Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius

Pembangunan Infrastruktur Jalan di Indonesia Mahal dan Tidak Efisien

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satu sorotan utama adalah tingginya biaya penyelenggaraan jalan yang dinilai lebih mahal dibandingkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Malaysia.

Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo, menyatakan bahwa perbaikan jalan di Indonesia dilakukan terlalu sering akibat kualitas infrastruktur yang rendah.

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius.
Narasumber diskusi CTIS Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo (jaket biru). (Dok CTIS)

“Biaya penyelenggaraan jalan di Indonesia mahal karena jalan cepat rusak. Sementara di negara lain bisa bertahan hingga 25–30 tahun, di sini setiap 4–5 tahun harus diperbaiki,” ungkap Purnomo dalam diskusi CTIS bertema “Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan di Indonesia”, Rabu (28/5).

Purnomo mencontohkan Tol Jagorawi yang diresmikan pada 1978 sebagai tol terbaik karena tidak pernah mengalami kerusakan signifikan. Ia menilai tol-tol baru yang dibangun dalam 10 tahun terakhir belum mampu menandingi kualitasnya.

Menurutnya, agar anggaran tidak terbuang percuma, perlu ada solusi konkret mulai dari peningkatan mutu konstruksi, perbaikan sistem drainase, hingga penanganan masalah truk ODOL (Over Dimension Over Load).

Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran jalan nasional mencapai Rp57 triliun, dengan 50% dialokasikan untuk pemeliharaan. Namun, pada 2025 anggaran tersebut turun drastis menjadi Rp28 triliun. “Anggaran terbesar justru habis untuk pemeliharaan karena jalan terus-menerus rusak,” ujar Purnomo.

Salah satu indikator kerusakan jalan adalah nilai International Roughness Index (IRI). Di Indonesia, nilai IRI pada banyak jalan tol mencapai angka 8 m/km, jauh di atas batas maksimal 4 m/km sesuai standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan Dirjen Bina Marga.

“Analisis saya terhadap kondisi jalan periode 2015–2024 menunjukkan kerusakan dini. Dalam lima tahun seharusnya nilai IRI masih 3, tapi kenyataannya sudah 8. Ini menunjukkan mutu pekerjaan belum optimal,” tegasnya.

 Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius
Longsor di Tol Cikopo-Palimanan (Cipali). (Dok Kementerian PUPR)

Ia memperkirakan, jika mutu pembangunan jalan ditingkatkan, penghematan anggaran bisa mencapai Rp5 triliun hingga Rp10 triliun per tahun. Dari simulasi IRI 5,05 m/km, uang publik yang ‘menguap’ setiap tahun diperkirakan mencapai Rp2.467,97 triliun. Jika diturunkan ke IRI 3,79 m/km, kerugian bisa ditekan menjadi Rp2.149,61 triliun.

Selain kualitas konstruksi, masalah ODOL menjadi faktor lain yang mempercepat kerusakan jalan. Kementerian PUPR mencatat kerugian akibat ODOL mencapai Rp43 triliun per tahun. Meski Road Map Zero ODOL sudah dirancang sejak 2020 dan dijadwalkan berlaku 2023, implementasinya terus mundur hingga kini.

“Sudah 50 tahun masalah ODOL tidak terselesaikan. Saya dengar Menko Infrastruktur AHY menargetkan penyelesaian pada 2026. Kita tunggu komitmen itu,” ujarnya.

Ia juga menyayangkan maraknya praktik ‘damai’ di lapangan. “Banyak truk tetap beroperasi dalam kondisi ODOL karena membayar koordinator jalan sebesar Rp1,5 juta per bulan,” katanya.

Dampaknya, biaya logistik di Indonesia terus melonjak, bahkan tertinggi di Asia yakni 23,5% dari PDB. Pemerintah berambisi menurunkannya menjadi 14,1%, namun angka ini hanya mencerminkan biaya logistik domestik. Biaya logistik ekspor sendiri mencapai 8,98% dari PDB.

“Jadi, tantangan kita masih besar untuk benar-benar menurunkan beban logistik secara menyeluruh,” tutup Purnomo.

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia hingga kini terus menuai masalah yang nampaknya tidak pernah terselesaikan.
Diskusi CTIS bertema “Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan di Indonesia”, Rabu (28/5) dengan narasumber Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo (jaket biru). (Dok CTIS)

 

Solusi ODOL

Masalah ODOL ini menurut Purnomo konsepnya sederhana yaitu dengan menambah atau memperkuat sumbu. Contohnya dari dua sumbu menjadi tiga atau empat dan lima sumbu.

Dengan lebih banyak sumbu, beban muatan dapat tersebar lebih merata di seluruh kendaraan, Juga mengurangi tekanan pada setiap sumbu dan meminimalkan risiko kelebihan muatan.

Penggunaan truk dengan banyak sumbu dapat meningkatkan efisiensi transportasi, mengurangi biaya per ton dan mengurangi jumlah perjalanan yang dibutuhkan.

Bila cara itu masih kurang ampuh karena perusahaan masih bertahan dengan truk dua sumbu arau tiga sumbu, maka bisa menggunakan Weight In Motion (WIM) System.

Sistem ini sudah dilaksanakan diThailand sejak 2015, China pada 2018 dan Malaysia sejak 2020. Negara-negara tersebut menggunakan  Weight In Motion (WIM) System. Bukan lagi menggunakan jembatan timbang atau cegatan di jalan oleh polisi.

WIM System adalah sistem mengukur berat kendaraan saat sedang bergerak. Sistem ini umumnya dipasang di jalan raya, pelabuhan, dan area lain.

WIM menggunakan sensor khusus yang ditempatkan di permukaan jalan untuk mengukur beban roda kendaraan.

Petugas cukup memantau semua kendaraan yang melintas di area dipasangi WIM System ini di ruang kendali, Kemudian mereka akan mencatat siapa saja truk yang melanggar. Sistem ini mirip dengan tilang elektronik.

 Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius.
proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), termasuk Ruas Rengat-Pekanbaru seksi Lingkar Pekanbaru sepanjang 30,57 km. (dok HK)

Perataan, Pengerasan dan Pemadatan Tanah

Dalam menangani kerusakan jalan maka harus diperhatikan adalah perataan tanah.

Mengapa perataan tanah penting karena untuk menciptakan permukaan yang rata sesuai dengan desain, menghilangkan tonjolan, cekungan yang bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Tingkat kerataan jalan mengacu pada IRI merupakan faktor penting untuk memastikan kualitas konstruksi jalan yang sesuai dan untuk kenyamanan pengemudi.

Prosesnya melibatkan pengukuran dan penentuan perbesaan ketinggian antara ttik-titik permukaan tanah. Data elevasi yang akurat sangat penting untuk konstruksi jalan, sistem drainase dan proyek infrastruktur lainnya.

Sistem perataan tanah harus memiliki persyaratan teknis jalan seperti memiliki kekuatan sesuai dengan umur rencana, mudah pemeliharaannya dan dilengkapi sistem drainase.

Selain perataan juga pemadatan tanah untuk memastikan kekuatan dan stabilitas tanah dasar (subgrade) sebelun konstruksi jalan.

Nilai CBR tanah dasar harus sesuai dengan standar perkerasan jalan dengan lalu lintas terntentu.

jalan.Perkerasan yang baik  dan fleksibel menurut Purnomo, didesain dengan umur rencana 20 tahun dan perkerasan rigid didesain dengan umur rencana 40 tahun.

Peralatan yang digunakan adalah alat leveling rod, total station atau theodolite untuk pengukuran perbedaan ketinggian. Bahkan di AS peralatan yang digunakan masih menggunakan alat-alat lama. ***

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter