Kecerdasan Artifisial atau Artifical Intelligence (AI) berkembang sangat pesat akhir akhir ini, dan telah mulai merambah pula pada kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia.
Tidak terasa, AI telah diterapkan dalam kehidupan sehari hari, dari kegiatan transaksi perbankan, jual-beli secara daring hingga deteksi virus Covid-19, kegiatan pertanian pintar, kegiatan kelautan pintar, penanggulangan bencana dan masih banyak lagi.
Menurut Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecerdasan Artifisial Indonesia (KORIKA), Profesor Hammam Riza, yang juga Ketua Komite AI Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), perkembangan AI di Indonesia dilaksanakan oleh Quad-Helix, melibatkan pihak akademisi, bisnis, komunitas dan Pemerintah.
Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecerdasan Artifisial Indonesia (KORIKA), Profesor Hammam Riza, yang juga Ketua Komite AI Center for Technology & Innovation Studies (CTIS). (dok KORIKA)
Tercatat, saat ini ada 11 Lembaga Litbang Pemerintah, 11 Universitas, 6 Komunitas dan 9 Industri yang sudah terjun dalam pengembangan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia.
Apalagi dengan munculnya teknologi AI Chatbot yang bergerak sangat cepat diakhir triwulan IV,Tahun 2022 lalu, seperti Chat GPT4, LiaMA, LaMDA dan Megatron Turing.
Dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10-12 Agustus 2023, yaitu memperingati terbang perdananya pesawat N-250 Gatotkoco karya putra-putri Indonesia, pada 10 Agustus 1995 lalu (Keppres No.71/Th.1995), maka KORIKA didukung CTIS akan menggelar Artifical IntelligenceInnovation Summit 2023 (AIIS 2023) bertempat di Jakarta International Expo.
AIIS 2023 yang mengambil tema “Democratizing Artificial Intelligence For All” akan membahas penerapan AI pada bidang kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, Smart Mobility & Smart City.
Topik-topik menarik dibidang kesehatan, misalnya yang berkaitan dengan diagnosa kesehatan, data farmasi, data X-ray, data CT-Scan dan beragam peralatan kesehatan yang sudahm memanfaatkan AI didalamnya.
Di bidang pertanian, sudah mulai diterapkan SMART Agriculture, dari metoda pembibitan, penanaman, pemupukan hingga pemanenan yang kesemuanya sudah menggunakan teknologi AI.
Hal ini juga tampak di bidang kelautan dan perikanan, dari penentuan lokasi kumpulan ikan di laut dari satelit, metoda penangkapan ikan hingga metoda budidaya perikanan yang kesemuanya telah mulai memanfaatkan AI.
Memang teknologi AI juga memiliki dampak negatif, terbukti dengan adanya petisi yang ditanda-tangani 20.000 pegiat pengembangan AI, yang menyatakan agar pengembangan Generative AI dapat dihentikan dahulu selama 6 bulan.
Hal ini agar pengembangan teknologi AI dilaksanakan dengan mempertimbangkan resiko yang ditimbulkan, sehingga AI dapat terkelola dengan baik serta memunculkan dampak yang positif.
“Inilah yang akan kita bahas pula pada AIIS 2023 nanti, karena bagaimanapun dampak teknologi AI lebih banyak positifnya daripada aspek negative-nya”, demikan ditegaskan Professor Bambang Riyanto Trilaksono, anggota Dewan Pengarah AIIS 2023, yang juga Guru Besar ITB-Bandung.
dok KORIKA
Memang, akhir akhir ini muncul teknologi deep learning yang memungkinkan dibuatnya algoritma AI dengan kemampuan membuat analisis, laju (trend) dan kesimpulan untuk pengambilan kebijakan dari mega-data yang dihimpun, baik data angka, data verbal, data gambar, data spatial, data suara dan data video.
Aplikasi ini menarik, misalnya, untuk membuat beragam analisis terhadap data digital yang terhimpun, juga hasil survey dan polling, menuju Pemilu 2024.
Algoritma AI untuk Deep Learning ini dapat “dilatih” secara terus-menerus dengan masukan beragam data dan informasi yang semakin banyak dan semakin rinci, sehingga kebijakan yang diambil dapat mendekati tingkat ketepatan di atas 90%.
Tentu aspek negatif, algoritma AI Deep Learning ini adalah bisa dibuatnya kebijakan atau video serta gambar yang deep fake. Hal hal seperti inilah yang nanti akan dibahas bersama sama saat AIIS 2023.
