Presiden Joko Widodo mendorong warga untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal karena lebih cepat dan efisien.
Hal itu dinyatakan Presiden Jokowi usai usai mencoba Kereta Cepat Jakarta – Padalarang, Rabu, 13 September 2023.
“Dengan hadirnya sistem transportasi massal, seperti Kereta Cepat, Light Railway Transportation (LRT), Mass Rapid Transportation (MRT), Kereta Railway Listrik (KRL) dan Bus Trans Jakarta, diharapkan masyarakat mau berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal yang lebih cepat dan lebih effisien ini,” kata Presiden Jokowi.
Seruan ini didukung oleh Center for Technology for Innovation Studies (CTIS) yang menilai system transportasi massal juga bisa mengatasi polusi udara.
Dr. Bambang S Pujantiyo dari Komite Transportasi CTIS, menjelaskan bahwa sistem transportasi di Jakarta memunculkan kemacetan yang parah dan menimbulkan 70% polusi udara di Ibukota.
Hal ini disebabkan panjang jalan yang terbatas, hanya sekitar 7.208 Km dengan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun dengan beragam hambatan penimbul kemacetan seperti terminal dan halte, persimpangan jalan, tempat parkir, bottleneck dan pola U-Turn.
Jalan-jalan ini dipadati 3,8 juta mobil dan 18,33 juta sepeda motor (data per-17 Agustus 2023). Idealnya, panjang jalan di Jakarta harus mencapai 12.000 Kilometer. Ini berarti panjang jalan baru 60% dari target ideal.
Belum lagi, setiap hari Jakarta “diserbu” 850.000-an penduduk Tangerang, 550.000-an penduduk Bekasi dan 600.000-an penduduk Bogor yang mencari nafkah di Jakarta.
“Nampaknya, upaya untuk mengalihkan transportasi penduduk dari kendaraan pribadi ke transportasi massal sudah sangat mendesak untuk disegerakan, kata Bambang dalam pernyataannya.
Beberapa waktu lalu CTIS telah melakukan pertemuan untuk mengkaji sistem transportasi massal di Jakarta guna menyusun rekomendasi yang sesuai untuk diusulkan kepada Pemerintah.
Dalam pertemuan itu terungkap, untuk mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi, jumlah transportasi massal juga harus dihitung dan disediakan secara tepat. Di Jakarta, MRT diharapkan mampu mengangkut penumpang antara 30.000-60.000 orang per jam, LRT bisa mengangkut 5.000-10.000 orang per jam, sedang Bus Trans Jakarta bisa mengangkut 3.000-5.000 orang per jam.
LRT bisa mengangkut 5.000-10.000 orang per jam. (dok foto : LRT Jabodetabek)
Kajian Bambang memperlihatkan bahwa ternyata interkonektivitas beragam jenis moda transportasi di Jakarta tadi masih lemah dan masih terkendala kewenangan. Misalnya, Jaringan Bus Trans Jakarta dikelola Pemprov. DKI Jakarta, Jalan Tolnya di kelola PT. Jasa Marga, sedang LRT dan MRT di kelola Perusahaan lain, sedang KA Jabodetabek dikelola PT. KAI.
Ini mengakibatkan konektivitas yang tidak terintegrasi dan berlanjut hingga berdampak sampai pada penyediaan sarana prasarana, penempatan halte bus, penempatan stasiun yang terintegrasi, hingga pada sistem jaringan telekomunkasi yang dikelola oleh beragam perusahaan.
Beberapa rekomendasi yang muncul dari pertemuan CTIS ini, antara lain, berkaitan dengan kewenangan pada sistem transportasi antar-moda tadi kiranya bisa lebih terintegrasi.
LRT dan KRL di Jakarta sudah mulai menggunakan produksi dalam negeri dengan kandungan lokal (TKDN) yang semakin meningkat. Ini progress yang menggembirakan.
Nampaknya, industri perkeretaapian di Tanah Air akan bisa lebih dikembangkan, asalkan perencanaan sistem moda transportasi ini dapat menjangkau jangka menengah hingga jangka panjang, sehingga industri perkeretaapian domestik ini bisa tumbuh secara berkelanjutan. ***
sumber : https://forestinsights.id/sistem-transportasi-massal-bisa-atasi-polusi-udara/
Roket RHan-122B sebuah lompatan teknologi dalam bidang pertahanan, telah mencapai tonggak penting dengan pendaftaran tujuh paten terkait desain dan teknologi canggihnya. Dikembangkan oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006, roket ini menggunakan bahan bakar padat komposit berbasis HTPB/AP dengan konfigurasi grain propelan ganda, hollow, dan star-7.
Hampir 60 tahun sejak Roket Kartika-1 diluncurkan Indonesia pada 14 Agustus 1964, teknologi peroketan, utamanya yang berkaitan dengan bahan bakar padat roket, sudah dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.
Inilah kesempatan untuk alih teknologi peroketan dan peningkatan nilai tambah Nasional menuju kemandirian pada program peroketan domestik, terutama di sektor industri pertahanan.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 22 November 2023.
Berbicara dalam diskusi berjudul ‘Pengembangan Peroketan Nasional: Permasalahan dan Tantangan’, adalah Mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Dr. Adi Sadewo Salatun dan dimoderatori oleh Ilmuwan Senior CTIS, yang juga mantan Kepala LAPAN Professor Harijono Djojodihardjo.
Roket RX-450 dengan bahan bakar padat roket buatan dalam negeri, diluncurkan LAPAN pada 2 Desember 2020 dan mencapai ketinggian 100 Km.
Peluncuran Roket Kartika-I yang berbobot 220 Kilogram dari Stasiun Peluncuran Roket, Pameungpeuk, Jawa Barat, dengan jarak luncur maksimum 60 kilometer itu, adalah kado HUT RI ke 19 (1964). Momen itu juga menempatkan menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di Asia sesudah Jepang, yang berhasil meluncurkan roket ke ruang angkasa.
Pada dekade 1960-an, bekerja sama dengan Jepang, LAPAN meluncurkan roket-roket jenis KAPPA yang bisa mencapai ketinggian 160 kilometer. Bahan bakar padat propelan roket KAPPA terbilang rumit karena harus disiapkan pada kondisi -18 derajat celsius. Apabila temperatur bahan bakar padat meningkat cepat sebelum peluncuran maka roket bisa meledak.
Adi menyatakan bahwa riset membuat bahan bakar padat untuk propelan roket di Indonesia dilaksanakan bertahun-tahun, karena memang ini adalah komponen yang paling rumit.
Para ahli Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk menguasai teknologi bahan bakar padat propelan roket tadi. Apalagi banyak pihak tidak ingin Indonesia memiliki kemampuan teknologi ini. Pasalnya, bila Indonesia menguasai teknologi pembuatan roket dan bahan bakar padatnya secara mandiri maka bisa membuat banyak negara khawatir, karena roket selain bisa dipakai untuk membawa muatan sensor telekomunikasi, sensor sonda telemetri atau muatan satelit juga dipakai untuk membawa hulu ledak konvensional, bahkan membawa hulu ledak nuklir.
Kerja keras para ahli Indonesia membuahkan hasil bahan bakar padat roket Hydroxy Terminated Poly Butadiene (HTPB) sebagai fuel binder, kemudian Amonium Preklorat sebagai oksidator dan Toulene Di-Isocyanate (TDI) sebagai curing agent. Sedang desain roketnya sudah mencapai desain roket diameter 320 milimeter sebagai roket RX-320, juga desain roket 450 milimeter sebagai roket RX-450.
Tentu kemampuan penguasaan teknologi tinggi ini, perlu diterapkan dan kegiatan riset peroketan harus sejalan dengan program pembangunan di Indonesia secara keseluruhan.
Peserta diskusi sepakat bahwa hasil karya monumental para ahli peroketan Indonesia ini perlu dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada 2013 – 2014 lalu, sebenarnya telah dirintis Konsorsium Roket Nasional (KRN) dengan PT. Dirgantara Indonesia membuat struktur roket, LAPAN membuat motor roket, Pindad memproduksi hulu ledak, sedang PT. Dahana menyediakan bahan bakar padatnya.
Konsorsium ini telah menghasilkan Roket RHAN-122 dengan jarak jangkau 15 kilopmeter. Pola seperti ini perlu dipacu.
Kerja sama dengan mitra internasional yang memasok roket-roket peralatan utama sistem persenjataan (alutista) TNI perlu digalang. Dimulai dengan kerja sama pengadaan bahan bakar padat karena komponen ini memiliki masa kadaluwarsa, yang apabila roket tidak digunakan maka masa pakai bahan bakar padatnya akan habis.
Banyak alutsista TNI yang menggunakan roket, seperti roket RM-70 Grad Korps Marinir TNI-AL. Ada juga roket Multilaras ASTROS TNI-AD buatan Brasil, rudal rudal Excocet TNI-AL juga menggunakan bahan bakar roket, belum lagi roket-roket yang dipasang pada pesawat pesawat tempur TNI-AU, seperti AIM-9 Sidewinder.
Kesemua roket tadi memerlukan bahan bakar padat dan Indonesia sudah menguasai kemampuan membuat bahan bakar padat ini. Awal program alih teknologi peroketan, sekaligus peningkatan nilai tambah produk nasional di bidang peroketan bisa dimulai dari sini. Apalagi, sesuai UU No.16/Th.2012 Tentang Industri Pertahanan, mewajibkan semaksimal mungkin penggunaan kemampuan Nasional dalam pembangunan alutsista.
sumber : https://forestinsights.id/telah-kuasai-teknologi-saatnya-indonesia-tingkatkan-nilai-tambah-di-industri-roket/
anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Mumpuni (dok Ibeka)
Pembangunan harus melibatkan masyarakat agar berdampak langsung terhadap komunitasnya. Masyarakat bisa berkreativitas, berinovasi dan berdampak positif. Maka dibutuhkan paradigma yang tepat untuk membangun Indonesia yang sangat luas ini.
Hal itu disampaikan oleh Tri Mumpuni, anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 12 Maret 2025.
Pelopor pemberdaya listrik di lebih dari 60 lokasi di wilayah terpencildi Indonesia memaparkan bahwa ada sebuah paradigma yang tepat sebuah transfer teknologi yang berkeadilan sosial dan berkeadilan lingkungan.
Paradigma ini dikaitkan dengan kondisi planet Bumi yang kondisinya kian memprihatinkan. Kerusakan lingkungan, bencana alam, kemiskinan terjadi dimana-mana sementara Tuhan telah menciptakan sumber daya alam luar biasa.
“Sejak Indonesia merdeka, resource yang diberikan Tuhan belum mampu memakmurkan rakyat. Banjir dimana-mana. Sudah tahu daerah sungai justru ditutup. Tempatnya tumbuh biota malah dipagar,” ugkap Tri Mumpuni.
Untuk itu paradigma yang harus dikembangkan dengan melihatkonteks Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas.
Ada lebih dari 17 ribu pulau. Ada 74.954 desa tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan wilayah Indonesia ini luasnya seperti dari Dublin (Irlandia) menuju Ankara (Turki).
“Apalagi Indonesia punya dua pantai terpanjang di dunia,” ujar pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) itu.
Paradigma yang diterapkan adalah paradigma archipelego. Yakni cara pandang dalam pembangunan wilayah kepulauan yang berbasi pada keragaman budaya, ekosistem dan kompleksitas wilayah.
Ini sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya dan ekosistem alam terbesar di dunia.
Namun yang terjadi selama ini, pembangunan wilayah Indonesia menggunakan paradigma kontinen.
Paradigma kontinen adalah cara pandang yang berbeda dengan paradigma kepulauan dalam memahami suatu wilayah.
Untuk kontinen, Indonesia menggunakan landas kontinen merupakan hak berdaulat negara untuk memanfaatkan kekayaan alam di dalamnya.
Menurut Tri Mumpuni pelaksanaan paradigma ini berdampak hingga saat ini.
“Banyak penyeragaman, padahal itu tidak perlu seragam. Padahal dengan archipelego ini walau kecil tapi unik, tapi tujuannya untuk memakmurkan rakyat,” kata Tri Mumpuni.
“The biggest mistake yang dibuat di dalam pemerintaha, tidak pernah memberikan kesempatan kepada rakyat untukmampu mengurus dirinya sendiri,” tegasya.
Semuanya diurus oleh negara dalam arti lain terjadi sentralisasi. Tri pun menyinggung soal aliran listrik untuk penerangan belum merata. Masih banyak wilayah Indonesia gelap karena tidak ada penerangan.
Masyarakat hanya menunggu kebijakan dari PLN yang notabene dari pemerintah pusat, sehingga masih banyak masyarakat yang tertinggal karena tidak ada penerangan di desanya.
Tri Mumpuni memberikan materi tentang paradigma pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Center for Technology and Inovation Studies, Rabu (12/3/2025)
Selain itu ancaman korupsi terjadi dimana-mana juga melumpuhkan sendi-sendi pembangunan. Kemudian konsep pembangunan based on monetery.Padahal dalam konsep paradigma archipelego ini pembagunan harus inklusif, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat.
“Yang selalu dipikirkan adalah pertumbuhan ekonomi maksimal. Padahal dalam pembangunan yang harus dipikirkan bagaimana kebahagiaan rakyat. Bagaimana rakyat bisa beraktivitas. Maka di sini perlu sebuah pandangan tentang techno anthropology,” tegasnya.
Bagaimana teknologi didekatkan dengankemampuan masyarakat atau rakyat. Mereka diberdayakan sehingga teknologi bisa memberikan arti positif dan benar-benar membangun kehidupan masyarakat lebih baik.
“Kenapa demikian, karena sistem pendidikan kita hanya berdasarkan mengejar prestasi, tidak disertakan dengan logic, rasa, empati atau kolbu,” kata Tri Mumpuni.
Maka dalam sistem pendidikan, otak digunakan untuk meningkatkan kecerdasan namun harus diimbangi dengan rasa. Bukan hanya pendidikan kognitif seperti yang sekarang diajarkan. Murid hanya fokus proses belajar daripada hasil belajarnya.
Penerima Ashden Award dan Ramon Magsaysay Award ini menjalankan techno anthropology dalam membangun wilayah Indonesia. Terlebih banyak wilayah Indonesia yang berada di pelosok, terpencil dan belum tersentuh pembangunan.
Ia sangat peduli dengan masyarakat di kawasan terpencil melalui pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sudah ada 60 desa lebih yang didatangi dan dibantu dengan teknologi PLTMH ini untuk penerangan. Hal itu berdampak luas bagi masyarakat yang bertahun-tahun mengalami kegelapan karena tidak ada penerangan. Kemudian mereka menikmati listrik di rumah.
Jalanan kampung-kampung menjadi terang. Masyarakat semakin meningkat dalam beraktivitas.
