Categories
Domestic S&T News

Tata Kelola Logam Tanah Jarang, Fokus Hilirisasi dan Industri Pertahanan

Indonesia dikenal sebagai produsen utama nikel, bauksit, timah, dan tembaga. Di dalam sumber-sumber mineral tersebut, terdapat mineral ikutan bernilai tinggi, termasuk mineral kritis, mineral strategis, serta Logam Tanah Jarang (LTJ).

Pemerintah kini memperkuat reformasi tata kelola mineral dengan fokus khusus pada LTJ dan mineral radioaktif, agar potensi besar yang dimiliki Indonesia dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan kementerian dan lembaga terkait menyiapkan tata kelola LTJ dan radioaktif secara terpadu dari hulu hingga hilir.

Pemerintah kini memperkuat reformasi tata kelola mineral dengan fokus khusus pada LTJ dan mineral radioaktif untuk perekonomian nasional
Diskusi CTIS pada Rabu, 10 Desember 2025, menghadirkan Dr. Julian Ambassadur S., ST., MT., Deputi Sistem dan Tata Kelola Badan Industri Mineral (BIM) (duduk no 3 dari kanan), yang membawakan tema “Tata Kelola Industri LTJ dan Radioaktif.” (Dok CTIS)

Isu tersebut menjadi fokus diskusi yang digelar CTIS pada Rabu, 10 Desember 2025, menghadirkan Dr. Julian Ambassadur S., ST., MT., Deputi Sistem dan Tata Kelola Badan Industri Mineral (BIM), yang membawakan tema “Tata Kelola Industri LTJ dan Radioaktif.”

Potensi LTJ Indonesia

Julian mengungkapkan, hasil pemetaan menunjukkan LTJ telah teridentifikasi di 28 lokasi. Sebanyak 9 lokasi telah dieksplorasi awal, dan 3 di antaranya sudah dipetakan secara detail, mencakup wilayah Bangka Belitung dan Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Secara global, rantai pasok LTJ saat ini masih dikuasai China. Situasi geopolitik, termasuk perang Rusia-Ukraina, juga berdampak pada pasokan mineral strategis ini. Julian menyebut bahwa Presiden AS Donald Trump sebelumnya memasukkan isu eksplorasi LTJ dalam poin negosiasi perdamaian Rusia-Ukraina, dan LTJ menjadi bagian dari kebijakan pengurangan tarif dagang untuk Indonesia.

Di sisi lain, embargo AS terhadap China menciptakan krisis akses LTJ. Negara-negara seperti AS dan Uni Eropa kini mendorong investasi daur ulang limbah elektronik untuk mengekstraksi unsur LTJ. “Banyak negara tanpa sumber daya mineral lebih memilih membeli bahan mentah daripada membangun smelter,” jelas Julian.

Pemerintah kini memperkuat reformasi tata kelola mineral dengan fokus khusus pada LTJ dan mineral radioaktif, untuk perekonomian nasional
Logam Tanah Jarang

Indonesia Dorong Hilirisasi

Dengan dinamika global tersebut, Indonesia berupaya mencegah hilangnya potensi LTJ yang terkandung sebagai mineral ikutan, sekaligus mempercepat hilirisasi dan industrialisasi material maju sebagai fondasi kemajuan bangsa.

“Pemerintah membentuk Badan Industri Mineral (BIM) untuk mengoptimalkan nilai tambah mineral strategis dan memperkuat perekonomian nasional,” kata Julian.

BIM merupakan lembaga non-struktural baru yang dibentuk Presiden Prabowo pada Agustus 2025 untuk mengelola mineral strategis, termasuk LTJ dan mineral radioaktif. Brian Yuliarto ditunjuk sebagai Kepala BIM.

Lembaga ini berperan mendukung industri pertahanan, hilirisasi, serta riset dan pengembangan teknologi pengolahan mineral bernilai tinggi.

Payung Regulasi LTJ dan Radioaktif

Sejumlah aturan terkait LTJ sudah tersedia, di antaranya:

  • Kepmen ESDM No. 296.K/MB.01/MEM.B/2023: menetapkan 47 mineral kritis, termasuk LTJ.
  • PP 96/2021: memasukkan LTJ sebagai mineral logam.
  • PP 39/2025 Pasal 18A: mengamanatkan pengusahaan dan pemanfaatan LTJ yang akan diatur lebih lanjut dalam Permen.
  • Permen ESDM No. 18/2025 Pasal 4: memberi mandat kepada BUMN untuk mengelola LTJ dan memprioritaskan pemanfaatannya di dalam negeri.

Untuk mineral radioaktif, regulasi mengacu pada PP 27/2002 dan PP 39/2025 tentang pemanfaatan mineral radioaktif sebagai sumber energi baru. Julian menegaskan, “Perpres khusus LTJ sedang dipersiapkan. Prinsipnya, pengelolaan tidak diserahkan langsung ke swasta, tetapi melalui kerja sama dengan BUMN Perminas.”

Pemerintah kini memperkuat reformasi tata kelola mineral dengan fokus khusus pada LTJ dan mineral radioaktif untuk perekonomian nasional

Tantangan: Data, Teknologi, dan SDM

Julian menekankan bahwa pengembangan LTJ membutuhkan identifikasi sumber daya yang akurat, baik sumber primer maupun sekunder. Saat ini, data nasional mengenai sebaran LTJ dan status pemanfaatannya masih terbatas. “Pemetaan dan uji unsur menjadi prioritas utama,” ujarnya.

Tantangan lain adalah teknologi pemisahan LTJ, yang di Indonesia masih berada pada level laboratorium. Upaya pilot project sudah dilakukan, antara lain kerja sama Tekmira ESDM dan PT Timah untuk pemurnian dari hidroksida ke oksida.

Dubes RI untuk AS, Indroyono Soesilo, yang hadir melalui Zoom, menyoroti pentingnya pengembangan SDM dan peluang kolaborasi riset. “Universitas Iowa sudah menyiapkan laboratorium untuk joint research. Skema pendanaan bisa cost sharing antara LPDP dan mitra AS. AS sudah siap; sekarang giliran Indonesia menentukan posisi,” ujarnya.

Prof. Budi Susilo Soepandji, Gubernur Lemhannas 2011-2016, menambahkan bahwa pengembangan LTJ dalam skala pilot membutuhkan dana besar, yang akan didukung oleh Danantara. Ia juga menyoroti bahwa sejumlah kebijakan politik terkait mineral strategis masih menunggu penandatanganan di tingkat presiden.

Arah Pengembangan ke Depan

Julian menjelaskan bahwa pemetaan lanjutan LTJ tengah dilakukan di Mamuju dan Bangka Belitung, termasuk pengeboran 30 sumur untuk karakterisasi. Metode pemisahan LTJ masih dikaji untuk menentukan biaya dan teknologi terbaik sebelum diajukan ke pemerintah.

“Fokus kami adalah kejelasan data, penguasaan teknologi, dan tata kelola yang kokoh. Semuanya menentukan keberhasilan Indonesia dalam membangun industri LTJ,” tutup Julian. ***

Categories
Domestic S&T News

Kanada Maksimalkan Air dan Nuklir dalam Roadmap Nol Emisi 2050

Kanada menetapkan target ambisius mencapai nol emisi karbon pada 2050. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara ini telah merancang roadmap transisi energi yang menitikberatkan pada pemanfaatan kekayaan sumber daya alam, terutama melalui pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Isu tersebut mengemuka dalam diskusi CTIS yang digelar pada Rabu, 3 Desember 2025. Diskusi menghadirkan Dr. Mundzir Basri, Technical Director Hydrogeology Modeling, Minerals and Metals North America AtkinsRealis, yang menyampaikan paparannya langsung dari Kanada melalui Zoom. Tema yang dibahas adalah “Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir”.

Kanada menetapkan target ambisius mencapai nol emisi karbon pada 2050.
Diskusi CTIS menghadirkan Dr. Mundzir Basri (tengah layar zoom), Technical Director Hydrogeology Modeling, Minerals and Metals North America AtkinsRealis, yang menyampaikan paparannya langsung dari Kanada melalui Zoom, dengan tema “Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir”, Rabu 3 Desember 2025. (Dok CTIS)

PLTA sebagai Andalan Energi Rendah Emisi

Dalam paparannya, Mundzir menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan PLTA di Kanada berada pada tingkat provinsi. Ia mencontohkan Provinsi Manitoba sebagai wilayah dengan ketergantungan energi air tertinggi di dunia. Hampir 97 persen kebutuhan listrik provinsi itu dipenuhi oleh PLTA yang dikelola perusahaan milik pemerintah, Manitoba Hydro.

Manitoba memanfaatkan aliran deras sungai-sungai besar di wilayah utara tanpa merusak hutan, sehingga mampu mengoperasikan PLTA berskala raksasa yang bukan hanya memasok kebutuhan domestik, tetapi juga mengekspor listrik ke Amerika Serikat, termasuk ke Minnesota, North Dakota, dan Wisconsin.

Kanada menetapkan target ambisius mencapai nol emisi karbon pada 2050
Keeyask Generating Station di Sungai Nelson (dok Manitoba Hydro)

Sejumlah PLTA besar di Manitoba antara lain:

  • Limestone Generating Station1 – 1.340 MW
  • Kettle Generating Station – 1.220 MW
  • Long Spruce Generating Station – 1.010 MW
  • Keeyask Generating Station – 695 MW (beroperasi penuh sejak 2022)
  • Wuskwatim Generating Station – 200 MW

“Dengan kapasitas besar, emisi rendah, dan pasokan yang stabil, PLTA Manitoba menjadi pilar utama ketahanan energi Kanada,” ujar Mundzir.

Nuklir: Kebijakan Nasional dan Tulang Punggung Transisi Energi

Berbeda dengan PLTA, pembangunan PLTN merupakan kebijakan tingkat nasional. Kanada dikenal sebagai negara maju dalam teknologi nuklir, khususnya melalui pengembangan reaktor CANDU (CANada Deuterium Uranium).

“Nuklir membutuhkan air untuk beroperasi. Air dan nuklir berjalan beriringan dalam sistem energi Kanada,” jelas alumnus ITB itu.

CANDU merupakan teknologi reaktor air berat yang lebih modern dibanding teknologi lama yang digunakan di PLTN seperti Fukushima atau Chernobyl. Reaktor CANDU telah diekspor ke berbagai negara, termasuk Korea Selatan, Rumania, Argentina, India, dan Tiongkok.

Kanada menetapkan target ambisius mencapai nol emisi karbon pada 2050.
Bruce Nuclear Generating Station menampung delapan reaktor CANDU. (Dok Bruce Power)

Di dalam negeri, reaktor CANDU menjadi tulang punggung sistem nuklir Kanada, terutama di:

  • Bruce Nuclear Generating Station (lebih dari 6.500 MW-salah satu kompleks nuklir terbesar dunia)
  • Darlington Nuclear Generating Station
  • Pickering Nuclear Generating Station

Selain reaktor besar, Kanada kini memasuki era baru dengan pengembangan Small Modular Reactor (SMR). Salah satunya adalah GE Hitachi BWRX-300, yang menjadi bagian dari rencana pembangunan SMR di Darlington.

Tanggapan Indonesia Terkait Prospek PLTN

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Dr. Unggul Prayitno, menyatakan bahwa posisi PLTN di Indonesia kini tidak lagi berada di opsi terakhir dalam kebijakan energi.

“Dalam Perpres baru, nuklir berada pada posisi yang sama dengan energi alternatif lainnya,” terangnya. Ia menilai PLTN perlu dipertimbangkan serius karena pasokan listrik dari batubara akan berkurang di masa depan.

Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Indroyono Soesilo, yang turut hadir melalui Zoom, mengungkapkan bahwa AS sedang menyiapkan feasibility study SMR untuk Indonesia. Ia mendorong DEN untuk segera menentukan calon host di dalam negeri. “Ini investasi besar, jadi harus jelas siapa penyelenggaranya,” ujarnya.

Kanada menetapkan target ambisius mencapai nol emisi karbon pada 2050.

Indroyono juga menanyakan perbedaan CANDU dan teknologi nuklir Amerika. Mundzir menjelaskan bahwa CANDU memiliki rekam jejak panjang dan telah digunakan di banyak negara, sementara SMR masih tergolong teknologi baru.

Unggul menambahkan bahwa CANDU dapat menggunakan uranium berkadar rendah, berbeda dengan sebagian teknologi AS yang membutuhkan uranium diperkaya 5-8 persen. “Reaktor Kanada lebih besar dan teknologinya lebih sederhana, sedangkan di AS pendanaannya besar dan risetnya masih terus berkembang,” katanya.

Menutup diskusi, moderator Dr. Ridwan Djamaludin menyampaikan bahwa Indonesia perlu segera menentukan arah teknologi nuklirnya. “CANDU atau SMR, yang penting PLTN bisa terwujud,” ujarnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Logam Tanah Jarang Jadi Fokus Baru Pemerintah Indonesia

Indonesia memasuki fase baru dalam pengelolaan mineral kritis. Logam tanah jarang (LTJ), komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional. Dorongan ini semakin kuat sejak pemerintah membentuk Badan Industri Mineral (BIM) pada 2025, lembaga yang bertugas mengoordinasikan strategi pengembangan mineral strategis, termasuk LTJ.

Isu LTJ mengemuka dalam diskusi ilmiah yang digelar CTIS pada Rabu, 26 November 2025, bertema “Logam Tanah Jarang: Kita Kaya?”. Salah satu pembicara, ahli geologi sekaligus mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin, PhD, menyatakan bahwa perhatian pemerintah terhadap LTJ dalam beberapa pekan terakhir meningkat signifikan.

 Logam tanah jarang (LTJ)—komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional.
Ahli geologi sekaligus mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin, PhD (duduk no 4 dari kiri) narasumber diskusi digelar CTIS, Rabu, 26 November 2025, bertema Logam Tanah Jarang: Kita Kaya?. (Dok CTIS)

“Jarang geologi mendapat perhatian presiden. Namun untuk logam tanah jarang ini, presiden benar-benar memberi fokus, dan kami memberi masukan agar arahan tersebut bisa diwujudkan,” ujar Ridwan.

Seminar Nasional ITB: Menyatukan Ilmuwan dan Pembuat Kebijakan

Sebelumnya, pada 1 November 2025, ITB menggelar seminar nasional bertema prospek LTJ, menghadirkan Kepala BIM Brian Yuliarto, Rektor ITB, serta Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya. Dalam forum tersebut, Brian menegaskan bahwa LTJ bukan mineral yang berdiri sendiri, melainkan hadir sebagai mineral ikutan pada penambangan timah, nikel, bauksit, dan tembaga.

LTJ memiliki peran strategis dalam berbagai teknologi modern—dari magnet permanen, baterai kendaraan listrik dan hybrid, katalis industri, perangkat elektronik, hingga aplikasi pertahanan dan nuklir. “Potensi ekonominya sangat besar bila dikelola dengan benar,” ujar Ridwan.

Sebutan “jarang” merujuk pada kesulitannya diekstraksi dan dimurnikan, bukan pada kelangkaan absolut di alam. China hingga saat ini menguasai rantai pasok LTJ global, dari hulu hingga hilir, berkat teknologi pemisahan yang paling maju di dunia.

Unsur-unsur utama dalam LTJ meliputi cerium, lanthanum, neodymium, praseodymium, dan yttrium, unsur kunci dalam magnet berenergi tinggi dan komponen elektronik canggih.

Logam tanah jarang (LTJ)—komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional.

Apakah Indonesia Benar-Benar Kaya LTJ?

Menurut Ridwan, berbagai survei global pada 2011–2019 memang mengidentifikasi potensi sumber daya LTJ di Indonesia. Namun hingga kini, Indonesia belum memiliki cadangan LTJ yang diakui bernilai ekonomis.

Hal ini berbeda dengan negara seperti Vietnam, India, Australia, dan Brasil, yang cadangannya sudah tervalidasi dan dieksploitasi secara industri. “Kesimpulannya, belum ada eksplorasi sistematis yang benar-benar ditujukan untuk target REE di Indonesia,” tegas Ridwan.

Di kawasan Asia Pasifik, distribusi cadangan LTJ saat ini diperkirakan sebagai berikut:

  • China: 44 juta ton
  • Vietnam: 22 juta ton
  • India: 6,9 juta ton
  • Australia: 3,4 juta ton

Sementara itu, Brasil memimpin di Amerika dengan 22 juta ton, disusul Amerika Serikat dengan 1,4 juta ton. Rusia memiliki sekitar 12 juta ton di Eropa.

Menariknya, Malaysia yang tidak tercatat sebagai negara dengan cadangan besar justru menjadi pemain penting dalam industri pengolahan LTJ melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dan juga China.

 Logam tanah jarang (LTJ)—komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional.
Wujud Logam Tanah Jarang. (Dok CTIS)

Peta Indonesia: Potensi Ada, Cadangan Belum Terkonfirmasi

Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada 2019, terdapat 28 lokasi yang mengindikasikan keberadaan LTJ, dengan 9 lokasi sudah dieksplorasi awal. Daerah yang dianggap paling prospektif mencakup: Bangka Belitung, Sulawesi, Kalimantan dan Papua

Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, mencatat bahwa estimasi potensi Indonesia bisa mencapai 300 ribu ton LTJ, meski angka ini berbeda antara lembaga seperti MIND ID dan Kementerian ESDM. Intinya, Indonesia memiliki sumber daya, tetapi belum ada cadangan.

Indonesia juga belum memiliki IUP khusus LTJ ataupun wilayah izin khusus untuk komoditas tersebut. Meski demikian, ada preseden penting: pilot plant LTJ PT Timah di Bangka, yang pernah berjalan sebelum dihentikan. “Kita punya cikal bakal yang bisa dihidupkan lagi,” ujar Ridwan.

BIM sendiri mendapat dukungan dari Perusahaan Mineral Nasional (Perminas), BUMN baru yang ditugaskan mendorong hilirisasi LTJ.

Kerja Sama Internasional: Peluang dengan Amerika Serikat

Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Indroyono Soesilo, yang hadir secara daring, menilai Indonesia berpotensi membuka kerja sama eksplorasi bersama AS. Negara-negara lain seperti Jepang, Australia, Thailand, dan Malaysia sudah menandatangani MoU dengan Washington terkait pengembangan LTJ.

“Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama. Amerika pasti tertarik, asal jangan memberikan terlalu banyak syarat,” ujarnya. Ia menyarankan kerja sama dimulai dari joint exploration, tanpa harus menunggu kesiapan pabrik pengolahan atau regulasi lengkap.

Menurut Indroyono, data potensi LTJ nasional juga perlu diperbarui, mengingat keterkaitannya dengan mineral “saudara” seperti tembaga, nikel, bauksit, dan timah. Ia menekankan pentingnya melihat potensi regional lintas batas seperti:

  • Sulawesi dan Papua terhubung dengan Filipina
  • Kalimantan terhubung secara geologi dengan Malaysia

Dari Kedutaan Besar RI di Washington DC, Ibrani menambahkan bahwa isu LTJ kini berada di jantung geopolitik global, terutama setelah AS memasukkan LTJ dalam agenda pertahanan nasional. “Peluang sinergi resources Indonesia-AS sangat relevan dan strategis,” ujarnya.

 Logam tanah jarang (LTJ)—komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional.

Membangun Kemampuan Teknologi Dalam Negeri

Ketua CTIS Wendy Aritenang, PhD, menegaskan kesiapan institusinya untuk mendukung arahan Presiden dengan menyusun rekomendasi ilmiah. Sementara itu, moderator diskusi Idwan Suhardi, PhD, menekankan bahwa kemampuan mengolah LTJ akan menentukan daya saing Indonesia dalam teknologi tinggi.

“Penguasaan teknologi pemisahan LTJ bukan hanya soal industri, tetapi fondasi untuk kemandirian teknologi nasional,” ujar Idwan.

Keberhasilan Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan negara mempercepat eksplorasi, menguasai teknologi pemurnian, dan menarik investasi ke industri hilirisasi berbasis LTJ. ***

Categories
Domestic S&T News

Risiko Keamanan Siber di Era Pasca Quantum Computing

Kemajuan komputasi kuantum dalam satu dekade terakhir mulai membuka babak baru dalam dunia teknologi. Mesin kuantum, yang memanfaatkan prinsip mekanika kuantum untuk melakukan perhitungan superkompleks, dinilai mampu menyelesaikan persoalan yang mustahil dipecahkan komputer konvensional. Potensi tersebut membuat banyak negara berlomba mengembangkan riset kuantum, namun sekaligus memunculkan tantangan besar, terutama pada aspek keamanan siber.

Peringatan itu disampaikan Rektor Cyber University, Gunawan Witjaksono PhD, dalam diskusi yang digelar CTIS pada Rabu, 19 November 2025, bertema “The Threat From Post-Quantum Computing Era.”

Kemajuan komputasi kuantum dalam satu dekade terakhir mulai membuka era baru dalam dunia teknologi.
Gunawan Witjaksono PhD (duduk no 3 dari kanan) Rektor Cyber University dalam diskusi yang dilaksanakan oleh CTIS, Rabu 19 November 2025 dengan mengangkat tema The Threat From Post-Quantum Computing Era. (Dok CTIS)

Gunawan menjelaskan bahwa komputasi kuantum bekerja dengan qubit, unit informasi yang dapat berada dalam beberapa keadaan sekaligus melalui superposisi dan terhubung melalui entanglement. Perbedaan fundamental ini memberi komputer kuantum kemampuan memproses berbagai kemungkinan dalam waktu bersamaan, sehingga membuka peluang besar bagi banyak disiplin ilmu.

Menurutnya, teknologi kuantum diprediksi mendorong terobosan di bidang pengembangan obat, simulasi material canggih, optimasi rantai pasok, energi, hingga kecerdasan buatan. Di sektor ekonomi digital, komputer kuantum dipandang sebagai pengubah permainan besar berikutnya.

Namun memasuki era pasca-kuantum, Gunawan menekankan bahwa ancaman keamanan siber menjadi tantangan paling mendesak. Sistem enkripsi yang selama ini melindungi data perbankan, transaksi digital, hingga komunikasi pemerintah, secara teori dapat dibongkar oleh komputer kuantum dengan kemampuan komputasi tinggi. Kondisi ini mendorong dunia digital mulai beralih ke Post-Quantum Cryptography (PQC) sebagai standar keamanan generasi baru.

Era pasca-kuantum, menurut Gunawan, menjadi fase penting dalam kompetisi teknologi global. Negara yang cepat beradaptasi dengan standar keamanan baru akan berada pada posisi strategis dalam ekonomi digital mendatang.

Kemajuan komputasi kuantum dalam satu dekade terakhir mulai membuka era baru dalam dunia teknologi.
Komputasi Kuantum Google AI tengah mengeksplorasi berbagai potensi penerapan teknologi kuantum untuk pupuk ramah lingkungan, baterai tahan lama, penemuan obat-obatan baru, dan berbagai inovasi lainnya. (Dok quantumai.google)

Indonesia sendiri dinilai memiliki peluang besar untuk memperkuat kesiapan. Meski riset kuantum masih terbatas, sejumlah perguruan tinggi telah mulai mengembangkan penelitian terkait informasi kuantum, optika kuantum, material kuantum, hingga kriptografi kuantum. Kerja sama internasional disebut menjadi kunci untuk mempercepat penguatan riset dan sumber daya manusia.

Gunawan menegaskan bahwa kesiapan keamanan siber nasional perlu diprioritaskan sejak dini. Lembaga seperti BSSN, perbankan, telekomunikasi, dan sektor energi harus mulai mengaudit sistem enkripsi yang digunakan, sekaligus menyiapkan peta jalan migrasi menuju teknologi kriptografi yang aman di era kuantum.

Ia menambahkan bahwa meski komputer kuantum yang benar-benar stabil masih membutuhkan waktu panjang untuk terwujud, transformasi komputasi global sudah berlangsung. Negara yang menyiapkan diri sejak sekarang akan memiliki keunggulan kompetitif di masa depan.

“Bagi Indonesia, komputasi kuantum bukan sekadar peluang teknologi, tetapi juga tantangan strategis yang akan menentukan arah persaingan digital di tahun-tahun mendatang,” ujarnya.

Pentingnya mitra sejajar

Di tengah cepatnya perkembangan teknologi digital seperti sekarang ini mendapat perhatian dari Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Indroyono Soesilo yang ikut bergabung dalam diskusi secara zoom.  Dubes RI di Washington memberikan perhatian agar Indonesia menjadi mitra sejajar dengan industri teknologi digital di Amerika Serikat.

“Saya ingin siapa yang menjadi mitra sejajar untuk membahas teknologi digital hingga cyber security. Takutnya Indonesia hanya jadi pasar, bukan sebagai mitra sejajar,” kata Indroyono.

Disebutkan bahwa Microsoft, Google, AWS sudah berekspansi di Indonesia namun banyak orang tidak tahu apa yang dilakukan industri-industri tersebut di Indonesia.

“Saya agak worry, Microsoft di Cikarang bikin apa, ternyata tidak ada yang tahu. Saya ingin mereka bisa dipertemukan dengan mitra sejajar, termasuk dengan tim CTIS,” tegasnya.

Indroyono mengapresiasi hadirnya Cyber University yang  diharapkan bisa menjadi pembuka jalan untuk bekerja sama dengan industri teknologi informasi digital di AS.

Ketua CTIS Wendy Aritenang langsung merespons segera untuk membuka komunikasi antara CTIS dengan perusahaan-perusahaan teknologi informasi AS di Indonesia.

Kemajuan komputasi kuantum dalam satu dekade terakhir mulai membuka era baru dalam dunia teknologi.

Prof Jarot Suroso, Sekjen IATI selaku moderator menambahkan ada tiga sistem cyber security yaitu self guard, defense, dan offense. “Kita harus kuat di ketiganya itu,” jelasnya.

Dan di Indonesia ada SDM di bidang keamanan siber terbaik di dunia. “Hacker paling jago di dunia banyak dari Indonesia, hacker kelas dunia dan tidak kalah dengan negara lain. Presiden sudah meng-hire hacker dengan bayaran tinggi untuk menjaga keamanan sistem internet di sektor pemerintahan. keuangan dan lainnya. Mudah-mudshsnan dengan banyaknya kampus memiliki program keamanan siber dan teknologi digital membuat SDM Indonesia di dunai IT semakin kuat,” pungkasnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Silaturahim Alumni BPPT di GBK: Momentum Jaga Semangat Inovasi dan Persaudaraan

Para alumni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berkumpul di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Acara silaturahim tahunan ini menghadirkan sejumlah tokoh nasional, termasuk mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Dubes RI untuk AS Indroyono Soesilo yang turut hadir secara daring.

alumni bppt harus tetap aktif dan terus berkarya
Alumni pegawai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar acara reuni dan silaturahim di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
(dok Alumni BPPT)

 

Alumni pegawai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar acara reuni dan silaturahim di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Kegiatan ini diikuti sekitar 200 peserta, baik secara luring maupun daring melalui Zoom.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir, antara lain mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, mantan Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar, mantan Kepala BPPT Hammam Riza, serta mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, yang dikenal dengan julukan manusia merdeka.

Sementara itu, mantan Menristek/Kepala BPPT Kusmayanto Kadiman dan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Indroyono Soesilo turut bergabung secara daring dari Washington DC.

para alumni BPPT tetap aktif dan terus berkarya
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro didampingi panitia alumni BPPT menyampaikan pesan kepada para alumni agar terus berkarya. (Dok Alumbni BPPT)

Dalam sambutannya, Wardiman Djojonegoro mengungkapkan rasa bahagia atas terselenggaranya kegiatan tersebut.

“Pertemuan ini membuat kita gembira, kita tidak merasakan kesepian. Silaturahim itu penting,” ujarnya.
Ia juga berpesan agar para alumni BPPT tetap aktif dan terus berkarya. “Saya yakin semua masih bisa berkarya dan tetap sehat,” tambahnya.

Dari Washington DC, Dubes Indroyono Soesilo menyoroti pentingnya menjaga koneksi sosial di tengah meningkatnya angka kesepian di berbagai negara maju.

“Tingkat kesepian di negara maju pada 2023 mencapai 30 persen, dan tahun ini naik menjadi 40 persen. Karena itu, kegiatan kumpul seperti ini luar biasa. Selamat kangen-kangenan,” katanya.

alumni BPPT tetap aktif dan terus berkarya
Mantan Kepala BPPT Hammam Riza, mengajak seluruh alumni untuk tetap menjaga semangat kebersamaan dengan meneriakkan yel-yel khas BPPT, solid, smart dan speed. (dok Alumni BPPT)

Sementara itu, Hammam Riza mengajak seluruh alumni untuk tetap menjaga semangat kebersamaan dengan meneriakkan yel-yel khas BPPT.

“Kita semangatkan lagi yel-yel BPPT: solid, smart, dan speed!” serunya, yang langsung disambut antusias para peserta.

Ketua Panitia, Wendy Aritenang mengatakan kegiatan silaturahim ini digelar rutin setiap tahun.

“Tahun lalu peserta mencapai 150 orang, dan tahun ini meningkat menjadi sekitar 200 orang,” jelasnya.

alumni BPPT tetap aktif dan terus berkarya
Ketua Pantia Reuni dan Silaturahim Alumni BPPT, Wendy Aritenang. (dok Alumni BPPT)

Acara berlangsung meriah dengan pembagian doorprize dan berbagai hiburan yang menambah kehangatan suasana reuni.

Melalui kegiatan ini, para alumni BPPT berharap tali silaturahim tetap terjaga dan semangat inovasi yang menjadi ciri khas BPPT terus hidup di tengah berbagai profesi dan peran yang kini mereka jalani. ***

Categories
Domestic S&T News

Teknologi Blockchain Jadi Kunci Ekonomi Digital

Desentralisasi ekonomi digital tidak bisa lepas dari peran Satoshi Nakamoto. Nama ini mungkin tak tercatat dalam daftar tokoh ekonomi konvensional seperti Keynes atau Friedman. Namun, pengaruhnya terhadap sistem keuangan global justru melampaui batas institusi dan ideologi.

Melalui penciptaan Bitcoin pada tahun 2009, Satoshi mengguncang fondasi ekonomi modern dan membuka babak baru: ekonomi desentralisasi berbasis teknologi blockchain.

Hal itu disampaikan oleh Ir. Tri Novianta Putra M. Eng dosen Politeknik Batam dalam diskusi digelar oleh CTIS, Rabu (8/10/2025).

“Lahir di tengah krisis finansial global 2008, ide Bitcoin bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan kritik terhadap sistem keuangan yang rapuh dan terpusat. Dalam Genesis Block Bitcoin, Satoshi menyematkan kalimat dari surat kabar The Times: “Chancellor on brink of second bailout for banks,” ujar Tri Novianta.

Melalui penciptaan Bitcoin pada tahun 2009, Satoshi mengguncang fondasi ekonomi modern dan membuka babak baru: ekonomi desentralisasi berbasis teknologi blockchain.
Narasumber diskusi CTIS, rabu (8/10/2025), Ir. Tri Novianta Putra M. Eng dosen Politeknik Batam, di layar zoom. (Dpk CTIS)

Pesan itu dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan bailout pemerintah terhadap lembaga keuangan besar. Simbol ketidakadilan struktural dalam kapitalisme modern. Bitcoin dirancang sebagai alternatif uang digital tanpa otoritas pusat, di mana kepercayaan digantikan oleh kriptografi dan transparansi algoritmik.

Bitcoin memperkenalkan mekanisme ekonomi baru: kelangkaan digital. Jumlah Bitcoin dibatasi hanya 21 juta unit, menciptakan karakteristik seperti emas digital. Mekanisme penambangan dan pembagian hadiah (block reward) meniru prinsip ekonomi klasik tentang pasokan terbatas dan insentif produksi.

Lebih jauh, sistem ini mengubah cara nilai diciptakan dan dipertukarkan. Dengan blockchain, transaksi dapat dilakukan langsung antarindividu tanpa perantara, menekan biaya, mempercepat arus nilai, dan menghapus monopoli lembaga keuangan. Inilah awal dari ekonomi peer-to-peer.

Blockchain kini menjadi tulang punggung ekonomi digital modern. Teknologi ini pertama kali digunakan dalam sistem Bitcoin, namun kini berkembang luas sebagai dasar bagi berbagai inovasi keuangan dan bisnis.

Melalui penciptaan Bitcoin pada tahun 2009, Satoshi mengguncang fondasi ekonomi modern dan membuka babak baru: ekonomi desentralisasi berbasis teknologi blockchain.
Bitcoin

Keunggulan utama blockchain adalah kemampuannya menciptakan kepercayaan tanpa perantara. Melalui jaringan komputer yang saling terhubung, setiap transaksi dapat diverifikasi secara otomatis tanpa melibatkan bank atau lembaga keuangan. Data transaksi bersifat publik, aman, dan hampir mustahil diubah, sehingga menciptakan transparansi dan akuntabilitas tinggi.

Selain efisien dan hemat biaya, blockchain juga membuka ruang besar bagi inovasi, mulai dari sistem pembayaran digital, kontrak pintar, hingga aset kripto dan keuangan terdesentralisasi (DeFi).