Ketua CTIS, Wendy Aritenang, menyambut baik kerjasama KORIKA dan CTIS dalam kegiatan AIIS 2023, karena ini akan membuka pengetahuan masyarakat tentang teknologi AI menjadi lebih luas.
Apalagi, pada AIIS 2023 digelar pula Kompetisi Dunia Kreatif Dengan Generative AI, yang akan memunculkan talenta talenta muda Indonesia yang terjun membangun Negeri melalui Teknologi AI.
Beragam hasil invensi karya anak bangsa siap di hiliriasi menjadi produk inovasi dengan nilai tambah ekonomi tinggi dengan memanfaatkan dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Demikian terungkap saat pertemuan yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 24 Mei 2023. CTIS berhasil menginventarisasi karya-karya iptek para ahli Indonesia untuk mendukung industri.
Diantaranya hasil karya Prof. Mulyowidodo Kartidjo yang memisahkan mineral Nikel yang mengandung besi, Pentlandite (Ni, Fe), menjadi Alkali Nikel, serta mineral nikel yang mengandung Magnesium (Ni, Mg), Garnierite, menjadi Alkali Cobalt, keduanya adalah bahan baku utama baterai mobil listrik.
Lalu ada Dr. Dwi Susanto, Profesor Riset University of Maryland-USA, salah satu penemu Arus Lintas Indonesia (Arlindo), mengusulkan sumber daya energi laut yang menggabungkan energi arus laut Arlindo dan energi arus pasang surut.
Dr. Arya Rezavidi memperlihatkan beragam energi laut yang pernah dikaji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sekitar 30 tahun lalu, yang perlu dibuka kembali dokumen-dokumen hasil kajian tadi, meliputi kajian energi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) di Pantai Bali Utara, energi ombak di Baron, Yogyakarta dan Energi Arus Laut di Selat Alas Lombok.
Dr. Rudy Purba memperlihatkan hasil kajian energi pasang surut dari Australian Renewable Energy Agency (ARENA) yang bisa diterapkan di Indonesia.
Ir. Heru Gunawan memperlihatkan Teknologi Drone yang bisa mempercepat penanaman dan rehabilitasi 600.000 hektare hutan mangrove di Indonesia. Hasil uji coba penanaman di Pantai Subang pada 1,5 tahun lalu, sekarang sudah menghasilkan pohon mangrove setinggi 3 meter. Karyanya menarik minat pihak United Arab Emirates (UAE) untuk bekerjasama guna menembus pasar global.
Sedang Dr. Agustan, pakar Remote Sensing dan Tim, tengah menguji coba teknologi remote sensing dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk penyusunan Standard Nasional Indonesia (SNI) guna pengukuhan kawasan hutan sesuai UU No.6/Th.2023 Tentang Cipta Kerja.
Pertemuan CTIS-LPDP
Beragam hasil iptek tadi bisa dihilirisasi secara cepat lewat fasilitasi dukungan dana program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Dari total dana abadi LPDP sebesar Rp134 triliun, tersedia Dana Abadi Penelitian sebesar Rp12,9 triliun yang dapat dipakai untuk hilirisasi beragam produk inovasi,” kata Direktur Fasilitasi Riset LPDP, Wisnu Soenarso.
Wisnu menyampaikan bahwa melalui program Rispro Invitasi LPDP maka para inventor bisa mengajukan proposal dana riset kepada LPDP sehingga produk hasil invesi bisa menjadi produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi.
Oleh sebab itu, proposal riset yang diusulkan ke LPDP harus sudah ada komponen dukungan industrinya.
Proposal Riset dapat diusulkan kapan saja tanpa tenggat waktu namun ternyata sedikit sekali usulan proposal yang diterima LPDP untuk dievaluasi, sambung Wisnu.
Program Penelitian LPDP sudah menghasilkan 1009 produk teknologi yang siap masuk ke sektor industri, 340 penghargaan, 29 lisensi, 53 entitas bisnis baru, 2084 publikasi ilmiah dan 3983 sarjana baru.
Beberapa contoh produk teknologi yang didukung LPDP, antara lain sepeda motor listrik Gesit, mobil listrik Komodo, Bus Energi Listrik yang dipakai saat KTT G-20 Bali tahun 2022, Alat Deteksi Dini Penyakit Kanker dan masih banyak lagi.
