Industri kedirgantaraan dan antariksa dinilai memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) multitalenta.
Founder Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso menjadi salah satu contoh sukses mengelola bisnis satelit sejak 1991. Memasuki usia 34 tahun, PSN bersiap meluncurkan satelit Nusantara 5 pada September 2025 di Amerika Serikat.
“Industri ini belum banyak berkembang di Indonesia, padahal potensi ekonominya sangat besar,” ujar Adi dalam diskusi bertema What Next For Indonesian Space Industry yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (13/8/2025).
Founder Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso (no duduk dari kiri) narasumber diskusi bertema What Next For Indonesian Space Industry yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (13/8/2025). (Dok CTIS)
Dari Palapa B1 hingga Unicorn
Perjalanan PSN dimulai saat Adi dan Iskandar Alisjahbana sebagai pendiri mengambil alih satelit Palapa B1 dari Telkom pada 1983. Berbekal modal Rp40 juta dan dukungan BJ Habibie, PSN menjadi perusahaan satelit swasta pertama di Indonesia.
Di era-80 anperusahaan satelit hanya perusahaan telekomunikasi milik pemerintah seperti Telkom dan Indosat. “Kami menghadap ke Pak Habibie agar bisa dibantu bertemu dengan Presiden. Ada campur tangan Pak Habibie karena izin satelit itu hanya bisa diberikan dari presiden,” kata Adi mengenang pertemuan dengan BJ Habibie.
Sejak itu, PSN meluncurkan berbagai satelit, termasuk Palapa C1 dan C2 (1996), Aguila (1997), Garuda 1 (2000), Nusantara 1 (2019), dan Nusantara 3 (2023) yang diklaim sebagai satelit berkapasitas terbesar di Asia dengan teknologi Spacebus Neo 150 Gbps.
Kini PSN mempekerjakan 700 karyawan, termasuk 300 teknisi dan perekayasa dari Aceh hingga Timika, dengan nilai investasi lebih dari US$1,3 miliar di Indonesia dan US$25 juta di luar negeri.
Nusantara 3 (2023) yang diklaim sebagai satelit berkapasitas terbesar di Asia dengan teknologi Spacebus Neo 150 Gbps. (Dok PSN)
Aplikasi Satelit di Luar Komunikasi
Menurut Adi, satelit tidak hanya digunakan untuk komunikasi, tetapi juga untuk pertahanan dan ketahanan pangan. PSN, misalnya, pernah membantu TNI memantau persebaran ubi jalar untuk mendeteksi aktivitas kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Selain itu, satelit dimanfaatkan untuk memantau kesiapan panen jagung dan padi, serta pemetaan batas wilayah darat maupun laut.
Menuju Produksi Satelit 100% Lokal
Adi menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri satelit nasional. Strateginya terdiri dari tiga tahap:
Alih teknologi dengan produsen internasional, dimulai dari pembuatan satu satelit secara nasional bersama BRIN.
Peningkatan kapasitas manufaktur di dalam negeri, mencakup perakitan, integrasi, pengujian, dan layanan terkait.
Produksi penuh seluruh satelit pengganti dan layanan oleh Indonesia.
Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan regulasi kondusif bagi ekonomi antariksa, fasilitas manufaktur memadai, sistem rantai pasok dan industri pendukung, tenaga ahli teknis, serta perluasan pasar solusi berbasis antariksa.
“Ini murni bisnis swasta, tanpa mengandalkan APBN. Space economy tidak hanya soal satelit komunikasi, tapi mencakup berbagai teknologi yang dapat membantu bangsa,” pungkas Adi. ***
A beautiful view of the wind turbines on a grass covered field captured in Holland. (dok Freepik)
Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Indonesia juga telah mengambil peran aktif dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Bersama lebih dari 200 negara lainnya, Indonesia menyepakati komitmen melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai bagian dari implementasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.
Dalam diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, CEO TruCarbon, Debby Reynata, mengungkapkan berbagai potensi besar perdagangan karbon di Indonesia.
Diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, dengan narasumber CEO TruCarbon, Debby Reynata (no 3 duduk dari kanan). (dok CTIS)
“Potensi karbon dari hutan Indonesia sangat besar, mencapai 240 juta ton per tahun. Untuk membangun proyek karbon di sektor kehutanan memang butuh waktu panjang, sekitar 30–40 tahun,” jelas Debby.
Ia menyebutkan bahwa dari total 120 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, sekitar 50 juta hektare merupakan hutan lindung, sementara 61 juta hektare lainnya adalah hutan produksi yang sangat potensial untuk proyek karbon.
Selain itu, terdapat sekitar 20 juta hektare hutan produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal. Area ini dianggap sangat cocok untuk pengembangan proyek karbon berbasis alam seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), ARR (Afforestation, Reforestation, and Revegetation), dan IFM (Improved Forest Management).
Secara keseluruhan, potensi karbon dari hutan Indonesia diperkirakan mencapai 2,8 miliar ton setara CO2 (tCO2e), angka yang diyakini mampu mendukung pencapaian target NDC.
Penanaman mangrove di pesisir pantai sebagai bagian gerakan blue carbon oleh Pemerintah RI. (dok CTIS)
Enam Tipe Proyek Karbon Berbasis Alam
Ia memaparkan bahwa terdapat enam tipe pendekatan utama dalam proyek karbon hutan yang bisa diterapkan di Indonesia, yakni:
Penghutanan kembali (afforestation/reforestation)
Pengelolaan hutan yang ditingkatkan (Improved Forest Management/IFM)
Perlindungan dan restorasi tanah gambut
Karbon biru (blue carbon) seperti mangrove
Agroforestri atau sistem tumpang sari
Konservasi kawasan dengan fungsi ekologis tinggi
“Agroforestri, misalnya, mampu menjaga kesehatan tanah karena vegetasinya tidak monokultur, dan memberikan alternatif pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat lokal,” tambahnya.
Standar Proyek Karbon Berkualitas
Debby juga menekankan pentingnya menjaga integritas proyek karbon. Beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi, antara lain:
Additionality (pengurangan emisi yang tidak akan terjadi tanpa proyek tersebut)
Kuantifikasi emisi
Titik acuan atau baseline
Risiko kebocoran (leakage)
Manfaat bersama (co-benefits)
Keberlanjutan atau permanence
Petugas Manggala Agni tengah memadamkan api saat karhutla di Riau. Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor risiko dalam proyek karbon. (Dok CTIS)
Sebagai contoh, hutan lindung yang secara teori tidak bisa masuk dalam proyek karbon karena status perlindungannya, dalam praktiknya bisa dipertimbangkan jika perlindungan tersebut tidak berjalan optimal, seperti masih terjadi pembalakan liar atau kebakaran hutan.
“Jika perlindungan tidak efektif dan proyek karbon justru mampu menjaga keberlanjutan hutan tersebut, maka itu bisa masuk ke dalam skema,” jelas Debby.
Ia juga menegaskan bahwa proyek karbon harus tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. “Warga desa yang semula menggantungkan hidup dari aktivitas seperti penebangan liar atau penambangan emas, harus dialihkan ke pekerjaan lain yang tetap menjaga hutan tetap lestari,” tambahnya.
Tantangan dan Peluang
Menurut Debby, pengembangan proyek karbon melibatkan tahapan panjang, mulai dari studi kelayakan, penyusunan dokumen desain proyek, pendaftaran dan validasi, pelaksanaan dan pemantauan (MRV), hingga verifikasi dan penerbitan kredit karbon.
Namun demikian, tidak semua proyek karbon memiliki tingkat kesulitan yang sama. Proyek di lahan gambut dinilai paling kompleks karena memerlukan pengelolaan air yang ketat. Sementara proyek di ekosistem mangrove menghadapi kendala keterbatasan lahan karena berada di wilayah pesisir.
TruCarbon sebagai projectdevelopment menggandeng mitra strategis untuk memastikan ketersediaan data valid terkait kondisi hutan yang dijadikan objek proyek karbon.
Debby mengakui bahwa risiko tetap ada, seperti kebakaran di area konsesi, rendahnya kualitas pembeli, hingga fluktuasi tren pasar. “Pembeli karbon biasanya melihat tren. Kalau sedang ramai, mereka beli. Kalau tidak, ya ditinggalkan,” jelasnya.
Perdagangan Karbon di Indonesia masih Dini
Saat ini, perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal. Meski sejumlah proyek karbon sudah berjalan, skalanya masih terbatas.
“Indonesia sebenarnya sangat seksi di mata pembeli karbon internasional. Banyak dari mereka mulai masuk ke pasar Indonesia,” ungkap Debby.
Namun, perdagangan karbon domestik masih terhambat oleh ketiadaan regulasi yang mewajibkan perusahaan menetapkan batas emisi. Akibatnya, belum banyak perusahaan dalam negeri yang terdorong untuk ikut menjual kredit karbon.
“Selama ini hampir seluruh permintaan berasal dari luar negeri. Pemerintah sedang berupaya mendorong keterlibatan pelaku usaha dalam negeri, sambil mempersiapkan regulasinya,” pungkas Debby. ***
Profile view of concentrated Asian microbiologist examining sample with help of modern microscope while wrapped up in work at dim laboratory. (dok Freepik)
Ungkapan “kabur aja dulu” belakangan kerap muncul di kalangan anak muda Indonesia, khususnya di media sosial. Istilah ini mencerminkan keinginan generasi muda untuk pergi ke luar negeri demi mencari peluang hidup yang lebih baik untuk belajar, bekerja, maupun membangun karier.
Fenomena ini tidak lepas dari berbagai tantangan dalam negeri, seperti terbatasnya lapangan kerja, ketimpangan kesempatan ekonomi, serta lambatnya mobilitas sosial. Tak jarang, istilah tersebut digunakan sebagai bentuk sindiran atau ekspresi kekecewaan terhadap kondisi ketenagakerjaan nasional.
Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Kabur Aja Dulu Versus Kepentingan Nasional: Penguatan SDM Iptekin dan Paradigma Diplomasi RI ke Depan” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 23 Juli 2025.
Hadir sebagai narasumber, Susanto Sutoyo, mantan Duta Besar RI untuk Italia sekaligus Wakil Tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005–2008), menyampaikan bahwa istilah “kabur aja dulu” seharusnya tidak langsung dimaknai secara negatif.
Susanto Sutoyo (no 4 duduk dari kanan) mantan dubes RI untuk Italia, wakil tetap RI untuk FAO, IFAD, dan WFP (2005-2008) memaparkan fenomena kabur aja dulu dalam diskusi CTIS, Rabu 23 Juli 2025. (dok CTIS)
“Fenomena ini harus dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Banyak anak muda Indonesia yang ingin mengeksplorasi talenta mereka ke luar negeri karena keterbatasan di dalam negeri, terutama pada sektor lapangan kerja,” ujarnya.
Susanto menekankan bahwa bonus demografi Indonesia seharusnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan. Ia menyebutkan bahwa banyak negara seperti Tiongkok, India, dan Korea Selatan telah berhasil mendorong warganya untuk bekerja atau magang di luar negeri—yang kemudian menjelma menjadi SDM unggul dengan peran strategis di kancah global, khususnya dalam bidang sains, teknologi, dan informasi.
