Categories
Domestic S&T News

Pemerintah Mau Bangun PLTN, CTIS Tekankan Soal Sosialisasi

Pemerintah baru saja membentuk Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).  Tim dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan.

Pada pernyataan awal, Menko Luhut minta diperhatikannya dua hal penting yaitu lokasi tempat PLTN akan dibangun, utamanya berkaitan dengan kondisi kegempaannya, serta tingkat disiplin dan keberterimaan masyarakat terhadap teknologi canggih ini.

Menanggapi rencana pembangunan PLTN tadi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk ”Perkembangan PLTN dan Daur Bahan Bakar Nuklir”, Rabu, 31 Januari 2024. Diskusi menghadirkan narasumber, ahli teknologi nuklir dan mantan Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Professor Jarot Wisnubroto dan dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Prijanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dalam diskusi,  Jarot merujuk skenario Dewan Energi Nasional (DEN) tentang kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2060, yang akan mencapai sekitar 400 GigaWatt, atau setara 400 Milyar Watt.

PLTN akan dibangun di Indonesia, membutuhkan proses sosialisasi ke masyarakat

Sesuai Perjanjian Paris 2015 Tentang Perubahan Iklim, saat itu Indonesia sudah harus mengurangi penggunaan energi fosil hingga semaksimal mungkin menuju “Net Zero Emission”, dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi hidro, biomassa, angin, gelombang, fotovoltaik dan panas bumi.  Diprakirakan, untuk mencukupi kebutuhan 400 Giga Watt tadi perlu tambahan pembangkit listrik dari PLTN.

Skenario DEN memperlihatkan bahwa kelak pada tahun 2032,  PLTN sudah bisa mulai dioperasikan di Indonesia, walaupun Jarot menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman di berbagai negara, perioda pembangunan PLTN, dari perencanaan hingga operasional, membutuhkan waktu 10 tahun.

Secara teknologis, Jarot Wisnubroto memaparkan bahwa rancang-bangun PLTN tidaklah rumit, hampir sama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang menghasilkan uap untuk memutar turbin lalu membangkitkan generator guna menghasilkan listrik.  Hanya bedanya, uap untuk memutar turbin diperoleh dari reaktor nuklir yang dibangun dengan tingkat keamanan dan keselamatan sangat tinggi.  Generasi pertama PLTN dibangun pada dekade 1950-an.

PLTN di Indonesia akan dibangun di Babel dan Jepara, Jawa Tengah

Saat ini, PLTN yang beroperasi di dunia ada pada Generasi III+ dan IV, mengarah pada Small Modular Reactor (SMR) yang semakin efisien secara ekonomis, dengan tingkat keselamatan semakin tinggi, hanya sedikit limbah dan anti proliferasi.  Musibah PLTN di Chernobyl, Rusia tahun 1986, maupun di Fukushima, Jepang tahun 2011, adalah hasil rancang-bangun PLTN dari Generasi I.

Khusus untuk PLTN Fukushima, bencana terjadi bukan akibat gempa bumi-nya, karena memang sudah diperhitungkan kekokohan PLTN untuk menghadapi bencana gempa bumi, namun akibat tinggi gelombang tsunami yang menerjang daratan Fukushima kala itu. Simak

Saat ini telah beroperasi sekitar 440 PLTN di 30 Negara.  Di Asia Tenggara, baru Filipina yang memiliki PLTN, dibangun sekitar dekade 1970-an di Bataan, namun belum sempat dioperasikan.

Sekarang, Malaysia dan Vietnam tengah merencanakan pembangunan PLTN. Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai Negara Nuklir sejak 1956 lalu, sesudah Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke AS dan mencanangkan “Nuklir Untuk Maksud-Maksud Damai”.

Presiden RI Pertama ini kemudian mengirimkan para insinyur muda Indonesia ke University of Michigan USA untuk belajar Nuclear Engineering disana, kemudian pada tahun 1958 dibentuk Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan sepulang para insinyur nuklir Indonesia dari studi di luar negeri, dibangunlah Reaktor Atom pertama di Bandung dan mulai beroperasi tahun 1965, kemudian Reaktor Atom RA Kartini di Yogyakarta mulai beroperasi tahun 1979, sedang Reaktor Atom GA Siwabessy di Serpong Jawa Barat, dengan daya 30 MW, mulai beroperasi tahun 1987.

Ketiga reaktor atom di Indonesia tadi dimanfaatkan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Jurusan pendidikan tekologi nuklir mulai dibuka di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1977.  Kegiatan riset dan pengembangan teknologi nuklir telah berlangsung di Indonesia lebih dari 60 tahun, kesemuanya disiapkan bila kelak Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membangun PLTN.

Tiga lokasi yang berpotensi sebagai tempat dibangunnya PLTN juga sudah di survei, yaitu di Jepara, Jawa Tengah, di Pulau Bangka dan Pantai Gosong, Kalimantan Barat.  Bahkan di Bangka dan di Kalimantan Barat terdapat potensi cadangan Uranium U-235 sebagai sumberdaya pembangkit PLTN.

PLTN sangat dibutuhkan
Batuan basal dari kompleks Gunung Api Adang, Mamuju, Sulawesi Barat mengandung radioakyif berupa uranium dan torium dalam jumlah cukup tinggi. (Dok Batan)

Pada tahun 2011, saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  telah dicanangkan rencana pembangunan PLTN ini, dan digelontorkan dana Rp250 miliar untuk kegiatan  studi kelayakan, survei lokasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Dalam studi kelayakan muncul kesimpulan bahwa bahwa teknologi PLTN yang akan diterapkan harus dari Generasi III+ atau Generasi IV dan sudah dioperasikan terlebih dahulu di tempat lain. Reaktor yang dipilih adalah Small Modular Reactor (SMR) yang bisa dibangun lebih cepat, dengan daya 250 MW.  Tingkat keberterimaan masyarakat terhadap PLTN mencapai 90%  di Kalbar, 49% di Bangka, dan hanya 20% di Jepara.  Nampaknya, upaya sosialisasi perlu lebih digencarkan sekiranya PLTN akan dibangun di Indonesia.

Dr. Unggul Priyanto menanggapi bahwa guna mencapai pembangkit listrik 400 Giga Watt pada 2060 maka mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus membangun PLTN.  Apalagi, saat itu konsumsi listrik untuk mobil listrik di tanah air, semakin meningkat.

Belum lagi semangat Indonesia untuk mencapai target “Net Zero Emission” pada tahun 2060.  Peserta diskusi sepakat bahwa sebelum melangkah lebih jauh, Pemerintah perlu lebih menggencarkan  sosialisasi kepada masyarakat tentang perlu dibangunnya PLTN di Indonesia, mengingat kelangkaan tenaga listrik mungkin akan terjadi saat Indonesia memasuki era sebagai Negara Industri pada peringatan 100 Tahun Kemerdekaan NKRI, pada 17 Agustus 2045. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787675587/pemerintah-mau-bangun-pltn-ctis-tekankan-soal-sosialisasi?page=2

Categories
Domestic S&T News

CTIS dan IATI Gelar Diskusi Pemanfaatan Teknologi untuk Pemilihan Umum (Pemilu) Elektronik di Indonesia

Meski teknologi sudah tersedia, namun pemanfaatan sistem Pemilu Elektronik atau E-Voting belum akan digunakan pada Pemilu 14 Februari 2024.

Dari sebelas tahapan Pemilu, sistem Pemilu digital elektronik  baru diterapkan pada tahapan Pendaftaran Partai Politik, Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Calon Peserta Pemilu.

Tahapan-tahapan pemilu berikutnya, seperti Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Pengiriman Hasil, Tabulasi dan Penayangan Hasil, ternyata masih akan dilaksanakan secara konvensional.

Memang, ada tahapan yang menggunakan sistem pemilu elektronik, yaitu sistem e-rekapitulasi dengan mengirimkan hasil dari TPS, oleh Kepala PPS sendiri, langsung ke pusat tabulasi data. Namun, itupun hanya dipakai sebagai verifikasi, tidak bisa dipakai sebagai hasil pemilu yang sahih.

Demikian beberapa kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) bersama Ikatan Audit Teknologi Indonesia (IATI), Rabu 24 Januari 2024.

pemilu elektronik atau e-voting lebih praktis dan tidak gampang dicurangi
dok PT INTI

Dalam pertemuan yang diawali pengantar oleh Ketua IATI, Prof Hammam Riza, moderator Wakil Ketua IATI, Dr  Jarot Suroso dan pembicara Dr Andrari Grahitandaru, Ketua Cluster Teknologi Informatika dan Elektronika (TIE) IATI, berhasil dipaparkan progress penerapan E-voting yang telah dibangun sejak awal dekade 2010-an, namun baru mulai diterapkan pada E-Voting Pemilihan Kepala Desa di beberapa desa, mulai tahun 2013 lalu.

Hal ini bukan disebabkan teknologinya yang belum siap, melainkan aspek regulasinya yang belum mendukung.

Andrari menyatakan bahwa untuk penerapan E-Voting ini, minimal ada 5 komponen yang perlu diperhatikan yaitu komponen legalitas, komponen teknologi, komponen penyelenggara, komponen masyarakat dan komponen pembiayaan.

Komponen legalitas mengacu pada Putuskan Mahkamah Konstitusi No.147/PUU-VII/2009 yang mewajibkan pemilu harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.  Sedang untuk komponen elektronikanya mengacu pada UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah beberapa kali diubah, hingga terakhir menjadi UU No.1/Th.2024 Tentang ITE.

Pada penyusunan RUU Pemilu Tahun 2017 lalu, Kementerian Kominfo, ITB, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT. Inti mengadakan dengar pendapat bersama DPR RI.  Dari Hasil dengar pendapat dan beragam kajian, akhirnya disimpulkan bahwa Indonesia belum siap untuk melaksanakan Pemilu Elektronik atau E-Voting ini.

UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, akhirnya tidak memasukan sistem E-Voting ini. Yang baru bisa dicobakan hanyalah sistem e-rekapitulasi, itupun hanya untuk verifikasi yang tidak bersifat sahih.

e-voting dirintis oleh BPPT dan hingga kini terus dikembangkan
Teknologi e-Voting adalah teknologi pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Mulai dari pembuatan surat suara, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi, dan penayangan hasil otomatis secara elektronik. (Dok BRIN )

Para ahli BPPT telah merancang-bangun sistem E-Voting sejak awal dekade 2010-an.  Andrari menegaskan bahwa uji coba pertama dilaksanakan pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun 2017, yang mencakup 178 Desa di seluruh Indonesia.  Hingga tahun 2022 lalu telah diterapkan E-Voting pada Pilkades di 1.106 Desa di seluruh Indonesia.

Aspek regulasi yang dipakai adalah UU No 6 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa.  Pada tahun 2024 ditargetkan 3106 Desa akan menggelar Pilkades menggunakan E-Voting dan akan meningkat menjadi 11388 Pilkades pada tahun 2025 yad.

Lalu, apakah E-Voting sudah dapat diterapkan pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota? Andrari menegaskan bahwa sesuai UU No 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka E-Voting sudah bisa diterapkan.

Lewat E-Voting maka akurasi terjamin, berarti menjamin azas jujur.  E-Voting juga menjamin azas langsung dan umum karena Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperoleh secara Online.  E-Voting juga menjamin azas rahasia, dan sistem verifikasi pemilu elektroniknya menjamin azas jujur dan adil.

Para peserta diskusi CTIS-IATI juga sepakat kiranya sistem E-Voting ini bisa diuji-cobakan secara bertahap guna mendapatkan keyakinan dan penerimaan masyarakat yang semakin meningkat.  Hal ini menjadi penting karena melalui Sistem E-Voting ini diharapkan biaya pemilu dapat ditekan hingga maksimal 50% saja. ***

sumber : https://forestinsights.id/ctis-dan-iati-gelar-diskusi-pemanfaatan-teknologi-untuk-pemilihan-umum-pemilu-elektronik-di-indonesia/

Categories
International S&T News

National Aerospace Industry Towards Golden Indonesia 2045

The National Development Planning Agency (Bappenas) has launched a roadmap for the development of the national aerospace industry with the vision: “A Resilient and Competitive Aerospace Industry Towards Golden Indonesia 2045.” One of the four pillars of the aerospace industry ecosystem is the development of the aircraft manufacturing industry, with three main targets: producing turboprop aircraft with a capacity of fewer than 100 passengers, manufacturing unmanned aerial vehicles (UAVs) for cargo transportation, and becoming a leading producer of flight simulators.

According to the Bappenas roadmap, the mission in developing the aircraft manufacturing industry is: “Strengthening the aircraft industry, components, and aerospace supply chain.” The next step is to implement the National Aerospace Industry Development Roadmap, which was launched in 2023.

A Resilient and Competitive Aerospace Industry Towards Golden Indonesia 2045
doc PT Dirgantara Indonesia

The Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) recently organized a discussion on the development of Indonesia’s aerospace industry, featuring Ir. Agung Nugroho, a former aircraft designer at PT Dirgantara Indonesia and currently the founder and CEO of PT Aviasi Indonesia Maju. The discussion was moderated by Professor Anton Adibroto, Chairman-I of CTIS and a Professor of Aerospace Engineering at the University of Malaysia – Kelantan (UMK).

Agung Nugroho began his presentation by outlining the history of Indonesia’s aviation industry since the country’s independence. He highlighted how, at that time, technicians from the People’s Security Army – Air Force (TKR – Udara) successfully repaired and flew former Japanese Air Force aircraft. Notably, on July 29, 1947, Indonesia successfully conducted an aerial bombing operation targeting Semarang, Ambarawa, and Salatiga.

By 1950, aircraft repair and testing operations were moved to Andir Air Base in Bandung. Subsequently, the Bandung Institute of Technology (ITB) established its Aeronautical Engineering Department in 1960. In the 1970s, the Nurtanio Aviation Industry Institute (LIPNUR) was founded at Andir Air Base, later renamed Husein Sastranegara Air Base. This marked the beginning of modern aircraft manufacturing in Indonesia with the establishment of PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), which produced aircraft such as NC-212, CN-235, N-250, C-295, and assembled helicopters like NBO-105, AS-332 Super Puma, Bell-412, and Cougar, in collaboration with France.

doc PT Dirgantara Indonesia

Agung Nugroho explained that despite domestic political challenges, PT IPTN, later renamed PT Dirgantara Indonesia (PT DI), continued to innovate by developing the N-219 “Nurtanio” aircraft and manufacturing components for the F-16 fighter jet ordered by General Dynamics (USA) and Airbus (France).

As the world’s largest archipelagic country, Indonesia must have a strong aircraft and shipbuilding industry to support inter-island transportation. Data from the International Air Transport Association (IATA) projects that by 2036, Indonesia will rank 4th globally in aircraft demand, following China, the United States, and India.

Agung emphasized that Indonesia’s aerospace industry development from 1970 to 2000 provides a solid foundation for future growth. The country already possesses expertise in design, development, system integration, and aircraft certification. The key challenge now is to continue national strategic aircraft programs, optimize existing industrial infrastructure, and enhance capabilities continuously—starting with fulfilling domestic demand before entering the international market.

Additionally, research, innovation, and human resource development must be accelerated to support aerospace industry growth. Agung also highlighted the importance of government commitment and national leadership in fostering a sustainable aerospace industry ecosystem. He concluded by mentioning that the soon-to-be-established financial institution Danantara will provide a much-needed boost for long-term strategic industries in Indonesia, particularly in aircraft manufacturing.

 

source: https://environews.asia/national-aerospace-industry-towards-golden-indonesia-2045/

Categories
International S&T News

Indonesia in Managing Potential Conflict Areas into Zones of Cooperation

The Latin phrase “Si vis pacem, para bellum” means “If you want peace, prepare for war.” Its implementation for a maritime nation includes having strength for naval defense, maritime security, and safety, as well as carrying out various societal activities at sea. As the world’s largest archipelagic country, Indonesia must internalize and uphold this principle. This was the conclusion of the Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) discussion on Wednesday, February 5, 2025. Speaking at the discussion, which took the theme “Geo-Maritime Dynamics of the Indo-Pacific Region: Indonesia in Managing Potential Conflict Areas into Zones of Cooperation,” was Admiral (Ret.) Prof. Dr. Marsetio, a professor at the Indonesian Defense University and Chief of Staff of the Indonesian Navy from 2012 to 2014. The session was moderated by Dr. Nadirah, Deputy Secretary-General of CTIS and an environmental expert from BRIN.

Indonesia belajar dari konflik Sipadan dan Ligitan agar tidak diklaim pihak asing

Prof. Marsetio began his presentation by discussing Indonesia as the world’s largest archipelagic state, recognized under the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS ’82), which has been ratified by 168 countries. In UNCLOS ‘82, it is stated that Indonesia’s territorial sea extends 12 miles from the outermost points of its outermost islands, known as baseline points. These baseline points are connected to form a baseline, determining Indonesia’s territorial sea sovereignty, covering 3.1 million square kilometers. Within this maritime area, Indonesia has the right to raise its national flag, the Red and White.

Additionally, Indonesia’s Exclusive Economic Zone (EEZ) extends 200 miles from the coastline, covering an area of 2.7 million square kilometers. Within the EEZ, Indonesia does not have full sovereignty over the waters, but all economic resources above the water, within the water, on the seabed, and beneath the seabed belong to Indonesia. Furthermore, if Indonesia can scientifically prove that its sedimentary rock layer extends up to 350 miles from the coast, the area, known as the continental shelf, along with its potential resources—mainly minerals and oil & gas—also belongs to Indonesia.

Naturally, Indonesia’s vast maritime territory of 5.8 million square kilometers must be safeguarded, secured, and its resources optimally utilized for the prosperity of the Indonesian people. This is particularly critical in the North Natuna Sea, which is rich in fish and has significant oil and gas potential but is frequently entered by foreign fishing vessels from Vietnam and China. Ironically, both of these countries have also ratified UNCLOS ’82.

Marsetio emphasized that one of the world’s major maritime conflict zones could arise in the South China Sea. Historically, the United States Navy has had dominant influence in the Pacific Ocean and the South China Sea, but this presence is now being challenged by China’s growing naval power. Furthermore, warships from NATO member countries such as Italy and France have begun patrolling the South China Sea, with their movements being closely monitored by the Chinese Navy and the China Coast Guard. Even a minor friction or provocation could ignite conflict in these waters.

Indonesia’s Exclusive Economic Zone (EEZ) extends 200 miles from the coastline, covering an area of 2.7 million square kilometers.
Sipadan and Ligitan islands. (dok app.goo.gl)

Adding to the tensions, Chinese fishing vessels have frequently intruded into Indonesia’s EEZ. Marsetio stressed that Indonesia must maintain a strong presence in the North Natuna Sea—both in terms of defense and security forces, conducting marine research, and ensuring that Indonesian fishers operate there in significant numbers. If the number of Indonesian fishing vessels and fishers is lower than that of foreign fishers, history could repeat itself—similar to the loss of Sipadan and Ligitan Islands in 2002.

When the territorial dispute over Sipadan and Ligitan Islands was brought to the International Court of Justice (ICJ) in The Hague, Netherlands, the judges posed a critical question: “Who has been maintaining, developing, managing, and actively engaging in activities on Sipadan and Ligitan?” The answer was “Malaysia.” As a result, the ICJ ruled in favor of Malaysia. This loss occurred because Indonesia had never actively engaged in or managed these islands.

Professor Marsetio, who frequently represents Indonesia at International Maritime Organization (IMO) meetings, proposed a cooperative approach to utilizing Indonesia’s EEZ—both with domestic and international partners.

As an initial step, Marsetio, who currently serves as an advisor to the Minister of Higher Education, Science, and Technology, announced that a research expedition in the North Natuna Sea will soon be conducted. This will involve the Indonesian Navy’s Hydro-Oceanographic Survey Vessel and invite Indonesian marine scientists, with research funding provided by the Indonesia Endowment Fund for Education (LPDP). Beyond gathering marine data and research findings, the presence of the Indonesian Navy’s survey vessel will further assert Indonesia’s sovereignty over the North Natuna Sea.

For international collaboration, Professor Marsetio cited specific provisions in UNCLOS ’82 as the legal framework, particularly Article 62, which states that marine resources—especially fisheries—within an EEZ belong to the coastal state. If the coastal state is unable to fully exploit these resources, it can cooperate with other countries for joint resource utilization. For Indonesia, as a coastal state, entering into fair and transparent agreements with foreign partners to utilize its marine resources—such as tuna fisheries—could be a viable strategy.

Through these various initiatives and under the legal umbrella of UNCLOS ’82, numerous cooperative approaches can be adopted instead of resorting to conflict.

“The most important thing is ensuring that we are always present in our own waters,” Admiral (Ret.) Prof. Dr. Marsetio concluded.

source: https://environews.asia/indonesia-in-managing-potential-conflict-areas-into-zones-of-cooperation/

Categories
Domestic S&T News

Kondisi Geografis Ideal, Indonesia Butuh Kebijakan Keantariksaan dan Peta Jalan Industri Persatelitan

Hampir setengah abad Indonesia menerapkan teknologi komunikasi satelit domestik. Dimulai saat Satelit Palapa A meruangangkasa pada tahun 1976 yang menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga di Dunia yang menerapkan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) sesudah Amerika Serikat dan Kanada.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang 5100 kilometer di katulistiwa, tidak mungkin negara sebesar ini hidup tanpa teknologi satelit, baik itu satelit komunikasi, satelit remote sensing maupun satelit navigasi.

Dengan semakin canggihnya teknologi satelit, semakin efisien pengoperasiannya dan biaya yang semakin murah, saat ini pengembangan teknologi satelit sudah bukan hanya domain Pemerintah saja, namun peran industri satelit swasta juga sudah bermunculan di tanah air, baik untuk ruas antariksanya maupun untuk ruas Buminya.

Namun, masih ditunggu adanya kebijakan Nasional tentang Keantariksaan dan Peta Jalan pengembangan Industri Satelit di tanah air agar potensi penerapan teknologi antariksa semakin optimal dengan investasi kemampuan sumber daya manusia yang semakin mumpuni.

Demikian ringkasan hasil pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.

Indonesia membutuhkan peta jalan keantariksaan nasional.

Diskusi CTIS menampilkan Ir. Adi Adiwoso,  Direktur Utama PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga salah seorang perintis pembangunan satelit Palapa A-1 lebih 48 tahun lalu bersama tokoh persatelitan Indonesia, Alm. Profesor Iskandar Alisyahbana.

PSN baru saja berhasil meluncurkan Satelit Satria-1, pada 18 Juni 2023 dari Tanjung Canaveral, Florida AS, dan mulai akhir 2023 nanti akan melayani 50.000 titik jaringan internet diseluruh Indonesia.

Investasi swasta yang dibenamkan untuk pembangunan Satelit Satria-1 mencapai Rp8,1 triliun, yang nantinya akan disewa oleh Pemerintah untuk melayani daerah daerah terluar, tertinggal, dan terdepan Indonesia.

Adi Adiwoso menyampaikan bahwa setelah memetik pengalaman hampir 50 tahun, investasi swasta di bidang persatelitan di Indonesia sudah semakin layak.

Satelit swasta pertama di Indonesia adalah Satelit Cakrawarta-1 yang meluncur tahun 1997.

PSN sendiri mulai meluncurkan satelit komunikasi Garuda-1 pada tahun 2000. Saat ini PSN mengoperasikan Satelit Nusantara-1 sebagai satelit Broadband Pertama di Indonesia dan tengah bersiap meluncurkan Satelit Nusantara-5.

Di samping itu, ahli-ahli Indonesia juga sudah mulai membangun satelit satelit mini secara mandiri, yang dikenal sebagai Cubesat untuk ditempatkan di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) ketinggian 500 kilometer.

Contohnya LAPAN-IPBSat untuk pertanian dan konservasi lingkungan (2013), LAPAN-A3Sat untuk remote sensing dan cuaca, ITB-Sat buatan ITB-Bandung, dan UNIBRAW Sat buatan Universitas Brawijaya Malang.

Kesemuanya ini dimungkinkan karena telah tersedianya teknologi 4.0,  termasuk teknologi Internet of  Things (IOT),  juga 3-D Printing yang memungkinkan rancang-bangun satelit dapat dilaksanakan secara cepat dan rinci.

Indonesia sukses meluncurkan satelit ke-18-nya, BRISat, di Guyana Space Center, Guyana, Prancis, pada Sabtu, 18 Juni 2016. (dok Komdigi)

Ditambah lagi, teknologi peluncur roket yang sudah sangat tersedia dengan biaya yang semakin murah.  Sebagai perbandingan, saat ini tengah dibangun jaringan satelit Starlinks yang terdiri 4000 satelit internet yang melingkupi seluruh Bumi, sehingga fasilitas internet dapat dinikmati oleh seluruh penduduk Bumi.  Untuk itu, diluncurkan 60 satelit Starlinks per-minggu menggunakan roket Falcon-9 yang komponen-komponen roketnya dapat digunakan kembali (reusable), membuat operasi peluncuran roket cukup memakan biaya 10 juta dolar AS saja.

Adi Adiwoso juga menyampaikan bahwa satelit satelit komunikasi, seperti Satelit Satria-1, juga dilengkapi sensor cuaca sehingga bisa berfungsi sebagai satelit cuaca, mengingat operasi satelit komunikasi juga berkaitan dengan kondisi cuaca, liputan awan dan kelembaban wilayah yang dicakup satelit.

Di samping itu, jaringan satelit komunikasi ini juga bisa dipakai sebagai satelit navigasi guna menentukan posisi lintang-bujur di permukaan Bumi.

Khusus untuk teknologi remote sensing, nampaknya kemampuan mengolah data remote sensing menjadi informasi, yang dianalisis guna pengambilan kebijakan, lebih penting daripada membangun satelit remote sensingnya itu sendiri.  Oleh sebab itu, aplikasi data satelit remote sensing dengan beragam perangkat lunak yang dibangun secara spesifik perlu dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.

Di tengah maraknya perkembangan teknologi satelit dan aplikasi teknologi antariksa di tanah air, ternyata Indonesia belum memiliki kebijakan antariksa Nasional dan juga belum ada Peta Jalan Pembangunan Teknologi Persatelitan di Tanah Air.

Misalnya, untuk pembangunan Bandar Antariksa (Spaceport) yang memanfaatkan lokasi geografis ideal Indonesia di katulistiwa untuk peluncuran roket antariksa, ternyata belum diketahui kemana perijinan dan regulasi bisa diperoleh.

Dewan Pengarah CTIS, Profesor Rahardi Ramelan, yang juga mantan Menteri Ristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyarankan kiranya CTIS bisa mulai merintis pembuatan butir butir rancangan kebijakan keantariksaan dan peta jalan teknologi persatelitan untuk diusulkan kepada Pemerintah.

Rahardi Ramelan juga menyodorkan UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan sebagai dasar untuk penyusunan kebijakan keantariksaan nasional. ***

sumber : https://forestinsights.id/kondisi-geografis-ideal-indonesia-butuh-kebijakan-keantariksaan-dan-peta-jalan-industri-persatelitan/

 

 

Categories
Domestic S&T News

Teknologi dan Aplikasi Drone Makin Berkembang di Indonesia, CTIS Bahas Soal Regulasi

Teknologi pesawat tanpa awak atau yang lebih dikenal sebagai Drone, berkembang amat pesat dan harganya pun sudah semakin terjangkau. Industri yang berkembang tidak hanya pada rancang-bangun pesawatnya semata.

Tetapi juga pada industri aplikasi dan perangkat lunaknya, antara lain untuk mendukung industri perkebunan, pertambangan, migas dan kehutanan, Namun regulasi penerapan teknologi drone masih belum jelas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia, mengingat hingga saat ini Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization – ICAO) belum menetapkan regulasi tentang penggunaan Drone.

Itulah butir butir kesimpulan Diskusi Teknologi Drone dan Aplikasinya di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 1 November 2023.

Berbicara pada Komite Teknologi Penerbangan CTIS adalah Ir. Heru Gunawan, insinyur penerbangan lulusan Sup-Aero, Prancis yang juga Ketua Yayasan Masyarakat Teknologi Penghijauan.

penggunaan drone di indonesia membutuhkan regulasi

Dalam Disuksi yang dimoderatori Professor Anton Adibroto dari CTIS, muncul data pasar drone Dunia pada tahun 2023 mencapai 37,5 miliar dolar AS. Sebesar 80% diantaranya ada di bidang jasa aplikasi, pasar teknologi drone-nya menguasai pangsa 16% , sedang pangsa pasar pengembangan perangkat lunaknya mencapai 4% saja.

Pertumbuhan pasar teknologi dan aplikasi drone Dunia diproyeksikan mencapai 7,1% pertahun, sehingga pasar Dunia akan menembus 54,6 miliar dolar AS pada tahun 2030. Tentu sebagian dari pasar tadi akan ditangkap Indonesia. Ini menjadi peluang. Heru memperlihatkan ragam aplikasi yang juga sudah mulai digunakan di Indonesia, seperti di bidang perkebunan sawit maupun di hutan tanaman industri.

Selain untuk memantau pertumbuhan pohon per pohon, teknologi drone juga dipakai untuk menebar pupuk, untuk menanam benih dengan cara ditembakkan ke tanah, serta untuk untuk memprediksi volume hasil panenan.

Karena yang dipantau dan diinventarisasi adalah pohon per pohon, antara pohon yang sehat dengan potensi hasil panen maskimal, maupun pohon yang tidak sehat, maka bisa diprakirakan potensi hasil panen minimal.

Semua data tadi masuk ke “Big Data” untuk kemudian dianalisis guna memproyeksikan harga komoditas tadi hingga prakiraan permodalan dari perbankan, serta prakiraan harga komoditas tadi di pasar modal.

teknologi pembuatan drone di Indonesia  semakin maju
Uji coba penerbangan perdana drone Wulung di Lapangan Udara Suparlan Batujajar, Padalarang Bandung Barat, 14 Maret 2025. (dok BRIN)

Aplikasi drone di sektor pertambangan diperlihatkankan Heru Gunawan pada eksplorasi geologi permukaan, seperti penggunaan kamera video, sensor infrared multi-spektral dan sensor Light Detection & Ranging (LIDAR), hingga eksplorasi bawah permukaan dengan menggunakan sensor Ground Penetrating Radar (GPR), airborne magnetic survey hingga gamma ray spectrometric survey.

Lewat teknologi drone di pertambangan tadi dapat dihitung seberapa besar timbunan bahan tambang yang ada, seberapa luas wilayah yang sudah ditambang hingga pemantauan kegiatan reklamasi wilayah pertambangan.

Untuk pemantauan suatu wilayah dari ketinggian, dapat digunakan Tethered Drone yang bekerja 24 jam non-stop, dengan menerbangkan drone rotor vertikal, lalu drone dihubungkan dengan kabel di darat untuk terus memasok daya baterai, sekaligus merekam gambar dan informasi guna disalurkan ke basis data di darat. Mengingat operasional drone komersial yang saat ini hanya menjangkau ketinggian 150 meter, maka belum ada regulasi yang mengatur benda terbang hingga ketinggian tadi.

Melihat semakin maraknya aplikasi drone, maka seluruh negara anggota ICAO, termasuk Indonesia, perlu duduk bersama guna menetapkan regulasi umum penggunaan drone, dengan mengedepankan faktor keamanan dan keselamatan, yang nantinya dapat dipakai sebagai rujukan pembuatan regulasi di masing masing negara anggota ICAO.

Pakar Penerbangan Universitas Bina Nusantara (BINUS), yang juga mantan ahli penerbangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Jarot Suroso, memperlihatkan ragam drone rotor karya civitas academica BINUS yang siap diterapkan diberbagai sektor pembangunan di tanah air. Direncanakan, dalam waktu dekat program hilirisasi drone di Universitas BINUS akan diusulkan untuk mendapatkan dana riset dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP). ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1787320616/teknologi-dan-aplikasi-drone-makin-berkembang-di-indonesia-ctis-bahas-soal-regulasi

Categories
Domestic S&T News

Barelang Bisa Jadi Pembelajaran Untuk IKN Nusantara, CTIS: Pembangunan Non Fisik Penting

Pembangunan Pulau Batam-Rempang-Galang (Barelang), Provinsi Kepulauan Riau, sejak 1973 bisa menjadi lesson learned untuk pembelajaran pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.

Pembangunan IKN Nusantara harus yang mencakup fokus pada skala prioritas peruntukan wilayah, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) handal, regulasi yang kondusif untuk menarik investasi dan pembangunan non-fisik, tidak hanya pembangunan sarana prasarana fisik.

 Demikian antara lain butir butir kesimpulan Diskusi yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 11 Oktober 2023.  Diskusi yang dipandu Ketua Komite Pengembangan Wilayah CTIS, Dr. Tusy Adibroto menampilkan pembicara diantaranya  Prof. Antony Sihombing dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr. Tjahjo Prionggo, mantan Direktur Perencanaan Badan Otorita Pembangunan Barelang (Opdib Barelang) dan Dr.Wicaksono Sarosa dari institusi Jasa Konsultansi Ruang Waktu.

Dr. Tjahjo Prionggo menyampaikan bahwa saat Batam mulai dibangun pada 1973 lalu, seluruh Pulau Batam, Rempang dan Galang masih berupa kawasan hutan tak berpenghuni.

Sedikit ada permukiman Desa Nelayan di pinggiran pantai.

Melalui Keppres No.41/Th.1973, Batam mulai dibangun sebagi kawasan industri, pusat perdagangan, pusat logistik dan juga merupakan destinasi wisata. Ini memanfaatkan lokasi strategis Batam di jalur pelayaran internasional dan, sesuai  “Teori Balon”  BJ Habibie sebagai Ketua Otorita Batam, maka kelebihan investasi di Singapura akan mengalir ke Batam karena luas wilayah  dan sumberdaya Singapurayang terbatas.

Pembangunan Pulau Batam-Rempang-Galang (Barelang), Provinsi Kepulauan Riau menjadikan Kota Batam sebagai kota besar di wilayah Kepri
Pembangunan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang menjadikan kota itu terus berkembang. (dok SSC Batam)

Kala itu, belum ada wilayah perdagangan bebas lain di sekitar Singapura, belum ada Johor Baru, belum ada Penang yang maju, juga belum ada Pelabuhan Internasional Malaka, belum ada Port Klang dan Kawasan Tanjung Pelepas di Malaysia, yang maju.  Kala itu, peluang untuk memposisikan Batam sebagai pusat perdagangan internasional sangat besar.

Pembangunan sarana dan prasarana di Batam, Rempang dan Galang dipacu.  Jembatan Penghubung tiga pulau Barelang selesai dibangun pada tahun 1997.  Pembangunan fisik yang pesat di Batam mengesampingkan aspek regulasinya.

Alhasil, penduduk ilegal berdatangan ke Barelang untuk mengadu nasib. Pasca reformasi 1998, dengan maraknya otonomi daerah yang menjurus ke desentralisasi kewenangan dari Pusat ke Daerah, maka terbentuk Pemerintahan Kota Batam.

Sesuai UU No.26/Th.2007 Tentang Penataan Ruang, status Batam masuk kedalam Kawasan Strategis Nasional.  Kerancuan regulasi tentang Otonomi Daerah dengan Tata Ruang pun muncul.

Ditambah lagi, regulasi tentang posisi Walikota Batam yang juga harus memimpin Badan Pengelola Kawasan Barelang yang bersifat Nasional.  Belum lagi tumpang tindih dengan regulasi yang berkaitan dengan Zona Perdagangan Bebas Barelang.  Kesemuanya ini mengakibatkan investasi di Barelang tersendat.

Dilain pihak, wilayah-wilayah perdagangan bebas di kawasan, seperti Johor Baru, berkembang pesat.  Oleh sebab itu, regulasi dan birokrasi nampaknya perlu dirampingkan agar wilayah Barelang tetap kompetitif sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi regional yang potensial.

Belajar dari pengalaman pembangunan Barelang ini maka  dalam pembangunan Ibukota Nusantara (IKN), di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur maka urusan regulasi nampaknya perlu dirapikan terlebih dahulu.

Pembangunan pelabuhan di Balerang menjadi penopang ekonomi
Pelabuhan di Batam menjadi salah satu infrastruktur ekonomi Provinsi Kepulauan Riau. (dok SSC Batam)

Dr.  Wicaksono Sarosa memaparkan UU No.3/Th.2022 Tentang Ibukota Negara yang telah dilengkapi beragam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) serta Peraturan Kepala Otorita IKN.  Keberadan IKN juga strategis, berada di tengah Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan kota masa depan yang ramah lingkungan serta smart & green city berteknologi digital.

Aspek teknologi baru, memanfaatkan Industri 4.0, harus dimunculkan pada pembangunan IKN.  Hal ini digarisbawahi oleh Professor Anthony Sihombing.  Apalagi pada kurun 2020 – 2021 muncul pandemi Covid 19 yang menyodorkan teknologi Kecerdasan Artifisial (Artifical Intelligence – AI) semakin masif pada perkembangan metropolitan modern.  Ini akan mengurangi kebutuhan ruang perkantoran, akan mengurangi keberadaan toko dan mall, didukung penggunaan sistem transportasi yang ramah lingkungan, serta jaringan telekomunikasi yang harus berteknologi mutakhir.

Ini semua perlu diantisipasi pada proses pembangunan IKN yang sedang berprogress saat ini agar muncul suatu kota metropolitan baru ditengah Negara Kepulauan Nusantara, yang akan mencerminkan Indonesia sebagai negara masa depan yang maju dan modern.

Disinilah peran SDM menjadi penting, seperti disampaikan Tjahjo Prionggo,  yang juga diamini kedua pembicara lainnya, karena apabila kesiapan SDM, utamanya SDM lokal, tidak ditingkatkan maka para penduduk lokal akan hanya menjadi penonton, tidak bisa berpartisipasi lebih aktif, akibat rendahnya tingkat produktivitas masyarakatnya.

Seperti dicontohkan beberapa wilayah pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang memiliki tingkat GDP Per-Kapita tinggi, namun ternyata ketimpangan ekonominya juga tinggi karena sebagian besar sumberdaya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok masyarakat.  Oleh sebab itu,  anggota CTIS yang juga Sekjen Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Chairil Abdini mengingatkan tentang pentingnya pembangunan non-fisik, seperti budaya lokal dan aspek sosial penduduk, disertakan di samping pembangunan fisik infrastruktur semata,  agar wilayah baru yang muncul lebih manusiawi dengan kehidupan penduduk yang lebih sejahtera dan harmonis.

Dalam rencana pembangunan IKN, jumlah penduduk IKN dipatok pada 1,9 juta orang pada tahun 2050.

Salah satu jenis pembangunan di IKN yang direkomendasikan oleh Dr. Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), adalah pembangunan Pusat Iptek Kelautan Indonesia di Kabupaten Penajam Paser Utara ini.

Sejak 2012,  BPPT dan Pemerintah Perancis telah menyusun rencana Pusat Iptek Kelautan ini, yang juga akan menjadi Pelabuhan sandar kapal kapal riset Indonesia, karena lokasinya di tengah tengah negara kepulauan Nusantara.

Program kerjasama RI – Perancis ini sudah masuk kedalam Blue Book Bappenas 2015, dan pada April 2015 lalu juga sudah ditinjau oleh Menko Kemaritiman kala itu, Indroyono Soesilo, untuk segera diimplementasikan.  Dengan ditetapkannya Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai IKN, nampaknya program Pusat Iptek Kelautan Indonesia ini dapat dibahas dan dihidupkan kembali. ***

sumber : https://forestinsights.id/barelang-bisa-jadi-pembelajaran-untuk-ikn-nusantara-ctis-pembangunan-non-fisik-penting/

 

Categories
Domestic S&T News

Pupuk Organik dari Rumput Laut Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca, Bantu Pengendalian Perubahan Iklim

Rumput laut potensial untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Selain bisa meningkatkan produktivitas tanaman, pupuk organik dari rumput laut juga bisa mendukung upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian.

Demikian terungkap saat  pertemuan Komite Pangan dan Obat, Center for Technology  &Innovasion Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 9 Agustus 2023. Pada kesempatan itu, dua praktisi rumput laut George Riswantyo dan Kevin Lovett dari Siwid Impact memaparkan kelebihan pupuk organik berbasis rumput laut.

Dipaparkan, saat ini digunakan 11 – 12 juta ton pupuk kimia pada kegiatan pertanian di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia mencapai 90% dari penggunaan pupuk secara keseluruhan.

Penggunaan pupuk kimia yang pada 50 tahun terakhir berdampak pada degradasi kualitas lahan pertanian. Lahan semakin  tidak subur, polusi pada air tanah meningkat, dan semakin ‘lapar’ pupuk kimia pada masa tanam berikutnya.  Siklus ini terus berlangsung bertahun-tahun.

Selain itu penggunaan pupuk kimi juga berdampak pada manusia. Pasalnya pupuk kimia membuat residu pada produk pertanian yang dihasilkan dan kemudian dikonsumsi manusia.

Untuk itu penggunaan pupuk organik menjadi solusi. Pilihan pupuk organik memang beragam, salah satunya dari rumput laut. Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut sangat menguntungkan karena 100% dihasilkan di dalam negeri, harga lebih bersaing disbanding pupuk kimia, dan bisa kembali menyuburkan tanah.  Konsumen juga mendapatkan produk pertanian yang lebih sehat serta jejak emisi karbon yang lebih rendah yang berarti ramah terhadap perubahan iklim.

Penggunaan pupuk cair dan pupuk padat dari rumput laut telah di ujicoba  di Desa Kutamukti, Kabupaten Karawang, Jawa Barat;  di 11 Desa di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan  dan Kabupaten Bombana, ketiganya di Provinis Sulawesi Tenggara; serta di Kabupaten Tabanan, Bali.

Untuk tanaman padi, hasil rata rata panen bisa mencapai 5,1 ton per hektare. Meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang hasil panennya hanya sekitar 4 ton per hektare. Pupuk organik dari rumput laut ini juga sudah dicobakan pada tanaman hortikultura, seperti sayur mayur dan tanaman buah buahan dengan hasil memuaskan.

Anggota CTIS, Professor Harijono Djojodihardjo menggaris bawahi tentang perlunya kebijakan Pemerintah yang menyeluruh agar penggunakan pupuk organik, seperti pupuk dari rumput laut ini bisa diterapkan secara masal.

Hal itu juga yang disarankan oleh anggota CTIS yang lain, Dr. Idwan Soehardi. Dia menyatakan perlunya dibangun ekosistem yang utuh untuk penggunaan pupuk organik dengan sub-sistem sub-sistem yang lebih jelas, termasuk ragam pupuk organik yang tepat untuk jenis tanaman yang spesifik.

Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang mendukung penggunaan pupuk organik. Apalagi dikaitkan dengan isu penurunan emisi karbon dari sektor pertanian mengingat pupuk organik, seperti dari rumput laut ini, tingkat emisi karbonnya dan “footprint” karbonnya  lebih rendah dibanding emisi karbon dari pupuk kimia.

Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut juga sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Pada Rapat Terbatas (Ratas)  Kabinet 27 April 2023, Presiden Jokowi minta agar penggunaan pupuk organik ditingkatkan dan kebijakan pupuk bersubsidi juga perlu memasukkan penggunaan pupuk organik.  Sedangkan,

Pada Ratas Kabinet 21 Juni 2023, Presiden Jokowi mendorong hilirisasi rumput laut yang produksinya mencapai 10,2 Juta ton, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen rumput laut terbesar Nomor 2 di Dunia setelah Tiongkok.

Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut sangat menguntungkan karena 100% dihasilkan di dalam negeri
Penggunaan pupuk cair dan pupuk padat dari rumput laut telah di ujicoba  di sejumlah wilayah di Indonesia. Dok foto : Siwid Impact

Guna lebih menggencarkan arahan Presiden Jokowi tentang penggunaan pupuk organik dan peningkatan nilai tambah produk rumput laut,  maka dalam waktu dekat akan dicobakan penggunaan pupuk cair rumput laut dan pupuk padat rumput laut dalam program peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai di Tanah Air secara lebih luas.

Di samping itu, pupuk dari rumput laut ini akan diuji cobakan di pusat pusat persemaian benih pohon yang saat ini tengah dilaksanakan di beberapa tempat di Indonesia.

Beberapa hasil pertanian dari pupuk organik rumput laut akan ditampilkan pada gelaran Festival Lingkungan Hidup, Kehutanan, Energi Terbarukan dan Sosial (LIKES) pada 15-17 September 2023 mendatang di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta. ***

sumber : https://forestinsights.id/pupuk-organik-dari-rumput-laut-pangkas-emisi-gas-rumah-kaca-bantu-pengendalian-perubahan-iklim/

Categories
Domestic S&T News

Ahli Indonesia Sanggup Rancang Bangun Beragam Jenis Kapal, Ekosistem Inovasi Industri Diperlukan

Kebijakan pengembangan industri perkapalan di Indonesia telah digariskan, berbagai regulasi juga telah disusun, di samping itu, para ahli perkapalan Indonesia telah berhasil merancang-bangun beragam jenis kapal untuk diproduksi di galangan kapal dalam negeri.

Tinggal sekarang perlu diupayakan agar semua potensi, sarana dan regulasi yang telah ada dapat dioptimalkan menuju Indonesia Poros Maritim Dunia.  Demikian hasil rangkuman pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 20 September 2023.

Dalam pertemuan Komite Transportasi CTIS, yang dipimpin Dr. Bambang S. Pujantyo, berbicara para ahli teknologi maritim dan arsitek perkapalan dari Pusat Riset Teknologi Hidrodinamika BRIN, Dr.Wahyu Pandoe, Dr.Teguh Muttaqie, Ir.Tjahjo Sasmito, Ir. Muryadin, dan Ir. Fariz Maulana.

Pada tataran kebijakan, telah disusun Road Map Industri Perkapalan Nasional 2012 – 2025.  Juga ada Perpres No.16/Th.2017 Tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang salah satu rencana aksinya adalah Pengembangan Industri Maritim dan Peningkatan Konektivitas Laut.

International Fleet Review [IFR] oleh armada kebanggaan TNI AL. Kapal-kapal perang TNI AL buatan PT PAL (Dok Dispen AL/PT PAL)

Sedang untuk peningkatan penggunaan komponen dalam negeri (TKDN), telah terbit Keppres No.24/Th.2018 Tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.  Melalui Peraturan Kementerian Keuangan (Permenkeu) tahun 2018, diberikan insentif keringanan Bea Masuk dan Tax Holiday bagi industri perkapalan dalam negeri.

Wahyu Pandoe menyampaikan bahwa tersedia 250 galangan kapal di dalam negeri dengan kemampuan beragam, dari yang mampu membuat kapal baru hingga kapasitas 50.000 Dead-Weight Tonnage (DWT), serta mereparasi kapal hingga 300.000 DWT. “Namun 80% galangan kapal Nasional hanya mampu memproduksi kapal skala 50 – 5000 DWT saja,” katanya dalam keterangan yang diterima, Jumat 22 September 2023.

Memanfaatkan fasilitas di Laboratorium Hidrodinamika di Surabaya, yang memiliki sarana towing tankmanouvering basin dan cavitation tunnel, para ahli perkapalan Indonesia yang sekarang bergabung ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), merancang-bangun beragam desain kapal yang kesemuanya telah memenuhi standar Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), seperti  Kapal Pengawas Perikanan 32 meter yang telah dioperasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di Laut Natuna Utara.  Desain kapal pengawas Perikanan 50 meter, yang saat ini tengah dibangun di Galangan Lampung.  Juga desain kapal pandu, desain kapal mini LNG Carrier, desain kapal untuk operasi anjungan lepas pantai (ALPO), desain kapal kontainer 100 TEUS, desain kapal ikan 60 GT, 120 GT dan masih banyak lagi.

Wahyu Pandoe menyampaikan bahwa dari segala upaya tadi, kandungan komponen dalam negeri untuk industri perkapalan ternyata baru 35% saja. Untuk itu perlu dibangun ekosistem inovasi dalan industri maritim dengan mensinergikan para pelaku pengkajian dan penerapan teknologi perkapalan dengan pemangku kepentingan di industri perkapalan, pemilik kapal, Pemerintah dan Lembaga Sertifikasi.

Pentingnya lembaga sertifikasi digaris-bawahi oleh Wahyu Pandoe mengingat industri perkapalan mencakup industri dari hulu, yaitu penyediaan baja kapal, hingga di hilir, termasuk, mesin, elektronik, peralatan navigasi hingga sarana-sarana pendukung di kapal.   Melalui sertifikasi standar ini maka industri pendukungnya juga dapat terbangun.

Pemeliharahaan dan Perbaikan SPM 150.000 DWT milik PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan (dok: Corcomm PAL)

Dewan Pengawas CTIS, yang juga mantan Menko Kemaritiman, Profesor Indroyono Soesilo, mengapresiasi semangat para insinyur perkapalan Indonesia yang terus berkarya merancang-bangun kapal kapal modern untuk kebutuhan di dalam negeri.

Ia mengharapkan agar para ahli terus memperkenalkan produk produk mereka kepada masyarakat pengguna.  Di samping itu, Indroyono mengharapkan kiranya dengan segala kebijakan yang telah tersedia, serta guna mendukung peningkatan produk komponen dalam negeri (TKDN), kiranya Pemerintah bisa membatasi bahkan menghapuskan kebijakan masuknya kapal-kapal bekas dari luar negeri, agar galangan galangan kapal di dalam negeri bisa bekerja lebih optimal lagi.

Indroyono juga mengharapkan adanya alokasi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk pengiriman ahli ahli perkapalan Indonesia ke luar negeri untuk studi marine engineering dan naval architecture lebih digencarkan mengingat pada Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus 2023 kemarin telah ditanda-tangani kerja sama LPDP dengan BRIN, serta kerjasama KADIN dengan BRIN,

Sedang bersama KADIN, bisa lebih disosialisasikan karya-karya teknologi maritim Anak Bangsa ini guna mendapatkan klien klien baru. ***

Sumber : https://forestinsights.id/ahli-indonesia-sanggup-rancang-bangun-beragam-jenis-kapal-ekosistem-inovasi-industri-diperlukan/#

Categories
Domestic S&T News

Faktor Manusia Jadi Penentu Bencana Alam, CTIS Bahas Peran Penting Teknologi dan Inovasi Dalam Kebencanaan

Ahli Kebencanaan  dari Center for Environmental Disaster Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER), Universitas Indonesia Profesor Jan Sopaheluwakan  menegaskan bahwa bencana terjadi karena ulah manusia, karena faktor manusia dan kebijakan yang dibuat oleh manusia sendiri.

Demikian dipaparkan oleh Profesor Jan Sopaheluwakan pada pada pertemuan Center For Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 21 Juni 2023.

Dia menjelaskan bencana karena faktor alam itu tidak ada.  Bila terjadi erupsi gunung api di wilayah tanpa penduduk bukanlah sebuah bencana, longsor di tengah hutan lebat tanpa penduduk juga bukan bencana, gempa bumi dan tsunami di pulau terpencil tanpa penduduk juga bukan bencana.

Namun bila banjir menerjang ibukota Jakarta akibat limpahan air sungai kiriman dari Bogor yang disebabkan manusia membangun vila-vila di Puncak, Bogor sehingga volume air hujan yang diserap tanah lebih kecil dibanding air yang mengalir ke sungai maka itu adalah bencana banjir, kata Profesor Jan Sopaheluwakan.

Apabila semua kegiatan umat manusia selalu memperhitungkan faktor  “risiko”,  maka bencana dapat dimitigasi hingga sekecil mungkin. (Dok BNPB)

Begitu pula, kegiatan  pembalakan kayu di hutan tanpa mengikuti aturan, juga eksploitasi penambangan batubara secara serampangan bisa mengakibatkan bencana tanah longsor dan banjir.

Walaupun ada keuntungan ekonomi disitu. Penegasan Profesor Jan Sopaheluwakan ditanggapi oleh Sekretaris CTIS, Dr. Andi Eka Sakya, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menggaris-bawahi pernyataan Utusan Khusus Sekjen PBB Mami Mizutori bahwa bencana alam itu tidak ada.

Yang ada adalah bencana yang berdampak pada manusia, pada sosial-ekonomi masyarakat.  Oleh sebab itu, Program PBB “Decade for Natural Disaster Risk Reduction” telah diubah menjadi “Decade for Disaster Risk Reduction”.  Profesor Jan Sopaheluwakan juga menyampaikan bahwa Bencana memang bisa membawa “Risiko” namun juga memberikan “Rezeki”.  Ini seperti kutipan Alquran Surat Al Insyirah Ayat 94 (5-6) yang berbunyi “Bersama kesulitan pasti ada kemudahan”.

Dia menjelaskan Apabila semua kegiatan umat manusia selalu memperhitungkan faktor  “risiko”,  maka bencana dapat dimitigasi hingga sekecil mungkin, lalu tingkat ketahanan terhadap bencana di masyarakat muncul, bahkan bisa memberikan “rezeki” kepada pelakunya.

bencana alam tidak ada tetapi adanya bencana yang menyebabkan dampak sosial.
Professor Jan Sopaheluwakan (No. 4 dari Kiri) pada FGD Kebencanaan yan digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 21 Juni 2023 /CTIS/

Dicontohkan, bencana akibat jalanan macet menghasilkan jenis pekerjaan baru ojek online. Lalu ada kehadiran pandemi Covid 19 yang justru membuat berkembangnya metoda belajar dari rumah, bekerja dari rumah, serta belanja secara daring.  Dan masih banyak lagi.

Dia mengingatkan setiap program pembangunan harus memasukan faktor risiko, bagaimana memitigasinya, bila terjadi bencana bagaimana operasi tanggap daruratnya dan antisipasi membangun kembali kondisi yang rusak akibat bencana dengan membangun lebih baik lagi.

“Build back better & resilient development”. Dalam diskusi tersebut juga dibahas tentang peran penting teknologi dan inovasi di sektor kebencanaan. Antara lain penerapan teknologi geospasial, sistem komunikasi darurat, Internet of Things, Big Data & Analysis serta Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence-AI).

Pada pertemuan tersebut, Dewan Pengarah CTIS, Prof. Indroyono Soesilo memperagakan simulasi Chat Box AI dengan menetapkan lokasi Lintang-Bujur sebuah pusat gempa bumi dengan kekuatan 6,5 Skala Richter di wilayah Jawa Tengah.

Hanya dalam hitungan detik dapat dianalisis seberapa luas dampak bencananya, dan langkah-langkah darurat apa yang perlu diambil secara cepat oleh pihak otoritas maupun masyarakat.

Bila metoda Chatbox AI bisa menyebar ke seluruh Nusantara menggunakan sistem komunikasi darurat secara cepat  maka dampak bencana dapat ditekan hingga sekecil mungkin.

Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi,  menanggapi pentingnya Teknologi AI ini didukung sistem komunikasi cepat.  Oleh sebab itu CTIS segera mengundang Direktur Satelit Pasifik Nusantara, Dr. Adi Adiwoso guna membahas implementasi Satelit Jasa Internet SATRIA-1, yang sukses diluncurkan pada 18 Juni 2023 lalu,  untuk penanggulangan bencana.

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/humaniora/pr-1786807202/faktor-manusia-jadi-penentu-bencana-alam-ctis-bahas-peran-penting-teknologi-dan-inovasi-dalam-kebencanaan?page=2