Beragam hasil invensi karya anak bangsa siap dihiliriasi menjadi produk inovasi. (Dok Freepik)
Dalam diskusi, pakar senior CTIS, yang juga mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Profesor Wardiman Djojonegoro menyampaikan perlu dicari upaya terobosan agar para peneliti dan inventor Indonesia bergairah untuk segera menyerahkan proposal penelitiannya ke LPDP guna mendapatkan dana penelitian dan menunjang industrialisasi di tanah air.
Pakar teknologi gambut, yang juga mantan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN), Dr. Bambang Setiadi, mengharapkan kiranya produk produk inovasi yang telah memiliki nilai ekonomi tadi segera masuk ke sektor industri dan perlu dilindungi melalui kebijakan pemerintah, agar produk produk industri ini bisa tumbuh besar, berkualitas tinggi dan siap bersaing dengan produk global lainnya.
Sedang ahli geosains, yang juga mantan Deputi Menteri Ristek, Dr. Idwan Soehardi, menggaris bawahi tentang ketersediaan dana riset LPDP yang multi-tahun dengan insentif bagi peneliti yang baik, tersedia alokasi dana untuk pengadaan peralatan riset, serta alokasi dana riset untuk pengujian, standarisasi hingga publikasi hasil riset.
Ia mengharapkan semua pengadministrasian dana riset LPDP dapat dibuat sesederhana mungkin, sehingga para peneliti dan inventor penerima dana riset LPDP dapat bekerja dengan serius, tanpa terlalu terbebani dengan urusan administrasi dan birokrasi yang rumit. ***
sumber : https://agroindonesia.co.id/pertemuan-ctis-hilirisasi-hasil-invensi-bisa-manfaatkan-dana-lpdp/
Roket RHan-122B sebuah lompatan teknologi dalam bidang pertahanan, telah mencapai tonggak penting dengan pendaftaran tujuh paten terkait desain dan teknologi canggihnya. Dikembangkan oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006, roket ini menggunakan bahan bakar padat komposit berbasis HTPB/AP dengan konfigurasi grain propelan ganda, hollow, dan star-7.
Hampir 60 tahun sejak Roket Kartika-1 diluncurkan Indonesia pada 14 Agustus 1964, teknologi peroketan, utamanya yang berkaitan dengan bahan bakar padat roket, sudah dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.
Inilah kesempatan untuk alih teknologi peroketan dan peningkatan nilai tambah Nasional menuju kemandirian pada program peroketan domestik, terutama di sektor industri pertahanan.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 22 November 2023.
Berbicara dalam diskusi berjudul ‘Pengembangan Peroketan Nasional: Permasalahan dan Tantangan’, adalah Mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Dr. Adi Sadewo Salatun dan dimoderatori oleh Ilmuwan Senior CTIS, yang juga mantan Kepala LAPAN Professor Harijono Djojodihardjo.
Roket RX-450 dengan bahan bakar padat roket buatan dalam negeri, diluncurkan LAPAN pada 2 Desember 2020 dan mencapai ketinggian 100 Km.
Peluncuran Roket Kartika-I yang berbobot 220 Kilogram dari Stasiun Peluncuran Roket, Pameungpeuk, Jawa Barat, dengan jarak luncur maksimum 60 kilometer itu, adalah kado HUT RI ke 19 (1964). Momen itu juga menempatkan menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di Asia sesudah Jepang, yang berhasil meluncurkan roket ke ruang angkasa.
Pada dekade 1960-an, bekerja sama dengan Jepang, LAPAN meluncurkan roket-roket jenis KAPPA yang bisa mencapai ketinggian 160 kilometer. Bahan bakar padat propelan roket KAPPA terbilang rumit karena harus disiapkan pada kondisi -18 derajat celsius. Apabila temperatur bahan bakar padat meningkat cepat sebelum peluncuran maka roket bisa meledak.
Adi menyatakan bahwa riset membuat bahan bakar padat untuk propelan roket di Indonesia dilaksanakan bertahun-tahun, karena memang ini adalah komponen yang paling rumit.
Para ahli Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk menguasai teknologi bahan bakar padat propelan roket tadi. Apalagi banyak pihak tidak ingin Indonesia memiliki kemampuan teknologi ini. Pasalnya, bila Indonesia menguasai teknologi pembuatan roket dan bahan bakar padatnya secara mandiri maka bisa membuat banyak negara khawatir, karena roket selain bisa dipakai untuk membawa muatan sensor telekomunikasi, sensor sonda telemetri atau muatan satelit juga dipakai untuk membawa hulu ledak konvensional, bahkan membawa hulu ledak nuklir.
Kerja keras para ahli Indonesia membuahkan hasil bahan bakar padat roket Hydroxy Terminated Poly Butadiene (HTPB) sebagai fuel binder, kemudian Amonium Preklorat sebagai oksidator dan Toulene Di-Isocyanate (TDI) sebagai curing agent. Sedang desain roketnya sudah mencapai desain roket diameter 320 milimeter sebagai roket RX-320, juga desain roket 450 milimeter sebagai roket RX-450.
Tentu kemampuan penguasaan teknologi tinggi ini, perlu diterapkan dan kegiatan riset peroketan harus sejalan dengan program pembangunan di Indonesia secara keseluruhan.
Peserta diskusi sepakat bahwa hasil karya monumental para ahli peroketan Indonesia ini perlu dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada 2013 – 2014 lalu, sebenarnya telah dirintis Konsorsium Roket Nasional (KRN) dengan PT. Dirgantara Indonesia membuat struktur roket, LAPAN membuat motor roket, Pindad memproduksi hulu ledak, sedang PT. Dahana menyediakan bahan bakar padatnya.
Konsorsium ini telah menghasilkan Roket RHAN-122 dengan jarak jangkau 15 kilopmeter. Pola seperti ini perlu dipacu.
Kerja sama dengan mitra internasional yang memasok roket-roket peralatan utama sistem persenjataan (alutista) TNI perlu digalang. Dimulai dengan kerja sama pengadaan bahan bakar padat karena komponen ini memiliki masa kadaluwarsa, yang apabila roket tidak digunakan maka masa pakai bahan bakar padatnya akan habis.
Banyak alutsista TNI yang menggunakan roket, seperti roket RM-70 Grad Korps Marinir TNI-AL. Ada juga roket Multilaras ASTROS TNI-AD buatan Brasil, rudal rudal Excocet TNI-AL juga menggunakan bahan bakar roket, belum lagi roket-roket yang dipasang pada pesawat pesawat tempur TNI-AU, seperti AIM-9 Sidewinder.
Kesemua roket tadi memerlukan bahan bakar padat dan Indonesia sudah menguasai kemampuan membuat bahan bakar padat ini. Awal program alih teknologi peroketan, sekaligus peningkatan nilai tambah produk nasional di bidang peroketan bisa dimulai dari sini. Apalagi, sesuai UU No.16/Th.2012 Tentang Industri Pertahanan, mewajibkan semaksimal mungkin penggunaan kemampuan Nasional dalam pembangunan alutsista.
sumber : https://forestinsights.id/telah-kuasai-teknologi-saatnya-indonesia-tingkatkan-nilai-tambah-di-industri-roket/
anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Mumpuni (dok Ibeka)
Pembangunan harus melibatkan masyarakat agar berdampak langsung terhadap komunitasnya. Masyarakat bisa berkreativitas, berinovasi dan berdampak positif. Maka dibutuhkan paradigma yang tepat untuk membangun Indonesia yang sangat luas ini.
Hal itu disampaikan oleh Tri Mumpuni, anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 12 Maret 2025.
Pelopor pemberdaya listrik di lebih dari 60 lokasi di wilayah terpencildi Indonesia memaparkan bahwa ada sebuah paradigma yang tepat sebuah transfer teknologi yang berkeadilan sosial dan berkeadilan lingkungan.
Paradigma ini dikaitkan dengan kondisi planet Bumi yang kondisinya kian memprihatinkan. Kerusakan lingkungan, bencana alam, kemiskinan terjadi dimana-mana sementara Tuhan telah menciptakan sumber daya alam luar biasa.
“Sejak Indonesia merdeka, resource yang diberikan Tuhan belum mampu memakmurkan rakyat. Banjir dimana-mana. Sudah tahu daerah sungai justru ditutup. Tempatnya tumbuh biota malah dipagar,” ugkap Tri Mumpuni.
Untuk itu paradigma yang harus dikembangkan dengan melihatkonteks Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas.
Ada lebih dari 17 ribu pulau. Ada 74.954 desa tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan wilayah Indonesia ini luasnya seperti dari Dublin (Irlandia) menuju Ankara (Turki).
“Apalagi Indonesia punya dua pantai terpanjang di dunia,” ujar pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) itu.