Pembangkit Listrk Mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Tri Mumpuni di pedalaman Indonesia. (dok Ibeka)
Beberapa upaya dalam membangun PLTMH yang ia bagikan dalam diskusi tersebut di Gayo Lues, Aceh. Desa-desa terpencil mendapatkan penerangan dari energi terbarukan tenaga mikrohidro pada 2008 dan hingga sekarang masih beroperasi.
“Masyarakat senang karena ada penerangan listrik. Masyarakat di sana terlibat mulai dari pembuatan PLTMH, membuat jalan desa dan terpenting lagi merawat PLTMH ini karena mereka merasa ikut memiliki,” jelas Tri Mumpuni.
Dalam pembangunan PLTMH ini tidak membutuhkan anggaran besar. Namun berdampak bagi masyarakat di sekitar.
Kisah serupa juga terjadi di Sumba dan Papua dalam proyek pembangunan PLTMH berbasis komunitas.
“Semua bergerak untuk membangun dan merawat hasil karya itu. Inilah konsep paradigma pembangunan yang berkeadilan karena melibatkan masyarakat dan yang menikmati masyarakat,” ujarnya lagi.
Namun di tengah pembangunan itu, Tri juga mencari anak-anak muda yang diberikan pendampingannantinya akan menjadi pioner dan champion di daerahnya dalam program Patriot Desa.
Mereka yang selama ini mengunyah pendidikan kognitif mulai dikenalkan dengan empati, rasa atau qolbu.
Dalam membimbing anak-anak muda untuk membangun Indonesia telah membuahkan hasil. Tri mencontohkan Rumah Mocaf di Banjarnegara, Jawa Tengah digawangi anak muda lulusan UGM yang memilih menjadi petani singkong dan melakukan hilirisasi teknologi dari singkong menjadi tepung mocaf pengganti terigu yang telah diekspor.
Tepung Mocaf diberi nama Rumah Mocaf ini telah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Petani singkong pun mendapatkan manfaat nilai tambah ekonomi karena awalnya singkong hanya dihargai Rp800 per kilogram. “Kini adanya tepung mocaf, harga singkong naik,” kata Tri.
Kemudian di Yogyakarta, anak muda mendirikan Agradayadengan memberdayakan petani sekitar. Anak muda dari Agradaya ini mengajari petani jahe di desanya dengan cara unik.
“Ibu-ibu diajari kalau menjual jahe tidak dengan tanahnya harganya Rp35 ribu per kg. Bila menjual jahe dalam keadaan bersih dan sudah diiris-iris harganya jadi Rp65 ribu per kg. Bila sudah menjadi bubuk jahe harganya Rp300 ribu. Ini konsep tidak bisa dilaksanakan di birokrasi. Maka percayakan pada anak-anak muda,” tegasnya.
Kemudian ada pabrik kemiri di Yogyakarta dibangun tahun 2015. Kemiri ini diekspor ke Arab Saudi dalam kondisi sudah dikupas dalam keadaan biji kemiri utuh.
Teknologi yang dikembangkan sangat sederhana yaitu biji kemiridikirim dari NTT masih terbungkus cangkang dimasukkan ke freezer dan kulkas. Setelah beku kemudian cangkangnya dipecah melalui mesin pengupas cangkang kemiri. Hasilnya biji kemiri masih utuh.
“Sekali ekspor satu kontainer seharga Rp2,3 miliar. Arab Saudi membutuhkan satu batch itu 23 ton. Pengiriman dari Yogyakarta dua kontainer, jadi sekali kirim sudah Rp4,6 miliar hanya dari kemiri saja,” terangnya.
Indonesia sebagai penghasil rempah bisa memanfaatkan peluang ekspor selain kemiri. Di Salatiga, lahir sebuah Akademi Inovasi Indonesia. Sebuah akademi yang menggratiskan biaya kuliah.
Akademi ini menerapkan kurikulum berbasis teaching factory dan project based learning. Berdirinya akademi ini karena kegelisahan anak muda melihat banyaknya pengangguran di usia produktif dan tidak mampu sekolah di perguruan tinggi.
Di akademi ini para mahasiswa bisa langsung praktek di industri. Akhirnya para alumninya mampu menghasilkan produk-produk yang diekspor terutama ke China dan membuka lapangan pekerjaan.
Di Indonesiakepemilikan rasio Computer Numerical Control (CNC) mungkin sekitar 10 ribu dan Singapura 99 ribu. Dengan adanya akademi ini, maka bisa dibayangkan desa-desa yang memakai CNC akan bertambah dan membanjiri seperti di China.
Tri Mumpuni menekankan pentingnya peran techno anthropology, yaitu pembangunan berbasis masyarakat atau sosio bisnis modern.
“Kita harus tahu persis inisiatif masyarakat, pembagunan berbasis pada masyarakat. Local community akan memberikan respect apabila pembangunan itu memberdayakan masyarakat. Dan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat,” jelasnya.
Dari sinilah maka local capasity terbangun dan local equity juga hadir . Sebab selama ini masyarakat hanya menjadi penonton. Selama ini konsep berinvestasi hanya punya penguasa dan pengusaha. Padahal rakyat pun bisa berinvestasi.
“Sehingga lahir pembangunan pro kearifan lokal. Manfaatnya capability dan local capasity bisa terlihat.Kita sebut pohon pemberdayaan. Dimana pun di dunia ada local resources dan menjadi local contribution. Itu bisa terjadi karena akarnya adalah rakyat punya motivasidan kreativitas.”
Tri Mumpuni juga menyinggung soal pupuk untuk pertanian. Selama ini keberadaan pupuk bersubsidi tergantung pada satu kontraktor. Seharusnya petani diberikan space untuk membuat pupuk secara mandiri sehingga kebutuhan selalu terpenuhi.
Sehingga pohon pemberdayaan ini kian berkembang apabila masyarakat ikut dilibatkan.
Di kesempatan diskusi tersebut, Prof Indroyono Soesilo selaku Dewan Pakar CTIS menyinggung berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh anak-anak muda dalam membangun industri dan hiirisasi teknologi.
“Apakah biayanya cukup besar? Atau di bawah Rp100 juta?”
Tri Mumpuni menjawab bahwa modal yang mereka pakai di bawah Rp100 juta. “Dengan biaya seperti itu saya kira pemerintah bisa mencontoh karena tidak perlu modal besar. Seperti pembangkit listrik di pelosok, setelah mampu menerangi desa-desa, PLN baru masuk,” kata Tri Mumpuni.
Para Pembicara Seminar (dari kiri) Perwakilan AIPI, Dr.Yanuar Nugroho BAPPENAS, Dr. Bambang Setiadi Ketua Asosiasi DRIN/Wakil Ketua CTIS, Drs. Yasmon MSL Direktur Paten, dan Prof. Faiz Syuaib, Direktur Riset, Teknologi dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan bahwa 13 tahun ke depan Indonesia harus bekerja keras, memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki untuk melompat dari Status Negara Berkembang menuju Negara Maju dan lolos dari “Middle Income Trap”.
Bonus Demografi berarti jumlah penduduk usia produktif yang besar, sehat, dan terdidik untuk menggerakkan pembangunan semesta di Indonesia.
“Namun, untuk itu kita harus segera meningkatkan berbagai peringkat pembangunan di Indonesia dibanding dengan negara lain,” demikian disampaikan Dr. Yanuar Nugroho, Koordinator Tim Ahli Sekretariat SDGs-Bappenas, pada Seminar Nasional Hari Kreativitas dan Inovasi Dunia (World Creativity and Innovation Day), sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Minggu, 20 Mei 2023
Dalam seminar yang digelar Asosiasi Daya Riset dan Inovasi Nasional (Asosiasi DRIN) bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Yanuar memperlihatkan berbagai peringkat Indonesia saat ini.
Diantaranya Gross Domestic Product (GDP) Indonesia Nomor 16 di dunia dari 193 Negara namun Human Capital Index (HCI) Indonesia masih berada di urutan 96 dari 193 Negara. Kemudian Human Development Index (HDI) di peringkat 114, Global Talent Competitiveness Index (GTCI) di urutan 82, Global Innovation Index (GII) di urutan 75 dan Global Competitiveness Index (GCI) di urutan 40 dari 193 Negara.
Pengalaman Negara-negara yang berhasil melompat dari negara berkembang menjadi negara maju seperti Singapura, Hongkong, Jepang dan Korea Selatan, mereka harus memacu pertumbuhan ekonominya pada rentang 6-8 persen/tahunnya, baru kemudian setelah menjadi negara maju maka laju pertumbuhan ekonominya turun berada di kisaran 3-4 persen/tahunnya.
Hal serupa juga harus dilaksanakan Indonesia pada rentang 13 tahun ke depan dengan penghela utamanya adalah ekosistem ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi yang mumpuni.
Pada kesempatan yang sama Direktur Paten, DTLST dan Rahasia Dagang, Kemenkumham, Yasmon MLS memaparkan jumlah permohonan patent yang didaftarkan pada kurun 1991-2023 ada 197.231 buah dan yang telah diberikan patennya adalah 93.017 paten.
Memang ini sangat kecil dibandingkan jumlah paten yang harus dihimpun untuk suatu negara yang ingin melompat dari negara berkembang menuju negara maju.
Oleh sebab itu, Direktorat Paten segera bergerak untuk memberikan dukungan regulasi, bimbingan teknis kepada para pemohon paten, serta berkunjung ke kampus kampus untuk menggairahkan para peneliti dan inovator agarsegera mempatenkan hasil temuan mereka.
Ketua Asosiasi DRIN yang juga Wakil Ketua CTIS, Dr. Bambang Setiadi menegaskan bahwa yang lebih penting lagi adalah kiranya hasil inovasi yang dipatenkan tadi harus diaplikasikan dan digunakan, karena paten juga memiliki jangka waktu terdaftar yang terbatas, yang apabila tidak digunakan maka paten akanmenjadi domain publik.
Direktur Riset, Teknologi dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kemendikbudristek, Professor Faiz Syuaib juga menyatakan bahwa pada 4 tahun terakhir publikasi hasil riset telah meningkat sangat tajam menjadi puluhan ribu karya tulis ilmiah.
Namun demikian, karya tulis ilmiah tadi sangat sedikit yang mengarah kepada paten ataupun menjadi prototipe guna bisa dihilirisasi menjadi produk industri. Oleh sebab itu, Faiz sepakat bahwa pada Agustus 2023 mendatang Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian Kepada Masyarakat, bekerjasama dengan Asosiasi DRIN dan CTIS akan menggelar Focus Group Discussion untuk mempertemukan para periset, inovator dan inventor guna menginvetarisasi beragam produk riset yang dapat segera dipatenkan dan bisa didorong ke industri melalui proses hilirisasi.
Seminar juga menampilkan para inovator Bangsa Indonesia yang karya-karyanya telah mendunia, seperti Dr. Yogi Ahmad Erlangga yang inovasi rumusan matematikanya dipakai di industri migas, Muhammad Nurhuda, penemu kompor ramah lingkungan yang sudah diekspor sampai Norwegia, Professor Adi Utarini, pengembang teknologi Wolbachia untuk pemberantasan penyakit demam berdarah, Professor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, penemu Teknologi Radar 3-Dimensi.
Ada juga Professor Mulyowidodo Kartidjo sebagai ahli robotika dan mekatronika, Fajar Sidik Abdullah Kelana, salah satu dari 20 Insinyur Muda Terbaik Sedunia, Professor Irwandi Yaswir penerima King Faisal International Prize dari Saudi Arabia, dan Dr.Sena Sopaheluwakan, ahli pemodelan iklim dan pemilik beberapa paten.
Pada kesempatan ini, Bambang Setiadi juga menyerahkan Penghargaan Asosiasi DRIN Award 2023 kepada mendiang Dr. Boenjamin Setiawan sebagai inventor, inovator dan pendiri Kalbe Farma yang sekarang telah menjadi salah satu industri farmasi terbesar di Indonesia.
Hadir banyak tokoh iptek Indonesia dalam Seminar ini, antara lain Ahli Remote Sensing & GIS, Dr. Indroyono Soesilo yang juga Mantan Menko Kemaritiman RI, pakar Klimatologi Dr. Andi Eka Sakya yang juga mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), ahli Teknologi Modifikasi Cuaca Dr.Asep Karsidi yang juga mantan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Prof.Soedarto, Guru Besar dan Mantan Rektor Universitas Diponegoro, serta Dr. Ashwin Sasongko Ahli Telekomunikasi dan Mantan Dirjen di Kementerian Kominfo.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa kurun 13 tahun ke depan adalah kesempatan bagi Indonesia untuk melompat dari negara berkembang menjadi negara maju karena memiliki bonus demografi yang dicirikan besarnya jumlah penduduk usia produktif.
Menanggapi penegasan Presiden Jokowi, Wakil Ketua Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Dr. Bambang Setiadi menyatakan tentang perlunya komponen iptek dan inovasi yang masuk kedalam program pembangunan menuju Indonesia Negara Maju pada 13 tahun ke depan.
Seperti data yang dicontohkannya pada negara-negara yang berhasil melompat menjadi negara negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang melesat tajam, seperti Swedia, Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di sana terdapat ciri dengan jumlah ilmuwan dan inovator yang besar per kapita, dukungan anggaran riset dan pengembangan yang besar pula, meningkatnya jumlah patent temuan, juga hilirisasi invensi menjadi produk-produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi.
Para pakar senior iptek di CTIS sepakat kiranya kebijakan kebijakan Pemerintah seperti program insentif pemotongan pajak 300% untuk program program penelitian, pengembangan pengkajian dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Juga dukungan dana hilirisasi hasil riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), serta implementasi UU Cipta Kerja tentang kebijakan BUMN untuk mendukung program-program inovasi bisa diterapkan lewat program program mikro iptek yang berujung pada peningkatan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Untuk itu maka dalam rangka Peringatan Hari Kreativitas dan Inovasi Sedunia (World Creativity and Innovation Day/WCID) tahun 2023, yang mengambil tema:”Step Out and Innovate”.
Asosiasi Daya Riset dan Inovasi Nasional (Asosiasi DRIN) bekerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), didukung Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) akan menggelar Seminar Nasional Hari Kreativitas dan Inovasi Sedunia 2023, bersamaan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2023, bertempat di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Menurut Bambang Setiadi, yang juga Ketua Asosiasi DRIN, selain mengundang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Ketua AIPI serta Perwakilan PBB di Jakarta, Seminar WCID 2023 juga akan menampilan para inovator Bangsa Indonesia yang karya-karyanya telah mendunia.
Mereka adalah: Dr. Yogi Ahmad Erlangga yang inovasi rumusan matematikanya unggul dipakai di industri migas.
Lalu ada Muhammad Nurhuda, seorang penemu kompor ramah lingkungan. Juga ada Professor Adi Utarini, pengembang teknologi Wolbachia untuk pemberantasan penyakit demam berdarah.
Ia penerima penghargaan Majalah NATURE 10 (2020) dan Majalah TIME 100 (2021). Professor JosaphatTetuko Sri Sumantyo yang berkarir di Jepang, sebagai penemu Teknologi Radar 3-Dimensi.
Lalu ada Professor Mulyowidodo Kartidjo sebagai ahli robotika dan mekatronika untuk industri otomatisasi kendaraan tanpa awak. Ada pula Fajar Sidik Abdullah Kelana, salah satu dari 20 Insinyur Muda Terbaik Sedunia dan memperoleh Penghargaan James Dyson Award dari Swedia.
Sedang Professor Irwandi Yaswir adalah penerima King Faisal International Prize dari Saudi Arabia, dan pada tahun 2022 lalu hadir bersama para penerima Hadiah Nobel dalam Hegra Conference of Nobel Laurates and Friends 2022.
“Kegiatan Peringatan WCID akan terus digelar setiap tahunnya, karena melalui kegiatan ini berbagai hasil invesi dan kreativitas karya anak bangsa bisa dikomersilkan untuk kemudian menjadi produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi,” kata Bambang dalam pernyataan yang diterima, Kamis, 18 Mei 2023.
Bencana El Nino diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan hadir di Kepulauan Nusantara pada tahun 2023 ini dengan puncak El Nino diprakirakan berlangsung pada September – November 2023, dicirikan kemarau panjang, curah hujan rendah dan kemungkinan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan menginstruksikan agar sektor kehutanan, pertanian, kelautan maupun kesehatan agar bersiap mengingat El Nino dapat memicu karhutla, gagal panen serta meningkatnya demam berdarah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) segera menggelar Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk meningkatkan curah hujan selagi awan masih tersedia, sekaligus membasahi lahan lahan gambut agar tidak mudah terbakar.
Melalui Surat Instruksi Kepala BNPB, No.B-213/KA BNPB/PD.01.04/2003, tanggal 12 April 2013 maka Tim BNPB bersamai Smart Cakrawala Aviation segera bergerak menuju Riau untuk menggelar Operasi TMC menggunakan Pesawat Cessna Caravan, didukung para ahli TMC Indonesia. Operasi TMC yang berlangsung pada 18 April 2023 hingga 8 Mei 2023 mencakup wilayah: Siak, Dumai, Rokan Hulu, Pulau Rupat dan Pulau Bantan, kesemuanya di wilayah Provinsi Riau.
Hasil Operasi TMC di wilayah Riau ini dipaparkan oleh Tim Pakar TMC Indonesia yang dipimpin Dr.Asep Karsidi dengan anggota Samsul Bahri, F. Heru Widodo dan Hilmi Rafiiq dihadapan para pakar senior teknologi dari Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (10 /05/ 2023).
Pada awal paparan, Dr.Asep Karsidi menyampaikan bahwa ketersediaan radar cuaca milik BMKG yang semakin lengkap di tanah air memungkinkan pantauan pembentukan awan dan pergerakan awan dapat dilakukan dalam hitungan menit-per-menit.
Dengan demikian, begitu awan mulai nampak terbentuk dengan arah dan kecepatan awan yang sudah terdeteksi, maka pesawat TMC, yang memuat serbuk NaCl, segera terbang menuju sasaran awan dan mulai melaksanakan penyemaian serbuk NaCl pada gumpalan awan tadi.
Usai operasi dan pesawat mendarat kembali maka para ahli terus memantau pergerakan awan dari instrumen radar cuaca. Tak beberapa lama kemudian, tampak pada monitor radar cuaca gumpalan-gumpalan awan tadi mulai menghilang dan informasi dari lapangan, melalui telepon seluler, dilaporkan bahwa hujan mulai turun.
Ditengah suasana libur Lebaran, Tim TMC BNPB dan Smart Cakrawala Aviation terus bekerja hingga 8 Mei 2023 lalu.
Guna mendapatkan masukan dari para pakar CTIS.
Dr.Asep Karsidi memaparkan berbagai hasil Operasi TMC di Riau ini, seperti meningkatnya curah hujan di Provinsi Riau bagian selatan sesuai data Automatic Weather Station (AWS) yang dipasang diberbagai lokasi. Juga, tinggi muka air di lahan gambut menunjukan fluktuasi kenaikan, terutama di Kabupaten Siak dan Rokan Hulu serta Pulau Rupat, mencapai nilai -0.3 hingga -0.2 meter.
Peraturan menetapkan bahwa tinggi muka air di lahan gambut yang aman adalah pada -0.4 m. Dengan demikian, lahan gambut dinilai basah dan aman dari karhutla. Operasi TMC berhasil pula menurunkan jumlah hotspot dari 66 hot spot pada 23 April menjadi 0 pada 25 April 2023. 36 hotspots muncul lagi pada 26 April 2023, namun dengan TMC maka pada 28 April 2023 hotspot berhasil diturunkan menjadi 0. Pada 2 Mei 2023 terdapat 36 hotspot, namun turun menjadi 0 hotspot pada 8 Mei 2023.
Direktur CTIS, Wendy Aritenang mengapresiasi kerja teknologi para ahli TMC Indonesia ini. Mengingat El Nino akan hadir dan selagi awan masih ada, maka operasi TMC perlu terus digencarkan agar lahan menjadi basah dan karhutla bisa dicegah. Oleh sebab itu, hambatan hambatan yang bersifat administratif perlu disingkirkan karena operasi TMC berkaitan dengan kondisi alam dan cuaca yang sewaktu waktu bisa berubah.
Para ahli TMC Indonesia terus berupaya agar operasi TMC menjadi semakin effisien dan effektif, termasuk merintis kerjasama dengan Unit TMC di negara Uni Emirat Arab (UEA) yang sudah berhasil melaksanakan operasi TMC menggunakan kombinasi Flare dan serbuk NaCl dengan volume lebih sedikit.
Dari Riau, Tim TMC Smart Cakrawala Aviation ditugaskan oleh BNPB ke Tabolaka, Nusa Tenggara Timur guna mendukung pelaksanaan KTT ASEAN agar kegiatan para pimpinan Negara-Negara ASEAN tidak terganggu oleh turunnya hujan, mengingat Operasi TMC bisa menurunkan hujan, atau sebaliknya bisa menghambat turunnya hujan.
sumber : https://posmetro.co/2023/05/11/tmc-riau-lahan-gambut-di-siak-dumai-rokan-hulu-pulau-rupat-dan-pulau-bantan-semakin-basah/
Dari 7 Juta Kilometer-Persegi luas wilayah Indonesia, 1/3 nya adalah daratan, 2/3 nya adalah lautan dan 3/3 nya adalah wilayah udara.
Wilayah udara ini harus dipertahankan kedaulatannya dan juga dimanfaatkan untuk mempersatukan NKRI melalui, antara lain, pengembangan industri penerbangan Nasional.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 15 Januari 2025, yang mengambil topik “Industri Penerbangan Indonesia”.
Menyampaikan paparan pada diskusi ini adalah Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim, dengan moderator Anggota CTIS yang juga mantan Kepala LAPAN, serta Professor Emiritus ITB, Prof. Harijono Djojodihardjo.
Chappy Hakim, yang mantan Kepala Staf TNI-AU itu, menjelaskan tiga peristiwa besar dunia pada satu abad terakhir dipicu oleh sebuah kekuatan udara, seperti serbuan pesawat-pesawat udara dari Armada Laut Kekaisaran Jepang ke Pangkalan AL AS di Pearl Harbour, Hawaii, pada 7 Desember 1941, yang menggiring Amerika Serikat terlibat pada Perang Dunia II. Kemudian, dijatuhkannya Bom Atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh pesawat pembom B-29 AS pada Agustus 1945, membuat Jepang bertekuk-lutut dan mengakhiri Perang Dunia II, namun berlanjut pada Perang Dingin.
Dan yang terakhir adalah aksi penabrakan pesawat sipil ke Gedung World Trade Center,di New York pada 11September 2001 yang berakibat hadirnya “War On Terorism” di seluruh Dunia.
Chappy juga menegaskan bahwa kekuatan udara AURI pada Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, di awal dekade 1960-an, termasuk kehadiran pesawat pesawat pembom strategis TU-16 AURI yang ditugaskan untuk menyasar dan menenggelamkan kapal induk AL Belanda, Karel Doorman, berhasil menggiring Belanda ke meja perundingan, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Banga (PBB).
Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi lewat jalur diplomasi dan operasi inflitrasi militer.
Wilayah udara merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara untuk dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemaslahatan rakyat.
Chappy menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia harus hidup dengan dan bersama industri penerbangan. Untuk menghubungkan 17.500-an pulau di NKRI, hanya bisa dilakukan dengan membangun jaringan transportasi laut dan transportasi udara yang kuat.
Industri penerbangan nasional mempunyai lima ciri, yaitu 1) keberadaan maskapai penerbangan pembawa bendera (flag carrier), 2) memiliki maskapai penerbangan perintis, 3) memiliki maskapai penerbangan charter, 4) memiliki maskapai penerbangan kargo dan 5) memiliki industri pesawat terbang.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Chappy Hakim menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki lima ciri industri penerbangan itu, termasuk pengelolaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia sebagai flag carrier, yang mencontoh sistem management maskapai penerbangan Belanda, yang dikenal terbaik di Dunia.
Indonesia pernah memiliki maskapai penerbangan perintis yang dikomandoi oleh Merpati Nusantara Airlines untuk menjangkau seluruh Indonesia. Setelah maskapai penerbangan Merpati tutup, diharapkan perannya dapat diambil alih oleh maskapai Pelita Air.
Kehadiran maskapai penerbangan charter dan kargo perlu didukung oleh keberadaan pabrik pesawat terbang. Chappy Hakim amat bangga dengan pesawat CN-235 Tetuko buatan PT. Dirgantara Indonesia, yang rancang-bangunnya dapat untuk angkutan penumpang dan angkutan barang, serta dapat dipakai maskapai penerbangan sipil dan juga digunakan oleh Angkatan Udara di berbagai negara.
“Nampaknya kehandalan CN-235 perlu didukung dengan pelayanan purna-jual serta penyediaan suku cadang yang lebih baik lagi,” demikian komentar Chappy Hakim.
Ia juga berharap kiranya pesawat angkut N-219 buatan PT. Dirgantara Indonesia dapat segera di produksi massal, karena ini adalah jawaban tepat untuk transportasi antar-pulau di Nusantara yang memiliki landasan udara pendek, pesawat berbahan bakar effisien dan biaya operasi relatif rendah.
Sebagai penutup, Chappy Hakim menggaris bawahi tentang tantangan dan strategi pengembangan industri penerbangan di Indonesia, antara lain dukungan pemerintah untuk investasi dan insentif, karena pengembangan industri penerbangan merupakan strategi jangka panjang.
Di samping itu, kebijakan dan regulasi perlu di evaluasi kembali dan dimutakhirkan. Misalnya, permasalahan wilayah udara, tentang wilayah udara sebagai bagian dari sumberdaya alam sesuai UUD-1945, perlu kehadiran kembali Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (Depanri), serta perlu keberadaan kembali Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) yang sudah dibentuk oleh Undang Undang.
“LAPAN adalah lembaga serupa pertama di Asia, dan pada tahun 1961 sudah berhasil meluncurkan roket – roket KAPPA, sayang lembaga ini sekarang hilang,” tutur Chappy Hakim menutup paparannya.
Sumber : https://forestinsights.id/peluang-dan-tantangan-industri-penerbangan-indonesia/
A group of young university graduates from various disciplines have innovated an electric boat for river and lake transportation in Indonesia. Their idea was translated into a design that utilizes renewable energy (RE), incorporating a hybrid system combining synthetic gas-powered generators to charge electric batteries and solar panels installed on the boat’s roof.
“This will be an electric-powered, low-emission boat with simple technology, making it suitable for villages with rivers and lakes in Indonesia,” explained Arief Noerhidayat, Managing Director of Comestoarra Bentarra Noesantarra, during a discussion at the Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) on Wednesday, February 26, 2025, as stated in a press release.
In his presentation, titled “Electric Boats for Indonesia’s Waterways”, moderated by Dr. Ridha Yasser, Assistant Deputy for Energy and Telecommunications at the Coordinating Ministry for Infrastructure and Regional Development, Arief introduced a waste-to-energy technology called TOSS (Technology for Waste Processing at Source) to produce biomass pellet fuel for electricity generation. The raw materials come from various organic waste sources, including water hyacinth.
These biomass pellets are then fed into a gasifier to produce synthetic gas, which is used to power an electric generator. The electricity generated is stored in batteries, which are then used to power the boat’s propeller, making it ready to sail. The boat also has an additional electricity supply from solar panels installed on its roof.
“We have developed a mini gasifier to produce synthetic gas, which is then used to drive an electric generator. The electricity produced can reach 10,000 watts, 25,000 watts, and even 50,000 watts. This is ideal for electrifying villages,” said Arief, whose startup has already developed biomass-powered gasifier plants generating 10,000 watts in Palembang and 30,000-50,000 watts in Klungkung, Bali.
The electric boat idea caught the attention of PT Pupuk Sriwijaya Palembang, which assigned Arief and his startup, Comestoarra Bentarra Noesantarra, to create a prototype with funding support from its corporate social responsibility (CSR) program. The electric boat was used for transportation along the Musi River, on the Pulau Kamaro – Palembang City route.
The electricity generated was equivalent to the energy from fuel costing Rp 3,800 per liter. The boat was tested using Pertalite gasoline, which is sold at around Rp 13,000 per liter in the Musi River area. If the boat requires 5 liters of Pertalite per day, the fuel cost would be Rp 65,000 per day. In comparison, using biomass pellet energy costs only Rp 19,000 per day. The test results showed that the electric boat operated excellently, leading to the construction of a second electric boat for transportation in the Musi River.
Discussion participant Dr. Ali Alkatiri, Assistant Deputy at the Ministry of Small and Medium Enterprises (SMEs), strongly supported the initiative as a solution for rural business development. SME business consultant Trihandoyo MSc welcomed Arief’s explanation that local communities had already been trained to maintain the electric boat equipment, as its technology is relatively simple. Both agreed to propose a presentation before Minister of SMEs, Maman Abdurrachman, to push for funding mobilization for electric boat development across Indonesia, including through CSR funds.
According to Arief Noerhidayat, the total cost for building the boat, including the engine, solar panels, and gasifier, is around Rp 141 million. As a follow-up, moderator Dr. Ridha Yasser plans to include this product in the E-Catalog of the Government Procurement Policy Agency (LKPP) so that it can be accessed by ministries, agencies, and local governments at the provincial, district, and city levels.
Arief further explained that the gasifier’s raw materials come from water hyacinth, which is considered an invasive weed and an environmental nuisance, commonly found in hydroelectric dams such as Rawa Pening in Central Java, as well as the Saguling and Cirata Reservoirs in West Java, and Lake Toba in Sumatra. By utilizing water hyacinth as biomass fuel for electricity generation, this innovation not only produces energy but also helps clean lakes from invasive weeds.
He added that the calorific value of water hyacinth is approximately 4,000 Kcal/kg, which is sufficient to generate synthetic gas to power an electric generator and charge the electric boat’s battery.
KOLABORASI PT Comestoarra Bentarra Noesantarra ( comestoarra.com ) dengan PT Pupuk Sriwidjaja(Pusri) sukses mengembangkan perahu listrik inovatif dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan dari eceng gondok..
Eceng gondok ini dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa yang kemudian diolah sebagai bahan bakar untuk menggerakkan perahu listrik.
Hal itu dipaparkan oleh CEO comestoarra.com , Arief Noerhidayat dalam diskusi publik yang dilaksanakan oleh Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) bertema Perahu Listrik untuk Wilayah Perairan Indonesia, Rabu (26/2/2025).
Arief menjelaskan bahwa bahan baku eceng gondok sangat melimpah dan mudah didapatkan di waduk, danau ataupun sungai.
Selama ini eceng gondok baru dimanfaatkan untuk kerajinan. Namun di tangan Arief, eceng gondok bisa digunakan sebagai bahan bakar penggerak perahu listrik.
Program energi baru dan terbarukan di Pulau Kemaro pertama kali diinisiasi melihat dari permasalahan eceng gondok yang sangat melimpah di Sungai Musi, Sumatra Selatan.
Di sisi lain adanya kebutuhan transportasi masyarakat yang sehari-harinya menggunakan perahu sebagai moda transportasi utama.
Mayoritas masyarakat Pulau Kemaro memiliki perahu untuk alat transportasi. Namun untuk menggerakkan perahu, mereka membutuhkan BBM.
Apalagi letak Pulau Kemaro berada di tengah-tengah Sungai Musi. Di sana dihuni sekitar 100 kepala keluarga.
Perahu listrik dari energi terbarukan
Comestoarra.com didukung PT Pusri Palembang menginisiasi ide membuat modifikasi perahu listrik dengan menggunakan sumber energi baru terbarukan.
Pengadaan perahu listrik ini dalam program CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT Pusri Palembang.
Arief menjelaskankonsep perahu listrik menggunakan material perahu fiber dengan dinamo penggerak DC.
Perahu fiber memang lebih ringan, dan dinamo penggerak DC lebih mudah diimplementasikan. Namun model perahu listrik seperti ini memakan investasi besar.
Maka comestoarra.com menggunakan motor penggerak AC. Dan punya desain pengisian daya baterai dengan menggunakan dua penyulang energi baru dan terbarukan.
“Pertama adalah energi dari matahari dan kedua dari energi dari biomassa. Kedua energi ini digabung sehingga operasional perahu listrik bisa optimal,” terangnya.
Perahu listrik ini menggunakan PV Solar sebagai energi tenaga surya. Sedangkan baterai yang digunakan bersumber dari hasil gasifikasi biomassa.
Bahan-bahan biomassa itu dibuat dari campuran eceng gondok di pesisir Pulau Kemaro serta daun-daun kering yang ada di lingkungan Pusri.
Biomassa dari lingkungan Pusri ini setiap hari tersedia. Biomassa berupa alang-alang, kayu dan daun-daun yang tiap hari terkumpul sekitar 5 ton dimuat di 16 truk.
Bahan-bahan ini kemudian dicampur untuk diolah menjadi pelet. Pengolahan menjadi pelet ini dengan metode Teknologi Olah Sampah di Sumbernya (TOSS).
“Ini mendapat respons positif dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat juga kementerian,” kata Arief.
Selain itu cara membuat pelet untuk mengedukasi masyarakat bahwa bahan-bahan alam di sekitar mereka bisa diolah menjadi energi terbarukan menggantikan BBM.
“Perahu listrik ini bisa dioperasikan oleh warga lokal karena tidak jelimet. Perahu yang digunakan adalah perahu yang ada di Sungai Musi kemudian dimodifikasi. Perahunya dibuat oleh warga lokal,” terang Arief.
Aspek kearifan lokal
Kelebihan perahu listrik ini pada aspek kearifan lokal. Sebab material perahu yang digunakan masih berbasis kayu dan dibuat oleh masyarakat setempat.
Perahu listrik ini telah dikembangkan dengan sejumlah uji coba dan telah beroperasi sejak Desember 2023.
Sebelum membuat perahu listrik, comestoarra.com mengedukasi masyarakat setempat memperkenalkan kompor biomassa dan mengadakan lomba memasak empek-empek.
Kompor biomassa ini juga diperkenalkan oleh comestoarra.com ke Kabupaten Ende, NTT bekerja sama dengan pemerintah daerah dan NGO.
Program ini mengolah sampah biomassa menjadi pelet yang digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor biomassa, menggantikan minyak tanah yang mahal dan langka.
Inisiatif ini tidak hanya mengatasi permasalahan sampah, tetapi juga menyediakan sumber energi alternatif bagi masyarakat setempat.
Pendekatan ini tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggantikan bahan bakar fosil, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat melalui penyediaan sumber energi alternatif yang berkelanjutan.
Hybrid panel dan gasifikasi dari pelet eceng gondok dan biomassa inimenghasilkan listrik. Energi listrik hibrida ini selain menggerakkan kapal, juga untuk charge handphone, laptop hingga untuk memutar musik dangdut.
Perahu listrik ini memiliki kecepatan 5 knot untuk mobile bolak-balik dengan 17 penumpang.
“Penggunaan perahu listrik ini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dari sebelumnya memakai solar diganti dengan energi terbarukan,” jelas Arief.
Untuk pengisian baterai ini dibantu Loesche Indonesia, anak perusahaan dari Loesche GmbH Jerman.
Siap komersialisasi
Ia menjelaskan bahwa di Pulau Kemaro itu banyak penjual BBM floating. Ia berharap nantinya akan ada floating untuk charging station di sepanjang Sungai Musi. Saat ini baru satu charging station.
Kerjasama dengan PT Pusri ini berawal dari CSR namun berkembang menjadi bisnis karena Pusri membeli satu perahu listrik. Harga satu kapal listrik sekitar Rp140 juta.
Sedangkan di Ende, selain pengenalan kompor biomassa juga ada perahu listrik bekerja sama dengan PLN selama setahun.
Untuk terus mengedukasi masyarakat sekalian memperkenalkan lebih dekat tentang perahu listrik maka diadakan eduwisata. Para peserta eduwisata akan diajari bagaimana memproses bahan limbah menjadi listrik.
Arief pun masih punya cita-cita ingin menciptakan perahu listrik ambulans untuk membantu warga tinggal di pulau atau di tepi sungai yang akan berobat atau kondisi emergency.
Indroyono Soesilo dari CTIS menanggapi pemaparan tentang perahu listrik mendorong agar produk perahu listrik ini dikomersialkan.
Selain menjawab masalah energi terbarukan, lahirnya perhau listrik ini bentuk dari hilirisasi energi terbarukan dan alih teknologi perahu berbasis BBM menjadi perahu berbasis listrik.
Menanggapi hal itu Arief mengatakan“Dari sisi inovasi, perahu listrik ini sudah laik untuk dijadikan suatu produk yang dapat direplikasi dan dikomersialisasi,” ujarnya.
TEKNOLOGI Modifikasi Cuaca (TMC) saat ini sudah sangat umum dikenal masyarakat. Dahulu namanya teknologi hujan buatan.
