Dua tahun terakhir ini, dunia diguncang bencana gempabumi bertubi-tubi. Pada Februari 2023, gempa M7,8 mengguncang Turki dan Suriah, menewaskan lebih dari 50.000 orang dan meluluh-lantakkan ribuan bangunan dalam hitungan detik. Awal tahun 2024, Semenanjung Noto, pantai barat Jepang, diguncang oleh gempa kuat dengan M7.5. Gempa yang memicu tsunami tersebu dan evakuasi masif masyarakat di sekitarnya. Namun, menelan 542 korban jiwa, menghancurkan 13.000 bangunan lebih, di berbagai lokasi terdampak. Awal April 2024, Taiwan dilanda gempa M7.4 mengguncang wilayah timur pulau itu. Belum cukup sampai di situ, Myanmar dan Filipina masing-masing mengalami gempa bermagnitudo di atas 6,5 pada awal 2025. Dan terakhir, 23 April 2025 yll, Istambul, Turki, dikagetkan dengan gempa yang mengguncang dengan magnitudo 6.2SR, kendati tidak menimbulkan korban jiwa.
Gempa Palu di Sulawesi Tengah tahun 2018 (M7,4) memicu kombinasi likuifaksi, tsunami, dan ambruknya bangunan, serta menyebabkan lebih dari 4.300 korban jiwa. Gempa Cianjur pada November 2022, yang “hanya” berkekuatan M5.6, namun menewaskan lebih dari 600 orang dan merusak lebih dari 53.000 bangunan. Mayoritas rumah tinggal yang tidak dibangun sesuai standar tahan gempa (non-engineered). Gempa Sumedang pada Januari 2024, berkekuatan M4,8, juga menyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak, dengan puluhan korban luka-luka. Di Bawean, Jawa Timur, dua gempa berturut-turut pada Maret 2024 (M6,0 dan M6,5) merusak ratusan rumah dan infrastruktur desa.

Taiwan atau Jepang, atau Chile sekalipun kerap mengalami gempa di atas M7, namun mampu menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan. Jika hal ini dibandingkan dengan kondisi Indonesia di atas, ini menegaskan bahwa keberhasilan mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada magnitudo dan teknologi peringatan dini, tetapi lebih pada kesiapan struktural, kualitas bangunan, dan disiplin dalam penerapan standar teknis.
Sebagai salah satu negara dengan aktivitas seismik tertinggi di dunia, Indonesia tak bisa hanya bergantung pada sistem peringatan dini. Teknologi deteksi memang mampu memberikan beberapa detik jeda sebelum guncangan tiba, cukup untuk menyelamatkan nyawa, jika infrastruktur dan masyarakat siaga. Namun kenyataannya, dalam berbagai peristiwa gempa belakangan ini, tingkat kerusakan dan jumlah korban tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan gempa itu sendiri.
Gempa di Turki pada 2023, meskipun tidak jauh berbeda intensitasnya dengan gempa di Taiwan pada 2024, menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang jauh lebih besar. Di sisi lain, Taiwan berhasil menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan, berkat penerapan disiplin terhadap standar bangunan tahan gempa dan kesiapan sistem tanggap darurat. Ini membuktikan bahwa keberhasilan mitigasi, sekali lagi bukan soal teknologi peringatan dini semata, tetapi juga soal kepatuhan dan kesiapan struktural yang menyeluruh.

Peringatan Dini Tak Bisa Berdiri Sendiri
Sistem peringatan dini gempabumi, termasuk jaringan sensor seismik, sirene peringatan, notifikasi seluler, dan protokol evakuasi telah menjadi garda terdepan dalam mitigasi bencana di banyak negara. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus mengembangkan jaringan peringatan dini, bahkan terhubung ke sistem peringatan tsunami (InaTEWS). Namun demikian, efektivitas sistem ini tetap sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat dan infrastruktur merespons peringatan tersebut.
Turki, misalnya, telah memiliki standar bangunan tahan gempa yang diperbarui setelah gempa besar di Marmara tahun 1999. Revisi kode bangunan terakhir dilakukan pada 2018, menekankan desain struktur untuk menahan beban lateral dari guncangan. Ketika gempa dahsyat melanda pada 2023, banyak bangunan yang runtuh justru bangunan baru.
Di sisi lain, Taiwan menunjukkan gambaran yang kontras. Gempa magnitudo 7,4 pada April 2024 mengguncang wilayah Hualien dan memicu kekhawatiran tsunami. Namun, jumlah korban jiwa sangat minim, dan sebagian besar gedung tetap berdiri kokoh. Hal ini tak lepas dari pengalaman panjang Taiwan dengan gempa dan komitmen kuat terhadap penerapan seismic design dalam setiap tahapan pembangunannya.
Jepang juga menjadi contoh global dalam upaya menekan risiko bencana. Melalui sistem Early Earthquake Warning (EEW) yang dikomandoi oleh JMA dan terintegrasi ke dalam sistem transportasi dan layanan publik, masyarakat Jepang terbiasa merespons peringatan dalam hitungan detik. Yang membuat Jepang berbeda bukan hanya teknologinya, tetapi juga budayanya, keteguhan terhadap norma bangunan, simulasi bencana secara rutin, dan kesadaran publik yang tinggi.
Belajar dari mereka
Indonesia tidak kekurangan regulasi. SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk perencanaan bangunan tahan gempa sudah ada sejak lama dan terus disempurnakan, seperti SNI 1726:2019. Tetapi seperti halnya Turki, tantangan terbesar kita adalah di ranah implementasi dan pengawasan. Banyak bangunan, termasuk fasilitas publik dan permukiman padat penduduk, tidak dibangun sesuai standar. Dalam sejumlah kasus gempa besar di Indonesia, seperti di Padang (2009), Palu (2018) dan Cianjur (2022), struktur bangunan yang runtuh mendominasi jumlah korban.
Dari data gempa BMKG, BNPB dan BPS, Indonesia mengalami puluhan kali gempa besar sejak tahun 2000, dan hampir semua menimbulkan dampak signifikan terhadap infrastruktur. Beberapa bahkan menyebabkan korban jiwa meskipun pusat gempanya berada di laut. Ini memperkuat urgensi, tidak hanya untuk memiliki sistem peringatan dini yang mumpuni, tetapi juga sistem konstruksi yang tangguh dan patuh aturan.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
Membangun sistem peringatan dini yang canggih adalah langkah penting, tetapi tidak cukup. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-layered dalam mitigasi risiko gempa, yang mencakup:
- Penegakan Building Code SNI 1726:2019 secara afirmasi perlu menjadi standar wajib dalam semua jenis pembangunan, bukan hanya proyek pemerintah atau komersial berskala besar.
- Audit dan pengawasan konstruksi melalui pemeriksaan rutin terhadap proyek bangunan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran konstruksi.
- Reformasi perizinan bangunan dengan menerapkan secara terintegrasi kajian risiko bencana di sekitarnya ke dalam proses perizinan dan pengawasan tata-ruang, ruang publik.
- Edukasi dan simulasi dengan mendorong peningkatan literasi gempa bagi masyarakat umum dan pelatihan evakuasi secara rutin.
- Penguatan infrastruktur kritis dan strategis, termasuk misalnya sekolah, rumah sakit, dan fasilitas vital lainnya harus direnovasi agar sesuai standar tahan gempa.
Perjalanan menuju zero victim bukanlah utopia. Negara-negara seperti Jepang dan Taiwan membuktikan bahwa disiplin terhadap kode bangunan dan budaya siaga bencana menyelamatkan ribuan nyawa. Indonesia, sebagai negara yang terletak di “Ring of Fire”, tidak memiliki pilihan selain mengejar standar tersebut.
Sistem peringatan dini “hanyalah alarm”. Namun demikian, bangunan yang kokoh, masyarakat yang sadar, dan pemerintah yang tegas, bisa memastikan alarm tersebut menyelamatkan. ***

Periset diPeriset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN
*) tulisan ini adalah opini ditulis oleh Dr Andi Eka Sakya M Eng Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN