Categories
Domestic S&T News

Ekonomi Berbasis Iptek Harus Jadi Prioritas Negara

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Namun, langkah ini dinilai belum menjadi prioritas utama.

Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang, dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini belum mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarak salah satu penyebabnya karena minimnya pemanfaatan  iptek.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang (duduk no 3 dari kiri), dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025). (Dok CTIS)

“Peran negara dalam membangun perekonomian berbasis  (iptek) harus ditingkatkan, karena sektor swasta /perusahaan di Indonesia saat ini umumnya masih berorientasi jangka pendek dan disibuki berbagai kewajiban, aturan dan prosedural yang kerap berubah . Belum banyak yang berperan dalam membangun industri  berbasis iptek,” ujarnya.

Wendy mencontohkan, dalam mengembangkan industri transportasi publik seperti kereta api, di sini negara harus hadir karena customernya hanya “tunggal” yaitu negara.  Iptek dan industri yang menyangkut kepentingan negara seperti Hankam, Industri Pangan Pokok, Kedirgantaraan dan Antariksa , Riset Kelautan; dan sektor-sektor strategis lainnya harus diperankan oleh negara karena menyangkut NKRI, persaingan negara, dan kemandirian negara. Jadi tidak boleh dibiarkan sepenuhnya   kepada swasta karena orientasinya berbeda, meskipun tentunya dimungkinkan kerjasama dan partisipasi swasta  di tahap hilirnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek
Negara harus hadir dalam pengembangan transportasi publik seperti kereta api karena customer tunggal yaitu negara.  (Dok PT KAI)

Ia juga menyoroti dukungan pemerintah terhadap lembaga Iptek yang cenderung menurun, seperti terlihat dari berkurangnya support dan perhatian terhadap sejumlah lembaga yang lahir sejak era Presiden Soekarno hingga BJ Habibie dan SBY, seperti LAPAN, LIPI, BATAN, BPPT, Bapeten; dan litbang-litbang sektor yang seyogyanya diharapkan menjadi penopang Iptek nasional. “Lembaga iptek yang ada masih sangat sedikit. Indonesia sebagai negara besar seharusnya memiliki lebih banyak institusi /pusat iptek, bukan dikurangi” tambahnya.

Sejarah menunjukkan, Soekarno merancang penguasaan teknologi kedirgantaraan agar Indonesia mampu memproduksi pesawat penghubung antarpulau. Cita-cita itu kemudian diwujudkan BJ Habibie dengan pengembangan pesawat komuter, industri pertahanan, serta berdirinya PT PAL, PT PINDAD, dan PT Dirgantara Indonesia. Habibie juga memperluas iptek di sektor pangan, kelautan, dan energi.

Namun, menurut Wendy, political will dalam pengembangan iptek kini cenderung semakin meredup. Lembaga R&D yang ada bahkan sudah “dilebur” ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berubah orientasinya. “Negara harus hadir di sektor pangan dan komoditas pokok, kesehatan, pertahanan, kelautan, dan sektor strategis lainnya. BRIN jangan hanya mengurusi riset, tetapi juga harus banyak aspek pengembangan (development),” tegasnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ia juga menilai di beberapa aspek adanya “back-log” peraturan dan kebijakan menyebabkan terjadinya  “pembiaran”  yang  menyebabkan akumulasi permasalahan publik yang semakin sulit  diselesaikan. Salah satunya kasus truk ODOL (Over Dimension Over Loading) yang terus berlarut. “Padahal bila sejak awal peraturan diikuti dengan benar bisa diatasi dengan optimalisasi jembatan timbang dan integrasi teknologi ETLE serta WIM (Weight-in-Motion), atau teknologi lainnya,” katanya.

Peserta diskusi  menekankan dalam peningkatan peran Iptek bagi pembangunan pentingnya konsep sinergi antara pemerintah, dunia usaha, Universitas; dan pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi ini  dinilai krusial untuk mendorong inovasi dan membangun ekonomi berbasis iptek yang dapat lebih  memakmurkan rakyat. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari Konsumen ke Inovator: Masa Depan Industri Kedirgantaraan RI

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Bayangkan bila suatu hari pesawat hemat energi buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bisa menghubungkan kota-kota kecil, atau satelit karya anak bangsa mampu memantau cuaca, pertanian, dan bencana. Itu bukan mimpi, asalkan strategi pembangunan teknologi dirancang sejak sekarang.

Riset dan SDM Jadi Fondasi

Langkah awal adalah memperkuat riset. PTDI dan BRIN harus mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan teknologi pesawat, drone logistik, hingga satelit. Kerja sama dengan universitas dan mitra internasional bisa mempercepat penguasaan teknologi.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Pesawat CN 235 produksi PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Namun, secanggih apa pun teknologinya tidak akan berarti tanpa manusia yang menguasai. Karena itu, Indonesia harus melahirkan lebih banyak SDM unggul di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Penguasaan matematika, fisika, dan komputer sejak dini menjadi syarat mutlak agar anak muda siap menjadi insinyur, teknisi, maupun peneliti penerbangan.

Tantangan Nyata

Prospek industri kedirgantaraan memang besar, tetapi masalahnya juga banyak:

• Anggaran riset terbatas sehingga inovasi sering berhenti di tahap prototipe.

• Ketergantungan impor komponen penting masih tinggi, mulai dari avionik hingga material khusus.

• Kekurangan tenaga ahli di bidang aerodinamika, material komposit, hingga kecerdasan buatan (AI) untuk navigasi.

• Rantai pasok industri lokal masih lemah, UKM belum sepenuhnya terlibat.

• Birokrasi dan regulasi lambat, kerap menghambat pengembangan produk baru.

Jika masalah-masalah ini tidak diatasi, sulit bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dulu menguasai teknologi penerbangan dan antariksa.

Alih Teknologi: Dari “Transfer” ke “Development”

Selama ini kita akrab dengan istilah technology transfer. Namun, istilah ini menyesatkan karena memberi kesan prosesnya sederhana—teknologi tinggal dipindahkan begitu saja dari negara maju ke negara berkembang. Padahal, alih teknologi jauh lebih rumit.

Lebih tepat jika dipahami sebagai technology development, cooperation, and transaction through its stages.

• Development (Pengembangan): teknologi harus dikuasai, dimodifikasi, hingga bisa dikembangkan mandiri.

• Cooperation (Kerja Sama): alih teknologi menuntut kolaborasi, misalnya riset bersama atau produksi bersama.

• Transaction (Transaksi): teknologi selalu terkait lisensi, kontrak, dan negosiasi komersial.

Dengan kerangka ini, alih teknologi tidak lagi dipahami sebagai ketergantungan, tetapi sebagai proses membangun kapasitas nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia. (Dok PTDI)

Ekosistem Industri dan Investasi

B.J. Habibie bukan hanya dikenal sebagai Presiden RI ke-3, tetapi juga tokoh teknologi kelas dunia. Salah satu gagasannya yang menarik adalah Holistic Technology Proficiency Development and Acquisition (berdasarkan pemahaman penulis), atau secara sederhana:  menguasai teknologi secara utuh mulai dari hilir dan secara bertahap menguasai pengetahuan dan proses hulunya, atau dari assembling, manufaktur, modifikasi, desain bersama, desain mandiri, dan meneliti untuk keunggulan kompetitif. Filosofi ini dikenal dengan ungkapan: Start from the End, End with the Beginning”.

Apa maksudnya? Habibie menekankan bahwa untuk bisa mandiri dalam teknologi, bangsa kita harus berani menguasai produk teknologi terkini, canggih, atau strategis untuk kebutuhan dalam negeri yang belum kita kuasai secara pragamatis melalui proses yang berbasis filosofi di atas . Misalnya pesawat terbang, kapal selam, atau kereta super-cepat. Dari sana, kita bisa belajar bukan hanya tentang produk akhirnya, tetapi juga seluruh proses produksinya—mulai dari bahan baku, kualitas, standar keamanan, hingga industri pendukungnya.

Pertama, penguasaan teknologi dimulai dari penguasaan teknologi manufaktur produk canggih yang strategis bagi negara, seperti pesawat transportasi, kapal selam, atau kereta super-cepat. Tahap ini mencakup pemahaman proses produksi secara menyeluruh: mulai dari persyaratan teknis, pengendalian mutu, jaminan kualitas, hingga pengembangan industri hulu yang menopang ekosistem produksi.

Kedua, setelah menguasai dasar-dasar manufaktur, langkah berikutnya adalah mengembangkan kemampuan kreatif untuk menciptakan produk baru. Proses ini dilakukan melalui kerja sama yang komprehensif, baik dalam riset, produksi, sertifikasi mutu, maupun perluasan pasar global.

Ketiga, kemampuan kreatif yang sudah terbentuk harus diarahkan menuju kemandirian. Artinya, bangsa ini mampu mengembangkan produk baru secara mandiri, termasuk proses produksi, jaminan mutu, dan pemasaran global, sehingga dapat mendorong daya saing industri nasional.

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.
Helikopter militer. (Dok PTDI)

Keempat, pengembangan kreativitas perlu terus ditopang oleh riset yang komprehensif, dengan menetapkan prioritas riset terapan tanpa melupakan riset dasar. Pada tahap ini, penguatan kapasitas sumber daya manusia berbasis STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika) menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan inovasi.

Keempat tahap tersebut dapat dijalankan secara paralel maupun bertahap, bergantung pada kesiapan sumber daya manusia di setiap bidang. Masalah yang muncul dalam proses penguasaan teknologi dapat dipecahkan melalui riset dan pemanfaatan lembaga penelitian dalam negeri, sehingga terbentuk ekosistem industri nasional yang matang dan berdaya saing.

Akhirnya, semua itu perlu dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri dan lapangan kerja, seperti yang pernah dicanangkan konteknya  oleh Prof.Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998 dengan istilah “link and match”, yang merupakan bagian/subsistem system Pendidikan holistic berkelanjutan mulai dari usia dini sampai S1 (untuk zaman sekarang ini) yang harus dilakukan Pemerintah atas mandat dari rakyat. Demikian juga, pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati maupun non-hayati, yang harus dilakukan secara progresif dan berkelanjutan untuk membentuk ekosistem hulu-hilir yang kondusif.

Dengan pendekatan holistik inilah, warisan pemikiran B.J. Habibie memberi inspirasi tentang bagaimana bangsa ini dapat membangun kemandirian teknologi sekaligus memperkuat daya saing industri nasional di era global.

Jika ini dilakukan, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta dan pemain utama di panggung global.***

 

Selama ini Indonesia lebih sering menjadi konsumen dalam industri kedirgantaraan. Padahal, dengan luas wilayah kepulauan dan kebutuhan transportasi udara yang tinggi, kita punya alasan kuat untuk menjadi produsen sekaligus pusat inovasi.

Opini ini ditulis oleh :

Prof Harijono Djojodiharjo Sc.D.,IPU, ACPE

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) periode 1999-2000, anggota CTIS

Categories
Domestic S&T News

Dosen ITB Kembangkan Kendaraan Listrik Modular untuk Daerah Terpencil

Indonesia adalah negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sangat beragam. Banyak wilayah, khususnya daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), masih menghadapi keterbatasan akses transportasi. Jalan yang sulit ditembus, ketiadaan bahan bakar minyak (BBM), hingga minimnya infrastruktur membuat warga kesulitan melakukan distribusi barang.

Petani di wilayah 3T seringkali terhambat menjual hasil panen ke luar desa. Sebaliknya, pasokan bahan bangunan maupun kebutuhan logistik dari luar pun sulit masuk. Kondisi ini mengakibatkan disparitas pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin lebar.

Inovasi Transportasi dari ITB

Menjawab persoalan tersebut, Dr. Bismo Jelantik Joyodiharjo, M.Ds., dosen Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), memperkenalkan inovasi kendaraan serbaguna bernama Modultrax (Modular Utility Transport-All Terrain).

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat. Bismo memaparkan hal ini dalam diskusi yang digelar Center for Technological and Innovation Studies (CTIS), Rabu (10/9/2025).

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Dr. Bismo Jelantik Joyodiharjo, M.Ds., (duduk no 3 dari kiri) dosen Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), memperkenalkan inovasi kendaraan serbaguna bernama Modultrax (Modular Utility Transport-All Terrain). (Dok CTIS)

“Modultrax dikembangkan dengan metode desain MPS (Mimicry, Process, System). Prinsipnya adalah kendaraan bisa meniru fungsi yang dibutuhkan masyarakat, mengikuti proses yang sederhana, dan membentuk sistem yang terintegrasi dengan ekosistem energi dan logistik di desa,” jelas Bismo.

Dari Distribusi Vaksin hingga Solusi Energi

Awalnya, Modultrax dirancang untuk menjawab tantangan distribusi vaksin Covid-19 ke daerah terpencil. Namun, konsepnya berkembang menjadi lebih luas.

Kendaraan ini dilengkapi dengan sistem kargo modular yang bisa dipasangi rak pengangkut, alat pertanian, atau peralatan medis. Bahkan, Modultrax mampu menjadi sumber energi portabel.

“Di daerah yang tidak ada pasokan BBM, kita kembangkan Modultrax sekaligus dengan ekosistem pembangkit listrik modular. Jadi kendaraan ini tidak hanya mengangkut barang, tapi juga bisa menjadi powerbank mobile untuk sekolah, pusat kesehatan, atau kebutuhan masyarakat sehari-hari,” ujar Bismo.

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Prototipe Modultrax telah diuji coba di Desa Matotonan, Pulau Siberut, Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat. (Dok Instagram Modultrax)

Kendaraan Listrik Serbaguna

Karena tidak ada pasokan BBM di daerah 3T, Modultrax dirancang menggunakan tenaga listrik berbasis baterai. Dalam uji coba, kendaraan ini mampu menempuh jarak sekitar 50 km sekali pengisian daya.

Secara bentuk, prototipe Modultrax menyerupai motor trail. Bedanya, rangkanya dirancang modular sehingga mudah dipasang-lepas sesuai kebutuhan. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) kendaraan ini sudah mencapai lebih dari 75 persen, menegaskan bahwa desainnya benar-benar karya anak bangsa.

Uji Coba di Mentawai

Prototipe Modultrax telah diuji coba di Desa Matotonan, Pulau Siberut, Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat. Di desa yang cukup terpencil ini, kehadiran Modultrax langsung menunjukkan dampak signifikan.

Selain mempermudah transportasi hasil pertanian dan distribusi logistik, kendaraan ini digunakan untuk penyimpanan dan distribusi energi listrik. Modultrax bahkan dijadikan powerbank besar di sekolah dan pusat kegiatan warga, serta mendukung mitigasi bencana dengan memberi pasokan daya untuk sistem peringatan dini.

“Uji coba ini sangat penting. Dari sana kita bisa melihat kelebihan dan kekurangan yang nantinya jadi masukan untuk penyempurnaan desain,” kata Bismo.

Modultrax adalah platform mobilitas modular yang dirancang khusus untuk medan berat.
Awalnya Modultrax dirancang untuk menjawab tantangan distribusi vaksin Covid-19 ke daerah terpencil. Namun, konsepnya berkembang menjadi lebih luas. (Dok Instagram Modultrax)

Dari Laboratorium ke Industri

Pengembangan Modultrax sudah berlangsung sejak 2021 melalui riset di FSRD ITB yang bekerja sama dengan PT Ganding Toolsindo. Mulanya, desain dibuat dengan teknologi 3D Computer Aided Design (CAD), sebelum diwujudkan menjadi prototipe fisik.

Kerja keras ini membuahkan pengakuan internasional. Pada tahun 2023, Modultrax meraih Good Design Award, salah satu penghargaan desain bergengsi dunia. Inovasi ini juga telah dipamerkan di berbagai ajang pameran teknologi dan desain.

Bismo berharap Modultrax bisa segera masuk dalam e-katalog pemerintah agar dapat diproduksi massal. Dengan begitu, kendaraan ini tidak hanya membantu mobilitas di daerah 3T, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.

“Jika sudah masuk ke industri, Modultrax bisa membuka banyak lapangan kerja. Inovasi ini membuktikan bahwa keilmuan desain produk, jika dikolaborasikan dengan industri, bisa menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya. ***

Categories
Domestic S&T News

Kuala Tanjung–Batam Disiapkan Jadi Hub Logistik Strategis di Selat Malaka

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.

Skema kerja sama ini diharapkan mampu menekan biaya distribusi dan memperkuat daya saing Indonesia di jalur strategis Selat Malaka.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi mencapai Rp43 triliun hingga 2028. Pelabuhan ini ditargetkan menjadi hub logistik dan transhipment port bertaraf internasional.

Pembangunan dimulai sejak Januari 2015 dan mulai beroperasi bertahap pada 2018. Namun, sejumlah persoalan masih perlu diselesaikan agar tujuan sebagai pelabuhan internasional tercapai.

Dalam diskusi yang digelar CTIS pada Rabu (3/9/2025), topik prospek Kuala Tanjung sebagai hub internasional dibahas bersama narasumber Harmon Yunaz (mantan Direktur PT Inalum 2009–2016), Kepala Bappeda Batu Bara Arif Hanafiah, dan praktisi swasta Refnil Dodi.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Diskusi yang digelar CTIS pada Rabu (3/9/2025), topik prospek Kuala Tanjung sebagai hub internasional dibahas bersama narasumber Harmon Yunaz (mantan Direktur PT Inalum 2009–2016, duduk no 2 dari kanan), Kepala Bappeda Batu Bara Arif Hanafiah (duduk paling kiri), dan praktisi swasta Refnil Dodi (duduk paling kanan). (Dok CTIS).

Harmon Yunaz menegaskan pentingnya kerja sama lintas pihak. “Pemerintah sudah banyak berinvestasi. Jalan tol, rel kereta, pipa gas, dan kawasan industri Sei Mangkei sudah siap. Tinggal Pelabuhan Kuala Tanjung yang perlu dibenahi,” ujarnya. Ia juga menyoroti peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha agar berkoordinasi dalam satu arah.

Salah satu strategi yang dibahas adalah sinergi dengan Pelabuhan Batam. Skema yang dijajaki meliputi pembagian peran sebagai hub dan pelabuhan pengumpan, atau sistem “calling 1” dan “calling 2” untuk kapal besar. “Biaya transshipment di Batam 30–40 persen lebih murah dibanding Singapura. Diharapkan Kuala Tanjung bisa bersaing dengan angka itu,” tambah Harmon.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Kehadiran Pelabuhan Kuala Tanjung untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei. (Dok Kementerian Keuangan)

Dari sisi tata ruang,  seperti disampaikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Batu Bara, Arif Hanaifah, Pemkab Batu Bara telah menetapkan Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2020–2040, yang memasukkan 6.275 hektare kawasan industri dari total 88 ribu hektare wilayah kabupaten.

Pemkab juga menyiapkan lahan reklamasi 12 ribu hektare, mendukung penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah, hingga mendorong pendidikan vokasi serta kerja sama internasional untuk mendukung SDM kawasan industri Sei Mangkei.

Gebrakan lainnya yang dilakukan Pemkab Batu Bara adalah lahirnya Perda kawasan perkebunan yang semula berstatus HGU, ketika masa kontrak sudah habis dan akan diperpanjang, statusnya menjadi HGB.

“Daerah-daerah tertentu dari HGU menjadi HGB ada sekitar seribu hektar, dan berpotensi menjadi kawasan permukiman, dan perdagangan karena jaraknya  16 km dari pelabuhan,” kata Arif.

Pemkab Batu Bara juga mempermudah persyaratan berinvestasi.

Dukungan lainnya, Pelindo selaku pengelola menyerahkan operasional Terminal Peti Kemas (TPK) Belawan kepada PT Prima Multi Terminal (PMT Kuala Tanjung) sebagai bagian dari strategi peningkatan kinerja.

Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, disiapkan bersinergi dengan Pelabuhan Batam untuk mewujudkan hub logistik dan transshipment port bertaraf internasional.
Pelabuhan Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. (Dok Pelindo)

Refnil Dodi dari pihak swasta menilai Kuala Tanjung memiliki keunggulan geografis karena berada di jalur utama Selat Malaka. Selain itu, pelabuhan ini memiliki kolam dengan kedalaman minus 17 meter LWS, sehingga mampu melayani kapal panjang 250 meter dengan kapasitas 10.000–30.000 ton atau setara 4.000 TEUs peti kemas.

Dengan dukungan infrastruktur modern dan integrasi dengan KEK Sei Mangkei, Kuala Tanjung diyakini berpotensi besar menjadi hub logistik internasional yang dapat menekan biaya distribusi dan memperkuat daya saing nasional. ***

Categories
Domestic S&T News

Laptop Merah Putih, Riset Kampus Menguatkan Industri Lokal

Pemerintah Indonesia meluncurkan program Laptop Merah Putih, sebuah perangkat hasil produksi konsorsium perguruan tinggi dan industri nasional, guna memenuhi kebutuhan digital pendidikan di era pandemi dan seterusnya.

Program ini berawal pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 memaksa siswa belajar dari rumah. Saat itu, data Kemenko PMK menunjukkan 40,8% siswa tidak memiliki akses komputer, laptop, atau tablet, sementara 20,4% lainnya tidak selalu bisa mengakses perangkat. Dari total 68 juta lebih siswa di Indonesia, sekitar 27,7 juta tidak memiliki perangkat, dan 13,8 juta hanya bisa mengakses terbatas.

“Permintaan solusi datang dari Kemendikbudristek agar anak-anak tetap bisa sekolah daring,” ungkap Ir. Adi Indrayanto, M.Sc., Ph.D, dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB serta peneliti di Pusat Mikroelektronika ITB, dalam diskusi yang digelar CTIS pada Rabu (27/8/2025).

Pemerintah Indonesia meluncurkan program Laptop Merah Putih, sebuah perangkat hasil produksi konsorsium perguruan tinggi dan industri nasional
Ir. Adi Indrayanto, M.Sc., Ph.D, dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB serta peneliti di Pusat Mikroelektronika ITB (kanan) menyerahkan Laptop Merah Putih kepada Ketua CTIS Dr Wendy Aritenang, Rabu 27 Agustus 2025. (Dok CTIS)

Dari Chromebook ke Laptop Merah Putih

Awalnya, pengadaan laptop pendidikan tidak mewajibkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Namun, sejak 2021, pemerintah melalui KemenkoMarves yang menggawangi TKDN, P3DN, BBI, beserta Kementerian Perindustrian, Kemendikbudristek, dan LKPP mulai mendorong penggunaan laptop ber-TKDN.

Kebutuhan laptop pada tahun 2021 tercatat 431.730 unit dengan nilai Rp3,7 triliun, yang dibiayai melalui APBN dan DAK fisik pendidikan. Menyikapi hal ini, ITB, ITS, dan UGM bersama industri TIK nasional membentuk konsorsium, yang kemudian diperluas dengan UI dan Telkom University, untuk melahirkan perangkat digital tablet dan laptop untuk kebutuhan pendidikan.

Ciri Khas Laptop Merah Putih

Perangkat laptop yang dikembangkan dalam program Laptop Merah Putih ini tidak tergantung dari operating sistem (OS) tertentu.  Berbagai OS seperti Microsoft Windows, Linux, Chrome OS dapat digunakan.  Perangkat ini dirancang khusus untuk kegiatan belajar mengajar, dan diperuntukan untuk daerah 3T.  Perangkat ini, dinamai DiktiEdu, dibagikan gratis kepada siswa dan guru tanpa aplikasi pencarian atau fitur komersial lain.

Saat ini, TKDN laptop Merah Putih baru mencapai 25%, namun targetnya naik menjadi 40–50% pada 2026.  Beberapa komponen utama, seperti  motherboard, casing, baterai, dan pengisi daya (adaptor) ditargetkan untuk diproduksi menggunakan ekosistem industri di dalam negeri.