Dahulu masyarakat awam belum paham apa itu hujan buatan? Hujan itu sebuah siklus alam dan bukan buatan manusia. Namun kemudian ada teknologi untuk menghadirkan hujan. Dan dalam ilmu marketing, nama hujan buatan lebih banyak diingat orang.
Kemudian namanya berganti menjadi TMC. Teknologi ini sudah dimulai sejak 1980 oleh para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lembaga ini sudah melebur di dalam BRIN.
Dalam Iptek Voice edisi-79 membahas Teknologi Modifikasi Cuaca dengan narasumber Dr Asep Karsidi APU.
Dalam paparannya, Asep Karsidi menjelaskan bahwa TMC ini benar-benar teruji secara sains, jadi bukan seperti pawang hujan.Bahkan TMC ini telah digunakan untuk membantu mengisi waduk yang debit airnya terus menyusut saat kemarau.
Membantu memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di Sumatra dan Kalimantan.
Dan pada acara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 2022, TMC dilibatkan untuk mencegah terjadinya hujan.
“Keberhasilan ini membanggakan kita semua dan keluarga besar BPPTyang bekerja sama dengan BMKG dan Lapan. Namun sekarang BPPT dan Lapan sudah tiada, jadi sekarang di bawah BMKG,” kata Asep Karsidi.
Dan saat ini yang memanfaatkan jasa TMC ini tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta. Seperti saat musim kemarau panjang, para pemilik perusahaan perkebunan telah mengantisipasi terjadinya karhutla dengan memanfaatkan jasa TMC.
Diakui oleh Asep bahwa hadirnya TMC ini telah membangun industri jasa layanan untuk TMC. Dan teknologi ini bertujuan untuk menambah atau mengurangi curah hujan agar sumber daya air tetap terjaga.
“Saat ini lebih luas penanganannya dan tentu didukung iptek oleh lembaga riset seperti BRIN sekarang ini. Dari aspek pemerintahan harus perkuat aspek risetnya agar efektif,” tegasnya.
TMC terus berkembang
Menurutnya TMC memiliki banyak aspek dan tidak hanya mengurangi atau menambah intensitas hujan.
Bahkan di luar negeri telah dilakukan memanen petir untuk kepentingan pertanian. Dalam TMC ini, teknologi yang digunakan untuk mengganggu calon-calon sumber air di angkasa dengan cara dinamis maupun statis.
Perkembangan teknologi TMC ini cukup dinamis. TMC di Indonesia awalnya meniru Thailand dengan menyebarkan butian garam untuk disemai di awan. Butiran garam ukurannya harus di bawah 10 mikron.
Namun pada penyemaian di awan itu justru ukurannya lebih besar 100 mikron. Pesawat yang mengangkut adalah pesawat casakarena harus membawa 700 kg. Hal ini tidak efektif. Dalam perjalanannya TMC ini mengalami perkembangan inovasi.
“Dari Thailand tidak lagi dipakai dan diganti dengan teknologi terbaru dari AS dengan menggunakan teknologi flare,” terang Asep.
Bahan baku berupa garam dengan ukuran 1-10 mikron atau sangat kecil seperti bubuk. Dalam penyemaian ini dengan flare atau ditembakkan ke awan.Teknologi flare ini juga bisa menggunakan roket yang ditembakkan dari tanah atau dengan drone.
“Kita kembangkan proses pembentukan butir hujan dengan membutuhkan titik kondennsasi lebih halus 1-10 mikron partikel yang halus dengan flare,’ jelas Asep Karsidi.
Meskipun teknologi ini sudah terbukti bisa meningkatkan dan mengurangi hujan, namun TMC ini kadang terkendala perubahan mikrofisik yang cepat di udara yang terbuka. Hal itu tidak bisa dikendalikan oleh manusia.
“Maka dalam kegiatan TMC ini kita intervensi atau utak atik karena kondisi alam yang cepat berubah,” ujarnya.
Di AS, jasa TMC baik statis maupun dinamis dilakukan oleh perusahaan jasa swasta. Sedangkan di Thailand oleh pemerintah.
Menariknya jasa TMC di Amerika Serikat fokus memanen kilat atau petir yang dirintis sejak 1990. Kemudian pada 2000 an TMC berbasis flare untuk membantu PLTA dan sektor pertanian.
Bahkan TMC digunakan untuk menyebarkan benih, pupuk dan semprot hama.
Sedangkan NASA pun melakukan riset extraordinary untuk TMC ini bila ada badai. Amerika Serikat melalui NASA menerbangkan pesawat untuk meluluhkam mata badai.
Hilirisasi teknologi dan bisnis TMC
Perjalanan TMC dari 1980-an hingga sekarang telah terjadi perubahan besar. Berawal dari Teknologi Mitigasi. Cuaca kini lahir perusahaan yang fokus pada pelayanan jasa modifikasi cuaca.
Dua perusahaan ituadalah PT Smart Cakrawala Aviation dan PT Reka Cuaca Indonesia. Untuk PT Smart Cakrawala Aviation dalam jasa TMC bersifat dinamis menggunakan flare.
Sedangkan untuk PT Reka Cuaca Indonesia menggunakan powder yag disebar dari ground atau bersifat statis.
Kedua perusahaan ini telah memiliki banyak klien di berbagai daerah baik dari provinsi, kabupaten hingga perusahaan tambang dan perkebunan serta Jasa Tirta I dan II.
Menurut Sadly, lahirnya dua perusahaan ini berawal keinginan mendukung program pemerintah dalam hilirisasi teknologi. Serta berpartisipasi melayani para users yang ingin memiliki solusi saat menghadapi karhutla, ketahanan pangan, bencana hidrometeorologi dan lainnya.
Sukses tekan karhutla
Indroyono Soesilo dari Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) yang hadir dalam pemaparan Teknologi Modifikasi Cuaca ini mengatakan bahwa TMC berperan besar dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia
Disebutkan dalam COP 26 di Glasgow pada 2020 bahwa Indonesia mampu menurunkan 83 persen karhutla melalui upaya Teknologi Modifikasi Cuaca. Dimulai dari 2010 terjadi karhutla mencapai 2,6 juta hektare kemudian pada 2020 tersisa 210 hektar. Penurunan drastis karhutla ini karena peran serta TMC dalam pengendalian hujan.
Banyaknya perusahaan yang mengandalkan TMC dalam pengendalian karhutla karena lebih menguntungkan. Sebab sewa jasa TMC untuk satu provinsi rata-rata Rp3 miliar.
Sementara karhutla yang terjadi periode 2014-2019 untuk satu provinsi menangguk kerugian Rp7,3 Triliun.
Untuk itu pelayanan jasa teknologi modifikasi cuaca bernilai ekonomi dan mendatangkan banyak cuan.
Sadly dalam paparan terakhir mengatakan bahwa TMC ini memiliki banyak peluang karena saat ini semakin banyak waduk dan PLTA.
Tantangannya dalam TMC ini mengutak atik cuaca di alam terbuka dengan kondisi sangat dinamis dan tidak menentu.
“Diperlukan dukungan iptek dan peralatan yang mumpunidan terus dilakukan riset lebih lanjut oleh lembaga pemerintah bersama dengan pihak terkait,” kata Sadly.
Selain itu pihak swasta diberi kesempatan untuk melaksanakan layanan TMC sebagai fungsi hilirisasi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah. Layanan terfokus pada ketersediaan air, mengurangi curah hujan untuk masyarakat.