Dengan sifatnya yang terbuka dan inklusif, blockchain tidak hanya menawarkan kemudahan teknologi, tetapi juga menghadirkan model ekonomi baru yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada partisipasi global dalam satu sistem tanpa otoritas pusat.

Melalui penciptaan Bitcoin pada tahun 2009, Satoshi mengguncang fondasi ekonomi modern dan membuka babak baru: ekonomi desentralisasi berbasis teknologi blockchain.
Patung setengah badan Satoshi Nakamoto, pencipta Bitcoin, didirikan di Graphisoft Park, Budapest. Patung terbuat dari perunggu dan paduan aluminium karya Tamás Gilly dan Réka Gergely ini diresmikan pada 16 September 2021 atas prakarsa Hungarian Crypto Academy

Dampak terhadap Ekonomi Global

Dalam satu dekade, Bitcoin telah mengubah wajah ekonomi dunia. Bank sentral di berbagai negara mulai mengembangkan CBDC (Central Bank Digital Currency).

Investor institusi menempatkan Bitcoin sebagai aset lindung nilai alternatif terhadap inflasi Negara seperti El Salvador bahkan menjadikannya alat pembayaran sah.

Di Indonesia, menurut undang-undang dan regulasi yang berlaku, Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah. Bitcoin dan kripto lainnya tidak diakui sebagai alat pembayaran sah.

Meski bukan alat pembayaran, Bitcoin dianggap sebagai aset digital atau komoditas yang boleh diperdagangkan secara resmi di bursa aset kripto yang berizin. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari ARPANET hingga IPTEKnet: Jejak Awal Internet Dunia dan Indonesia

Internet kini menjadi kebutuhan utama masyarakat modern karena mampu mendekatkan orang dari berbagai belahan dunia hanya dalam hitungan detik. Namun, jejak awal lahirnya internet modern bermula dari ARPANET (Advanced Research Projects Agency Network) yang dikembangkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 1969.

ARPANET dirancang untuk menghubungkan komputer melalui teknologi packet-switching dan protokol TCP/IP yang kemudian menjadi pondasi internet saat ini. Sebelum adanya ARPANET, komputer hanyalah mesin mandiri yang tidak bisa saling terhubung. Kehadiran jaringan ini memungkinkan universitas, lembaga riset, dan instansi pemerintah berbagi informasi serta sumber daya.

Kisah internet di Indonesia tidak lepas dari peran B.J. Habibie saat memimpin BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
Ketua II CTIS, Dr. Ir. Ashwin Sasongko (nomor 2 duduk dari kanan), dalam diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (1/10/2025). (Dok CTIS)

“ARPANET menjadi laboratorium pengujian utama teknologi dasar internet modern. Jaringan ini didanai oleh ARPA, yang kini dikenal sebagai DARPA,” jelas Ketua II CTIS, Dr. Ir. Ashwin Sasongko, dalam diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (1/10/2025).

Setelah dua dekade, ARPANET resmi dihentikan pada 1990 dan digantikan pengembangan jaringan internet modern.

Habibie dan Lahirnya IPTEKnet di Indonesia

Kisah internet di Indonesia tidak lepas dari peran B.J. Habibie saat memimpin BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Pada 1986, sepulang dari konferensi di Amerika Serikat, Habibie terinspirasi membangun jaringan yang mampu menghubungkan seluruh Indonesia demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gagasan itu diwujudkan melalui program IPTEKnet yang dikembangkan BPPT dengan dukungan Bank Dunia. Awalnya, konsep ini diuji coba melalui Mikro-IPTEKnet yang melibatkan enam simpul penyedia informasi: BPPT, Pustaka Bogor (Litbang Pertanian), Pusdata (Perindustrian), BPS, PDII-LIPI, dan Litbang Kesehatan.

“Koneksi antar simpul diwujudkan dengan sistem dial-up, dan BPPT ditunjuk sebagai pengelola Network Operation Centre (NOC) IPTEKnet,” terang Ashwin.

Pada 1994, IPTEKnet resmi menjadi Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia yang terkoneksi ke jaringan global dengan teknologi TCP/IP. “Ini bukti Indonesia mampu membangun jaringan internet sendiri tanpa harus bergantung pada luar negeri,” tegas Ashwin.

Kisah internet di Indonesia tidak lepas dari peran B.J. Habibie saat memimpin BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
Internet kini menjadi kebutuhan utama masyarakat modern karena mampu mendekatkan orang dari berbagai belahan dunia hanya dalam hitungan detik. (Dok Freepik)

Tantangan SPBE Nasional

Meski internet di Indonesia berkembang pesat, penerapan kebijakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) masih menghadapi hambatan. Perpres No. 95 Tahun 2018 seharusnya menjadi dasar penguatan infrastruktur digital nasional, namun hingga kini belum sepenuhnya berjalan.

Ashwin menyoroti pasal 27 Perpres SPBE yang mengatur infrastruktur nasional, seperti pusat data, jaringan intra pemerintah, dan sistem penghubung layanan, yang belum terealisasi. “Sebetulnya kita bisa melanjutkan pengembangan IPTEKnet agar menjadi tulang punggung SPBE nasional. Jika diperkuat, jaringan ini dapat benar-benar menghubungkan seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Rami Wonosobo Siap Jadi Bahan Baku Tekstil Berkelanjutan

Indonesia memiliki beragam potensi bahan baku tekstil, mulai dari serat rami, nanas, kapok, hingga kapas lokal. Namun kenyataannya, sekitar 90 persen bahan baku tekstil masih impor, dengan porsi impor kapas mencapai 99,2 persen atau sekitar 700 ribu ton per tahun.

Kondisi ini mendorong Wibowo Akhmad, pendiri CV Ramindo Berkah Persada Sejahtera (Rabersa) di Wonosobo, mengembangkan serat alami dari tanaman rami sejak 1999.

“Kebutuhan serat rami dunia diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun. Indonesia berpotensi menyumbang hingga 20 persen. Dari sekian bahan serat alam, rami adalah yang paling sustainable dan renewable,” ujar Wibowo dalam diskusi CTIS di Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Secara global, pasar serat rami bernilai US$354,8 juta pada 2022 dan diprediksi meningkat menjadi US$451,8 juta pada 2030. Tren industri mode kini semakin melirik rami karena sifatnya kuat, menyerap kelembapan, antibakteri alami, serta ramah lingkungan.

Indonesia memiliki beragam potensi bahan baku tekstil, mulai dari serat rami, nanas, kapok, hingga kapas lokal.
Wibowo Akhmad (duduk paling tengah), pendiri CV Ramindo Berkah Persada Sejahtera (Rabersa) di Wonosobo menjadi pembicara utama dalam diskusi dilaksanakan oleh CTIS, Rabu (24/9/2025). (Dok CTIS)

Produksi dari Hulu ke Hilir

Wibowo mengelola rami dari penanaman hingga menjadi serat mentah atau setengah jadi yang dikenal sebagai inagrass rami. Serat ini kemudian dipintal menjadi benang untuk produk tekstil seperti kain batik, pakaian musim dingin, dan dekorasi rumah.

“Kualitas rami dari Wonosobo cukup bagus dan kompetitif dibandingkan Vietnam maupun Thailand,” jelasnya.

Selain itu, limbah rami juga bermanfaat. Daun dan batang kayunya dapat dijadikan pakan ternak, pupuk, maupun bahan sampingan lainnya. Dari lahan seluas 13 hektare, daun rami mampu menghasilkan sekitar 195 ribu kg per tahun yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan domba.

Selain rami, Wibowo juga memproduksi benang dari serat daun nanas, yang sudah dijadikan bahan baku tekstil.

Indonesia memiliki beragam potensi bahan baku tekstil, mulai dari serat rami, nanas, kapok, hingga kapas lokal.
Tekstil terbuat dari benang rami dengan pewarna alami indigo. (Dok Wibowo Akhmad)

 

Tantangan Skala Produksi

Meski potensinya besar, industri rami di Indonesia masih terkendala. Lahan yang dikelola Rabersa baru sekitar 25 hektare, padahal dibutuhkan minimal 200 hektare dengan pola panen 60 hari untuk memenuhi permintaan ekspor secara signifikan.

Teknologi dan mesin yang digunakan sebagian besar masih konvensional sehingga produktivitas rendah. Di sisi lain, keterbatasan modal juga membuat kapasitas produksi belum mampu menjawab tingginya permintaan.

Permintaan luar negeri pun sebenarnya besar: China 40 ton per bulan, Korea Selatan 1 ton per bulan, dan Jepang hingga 400 ton per bulan. Namun saat ini Rabersa baru bisa memasok produk setengah jadi ke PT Retota (Magelang) dan PT Gisapda (Pekalongan) untuk diolah menjadi dekorasi rumah. Sekitar 95 persen produk dekorasi tersebut diekspor ke Amerika Serikat.

Indonesia memiliki beragam potensi bahan baku tekstil, mulai dari serat rami, nanas, kapok, hingga kapas lokal
Kapas serat rami dijemur. (Dok Wibowo Akhmad)

Dukungan Pemerintah

Untuk memperkuat industri rami, Kementerian Koperasi berencana membangun Rumah Produksi Bersama (RPB) serat rami di Wonosobo. Fasilitas ini akan dikelola berbasis koperasi multipihak dengan tujuan meningkatkan ketersediaan bahan baku, menarik investor, dan mendukung produksi produk kustom berkualitas, khususnya untuk pasar ekspor.

“Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) adalah sektor strategis yang bisa menyumbang devisa Rp218,2 triliun dan menyerap 3,7 juta tenaga kerja. Saatnya kita manfaatkan serat alami dalam negeri agar Indonesia mampu swasembada sandang,” tegas Wibowo. ***

Categories
Domestic S&T News

Ekonomi Berbasis Iptek Harus Jadi Prioritas Negara

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Namun, langkah ini dinilai belum menjadi prioritas utama.

Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang, dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini belum mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarak salah satu penyebabnya karena minimnya pemanfaatan  iptek.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang (duduk no 3 dari kiri), dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025). (Dok CTIS)

“Peran negara dalam membangun perekonomian berbasis  (iptek) harus ditingkatkan, karena sektor swasta /perusahaan di Indonesia saat ini umumnya masih berorientasi jangka pendek dan disibuki berbagai kewajiban, aturan dan prosedural yang kerap berubah . Belum banyak yang berperan dalam membangun industri  berbasis iptek,” ujarnya.

Wendy mencontohkan, dalam mengembangkan industri transportasi publik seperti kereta api, di sini negara harus hadir karena customernya hanya “tunggal” yaitu negara.  Iptek dan industri yang menyangkut kepentingan negara seperti Hankam, Industri Pangan Pokok, Kedirgantaraan dan Antariksa , Riset Kelautan; dan sektor-sektor strategis lainnya harus diperankan oleh negara karena menyangkut NKRI, persaingan negara, dan kemandirian negara. Jadi tidak boleh dibiarkan sepenuhnya   kepada swasta karena orientasinya berbeda, meskipun tentunya dimungkinkan kerjasama dan partisipasi swasta  di tahap hilirnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek
Negara harus hadir dalam pengembangan transportasi publik seperti kereta api karena customer tunggal yaitu negara.  (Dok PT KAI)

Ia juga menyoroti dukungan pemerintah terhadap lembaga Iptek yang cenderung menurun, seperti terlihat dari berkurangnya support dan perhatian terhadap sejumlah lembaga yang lahir sejak era Presiden Soekarno hingga BJ Habibie dan SBY, seperti LAPAN, LIPI, BATAN, BPPT, Bapeten; dan litbang-litbang sektor yang seyogyanya diharapkan menjadi penopang Iptek nasional. “Lembaga iptek yang ada masih sangat sedikit. Indonesia sebagai negara besar seharusnya memiliki lebih banyak institusi /pusat iptek, bukan dikurangi” tambahnya.

Sejarah menunjukkan, Soekarno merancang penguasaan teknologi kedirgantaraan agar Indonesia mampu memproduksi pesawat penghubung antarpulau. Cita-cita itu kemudian diwujudkan BJ Habibie dengan pengembangan pesawat komuter, industri pertahanan, serta berdirinya PT PAL, PT PINDAD, dan PT Dirgantara Indonesia. Habibie juga memperluas iptek di sektor pangan, kelautan, dan energi.

Namun, menurut Wendy, political will dalam pengembangan iptek kini cenderung semakin meredup. Lembaga R&D yang ada bahkan sudah “dilebur” ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berubah orientasinya. “Negara harus hadir di sektor pangan dan komoditas pokok, kesehatan, pertahanan, kelautan, dan sektor strategis lainnya. BRIN jangan hanya mengurusi riset, tetapi juga harus banyak aspek pengembangan (development),” tegasnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ia juga menilai di beberapa aspek adanya “back-log” peraturan dan kebijakan menyebabkan terjadinya  “pembiaran”  yang  menyebabkan akumulasi permasalahan publik yang semakin sulit  diselesaikan. Salah satunya kasus truk ODOL (Over Dimension Over Loading) yang terus berlarut. “Padahal bila sejak awal peraturan diikuti dengan benar bisa diatasi dengan optimalisasi jembatan timbang dan integrasi teknologi ETLE serta WIM (Weight-in-Motion), atau teknologi lainnya,” katanya.

