Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial. Tak

Fenomena “Kabur Aja Dulu” dan Peran Strategis Diplomasi RI dalam Penguatan SDM Iptekin

Ungkapan kabur aja dulu belakangan kerap muncul di kalangan anak muda Indonesia, khususnya di media sosial. Istilah ini mencerminkan keinginan generasi muda untuk pergi ke luar negeri demi mencari peluang hidup yang lebih baik untuk belajar, bekerja, maupun membangun karier.

Fenomena ini tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial. Tak jarang, istilah tersebut digunakan sebagai bentuk sindiran atau ekspresi kekecewaan terhadap kondisi ketenagakerjaan nasional.

Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Kabur Aja Dulu Versus Kepentingan Nasional: Penguatan SDM Iptekin dan Paradigma Diplomasi RI ke Depan” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 23 Juli 2025.

Hadir sebagai narasumber, Susanto Sutoyo, mantan Duta Besar RI untuk Italia sekaligus Wakil Tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005–2008), menyampaikan bahwa istilah “kabur aja dulu” seharusnya tidak langsung dimaknai secara negatif.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Susanto Sutoyo (no 4 duduk dari kanan) mantan dubes RI untuk Italia, wakil tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005-2008) memaparkan fenomena kabur aja dulu dalam diskusi CTIS, Rabu 23 Juli 2025. (dok CTIS)

Fenomena ini harus dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Banyak anak muda Indonesia yang ingin mengeksplorasi talenta mereka ke luar negeri karena keterbatasan di dalam negeri, terutama pada sektor lapangan kerja,” ujarnya.

Susanto menekankan bahwa bonus demografi Indonesia seharusnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan. Ia menyebutkan bahwa banyak negara seperti Tiongkok, India, dan Korea Selatan telah berhasil mendorong warganya untuk bekerja atau magang di luar negeri—yang kemudian menjelma menjadi SDM unggul dengan peran strategis di kancah global, khususnya dalam bidang sains, teknologi, dan informasi.

“Kabur bukan berarti tidak nasionalis. Justru di sinilah peran para diplomat Indonesia diperlukan menjadi jembatan diplomasi, memfasilitasi penguatan SDM, dan memperkuat jejaring internasional,” lanjutnya.

Susanto juga menyoroti bahwa diplomat memiliki peran penting dalam menyikapi eksodus talenta muda Indonesia. Alih-alih melihatnya sebagai kegagalan negara, para diplomat bisa mengarahkan para WNI di luar negeri menjadi “kontributor global” melalui program-program produktif seperti pelatihan, forum mahasiswa, promosi budaya, hingga inkubasi usaha.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan menggunakan AI di kantor pusat WHO untuk para pemagang kerja dari berbagai negara. (Dok WHO)

Dalam paparannya, Susanto menyampaikan bahwa terdapat sejumlah program strategis di berbagai organisasi internasional seperti WHO dan ILO yang dapat diakses oleh SDM Indonesia, termasuk:

  • Training Program

  • Internship Program

  • Secondment Program

  • Junior Professional Officer (JPO) / Associate Expert Program

  • Visiting Scholars Program

Program-program ini berada di bawah naungan badan-badan dunia seperti PBB, dengan berbagai skema pendanaan, baik melalui direct payment (dibiayai oleh negara pengirim) maupun indirect payment (pemerintah mentransfer dana ke organisasi internasional untuk mendanai peserta).

Sebagai gambaran, WHO menetapkan biaya US$100.000–US$160.000 per tahun untuk skema indirect payment per peserta. Selain itu, negara pengirim juga diwajibkan membayar support cost sebesar 13 persen dari total pengeluaran tahunan untuk kebutuhan administratif seperti visa, izin tinggal, hingga akses ke gedung PBB.

Fenomena kabur aja dulu tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial.
Pelatihan bioteknologi oleh WHO untuk para ahli bioteknologi di negara-negara miskin Afrika. (Dok WHO)

Susanto menegaskan bahwa sudah waktunya diplomasi Indonesia mengadopsi paradigma baru, yakni menjadikan penguatan kapasitas SDM di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) sebagai bagian dari kepentingan nasional.

“Penguatan kompetensi SDM Iptekin harus menjadi agenda utama diplomasi kita, bukan sekadar pelengkap. Ini adalah bentuk konkret dari upaya menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat global,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika dikelola dengan pendekatan inklusif dan suportif, fenomena “kabur aja dulu” dapat diarahkan menjadi gerakan “kembali membawa kontribusi”, baik melalui transfer ilmu, kolaborasi, maupun investasi SDM yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, diplomat Indonesia berperan sebagai penjaga, penghubung, dan pengarah. Mereka tidak hanya melindungi WNI di luar negeri, tetapi juga berkontribusi mengubah paradigma dari pelarian menjadi potensi. Dengan membaca dinamika diaspora sebagai masukan kebijakan, diplomasi Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem global yang mendukung pengembangan SDM unggul Indonesia ke depan. ***

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter