modultrax (Modular Utility Transport-All Terrain).

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat. Bismo memaparkan hal ini dalam diskusi yang digelar Center for Technological and Innovation Studies (CTIS), Rabu (10/9/2025).

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Dr. Bismo Jelantik Joyodiharjo, M.Ds., (duduk no 3 dari kiri) dosen Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), memperkenalkan inovasi kendaraan serbaguna bernama Modultrax (Modular Utility Transport-All Terrain). (Dok CTIS)

“Modultrax dikembangkan dengan metode desain MPS (Mimicry, Process, System). Prinsipnya adalah kendaraan bisa meniru fungsi yang dibutuhkan masyarakat, mengikuti proses yang sederhana, dan membentuk sistem yang terintegrasi dengan ekosistem energi dan logistik di desa,” jelas Bismo.

Dari Distribusi Vaksin hingga Solusi Energi

Awalnya, Modultrax dirancang untuk menjawab tantangan distribusi vaksin Covid-19 ke daerah terpencil. Namun, konsepnya berkembang menjadi lebih luas.

Kendaraan ini dilengkapi dengan sistem kargo modular yang bisa dipasangi rak pengangkut, alat pertanian, atau peralatan medis. Bahkan, Modultrax mampu menjadi sumber energi portabel.

“Di daerah yang tidak ada pasokan BBM, kita kembangkan Modultrax sekaligus dengan ekosistem pembangkit listrik modular. Jadi kendaraan ini tidak hanya mengangkut barang, tapi juga bisa menjadi powerbank mobile untuk sekolah, pusat kesehatan, atau kebutuhan masyarakat sehari-hari,” ujar Bismo.

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Prototipe Modultrax telah diuji coba di Desa Matotonan, Pulau Siberut, Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat. (Dok Instagram Modultrax)

Kendaraan Listrik Serbaguna

Karena tidak ada pasokan BBM di daerah 3T, Modultrax dirancang menggunakan tenaga listrik berbasis baterai. Dalam uji coba, kendaraan ini mampu menempuh jarak sekitar 50 km sekali pengisian daya.

Secara bentuk, prototipe Modultrax menyerupai motor trail. Bedanya, rangkanya dirancang modular sehingga mudah dipasang-lepas sesuai kebutuhan. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) kendaraan ini sudah mencapai lebih dari 75 persen, menegaskan bahwa desainnya benar-benar karya anak bangsa.

Uji Coba di Mentawai

Prototipe Modultrax telah diuji coba di Desa Matotonan, Pulau Siberut, Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat. Di desa yang cukup terpencil ini, kehadiran Modultrax langsung menunjukkan dampak signifikan.

Selain mempermudah transportasi hasil pertanian dan distribusi logistik, kendaraan ini digunakan untuk penyimpanan dan distribusi energi listrik. Modultrax bahkan dijadikan powerbank besar di sekolah dan pusat kegiatan warga, serta mendukung mitigasi bencana dengan memberi pasokan daya untuk sistem peringatan dini.

“Uji coba ini sangat penting. Dari sana kita bisa melihat kelebihan dan kekurangan yang nantinya jadi masukan untuk penyempurnaan desain,” kata Bismo.

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Awalnya Modultrax dirancang untuk menjawab tantangan distribusi vaksin Covid-19 ke daerah terpencil. Namun, konsepnya berkembang menjadi lebih luas. (Dok Instagram Modultrax)

Dari Laboratorium ke Industri

Pengembangan Modultrax sudah berlangsung sejak 2021 melalui riset di FSRD ITB yang bekerja sama dengan PT Ganding Toolsindo. Mulanya, desain dibuat dengan teknologi 3D Computer Aided Design (CAD), sebelum diwujudkan menjadi prototipe fisik.

Kerja keras ini membuahkan pengakuan internasional. Pada tahun 2023, Modultrax meraih Good Design Award, salah satu penghargaan desain bergengsi dunia. Inovasi ini juga telah dipamerkan di berbagai ajang pameran teknologi dan desain.

Bismo berharap Modultrax bisa segera masuk dalam e-katalog pemerintah agar dapat diproduksi massal. Dengan begitu, kendaraan ini tidak hanya membantu mobilitas di daerah 3T, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.

“Jika sudah masuk ke industri, Modultrax bisa membuka banyak lapangan kerja. Inovasi ini membuktikan bahwa keilmuan desain produk, jika dikolaborasikan dengan industri, bisa menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Kuala Tanjung–Batam Disiapkan Jadi Hub Logistik Strategis di Selat Malaka

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.

Skema kerja sama ini diharapkan mampu menekan biaya distribusi dan memperkuat daya saing Indonesia di jalur strategis Selat Malaka.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi mencapai Rp43 triliun hingga 2028. Pelabuhan ini ditargetkan menjadi hub logistik dan transhipment port bertaraf internasional.

Pembangunan dimulai sejak Januari 2015 dan mulai beroperasi bertahap pada 2018. Namun, sejumlah persoalan masih perlu diselesaikan agar tujuan sebagai pelabuhan internasional tercapai.

Dalam diskusi yang digelar CTIS pada Rabu (3/9/2025), topik prospek Kuala Tanjung sebagai hub internasional dibahas bersama narasumber Harmon Yunaz (mantan Direktur PT Inalum 2009–2016), Kepala Bappeda Batu Bara Arif Hanafiah, dan praktisi swasta Refnil Dodi.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Diskusi yang digelar CTIS pada Rabu (3/9/2025), topik prospek Kuala Tanjung sebagai hub internasional dibahas bersama narasumber Harmon Yunaz (mantan Direktur PT Inalum 2009–2016, duduk no 2 dari kanan), Kepala Bappeda Batu Bara Arif Hanafiah (duduk paling kiri), dan praktisi swasta Refnil Dodi (duduk paling kanan). (Dok CTIS).

Harmon Yunaz menegaskan pentingnya kerja sama lintas pihak. “Pemerintah sudah banyak berinvestasi. Jalan tol, rel kereta, pipa gas, dan kawasan industri Sei Mangkei sudah siap. Tinggal Pelabuhan Kuala Tanjung yang perlu dibenahi,” ujarnya. Ia juga menyoroti peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha agar berkoordinasi dalam satu arah.

Salah satu strategi yang dibahas adalah sinergi dengan Pelabuhan Batam. Skema yang dijajaki meliputi pembagian peran sebagai hub dan pelabuhan pengumpan, atau sistem “calling 1” dan “calling 2” untuk kapal besar. “Biaya transshipment di Batam 30–40 persen lebih murah dibanding Singapura. Diharapkan Kuala Tanjung bisa bersaing dengan angka itu,” tambah Harmon.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Kehadiran Pelabuhan Kuala Tanjung untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei. (Dok Kementerian Keuangan)

Dari sisi tata ruang,  seperti disampaikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Batu Bara, Arif Hanaifah, Pemkab Batu Bara telah menetapkan Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2020–2040, yang memasukkan 6.275 hektare kawasan industri dari total 88 ribu hektare wilayah kabupaten.

Pemkab juga menyiapkan lahan reklamasi 12 ribu hektare, mendukung penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah, hingga mendorong pendidikan vokasi serta kerja sama internasional untuk mendukung SDM kawasan industri Sei Mangkei.

Gebrakan lainnya yang dilakukan Pemkab Batu Bara adalah lahirnya Perda kawasan perkebunan yang semula berstatus HGU, ketika masa kontrak sudah habis dan akan diperpanjang, statusnya menjadi HGB.

“Daerah-daerah tertentu dari HGU menjadi HGB ada sekitar seribu hektar, dan berpotensi menjadi kawasan permukiman, dan perdagangan karena jaraknya  16 km dari pelabuhan,” kata Arif.

Pemkab Batu Bara juga mempermudah persyaratan berinvestasi.

Dukungan lainnya, Pelindo selaku pengelola menyerahkan operasional Terminal Peti Kemas (TPK) Belawan kepada PT Prima Multi Terminal (PMT Kuala Tanjung) sebagai bagian dari strategi peningkatan kinerja.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Pelabuhan Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. (Dok Pelindo)

Refnil Dodi dari pihak swasta menilai Kuala Tanjung memiliki keunggulan geografis karena berada di jalur utama Selat Malaka. Selain itu, pelabuhan ini memiliki kolam dengan kedalaman minus 17 meter LWS, sehingga mampu melayani kapal panjang 250 meter dengan kapasitas 10.000–30.000 ton atau setara 4.000 TEUs peti kemas.

Dengan dukungan infrastruktur modern dan integrasi dengan KEK Sei Mangkei, Kuala Tanjung diyakini berpotensi besar menjadi hub logistik internasional yang dapat menekan biaya distribusi dan memperkuat daya saing nasional. ***