Saat ini, Indonesia sudah mampu membuat motherboard. Pembuktiannya adalah dengan dibuatnya motherboard dengan prosesor Intel Celeron oleh ITB bermitra dengan Advan tahun 2023, dan motherboard dengan prosesor Intel Core i5 oleh ITB bermitra dengan Axioo, dan juga oleh UGM bermitra dengan Zyrex tahun 2024,” jelasnya.

Pemerintah Indonesia meluncurkan program Laptop Merah Putih, sebuah perangkat hasil produksi konsorsium perguruan tinggi dan industri nasional.
Ir. Adi Indrayanto, M.Sc., Ph.D, dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB serta peneliti di Pusat Mikroelektronika ITB narasumber dalam diskusi yang digelar CTIS bertema Program Pengembangan Laptop di Dalam Negeri, Rabu (27/8/2025). (Dok CTIS)

Harapan Industri TIK Nasional

Indonesia memiliki lima produsen laptop lokal — Zyrex, Axioo, Advan, SPC, dan Evercoss — meski sebagian besar komponennya masih diimpor dari China. Melalui program Laptop Merah Putih, pemerintah berharap industri TIK nasional dapat naik kelas, menciptakan lapangan kerja, dan bersaing di pasar global.

“Roadmapnya telah dibuat bersama dengan Kemenperin. Setelah produsen laptop lokal mampu melakukan perakitan SKD selama ini, maka selanjutnya harusnya bergerak ke hulu untuk pembuatan motherboard, casing, battery, dan adaptor di dalam negeri.  Ekosistem industri pendukungnya sudah ada dan siap memproduksi ke empat komponen utama laptop di dalam negeri, walaupun tetap perlu tahap persiapan untuk proses sinergi antar rantai pasok industrinya,” pungkas Adi.***

Categories
Domestic S&T News

Jejak Peneliti Indonesia di Antartika dan Dampak Globalnya

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi pembahasan dalam diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies pada Rabu, 20 Agustus 2025, menghadirkan narasumber Dr. Anastasia Kuswardani, Kepala Pusat Standardisasi dan Sertifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adapun tema yang diangkat  Benua Antartika dan Perubahan Iklim di Kepulauan Nusantara.

Anastasia merupakan salah satu ekspedisioner Australia’s Antarctic Programme, Australian Antarctic Division 2004–2005. Saat itu, Indonesia mengirim dua peneliti perempuan, salah satunya Anastasia yang berkolaborasi dengan akademisi dari Universitas Sam Ratulangi.

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia.
Diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies pada Rabu, 20 Agustus 2025, menghadirkan narasumber Dr. Anastasia Kuswardani (no 3 duduk dari kanan), Kepala Pusat Standardisasi dan Sertifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Dok CTIS)

Lulusan Geofisika dan Meteorologi ITB serta doktor bidang Physical Oceanography dari Ocean University of China ini berbagi pengalaman setahun penuh melakukan riset di Antartika. Ekspedisi yang berlangsung sejak Desember 2004 hingga Februari 2005 itu menggunakan kapal riset Aurora Australis milik Australia.

Rute perjalanan dari Fremantle ke Davis Station Hobart, 23 Desember 2004 hingga 17 Februari 2005

Cadangan Air Tawar Dunia

Menurut Anastasia, Antartika menyimpan 60–70% cadangan air tawar Bumi dalam bentuk es. Data British Antarctic Survey menyebutkan 70% air tawar global tersimpan di kawasan ini, sementara USGS mencatat 91% gletser dunia berada di Antartika. Perubahan yang terjadi di sana sangat relevan dengan kenaikan muka laut di seluruh dunia, termasuk Nusantara.

Hasil Penelitian Ekspedisi

Tim ekspedisi melakukan berbagai riset, mulai dari pengukuran arus laut dalam, suhu, salinitas, hingga massa gunung es. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan suhu permukaan laut yang memengaruhi densitas air. Data 2005 memperlihatkan air laut di Samudra Selatan lebih tawar dan ringan dibandingkan pengamatan pada 1995.

“Laju perubahan iklim memiliki pola yang sama, namun dengan magnitudo lebih besar dibandingkan periode akhir 1960-an hingga 1990-an,” jelas Anastasia.

Ia menambahkan, mencairnya es Antartika dapat memengaruhi sirkulasi termohalin global, memperlambat Antarctic Circumpolar Current (ACC), dan berdampak pada perubahan iklim hingga ke Samudra Hindia.

Dampak bagi Indonesia

Bagi Indonesia, perubahan di Antartika tercermin pada pola monsun Asia–Australia, curah hujan, hingga musim ikan. Cuaca ekstrem, gelombang tinggi, rob, serta paceklik ikan semakin sering dirasakan nelayan.

Fenomena migrasi ikan dan paus terdampar di perairan Indonesia juga dikaitkan dengan perubahan suhu laut. “Ikan-ikan akan mencari habitat yang lebih nyaman, sehingga terjadi migrasi besar-besaran,” kata Anastasia.

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia.
Pada 2005, pemerintah memasang plakat bertanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri di Davis Station sebagai bentuk apresiasi terhadap para peneliti Indonesia yang ikut serta dalam riset global tersebut. (Dok CTIS)

Seruan Menjaga Laut

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, Anastasia menekankan pentingnya menjaga kesehatan laut, antara lain dengan mengurangi plastik sekali pakai, tidak membuang sampah ke laut, serta menghemat energi.

Ekspedisi Antartika sendiri memiliki arti penting bagi Indonesia. Pada 2005, pemerintah memasang plakat bertanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri di Davis Station sebagai bentuk apresiasi terhadap para peneliti Indonesia yang ikut serta dalam riset global tersebut. ***

Categories
Domestic S&T News

PSN Targetkan Kemandirian Satelit Nasional, Dorong Ekonomi dan SDM Multitalenta

Industri kedirgantaraan dan antariksa dinilai memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) multitalenta.

Founder Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso menjadi salah satu contoh sukses mengelola bisnis satelit sejak 1991. Memasuki usia 34 tahun, PSN bersiap meluncurkan satelit Nusantara 5 pada September 2025 di Amerika Serikat.

Industri ini belum banyak berkembang di Indonesia, padahal potensi ekonominya sangat besar,” ujar Adi dalam diskusi bertema What Next For Indonesian Space Industry yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (13/8/2025).

Industri kedirgantaraan dan antariksa dinilai memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) multitalenta.
Founder Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso (no duduk dari kiri) narasumber diskusi bertema What Next For Indonesian Space Industry yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (13/8/2025). (Dok CTIS)

Dari Palapa B1 hingga Unicorn

Perjalanan PSN dimulai saat Adi dan Iskandar Alisjahbana sebagai pendiri mengambil alih satelit Palapa B1 dari Telkom pada 1983. Berbekal modal Rp40 juta dan dukungan BJ Habibie, PSN menjadi perusahaan satelit swasta pertama di Indonesia.

Di era-80 an  perusahaan satelit hanya perusahaan telekomunikasi milik pemerintah seperti Telkom dan Indosat. “Kami menghadap ke Pak Habibie agar bisa dibantu bertemu dengan Presiden. Ada campur tangan Pak Habibie karena izin satelit itu hanya bisa diberikan dari presiden,” kata Adi mengenang pertemuan dengan BJ Habibie.

Sejak itu, PSN meluncurkan berbagai satelit, termasuk Palapa C1 dan C2 (1996), Aguila (1997), Garuda 1 (2000), Nusantara 1 (2019), dan Nusantara 3 (2023) yang diklaim sebagai satelit berkapasitas terbesar di Asia dengan teknologi Spacebus Neo 150 Gbps.

Kini PSN mempekerjakan 700 karyawan, termasuk 300 teknisi dan perekayasa dari Aceh hingga Timika, dengan nilai investasi lebih dari US$1,3 miliar di Indonesia dan US$25 juta di luar negeri.

Industri kedirgantaraan dan antariksa dinilai memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) multitalenta.
Nusantara 3 (2023) yang diklaim sebagai satelit berkapasitas terbesar di Asia dengan teknologi Spacebus Neo 150 Gbps.
(Dok PSN)

Aplikasi Satelit di Luar Komunikasi

Menurut Adi, satelit tidak hanya digunakan untuk komunikasi, tetapi juga untuk pertahanan dan ketahanan pangan. PSN, misalnya, pernah membantu TNI memantau persebaran ubi jalar untuk mendeteksi aktivitas kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Selain itu, satelit dimanfaatkan untuk memantau kesiapan panen jagung dan padi, serta pemetaan batas wilayah darat maupun laut.

Menuju Produksi Satelit 100% Lokal

Adi menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri satelit nasional. Strateginya terdiri dari tiga tahap:

  1. Alih teknologi dengan produsen internasional, dimulai dari pembuatan satu satelit secara nasional bersama BRIN.
  2. Peningkatan kapasitas manufaktur di dalam negeri, mencakup perakitan, integrasi, pengujian, dan layanan terkait.
  3. Produksi penuh seluruh satelit pengganti dan layanan oleh Indonesia.

Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan regulasi kondusif bagi ekonomi antariksa, fasilitas manufaktur memadai, sistem rantai pasok dan industri pendukung, tenaga ahli teknis, serta perluasan pasar solusi berbasis antariksa.

Ini murni bisnis swasta, tanpa mengandalkan APBN. Space economy tidak hanya soal satelit komunikasi, tapi mencakup berbagai teknologi yang dapat membantu bangsa,” pungkas Adi. ***

Categories
Domestic S&T News

Indonesia, Surga Baru Perdagangan Karbon

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.

Indonesia juga telah mengambil peran aktif dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Bersama lebih dari 200 negara lainnya, Indonesia menyepakati komitmen melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai bagian dari implementasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Dalam diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, CEO TruCarbon, Debby Reynata, mengungkapkan berbagai potensi besar perdagangan karbon di Indonesia.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, dengan narasumber CEO TruCarbon, Debby Reynata (no 3 duduk dari kanan). (dok CTIS)

“Potensi karbon dari hutan Indonesia sangat besar, mencapai 240 juta ton per tahun. Untuk membangun proyek karbon di sektor kehutanan memang butuh waktu panjang, sekitar 30–40 tahun,” jelas Debby.

Ia menyebutkan bahwa dari total 120 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, sekitar 50 juta hektare merupakan hutan lindung, sementara 61 juta hektare lainnya adalah hutan produksi yang sangat potensial untuk proyek karbon.

Selain itu, terdapat sekitar 20 juta hektare hutan produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal. Area ini dianggap sangat cocok untuk pengembangan proyek karbon berbasis alam seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), ARR (Afforestation, Reforestation, and Revegetation), dan IFM (Improved Forest Management).

Secara keseluruhan, potensi karbon dari hutan Indonesia diperkirakan mencapai 2,8 miliar ton setara CO2 (tCO2e), angka yang diyakini mampu mendukung pencapaian target NDC.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Penanaman mangrove di pesisir pantai sebagai bagian gerakan blue carbon oleh Pemerintah RI. (dok CTIS)

Enam Tipe Proyek Karbon Berbasis Alam

Ia memaparkan bahwa terdapat enam tipe pendekatan utama dalam proyek karbon hutan yang bisa diterapkan di Indonesia, yakni:

  1. Penghutanan kembali (afforestation/reforestation)
  2. Pengelolaan hutan yang ditingkatkan (Improved Forest Management/IFM)
  3. Perlindungan dan restorasi tanah gambut
  4. Karbon biru (blue carbon) seperti mangrove
  5. Agroforestri atau sistem tumpang sari
  6. Konservasi kawasan dengan fungsi ekologis tinggi

“Agroforestri, misalnya, mampu menjaga kesehatan tanah karena vegetasinya tidak monokultur, dan memberikan alternatif pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat lokal,” tambahnya.

Standar Proyek Karbon Berkualitas

Debby juga menekankan pentingnya menjaga integritas proyek karbon. Beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi, antara lain:

  • Additionality (pengurangan emisi yang tidak akan terjadi tanpa proyek tersebut)
  • Kuantifikasi emisi
  • Titik acuan atau baseline
  • Risiko kebocoran (leakage)
  • Manfaat bersama (co-benefits)
  • Keberlanjutan atau permanence
Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Petugas Manggala Agni tengah memadamkan api saat karhutla di Riau. Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor risiko dalam proyek karbon. (Dok CTIS)

Sebagai contoh, hutan lindung yang secara teori tidak bisa masuk dalam proyek karbon karena status perlindungannya, dalam praktiknya bisa dipertimbangkan jika perlindungan tersebut tidak berjalan optimal, seperti masih terjadi pembalakan liar atau kebakaran hutan.

“Jika perlindungan tidak efektif dan proyek karbon justru mampu menjaga keberlanjutan hutan tersebut, maka itu bisa masuk ke dalam skema,” jelas Debby.

Ia juga menegaskan bahwa proyek karbon harus tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. “Warga desa yang semula menggantungkan hidup dari aktivitas seperti penebangan liar atau penambangan emas, harus dialihkan ke pekerjaan lain yang tetap menjaga hutan tetap lestari,” tambahnya.

Tantangan dan Peluang

Menurut Debby, pengembangan proyek karbon melibatkan tahapan panjang, mulai dari studi kelayakan, penyusunan dokumen desain proyek, pendaftaran dan validasi, pelaksanaan dan pemantauan (MRV), hingga verifikasi dan penerbitan kredit karbon.

Namun demikian, tidak semua proyek karbon memiliki tingkat kesulitan yang sama. Proyek di lahan gambut dinilai paling kompleks karena memerlukan pengelolaan air yang ketat. Sementara proyek di ekosistem mangrove menghadapi kendala keterbatasan lahan karena berada di wilayah pesisir.

TruCarbon sebagai project development menggandeng mitra strategis untuk memastikan ketersediaan data valid terkait kondisi hutan yang dijadikan objek proyek karbon.

Debby mengakui bahwa risiko tetap ada, seperti kebakaran di area konsesi, rendahnya kualitas pembeli, hingga fluktuasi tren pasar. “Pembeli karbon biasanya melihat tren. Kalau sedang ramai, mereka beli. Kalau tidak, ya ditinggalkan,” jelasnya.

Perdagangan Karbon di Indonesia masih Dini

Saat ini, perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal. Meski sejumlah proyek karbon sudah berjalan, skalanya masih terbatas.

“Indonesia sebenarnya sangat seksi di mata pembeli karbon internasional. Banyak dari mereka mulai masuk ke pasar Indonesia,” ungkap Debby.

Namun, perdagangan karbon domestik masih terhambat oleh ketiadaan regulasi yang mewajibkan perusahaan menetapkan batas emisi. Akibatnya, belum banyak perusahaan dalam negeri yang terdorong untuk ikut menjual kredit karbon.

“Selama ini hampir seluruh permintaan berasal dari luar negeri. Pemerintah sedang berupaya mendorong keterlibatan pelaku usaha dalam negeri, sambil mempersiapkan regulasinya,” pungkas Debby. ***

Categories
Domestic S&T News

Fenomena “Kabur Aja Dulu” dan Peran Strategis Diplomasi RI dalam Penguatan SDM Iptekin

Ungkapan kabur aja dulu belakangan kerap muncul di kalangan anak muda Indonesia, khususnya di media sosial. Istilah ini mencerminkan keinginan generasi muda untuk pergi ke luar negeri demi mencari peluang hidup yang lebih baik untuk belajar, bekerja, maupun membangun karier.

Fenomena ini tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial. Tak jarang, istilah tersebut digunakan sebagai bentuk sindiran atau ekspresi kekecewaan terhadap kondisi ketenagakerjaan nasional.

Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Kabur Aja Dulu Versus Kepentingan Nasional: Penguatan SDM Iptekin dan Paradigma Diplomasi RI ke Depan” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 23 Juli 2025.

Hadir sebagai narasumber, Susanto Sutoyo, mantan Duta Besar RI untuk Italia sekaligus Wakil Tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005–2008), menyampaikan bahwa istilah “kabur aja dulu” seharusnya tidak langsung dimaknai secara negatif.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Susanto Sutoyo (no 4 duduk dari kanan) mantan dubes RI untuk Italia, wakil tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005-2008) memaparkan fenomena kabur aja dulu dalam diskusi CTIS, Rabu 23 Juli 2025. (dok CTIS)

Fenomena ini harus dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Banyak anak muda Indonesia yang ingin mengeksplorasi talenta mereka ke luar negeri karena keterbatasan di dalam negeri, terutama pada sektor lapangan kerja,” ujarnya.

Susanto menekankan bahwa bonus demografi Indonesia seharusnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan. Ia menyebutkan bahwa banyak negara seperti Tiongkok, India, dan Korea Selatan telah berhasil mendorong warganya untuk bekerja atau magang di luar negeri—yang kemudian menjelma menjadi SDM unggul dengan peran strategis di kancah global, khususnya dalam bidang sains, teknologi, dan informasi.

“Kabur bukan berarti tidak nasionalis. Justru di sinilah peran para diplomat Indonesia diperlukan menjadi jembatan diplomasi, memfasilitasi penguatan SDM, dan memperkuat jejaring internasional,” lanjutnya.

Susanto juga menyoroti bahwa diplomat memiliki peran penting dalam menyikapi eksodus talenta muda Indonesia. Alih-alih melihatnya sebagai kegagalan negara, para diplomat bisa mengarahkan para WNI di luar negeri menjadi “kontributor global” melalui program-program produktif seperti pelatihan, forum mahasiswa, promosi budaya, hingga inkubasi usaha.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan menggunakan AI di kantor pusat WHO untuk para pemagang kerja dari berbagai negara. (Dok WHO)

Dalam paparannya, Susanto menyampaikan bahwa terdapat sejumlah program strategis di berbagai organisasi internasional seperti WHO dan ILO yang dapat diakses oleh SDM Indonesia, termasuk:

  • Training Program

  • Internship Program

  • Secondment Program

  • Junior Professional Officer (JPO) / Associate Expert Program

  • Visiting Scholars Program

Program-program ini berada di bawah naungan badan-badan dunia seperti PBB, dengan berbagai skema pendanaan, baik melalui direct payment (dibiayai oleh negara pengirim) maupun indirect payment (pemerintah mentransfer dana ke organisasi internasional untuk mendanai peserta).

Sebagai gambaran, WHO menetapkan biaya US$100.000–US$160.000 per tahun untuk skema indirect payment per peserta. Selain itu, negara pengirim juga diwajibkan membayar support cost sebesar 13 persen dari total pengeluaran tahunan untuk kebutuhan administratif seperti visa, izin tinggal, hingga akses ke gedung PBB.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan bioteknologi oleh WHO untuk para ahli bioteknologi di negara-negara miskin Afrika. (Dok WHO)

Susanto menegaskan bahwa sudah waktunya diplomasi Indonesia mengadopsi paradigma baru, yakni menjadikan penguatan kapasitas SDM di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) sebagai bagian dari kepentingan nasional.

“Penguatan kompetensi SDM Iptekin harus menjadi agenda utama diplomasi kita, bukan sekadar pelengkap. Ini adalah bentuk konkret dari upaya menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat global,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika dikelola dengan pendekatan inklusif dan suportif, fenomena “kabur aja dulu” dapat diarahkan menjadi gerakan “kembali membawa kontribusi”, baik melalui transfer ilmu, kolaborasi, maupun investasi SDM yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, diplomat Indonesia berperan sebagai penjaga, penghubung, dan pengarah. Mereka tidak hanya melindungi WNI di luar negeri, tetapi juga berkontribusi mengubah paradigma dari pelarian menjadi potensi. Dengan membaca dinamika diaspora sebagai masukan kebijakan, diplomasi Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem global yang mendukung pengembangan SDM unggul Indonesia ke depan. ***

Categories
Domestic S&T News

Dari Petani untuk Dunia: Bioplastik Rumput Laut Buatan Indonesia

Indonesia tengah menghadapi darurat mikroplastik. Negara ini disebut sebagai yang tertinggi dalam konsumsi mikroplastik, setara ukuran satu kartu ATM setiap minggunya per orang. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi salah satu penghasil sampah mikroplastik terbesar di dunia.

Hal tersebut diungkapkan CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono, dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. Diskusi tersebut mengangkat tema Research-Based Seaweed Bioplastic Manufacturer.

“Sampah plastik dan mikroplastik harus dikurangi. Negara kepulauan seperti Indonesia terdampak langsung karena lautan kita penuh sampah,” ujar Noryawati.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik
CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono (duduk no 4 dari kiri) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. (dok CTIS)

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut, tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik. Bioplastik berbahan rumput laut dinilai lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.

Menurut Noryawati, nilai ekonomi rumput laut sebagai bahan pengganti plastik terus berkembang. Laporan Research and Markets memperkirakan pasar global bioplastik akan tumbuh dari US$10 miliar pada 2023 menjadi lebih dari US$27 miliar pada 2032.

“Rumput laut tumbuh cepat, tidak butuh lahan pertanian atau air tawar, bisa menyerap karbon, dan mudah dibudidayakan,” ujarnya.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik.
Lembaran bioplastik terbuat dari rumput laut produksi Biopac. (Dok CTIS)

Bioplastik dari rumput laut dapat digunakan untuk kemasan makanan, sachet, hingga pembungkus yang bisa terurai alami—bahkan dapat dimakan. Meski harganya masih tinggi, sekitar US$4,47 per lembar, produk ini menawarkan nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari rumput laut kering biasa.

Penelitian Noryawati yang dimulai sejak 2010 dan didukung L’Oreal For Women in Science, kini telah berkembang menjadi produk komersial melalui perusahaan yang ia dirikan: PT Seaweedtama Biopac Indonesia (BIOPAC). Perusahaan ini menjadi pelopor inovasi bioplastik dari rumput laut di Indonesia.

BIOPAC kini rutin menyerap hasil panen rumput laut petani melalui koperasi di Makassar dan Jakarta. Setiap empat bulan, perusahaan membeli hingga 8 ton rumput laut. Pola ini membantu petani memiliki pendapatan tetap dan mengurangi penumpukan hasil panen di gudang seadanya.

“Dengan adanya industri ini, petani tidak perlu lagi menyimpan rumput laut terlalu lama. Hasil panen bisa langsung dibeli,” kata Noryawati.

Dampaknya, selain membantu menjaga laut dari polusi plastik, juga meningkatkan kesejahteraan petani dan mencegah risiko sosial seperti perdagangan manusia akibat kemiskinan.

Produk-produk BIOPAC yang ramah lingkungan kini mencakup tas serut, tinta, kemasan makanan yang dapat dimakan, hingga kemasan sachet. Semua diproduksi menggunakan mesin buatan dalam negeri.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut—tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik.
Sabun berbahan baku rumput laut produksi Tanzif, dan dibungkus dengan bioplastik rumput laut yang diproduksi oleh Biopac. Sabun rumput laut untuk hotel di Bali. (Dok CTIS)

Dari sisi ekonomi, bioplastik berbasis rumput laut bernilai tinggi: Rp150.000–Rp300.000 per kilogram, dibanding rumput laut kering yang hanya Rp15.000–Rp25.000 per kilogram. Ini membuka peluang ekspor, terutama ke negara-negara Eropa yang sudah memperketat regulasi plastik konvensional.

“Bioplastik dari rumput laut mendukung ekonomi sirkular, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan industri hijau,” ujarnya.

Meski tantangan masih ada seperti biaya produksi tinggi dan keterbatasan skala industri, Noryawati optimistis bioplastik berbahan rumput laut bisa jadi solusi nyata bagi laut Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari polusi plastik. ***