Peserta diskusi  menekankan dalam peningkatan peran Iptek bagi pembangunan pentingnya konsep sinergi antara pemerintah, dunia usaha, Universitas; dan pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi ini  dinilai krusial untuk mendorong inovasi dan membangun ekonomi berbasis iptek yang dapat lebih  memakmurkan rakyat. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari Konsumen ke Inovator: Masa Depan Industri Kedirgantaraan RI

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Bayangkan bila suatu hari pesawat hemat energi buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bisa menghubungkan kota-kota kecil, atau satelit karya anak bangsa mampu memantau cuaca, pertanian, dan bencana. Itu bukan mimpi, asalkan strategi pembangunan teknologi dirancang sejak sekarang.

Riset dan SDM Jadi Fondasi

Langkah awal adalah memperkuat riset. PTDI dan BRIN harus mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan teknologi pesawat, drone logistik, hingga satelit. Kerja sama dengan universitas dan mitra internasional bisa mempercepat penguasaan teknologi.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Namun, secanggih apa pun teknologinya tidak akan berarti tanpa manusia yang menguasai. Karena itu, Indonesia harus melahirkan lebih banyak SDM unggul di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Penguasaan matematika, fisika, dan komputer sejak dini menjadi syarat mutlak agar anak muda siap menjadi insinyur, teknisi, maupun peneliti penerbangan.

Tantangan Nyata

Prospek industri kedirgantaraan memang besar, tetapi masalahnya juga banyak:

• Anggaran riset terbatas sehingga inovasi sering berhenti di tahap prototipe.

• Ketergantungan impor komponen penting masih tinggi, mulai dari avionik hingga material khusus.

• Kekurangan tenaga ahli di bidang aerodinamika, material komposit, hingga kecerdasan buatan (AI) untuk navigasi.

• Rantai pasok industri lokal masih lemah, UKM belum sepenuhnya terlibat.

• Birokrasi dan regulasi lambat, kerap menghambat pengembangan produk baru.

Jika masalah-masalah ini tidak diatasi, sulit bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dulu menguasai teknologi penerbangan dan antariksa.

Alih Teknologi: Dari “Transfer” ke “Development”

Selama ini kita akrab dengan istilah technology transfer. Namun, istilah ini menyesatkan karena memberi kesan prosesnya sederhana—teknologi tinggal dipindahkan begitu saja dari negara maju ke negara berkembang. Padahal, alih teknologi jauh lebih rumit.

Lebih tepat jika dipahami sebagai technology development, cooperation, and transaction through its stages.

• Development (Pengembangan): teknologi harus dikuasai, dimodifikasi, hingga bisa dikembangkan mandiri.

• Cooperation (Kerja Sama): alih teknologi menuntut kolaborasi, misalnya riset bersama atau produksi bersama.

• Transaction (Transaksi): teknologi selalu terkait lisensi, kontrak, dan negosiasi komersial.

Dengan kerangka ini, alih teknologi tidak lagi dipahami sebagai ketergantungan, tetapi sebagai proses membangun kapasitas nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ekosistem Industri dan Investasi

B.J. Habibie bukan hanya dikenal sebagai Presiden RI ke-3, tetapi juga tokoh teknologi kelas dunia. Salah satu gagasannya yang menarik adalah Holistic Technology Proficiency Development and Acquisition (berdasarkan pemahaman penulis), atau secara sederhana:  menguasai teknologi secara utuh mulai dari hilir dan secara bertahap menguasai pengetahuan dan proses hulunya, atau dari assembling, manufaktur, modifikasi, desain bersama, desain mandiri, dan meneliti untuk keunggulan kompetitif. Filosofi ini dikenal dengan ungkapan: Start from the End, End with the Beginning”.

Apa maksudnya? Habibie menekankan bahwa untuk bisa mandiri dalam teknologi, bangsa kita harus berani menguasai produk teknologi terkini, canggih, atau strategis untuk kebutuhan dalam negeri yang belum kita kuasai secara pragamatis melalui proses yang berbasis filosofi di atas . Misalnya pesawat terbang, kapal selam, atau kereta super-cepat. Dari sana, kita bisa belajar bukan hanya tentang produk akhirnya, tetapi juga seluruh proses produksinya—mulai dari bahan baku, kualitas, standar keamanan, hingga industri pendukungnya.

Pertama, penguasaan teknologi dimulai dari penguasaan teknologi manufaktur produk canggih yang strategis bagi negara, seperti pesawat transportasi, kapal selam, atau kereta super-cepat. Tahap ini mencakup pemahaman proses produksi secara menyeluruh: mulai dari persyaratan teknis, pengendalian mutu, jaminan kualitas, hingga pengembangan industri hulu yang menopang ekosistem produksi.

Kedua, setelah menguasai dasar-dasar manufaktur, langkah berikutnya adalah mengembangkan kemampuan kreatif untuk menciptakan produk baru. Proses ini dilakukan melalui kerja sama yang komprehensif, baik dalam riset, produksi, sertifikasi mutu, maupun perluasan pasar global.

Ketiga, kemampuan kreatif yang sudah terbentuk harus diarahkan menuju kemandirian. Artinya, bangsa ini mampu mengembangkan produk baru secara mandiri, termasuk proses produksi, jaminan mutu, dan pemasaran global, sehingga dapat mendorong daya saing industri nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter militer. (Dok PTDI)

Keempat, pengembangan kreativitas perlu terus ditopang oleh riset yang komprehensif, dengan menetapkan prioritas riset terapan tanpa melupakan riset dasar. Pada tahap ini, penguatan kapasitas sumber daya manusia berbasis STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika) menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan inovasi.

Keempat tahap tersebut dapat dijalankan secara paralel maupun bertahap, bergantung pada kesiapan sumber daya manusia di setiap bidang. Masalah yang muncul dalam proses penguasaan teknologi dapat dipecahkan melalui riset dan pemanfaatan lembaga penelitian dalam negeri, sehingga terbentuk ekosistem industri nasional yang matang dan berdaya saing.

Akhirnya, semua itu perlu dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri dan lapangan kerja, seperti yang pernah dicanangkan konteknya  oleh Prof.Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998 dengan istilah “link and match”, yang merupakan bagian/subsistem system Pendidikan holistic berkelanjutan mulai dari usia dini sampai S1 (untuk zaman sekarang ini) yang harus dilakukan Pemerintah atas mandat dari rakyat. Demikian juga, pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati maupun non-hayati, yang harus dilakukan secara progresif dan berkelanjutan untuk membentuk ekosistem hulu-hilir yang kondusif.

Dengan pendekatan holistik inilah, warisan pemikiran B.J. Habibie memberi inspirasi tentang bagaimana bangsa ini dapat membangun kemandirian teknologi sekaligus memperkuat daya saing industri nasional di era global.

Jika ini dilakukan, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta dan pemain utama di panggung global.***

 

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Opini ini ditulis oleh :

Prof Harijono Djojodiharjo Sc.D.,IPU, ACPE

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) periode 1999-2000, anggota CTIS