“Kabur bukan berarti tidak nasionalis. Justru di sinilah peran para diplomat Indonesia diperlukan menjadi jembatan diplomasi, memfasilitasi penguatan SDM, dan memperkuat jejaring internasional,” lanjutnya.
Susanto juga menyoroti bahwa diplomat memiliki peran penting dalam menyikapi eksodus talenta muda Indonesia. Alih-alih melihatnya sebagai kegagalan negara, para diplomat bisa mengarahkan para WNI di luar negeri menjadi “kontributor global” melalui program-program produktif seperti pelatihan, forum mahasiswa, promosi budaya, hingga inkubasi usaha.
Pelatihan menggunakan AI di kantor pusat WHO untuk para pemagang kerja dari berbagai negara. (Dok WHO)
Dalam paparannya, Susanto menyampaikan bahwa terdapat sejumlah program strategis di berbagai organisasi internasional seperti WHO dan ILO yang dapat diakses oleh SDM Indonesia, termasuk:
Training Program
Internship Program
Secondment Program
Junior Professional Officer (JPO) / Associate Expert Program
Visiting Scholars Program
Program-program ini berada di bawah naungan badan-badan dunia seperti PBB, dengan berbagai skema pendanaan, baik melalui direct payment (dibiayai oleh negara pengirim) maupun indirect payment (pemerintah mentransfer dana ke organisasi internasional untuk mendanai peserta).
Sebagai gambaran, WHO menetapkan biaya US$100.000–US$160.000 per tahun untuk skema indirect payment per peserta. Selain itu, negara pengirim juga diwajibkan membayar support cost sebesar 13 persen dari total pengeluaran tahunan untuk kebutuhan administratif seperti visa, izin tinggal, hingga akses ke gedung PBB.
Pelatihan bioteknologi oleh WHO untuk para ahli bioteknologi di negara-negara miskin Afrika. (Dok WHO)
Susanto menegaskan bahwa sudah waktunya diplomasi Indonesia mengadopsi paradigma baru, yakni menjadikan penguatan kapasitas SDM di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) sebagai bagian dari kepentingan nasional.
“Penguatan kompetensi SDM Iptekin harus menjadi agenda utama diplomasi kita, bukan sekadar pelengkap. Ini adalah bentuk konkret dari upaya menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat global,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika dikelola dengan pendekatan inklusif dan suportif, fenomena “kabur aja dulu” dapat diarahkan menjadi gerakan “kembali membawa kontribusi”, baik melalui transfer ilmu, kolaborasi, maupun investasi SDM yang berkelanjutan.
Dalam hal ini, diplomat Indonesia berperan sebagai penjaga, penghubung, dan pengarah. Mereka tidak hanya melindungi WNI di luar negeri, tetapi juga berkontribusi mengubah paradigma dari pelarian menjadi potensi. Dengan membaca dinamika diaspora sebagai masukan kebijakan, diplomasi Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem global yang mendukung pengembangan SDM unggul Indonesia ke depan. ***
Indonesia tengah menghadapi darurat mikroplastik. Negara ini disebut sebagai yang tertinggi dalam konsumsi mikroplastik, setara ukuran satu kartu ATM setiap minggunya per orang. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi salah satu penghasil sampah mikroplastik terbesar di dunia.
Hal tersebut diungkapkan CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono, dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. Diskusi tersebut mengangkat tema Research-Based Seaweed Bioplastic Manufacturer.
“Sampah plastik dan mikroplastik harus dikurangi. Negara kepulauan seperti Indonesia terdampak langsung karena lautan kita penuh sampah,” ujar Noryawati.
CEO dan Co-Founder PT Seaweedtama Biopac Indonesia, Dr. Noryawati Mulyono (duduk no 4 dari kiri) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Juli 2025. (dok CTIS)
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan rumput laut, tidak hanya sebagai bahan pangan, tapi juga sebagai bahan baku alternatif plastik. Bioplastik berbahan rumput laut dinilai lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.
Menurut Noryawati, nilai ekonomi rumput laut sebagai bahan pengganti plastik terus berkembang. Laporan Research and Markets memperkirakan pasar global bioplastik akan tumbuh dari US$10 miliar pada 2023 menjadi lebih dari US$27 miliar pada 2032.
“Rumput laut tumbuh cepat, tidak butuh lahan pertanian atau air tawar, bisa menyerap karbon, dan mudah dibudidayakan,” ujarnya.
Lembaran bioplastik terbuat dari rumput laut produksi Biopac. (Dok CTIS)
Bioplastik dari rumput laut dapat digunakan untuk kemasan makanan, sachet, hingga pembungkus yang bisa terurai alami—bahkan dapat dimakan. Meski harganya masih tinggi, sekitar US$4,47 per lembar, produk ini menawarkan nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari rumput laut kering biasa.
Penelitian Noryawati yang dimulai sejak 2010 dan didukung L’Oreal For Women in Science, kini telah berkembang menjadi produk komersial melalui perusahaan yang ia dirikan: PT Seaweedtama Biopac Indonesia (BIOPAC). Perusahaan ini menjadi pelopor inovasi bioplastik dari rumput laut di Indonesia.
BIOPAC kini rutin menyerap hasil panen rumput laut petani melalui koperasi di Makassar dan Jakarta. Setiap empat bulan, perusahaan membeli hingga 8 ton rumput laut. Pola ini membantu petani memiliki pendapatan tetap dan mengurangi penumpukan hasil panen di gudang seadanya.
“Dengan adanya industri ini, petani tidak perlu lagi menyimpan rumput laut terlalu lama. Hasil panen bisa langsung dibeli,” kata Noryawati.
Dampaknya, selain membantu menjaga laut dari polusi plastik, juga meningkatkan kesejahteraan petani dan mencegah risiko sosial seperti perdagangan manusia akibat kemiskinan.
Produk-produk BIOPAC yang ramah lingkungan kini mencakup tas serut, tinta, kemasan makanan yang dapat dimakan, hingga kemasan sachet. Semua diproduksi menggunakan mesin buatan dalam negeri.
Sabun berbahan baku rumput laut produksi Tanzif, dan dibungkus dengan bioplastik rumput laut yang diproduksi oleh Biopac. Sabun rumput laut untuk hotel di Bali. (Dok CTIS)
Dari sisi ekonomi, bioplastik berbasis rumput laut bernilai tinggi: Rp150.000–Rp300.000 per kilogram, dibanding rumput laut kering yang hanya Rp15.000–Rp25.000 per kilogram. Ini membuka peluang ekspor, terutama ke negara-negara Eropa yang sudah memperketat regulasi plastik konvensional.
“Bioplastik dari rumput laut mendukung ekonomi sirkular, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan industri hijau,” ujarnya.
Meski tantangan masih ada seperti biaya produksi tinggi dan keterbatasan skala industri, Noryawati optimistis bioplastik berbahan rumput laut bisa jadi solusi nyata bagi laut Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari polusi plastik. ***
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengendalikan emisi karbon, termasuk melalui pengembangan Carbon Emissions Calculator. (dok ASEAN)
Perubahan iklim tidak hanya berdampak di darat dan laut, tetapi juga di udara. Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.
Menjawab tantangan tersebut, Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang, tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS.
“Ada dua jalur utama dalam pengembangan bahan bakar alternatif, yaitu untuk ketahanan energi dan untuk kepentingan lingkungan,” ujar Wendy.
Ia menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga mencapai net zero emission pada 2050, termasuk di sektor transportasi udara melalui pengembangan bioavtur sebagai alternatif dari avtur konvensional.
Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang (duduk no 2 dari kiri), tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS. (Dok CTIS)
ICAO Dorong Reduksi Emisi Penerbangan Internasional
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengendalikan emisi karbon, termasuk melalui pengembangan Carbon Emissions Calculator (ICEC) yang memungkinkan penumpang menghitung jejak emisi perjalanan udara mereka. Alat ini diakui secara internasional dan mudah digunakan.
ICAO juga menerapkan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), sebuah skema global untuk menekan emisi karbon penerbangan internasional. Melalui CORSIA, maskapai wajib mengimbangi peningkatan emisi dengan penggunaan SAF, efisiensi operasional, atau pembelian kredit karbon.
“Maskapai punya tiga opsi untuk memenuhi CORSIA: menggunakan SAF, meningkatkan efisiensi penerbangan, atau membeli kredit karbon,” jelas Wendy.
SAF: Solusi Ramah Lingkungan untuk Aviasi
Menurut Wendy, penggunaan SAF harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca minimal 50%, bahkan hingga 80% dibandingkan avtur konvensional. SAF juga wajib diproduksi dari bahan non-fosil seperti limbah pertanian, minyak jelantah, limbah hutan, atau alga.
“Tidak boleh berasal dari lahan gambut atau hutan primer,” tegasnya.
Secara teknis, SAF harus memiliki karakteristik yang mirip dengan avtur agar dapat digunakan tanpa modifikasi mesin pesawat. SAF juga wajib melalui sertifikasi dari lembaga independen untuk memastikan kualitas dan keberlanjutannya.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.
Potensi Bahan Baku SAF di Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan SAF. Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.
Dari seluruh sumber itu, kelapa sawit dan minyak jelantah menjadi bahan utama. Indonesia sendiri merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi 48,16 juta ton pada 2023. Sementara itu, produksi minyak jelantah nasional mencapai 3,9 juta ton per tahun.
“Inilah peluang Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri SAF global,” ujar Wendy.
Tantangan dan Harapan
Meski potensinya besar, harga bioavtur saat ini masih tergolong mahal dibandingkan avtur fosil. Namun Wendy menilai, investasi dalam SAF adalah langkah strategis untuk membangun industri penerbangan yang lebih hijau dan mandiri secara energi.
“Pengembangan bioavtur diharapkan bisa menjadi solusi ramah lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional,” pungkasnya. ***
Kapal dagang buatan PT PAL Indonesia. (dok PT PAL)
Sebelum Republik Indonesia berdiri, kerajaan-kerajaan besar di Nusantara telah menunjukkan kekuatan sebagai negeri bahari. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa dua pertiga wilayah Indonesia merupakan lautan.
Sejumlah kerajaan maritim seperti Sriwijaya, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, hingga Mataram berkembang pesat berkat jalur perdagangan laut. Kapal-kapal dagang dari India, Tiongkok, Arab, hingga Eropa rutin singgah di pelabuhan-pelabuhan strategis di Nusantara.
Pelabuhan seperti Sriwijaya, Majapahit, Tuban, Gresik, Barus, Banten, Banda, Ambon, dan lainnya menjadi simpul perdagangan rempah-rempah, emas, dan barang bernilai lainnya. Teknologi pelayaran pun telah dikuasai masyarakat Nusantara sejak lama melalui pembuatan kapal seperti jukung, pinisi, dan jong.
Prof. Indroyono Soesilo (duduk no 3 dari kiri), mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), sebagai narasumber diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025. (dok CTIS)
Hal ini disampaikan oleh Prof. Indroyono Soesilo, mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) dalam diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025.
VOC Ubah Arah dari Laut ke Darat
Menurut Indroyono, kejayaan maritim Nusantara perlahan memudar sejak kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada awal abad ke-17. VOC datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga memonopoli jalur laut dan perdagangan rempah.
VOC mendirikan pos dagang dan benteng di Batavia, Ambon, Banda, dan memaksa masyarakat beralih dari sektor kelautan ke sektor agraris. Perkebunan kopi, tebu, dan rempah-rempah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa.
“VOC bahkan menekan raja-raja lokal untuk menutup pelabuhan agar monopoli dagang berjalan mulus. Sejak itu, orientasi bangsa berubah dari negeri bahari menjadi negeri daratan,” tegasnya.
Kapal bantu rumah sakit produksi PT PAL Indonesia. (dok PT PAL)
Deklarasi Djoeanda dan Visi Maritim Indonesia
Indroyono mengingatkan bahwa semangat maritim sempat kembali menguat saat Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi ini menjadi dasar pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diperkuat dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Pada 1996, semangat pembangunan maritim kembali digaungkan oleh Presiden BJ Habibie (saat itu masih menjadi Menristek/Kepala BPPT) melalui inisiatif pembangunan benua maritim Indonesia yang ditandatangani di Makassar oleh berbagai lembaga negara.
Presiden setelahnya, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono ikut melanjutkan upaya pembangunan maritim. Di era Joko Widodo–Jusuf Kalla pada 2014, visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia diperkenalkan, lengkap dengan lima pilar pembangunan maritim.
Presiden juga menerbitkan Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang mencakup tujuh pilar utama seperti pengelolaan sumber daya laut, infrastruktur, pertahanan, hingga budaya bahari dan diplomasi maritim.
Namun, kata Indroyono, implementasi kebijakan ini tidak berlanjut secara konsisten. Bahkan Kementerian Kemaritiman telah dilebur, dan banyak program kelautan terabaikan.
Nelayan Indonesia penyangga budaya maritim. (Dok ESDM)
Saatnya Kembali ke Laut
“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati,” ujarnya.
Ia menyoroti pentingnya pendidikan dan pelestarian sejarah maritim untuk generasi muda. Salah satunya melalui kunjungan ke Museum Bahari atau pelajaran sejarah tentang armada laut kerajaan seperti pasukan Sultan Agung yang dulu menyerbu Batavia melalui laut.
Ia juga menyinggung sosok Laksamana Alfonso de Albuquerque, arsitek ekspansi Portugis ke Asia Tenggara melalui laut yang berhasil menjalin hubungan dengan Sultan Ternate.
“Laut adalah kekuatan ekonomi, ketahanan, dan budaya kita,” tegasnya.
Indroyono menambahkan bahwa Indonesia sudah memiliki roadmap Blue Economy, yakni pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Hal ini juga berkaitan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang harus dicapai sebelum 2030.
“Semua perangkat hukum sudah ada. Tinggal dilaksanakan. Mulai dari pembangunan pelabuhan-pelabuhan dagang modern, hingga mengaktifkan kembali pelayaran nasional. Kalau sudah disiapkan infrastrukturnya, maka industri dan tenaga kerja akan mengikuti,” pungkasnya. ***
Briket hasil dari pengolahan sampah dengan autothermix. (Dok Pemkot Bandung)
Permasalahan pengelolaan sampah kian mendesak di berbagai kota besar di Indonesia. Kota Bandung, misalnya, tengah mengalami krisis akibat TPST Sarimukti yang kelebihan kapasitas dan sempat terbakar. Di Yogyakarta, TPA Piyungan ditutup karena timbunan sampah yang sudah melampaui batas. Sementara di Jakarta, TPST Bantargebang mengalami penumpukan sampah hingga sempat nyaris longsor.
Di tengah situasi darurat tersebut, teknologi autothermix muncul sebagai solusi modern dan ramah lingkungan untuk menangani sampah secara efisien.
Diskusi bertajuk “Inovasi Teknologi Pemusnah Sampah Autothermix” menghadirkan Ir. Budi Permana (nomor 2 duduk dari kanan), Direktur Utama PT Tohaan Renewable Energy Engineering (TREE), sebagai narasumber utama. (Dok CTIS)
Teknologi ini menjadi topik utama dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) Rabu (25/6/2025). Diskusi bertajuk “Inovasi Teknologi Pemusnah Sampah Autothermix” menghadirkan Ir. Budi Permana, Direktur Utama PT Tohaan Renewable Energy Engineering (TREE), sebagai narasumber utama.
Menurut Budi, autothermix adalah teknologi pemusnah sampah berbasis autothermal, yang bekerja tanpa pembakaran terbuka dan tanpa bahan bakar tambahan. Prosesnya memanfaatkan syngas, gas hasil dekomposisi termal sampah, untuk menjaga suhu reaksi tetap tinggi dan stabil.
“Teknologi ini tidak menggunakan bahan bakar fosil, tidak menghasilkan fly ash, dan memiliki emisi sangat rendah berkat sistem pemisahan polutan yang canggih,” jelasnya.
Autothermix bekerja dengan prinsip dekomposisi termal tertutup pada suhu di atas 900°C, dengan minim oksigen, sehingga tidak ada nyala api seperti pada incinerator. Teknologi ini juga menerapkan sistem isokinetik, yang memastikan kecepatan gas dan partikel tetap stabil untuk memaksimalkan pemisahan polutan.
“Inilah yang membedakan autothermix dari incinerator konvensional yang berisiko menghasilkan dioksin, furan, dan fly ash berbahaya,” tambahnya.
Autothermix bekerja dengan prinsip dekomposisi termal tertutup pada suhu di atas 900°C, dengan minim oksigen, sehingga tidak ada nyala api seperti pada incinerator. (Dok Pemkot Bandung)
Autothermix mampu mengolah berbagai jenis sampah campuran seperti plastik, kertas, dan limbah organik dengan kapasitas mulai dari 1 ton hingga 10 ton per hari. Teknologi ini tidak cocok untuk sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun), namun sangat ideal untuk kawasan permukiman padat.
Budi menjelaskan bahwa teknologi ini telah dioperasikan di sejumlah daerah, seperti Serang (Banten), Bandung (Jawa Barat), dan Denpasar Barat (Bali). Di Denpasar, autothermix berkapasitas 1 ton per hari telah terpasang di lingkungan permukiman.
Dari sisi ekonomi, Budi menegaskan bahwa teknologi ini layak secara bisnis. Untuk DKI Jakarta, misalnya, kebutuhan opex tahunan sekitar Rp1,3 triliun dapat ditutup dari realokasi APBD yang selama ini dialokasikan untuk TPA, RDF, dan transportasi sampah, ditambah potensi carbon credit sebesar Rp292 miliar per tahun.
“Proyek ini bahkan berpotensi menghasilkan surplus kas daerah,” ujarnya optimistis.
Di Denpasar, autothermix berkapasitas 1 ton per hari telah terpasang di lingkungan permukiman wilayah Kecamatan Denpasar Barat. (Dok PT TREE)
Teknologi serupa telah banyak digunakan di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman dalam skema waste-to-energy. Di Indonesia, autothermix mulai dilirik sebagai solusi jangka panjang untuk krisis sampah perkotaan.
Dengan keunggulan efisiensi, rendah emisi, dan tidak membutuhkan lahan penimbunan, autothermix diyakini menjadi alternatif masa depan dalam pengelolaan sampah nasional yang lebih berkelanjutan. ***
Indonesia dikenal memiliki kekayaan buah-buahan tropis lokal yang sangat beragam. Keunikan dan cita rasa eksotis buah-buah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara, sekaligus menjadi potensi unggulan dalam perdagangan global.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2019 mencatat, Indonesia merupakan negara penyedia buah tropis terbesar kelima di dunia, setelah India, China, Thailand, dan Meksiko. Namun, dari total produksi nasional, ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah. Komoditas andalan ekspor di antaranya manggis, salak, pepaya, dan mangga.
Isu ini menjadi perhatian dalam diskusi yang diselenggarakan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, pada Rabu, 18 Juni 2025. Hadir sebagai pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi, Ketua Komite Agriculture CTIS sekaligus mantan Deputi Menristek.
Diskusi CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, Rabu, 18 Juni 2025. Pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi (duduk tengah), Ketua Komite Agriculture CTIS.
Tien mengungkapkan, saat menjabat sebagai Deputi Menristek di era Menteri Hatta Rajasa, pemerintah telah menyusun peta jalan teknologi (technology roadmap) untuk pengembangan buah tropis Indonesia. Peta jalan ini menjadi dasar lahirnya Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) sektor pertanian yang fokus pada pengembangan buah unggulan berbasis riset.
Inovasi Berbasis Pasar dan Potensi Lokal
Menurut Tien, peta jalan teknologi penting untuk memahami tantangan masa depan, memperkuat kolaborasi, serta mengurangi risiko investasi teknologi. Roadmap ini juga membantu mengidentifikasi teknologi kunci, menutup kesenjangan inovasi, dan memperluas akses industri terhadap hasil riset dan pengembangan (R&D).
“Inovasi yang dihasilkan harus terserap pasar dan bisa ditangkap oleh industri,” jelas Tien. Salah satu hasil nyata dari Rusnas adalah pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan peneliti IPB dan kini banyak ditanam petani di seluruh Indonesia karena tingginya permintaan dalam dan luar negeri.
Pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. (Dok IPB)
Selain pepaya, beberapa komoditas lain yang dikembangkan lewat Rusnas adalah nanas madu dan manggis tanpa biji. Manggis asal Indonesia dikenal luas karena rasanya manis dan ukuran daging buah yang besar. Produk-produk ini mulai mendominasi pasar modern dan tradisional serta menjadi komoditas ekspor andalan.
Tien menegaskan, Rusnas telah dirancang dengan tujuan besar menjadikan Indonesia sebagai produsen buah tropika terkemuka di ASEAN pada 2025, dan eksportir terbesar dunia pada 2045.
Pisang, buah tropis yang banyak ditemui di Indonesia merupakan salah satu buah tropika unggulan (dok IPB)
Pentingnya Keberlanjutan dan Dukungan Pemerintah
Sayangnya, menurut Tien, program Rusnas tidak dilanjutkan setelah pembubaran Kemenristek. Hal ini dikhawatirkan menghambat visi besar Indonesia di sektor buah tropis.
Sebagai perbandingan, Tien menyebut keberhasilan Kosta Rika yang dijuluki Banana Republic karena ekspor pisangnya mendominasi pasar dunia. Negara tersebut berhasil mengintegrasikan riset dan teknologi untuk menghasilkan pisang berkualitas ekspor. Contoh lain adalah Argentina yang telah menerapkan teknologi mutakhir untuk pemotongan sapi secara halal dan efisien.
Tien berharap, peta jalan teknologi dan program Rusnas bisa kembali dihidupkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Saya ingin bertemu Presiden Prabowo agar ada kebijakan kelanjutan Rusnas. Beliau pernah memimpin HKTI dan sangat peduli terhadap isu ketahanan pangan,” ujarnya.
Peran Agro Techno Park dan UKM Teknologi
Dukungan terhadap hasil Rusnas juga sempat diwujudkan melalui pembangunan Agro Techno Park (ATP) di sejumlah daerah. ATP berfungsi sebagai pusat riset dan pengembangan teknologi pertanian, termasuk budidaya buah tropika.
“Bibit hasil riset kami ditanam di ATP hingga panen. Kemudian melalui mitra swasta, bibit tersebut dijual ke petani untuk dikembangkan di lahan mereka,” jelas Tien.
Tien menambahkan, Rusnas juga mengarah pada penguatan rantai pasok teknologi dan pengembangan klaster industri berbasis UKM, dengan sektor prioritas seperti budidaya kerapu, buah unggulan, pangan pokok, industri hilir sawit, dan small engine.
Namun tanpa keberlanjutan, potensi ini berisiko hilang. “Impian saya menjadikan pisang sebagai proyek padat karya nasional, seperti di Kosta Rika, belum terwujud,” ujar Tien penuh harap.***
Sepanjang setahun terakhir, Indonesia menghadapi peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala bencana. Mulai dari longsor di Gunung Kuda, banjir di Padangsidempuan, Parigi Moutong, dan Flores Timur, hingga gempa di Bogor, Pacitan, dan Bandung. Fenomena ini mencerminkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk mengelola risiko bencana secara sistematis.
Naomi Klein (2007) dalam The Shock Doctrine menyoroti bahaya kapitalisme kebencanaan, yang menjadikan bencana sebagai peluang komersial oleh industri besar. Namun, pendekatan reaktif semata telah terbukti tidak cukup. Pasca tsunami Aceh 2004 dan gempa Tohoku 2011, dunia menyadari bahwa mitigasi bencana harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Muncul konsep industrialisasi kebencanaan, yaitu pendekatan berbasis teknologi, inovasi, dan tata-kelola risiko bencana yang lebih terintegrasi. Istilah ini mulai mendapat perhatian pada 2005–2010, antara lain oleh Hewitt (The Political Economy of Disaster, 2007) dan UNISDR (2009), yang menekankan pentingnya pengembangan pasar teknologi kebencanaan.
Contohnya, pasca-tsunami 2011, Jepang mengembangkan robot pencari korban dan teknologi tahan gempa untuk infrastruktur strategis seperti misalnya reaktor nuklir. Hitachi dan Toshiba menjadikan teknologi kebencanaan sebagai lini bisnis. Sementara itu, Amerika Serikat merespons Badai Sandy (2012) dengan mendorong konstruksi tahan badai melalui regulasi dan insentif pajak.
Sejumlah teknologi untuk kebencanaan. Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga merujuk hasil Semnas BNPB 21 Mei 2025.
Di Indonesia, sejak 2004 hingga 2025, tercatat rata-rata 3.000 bencana per tahun dengan kerugian mencapai Rp23 triliun (BNPB). Namun, sebagaimana ditekankan Wisner dkk (2003), bencana bukanlah sesuatu yang alami. Sebaliknya, bencana merupakan hasil dari proses sosial yang tercipta sebagai akibat kerentanan dan keterbatasan kemampuan masyarakat yang berkelanjutan dalam menanggapi bahaya. Bencana terjadi karena bahaya alam bertemu dengan kerentanan buatan manusia: tata ruang buruk, deforestasi, atau kurangnya sistem peringatan dini.
Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga. Contoh: aplikasi @infobmkg dan @PetaBencana.id, serta pengembangan sensor gempa oleh perusahaan dalam negeri. Ini bukan bentuk kapitalisme bencana seperti dikritik Klein, melainkan bentuk kedaulatan teknologi dalam menghadapi risiko.
2. Pola Kebutuhan Teknologi Kebencanaan
Siklus manajemen risiko bencana terdiri dari tiga fase utama:
Pra-bencana: mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini. Kebutuhannya mencakup sensor, sistem pemetaan digital, pelatihan, serta penyusunan rencana kontinjensi dan jalur evakuasi.
Saat bencana: teknologi dibutuhkan untuk pemetaan kerusakan, penentuan jalur evakuasi, distribusi bantuan, serta identifikasi dan evakuasi korban. Produk seperti drone, citra satelit, dan alat komunikasi darurat sangat vital.
Pascabencana: fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain pembangunan infrastruktur tahan bencana, dibutuhkan teknologi yang mendukung pemulihan ekonomi dan sosial.
Aplikasi @Magma — informasi tentang kegiatan Gunung Api di Indonesia yang dibuat oleh PVMBG
Kebutuhan teknologi bersifat berkelanjutan dan dinamis. Tahap pra-bencana penting untuk membangun ketangguhan: mendeteksi tanda-tanda bahaya, meminimalkan dampak, dan mempercepat pemulihan. Misalnya, sensor cuaca, seismograf, dan pemetaan risiko berbasis AI. Indonesia baru memiliki sekitar 3.000 AWS (Automatic Weather Stations) dan 500 seismograf, jauh dibandingkan Tiongkok dan Jepang.
Dalam fase darurat, teknologi harus memungkinkan tanggap cepat: pemetaan wilayah terdampak, identifikasi lokasi korban, dan penetapan jalur logistik. Di fase pemulihan, teknologi mendukung rekonstruksi yang adaptif dan berkelanjutan (build-back-better).
UNDRR (2022) menegaskan bahwa keberhasilan pengurangan risiko bencana tidak ditentukan oleh kekuatan bahaya alam, tetapi oleh alokasi sumber daya dan kapasitas pengelolaan risiko. Industrialisasi kebencanaan bukan hanya peluang bisnis, tetapi kebutuhan nasional untuk melindungi kehidupan dan memperkuat ketangguhan bangsa.
3. Ekosistem
Seperti halnya pengembangan industri lain, industrialisasi kebencanaan membutuhkan ekosistem yang kondusif. Ekosistem ini merupakan jaringan luas yang terdiri dari pelaku industri, lembaga riset, penyedia layanan, serta pemangku kepentingan lain yang berkolaborasi dalam menciptakan nilai tambah.
Ambil contoh sistem peringatan dini. Pengembangan teknologinya melibatkan berbagai pihak: perusahaan manufaktur pembuat sensor gempa dan banjir, start-up AI untuk prediksi cuaca ekstrem dan longsor, hingga pengembang drone dan satelit pemantau wilayah rawan bencana.
Lembaga riset dan perguruan tinggi mengembangkan model prediksi berbasis AI. Lembaga standarisasi menetapkan parameter mutu sensor dan integrasi sistem nasional. Pemerintah pusat dan daerah, melalui BNPB dan BPBD, mengatur kebijakan, regulasi, serta integrasi dalam tata ruang dan jaringan komunikasi.
Swasta juga berperan: aplikasi pelaporan komunitas, penyediaan jaringan telekomunikasi tangguh, hingga cadangan energi terbarukan di wilayah rawan bencana. Masyarakat lokal diberdayakan dalam edukasi teknologi, kurikulum sekolah memasukkan mitigasi bencana, dan organisasi kemanusiaan menjangkau wilayah terpencil.
Selain sistem peringatan dini, ekosistem ini juga mencakup konstruksi tahan gempa, logistik darurat, dan pembiayaan berbasis asuransi risiko bencana. Perpres No. 87/2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) menargetkan terwujudnya industri kebencanaan nasional pada 2030–2034, melalui pengintegrasian riset, inovasi, dan teknologi dimulai sejak 2020.
Tim SAR menggunakan drone thermal untuk mencari orang hilang di hutan Jambi
4. Langkah Rintisan Strategis
Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang. RIPB 2020–2044 menjadi fondasi utamanya. Targetnya jelas: 2020–2024 integrasi riset dan teknologi; 2025–2029 kemandirian teknologi; 2030–2034 pengembangan industri kebencanaan.
Industrialisasi bencana harus dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Sektor industri perlu memandang mitigasi sebagai investasi, bukan beban. Kepala BNPB menyebutkan bahwa risiko bencana dapat mengganggu rantai pasok dan bisnis, sehingga sistem mitigasi seperti pelatihan, sistem peringatan dini, hingga asuransi harus menjadi bagian dari strategi bisnis.
Contoh rintisan strategis: perusahaan perkebunan membangun kanal pengendali banjir; industri migas menerapkan pemodelan geo-hazard; kawasan industri memasukkan risiko bencana dalam RTRW. CTIS (https://ctis.id/) mengangkat topik ini dalam berbagai kajiannya.
BNPB juga aktif mendorong kolaborasi. Seminar Nasional 21 Mei 2025 lalu merupakan bagian dari “Road to ADEXCO 2025”. ADEXCO (Asia Disaster and Emergency Expo & Conference) bukan sekadar pameran teknologi, tetapi ajang temu aktor industri, peneliti, dan komunitas. Produk lokal, purwarupa alat, dan start-up kebencanaan mulai bermunculan. Beberapa rekomendasi dari Semnas BNPB:
Penguatan sistem satu data bencana berbasis bukti
Insentif riset terapan dan pembiayaan purwarupa, termasuk skema PPP
Regulasi dan sertifikasi alat kebencanaan
Pengembangan kurikulum vokasi dan teknopreneur kebencanaan
Pembentukan forum riset dan industri kebencanaan lintas sektor
5. Penutup
Bencana adalah cermin kegagalan kolektif (Wisne dkk, 2003), tapi juga peluang membangun ketangguhan berbasis inovasi. Indonesia memiliki semua bahan mentah: SDM, laboratorium bencana alam, pasar, dan momentum politik. Industrialisasi kebencanaan bukan pilihan, tetapi keharusan untuk mewujudkan ketangguhan nasional berbasis riset, inovasi, danteknologi. ***
Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN
Opini ini ditulis oleh :
Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN
Diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk "The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks", Rabu, 11 Juni 2025.
Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.
Pakar oseanografi fisik, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan bahwa penyebab utama dari pemanasan air laut ini adalah dampak dari perubahan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025.
Dr. Salveanty Makarim (tengah) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025. (Dok CTIS)
Alumnus Xiamen University, Tiongkok, ini menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada 1960-an. Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal 2000-an.
“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi. Laut dalam sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.
ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia
Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut. ENSO adalah pola iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, dan bahkan dapat memengaruhi kesehatan manusia.
ENSO menyebabkan:
Pemutihan karang akibat suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari normal.
Perubahan arus laut yang berdampak pada distribusi nutrien dan kehidupan biota laut.
Perubahan populasi ikan, yang memengaruhi ekosistem dan sektor perikanan.
Peningkatan badai tropis, terutama di wilayah Pasifik.
“ENSO yang terjadi secara periodik kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim,” ujar Salveanty.
Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam. Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah memengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.
Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun dan seterusnya.
“Sebab ENSO salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksiENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.
Pemerintah masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.
Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak
Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi. Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.
“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir. Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.
Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2021–2030), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.
Terumbu karang terancam mengalami kerusakan akibat naiknya suhu permukaan laut. (Dok KKP)
Indeks Kesehatan Laut Indonesia Memprihatinkan
Menurut data terbaru, Indeks Kesehatan Laut Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.
Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan.” Program ini berfokus pada:
Laut yang bersih,
Laut yang sehat dan tangguh,
Laut yang produktif, dan
Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.
Dekade ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14, yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudra, dan sumber daya kelautan.
Namun tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai. Saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan. ***