Paradigma yang diterapkan adalah paradigma archipelego. Yakni cara pandang dalam pembangunan wilayah kepulauan yang berbasi pada keragaman budaya, ekosistem dan kompleksitas wilayah.
Ini sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya dan ekosistem alam terbesar di dunia.
Namun yang terjadi selama ini, pembangunan wilayah Indonesia menggunakan paradigma kontinen.
Paradigma kontinen adalah cara pandang yang berbeda dengan paradigma kepulauan dalam memahami suatu wilayah.
Untuk kontinen, Indonesia menggunakan landas kontinen merupakan hak berdaulat negara untuk memanfaatkan kekayaan alam di dalamnya.
Menurut Tri Mumpuni pelaksanaan paradigma ini berdampak hingga saat ini.
“Banyak penyeragaman, padahal itu tidak perlu seragam. Padahal dengan archipelego ini walau kecil tapi unik, tapi tujuannya untuk memakmurkan rakyat,” kata Tri Mumpuni.
“The biggest mistake yang dibuat di dalam pemerintaha, tidak pernah memberikan kesempatan kepada rakyat untukmampu mengurus dirinya sendiri,” tegasya.
Semuanya diurus oleh negara dalam arti lain terjadi sentralisasi. Tri pun menyinggung soal aliran listrik untuk penerangan belum merata. Masih banyak wilayah Indonesia gelap karena tidak ada penerangan.
Masyarakat hanya menunggu kebijakan dari PLN yang notabene dari pemerintah pusat, sehingga masih banyak masyarakat yang tertinggal karena tidak ada penerangan di desanya.
Tri Mumpuni memberikan materi tentang paradigma pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Center for Technology and Inovation Studies, Rabu (12/3/2025)
Selain itu ancaman korupsi terjadi dimana-mana juga melumpuhkan sendi-sendi pembangunan. Kemudian konsep pembangunan based on monetery.Padahal dalam konsep paradigma archipelego ini pembagunan harus inklusif, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat.
“Yang selalu dipikirkan adalah pertumbuhan ekonomi maksimal. Padahal dalam pembangunan yang harus dipikirkan bagaimana kebahagiaan rakyat. Bagaimana rakyat bisa beraktivitas. Maka di sini perlu sebuah pandangan tentang techno anthropology,” tegasnya.
Bagaimana teknologi didekatkan dengankemampuan masyarakat atau rakyat. Mereka diberdayakan sehingga teknologi bisa memberikan arti positif dan benar-benar membangun kehidupan masyarakat lebih baik.
“Kenapa demikian, karena sistem pendidikan kita hanya berdasarkan mengejar prestasi, tidak disertakan dengan logic, rasa, empati atau kolbu,” kata Tri Mumpuni.
Maka dalam sistem pendidikan, otak digunakan untuk meningkatkan kecerdasan namun harus diimbangi dengan rasa. Bukan hanya pendidikan kognitif seperti yang sekarang diajarkan. Murid hanya fokus proses belajar daripada hasil belajarnya.
Penerima Ashden Award dan Ramon Magsaysay Award ini menjalankan techno anthropology dalam membangun wilayah Indonesia. Terlebih banyak wilayah Indonesia yang berada di pelosok, terpencil dan belum tersentuh pembangunan.
Ia sangat peduli dengan masyarakat di kawasan terpencil melalui pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sudah ada 60 desa lebih yang didatangi dan dibantu dengan teknologi PLTMH ini untuk penerangan. Hal itu berdampak luas bagi masyarakat yang bertahun-tahun mengalami kegelapan karena tidak ada penerangan. Kemudian mereka menikmati listrik di rumah.
Jalanan kampung-kampung menjadi terang. Masyarakat semakin meningkat dalam beraktivitas.
Pembangkit Listrk Mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Tri Mumpuni di pedalaman Indonesia. (dok Ibeka)
Beberapa upaya dalam membangun PLTMH yang ia bagikan dalam diskusi tersebut di Gayo Lues, Aceh. Desa-desa terpencil mendapatkan penerangan dari energi terbarukan tenaga mikrohidro pada 2008 dan hingga sekarang masih beroperasi.
“Masyarakat senang karena ada penerangan listrik. Masyarakat di sana terlibat mulai dari pembuatan PLTMH, membuat jalan desa dan terpenting lagi merawat PLTMH ini karena mereka merasa ikut memiliki,” jelas Tri Mumpuni.
Dalam pembangunan PLTMH ini tidak membutuhkan anggaran besar. Namun berdampak bagi masyarakat di sekitar.
Kisah serupa juga terjadi di Sumba dan Papua dalam proyek pembangunan PLTMH berbasis komunitas.
“Semua bergerak untuk membangun dan merawat hasil karya itu. Inilah konsep paradigma pembangunan yang berkeadilan karena melibatkan masyarakat dan yang menikmati masyarakat,” ujarnya lagi.
Namun di tengah pembangunan itu, Tri juga mencari anak-anak muda yang diberikan pendampingannantinya akan menjadi pioner dan champion di daerahnya dalam program Patriot Desa.
Mereka yang selama ini mengunyah pendidikan kognitif mulai dikenalkan dengan empati, rasa atau qolbu.
Dalam membimbing anak-anak muda untuk membangun Indonesia telah membuahkan hasil. Tri mencontohkan Rumah Mocaf di Banjarnegara, Jawa Tengah digawangi anak muda lulusan UGM yang memilih menjadi petani singkong dan melakukan hilirisasi teknologi dari singkong menjadi tepung mocaf pengganti terigu yang telah diekspor.
Tepung Mocaf diberi nama Rumah Mocaf ini telah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Petani singkong pun mendapatkan manfaat nilai tambah ekonomi karena awalnya singkong hanya dihargai Rp800 per kilogram. “Kini adanya tepung mocaf, harga singkong naik,” kata Tri.
Kemudian di Yogyakarta, anak muda mendirikan Agradayadengan memberdayakan petani sekitar. Anak muda dari Agradaya ini mengajari petani jahe di desanya dengan cara unik.
“Ibu-ibu diajari kalau menjual jahe tidak dengan tanahnya harganya Rp35 ribu per kg. Bila menjual jahe dalam keadaan bersih dan sudah diiris-iris harganya jadi Rp65 ribu per kg. Bila sudah menjadi bubuk jahe harganya Rp300 ribu. Ini konsep tidak bisa dilaksanakan di birokrasi. Maka percayakan pada anak-anak muda,” tegasnya.
Kemudian ada pabrik kemiri di Yogyakarta dibangun tahun 2015. Kemiri ini diekspor ke Arab Saudi dalam kondisi sudah dikupas dalam keadaan biji kemiri utuh.
Teknologi yang dikembangkan sangat sederhana yaitu biji kemiridikirim dari NTT masih terbungkus cangkang dimasukkan ke freezer dan kulkas. Setelah beku kemudian cangkangnya dipecah melalui mesin pengupas cangkang kemiri. Hasilnya biji kemiri masih utuh.
“Sekali ekspor satu kontainer seharga Rp2,3 miliar. Arab Saudi membutuhkan satu batch itu 23 ton. Pengiriman dari Yogyakarta dua kontainer, jadi sekali kirim sudah Rp4,6 miliar hanya dari kemiri saja,” terangnya.
Indonesia sebagai penghasil rempah bisa memanfaatkan peluang ekspor selain kemiri. Di Salatiga, lahir sebuah Akademi Inovasi Indonesia. Sebuah akademi yang menggratiskan biaya kuliah.
Akademi ini menerapkan kurikulum berbasis teaching factory dan project based learning. Berdirinya akademi ini karena kegelisahan anak muda melihat banyaknya pengangguran di usia produktif dan tidak mampu sekolah di perguruan tinggi.
Di akademi ini para mahasiswa bisa langsung praktek di industri. Akhirnya para alumninya mampu menghasilkan produk-produk yang diekspor terutama ke China dan membuka lapangan pekerjaan.
Di Indonesiakepemilikan rasio Computer Numerical Control (CNC) mungkin sekitar 10 ribu dan Singapura 99 ribu. Dengan adanya akademi ini, maka bisa dibayangkan desa-desa yang memakai CNC akan bertambah dan membanjiri seperti di China.
Tri Mumpuni menekankan pentingnya peran techno anthropology, yaitu pembangunan berbasis masyarakat atau sosio bisnis modern.
“Kita harus tahu persis inisiatif masyarakat, pembagunan berbasis pada masyarakat. Local community akan memberikan respect apabila pembangunan itu memberdayakan masyarakat. Dan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat,” jelasnya.
Dari sinilah maka local capasity terbangun dan local equity juga hadir . Sebab selama ini masyarakat hanya menjadi penonton. Selama ini konsep berinvestasi hanya punya penguasa dan pengusaha. Padahal rakyat pun bisa berinvestasi.
“Sehingga lahir pembangunan pro kearifan lokal. Manfaatnya capability dan local capasity bisa terlihat.Kita sebut pohon pemberdayaan. Dimana pun di dunia ada local resources dan menjadi local contribution. Itu bisa terjadi karena akarnya adalah rakyat punya motivasidan kreativitas.”
Tri Mumpuni juga menyinggung soal pupuk untuk pertanian. Selama ini keberadaan pupuk bersubsidi tergantung pada satu kontraktor. Seharusnya petani diberikan space untuk membuat pupuk secara mandiri sehingga kebutuhan selalu terpenuhi.
Sehingga pohon pemberdayaan ini kian berkembang apabila masyarakat ikut dilibatkan.
Di kesempatan diskusi tersebut, Prof Indroyono Soesilo selaku Dewan Pakar CTIS menyinggung berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh anak-anak muda dalam membangun industri dan hiirisasi teknologi.
“Apakah biayanya cukup besar? Atau di bawah Rp100 juta?”
Tri Mumpuni menjawab bahwa modal yang mereka pakai di bawah Rp100 juta. “Dengan biaya seperti itu saya kira pemerintah bisa mencontoh karena tidak perlu modal besar. Seperti pembangkit listrik di pelosok, setelah mampu menerangi desa-desa, PLN baru masuk,” kata Tri Mumpuni.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa kurun 13 tahun ke depan adalah kesempatan bagi Indonesia untuk melompat dari negara berkembang menjadi negara maju karena memiliki bonus demografi yang dicirikan besarnya jumlah penduduk usia produktif.
Menanggapi penegasan Presiden Jokowi, Wakil Ketua Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Dr. Bambang Setiadi menyatakan tentang perlunya komponen iptek dan inovasi yang masuk kedalam program pembangunan menuju Indonesia Negara Maju pada 13 tahun ke depan.
Seperti data yang dicontohkannya pada negara-negara yang berhasil melompat menjadi negara negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang melesat tajam, seperti Swedia, Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di sana terdapat ciri dengan jumlah ilmuwan dan inovator yang besar per kapita, dukungan anggaran riset dan pengembangan yang besar pula, meningkatnya jumlah patent temuan, juga hilirisasi invensi menjadi produk-produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi.
Para pakar senior iptek di CTIS sepakat kiranya kebijakan kebijakan Pemerintah seperti program insentif pemotongan pajak 300% untuk program program penelitian, pengembangan pengkajian dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Juga dukungan dana hilirisasi hasil riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), serta implementasi UU Cipta Kerja tentang kebijakan BUMN untuk mendukung program-program inovasi bisa diterapkan lewat program program mikro iptek yang berujung pada peningkatan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Untuk itu maka dalam rangka Peringatan Hari Kreativitas dan Inovasi Sedunia (World Creativity and Innovation Day/WCID) tahun 2023, yang mengambil tema:”Step Out and Innovate”.
Asosiasi Daya Riset dan Inovasi Nasional (Asosiasi DRIN) bekerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), didukung Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) akan menggelar Seminar Nasional Hari Kreativitas dan Inovasi Sedunia 2023, bersamaan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2023, bertempat di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Menurut Bambang Setiadi, yang juga Ketua Asosiasi DRIN, selain mengundang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Ketua AIPI serta Perwakilan PBB di Jakarta, Seminar WCID 2023 juga akan menampilan para inovator Bangsa Indonesia yang karya-karyanya telah mendunia.
Mereka adalah: Dr. Yogi Ahmad Erlangga yang inovasi rumusan matematikanya unggul dipakai di industri migas.
Lalu ada Muhammad Nurhuda, seorang penemu kompor ramah lingkungan. Juga ada Professor Adi Utarini, pengembang teknologi Wolbachia untuk pemberantasan penyakit demam berdarah.
Ia penerima penghargaan Majalah NATURE 10 (2020) dan Majalah TIME 100 (2021). Professor JosaphatTetuko Sri Sumantyo yang berkarir di Jepang, sebagai penemu Teknologi Radar 3-Dimensi.
Lalu ada Professor Mulyowidodo Kartidjo sebagai ahli robotika dan mekatronika untuk industri otomatisasi kendaraan tanpa awak. Ada pula Fajar Sidik Abdullah Kelana, salah satu dari 20 Insinyur Muda Terbaik Sedunia dan memperoleh Penghargaan James Dyson Award dari Swedia.
Sedang Professor Irwandi Yaswir adalah penerima King Faisal International Prize dari Saudi Arabia, dan pada tahun 2022 lalu hadir bersama para penerima Hadiah Nobel dalam Hegra Conference of Nobel Laurates and Friends 2022.
“Kegiatan Peringatan WCID akan terus digelar setiap tahunnya, karena melalui kegiatan ini berbagai hasil invesi dan kreativitas karya anak bangsa bisa dikomersilkan untuk kemudian menjadi produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi,” kata Bambang dalam pernyataan yang diterima, Kamis, 18 Mei 2023.
A group of young university graduates from various disciplines have innovated an electric boat for river and lake transportation in Indonesia. Their idea was translated into a design that utilizes renewable energy (RE), incorporating a hybrid system combining synthetic gas-powered generators to charge electric batteries and solar panels installed on the boat’s roof.
“This will be an electric-powered, low-emission boat with simple technology, making it suitable for villages with rivers and lakes in Indonesia,” explained Arief Noerhidayat, Managing Director of Comestoarra Bentarra Noesantarra, during a discussion at the Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) on Wednesday, February 26, 2025, as stated in a press release.
In his presentation, titled “Electric Boats for Indonesia’s Waterways”, moderated by Dr. Ridha Yasser, Assistant Deputy for Energy and Telecommunications at the Coordinating Ministry for Infrastructure and Regional Development, Arief introduced a waste-to-energy technology called TOSS (Technology for Waste Processing at Source) to produce biomass pellet fuel for electricity generation. The raw materials come from various organic waste sources, including water hyacinth.
These biomass pellets are then fed into a gasifier to produce synthetic gas, which is used to power an electric generator. The electricity generated is stored in batteries, which are then used to power the boat’s propeller, making it ready to sail. The boat also has an additional electricity supply from solar panels installed on its roof.
“We have developed a mini gasifier to produce synthetic gas, which is then used to drive an electric generator. The electricity produced can reach 10,000 watts, 25,000 watts, and even 50,000 watts. This is ideal for electrifying villages,” said Arief, whose startup has already developed biomass-powered gasifier plants generating 10,000 watts in Palembang and 30,000-50,000 watts in Klungkung, Bali.
The electric boat idea caught the attention of PT Pupuk Sriwijaya Palembang, which assigned Arief and his startup, Comestoarra Bentarra Noesantarra, to create a prototype with funding support from its corporate social responsibility (CSR) program. The electric boat was used for transportation along the Musi River, on the Pulau Kamaro – Palembang City route.
The electricity generated was equivalent to the energy from fuel costing Rp 3,800 per liter. The boat was tested using Pertalite gasoline, which is sold at around Rp 13,000 per liter in the Musi River area. If the boat requires 5 liters of Pertalite per day, the fuel cost would be Rp 65,000 per day. In comparison, using biomass pellet energy costs only Rp 19,000 per day. The test results showed that the electric boat operated excellently, leading to the construction of a second electric boat for transportation in the Musi River.
Discussion participant Dr. Ali Alkatiri, Assistant Deputy at the Ministry of Small and Medium Enterprises (SMEs), strongly supported the initiative as a solution for rural business development. SME business consultant Trihandoyo MSc welcomed Arief’s explanation that local communities had already been trained to maintain the electric boat equipment, as its technology is relatively simple. Both agreed to propose a presentation before Minister of SMEs, Maman Abdurrachman, to push for funding mobilization for electric boat development across Indonesia, including through CSR funds.
According to Arief Noerhidayat, the total cost for building the boat, including the engine, solar panels, and gasifier, is around Rp 141 million. As a follow-up, moderator Dr. Ridha Yasser plans to include this product in the E-Catalog of the Government Procurement Policy Agency (LKPP) so that it can be accessed by ministries, agencies, and local governments at the provincial, district, and city levels.
Arief further explained that the gasifier’s raw materials come from water hyacinth, which is considered an invasive weed and an environmental nuisance, commonly found in hydroelectric dams such as Rawa Pening in Central Java, as well as the Saguling and Cirata Reservoirs in West Java, and Lake Toba in Sumatra. By utilizing water hyacinth as biomass fuel for electricity generation, this innovation not only produces energy but also helps clean lakes from invasive weeds.
He added that the calorific value of water hyacinth is approximately 4,000 Kcal/kg, which is sufficient to generate synthetic gas to power an electric generator and charge the electric boat’s battery.