Categories
Domestic S&T News

Industrialisasi Kebencanaan: Dari Mitigasi hingga Ketangguhan Nasional

1. Pengantar

Sepanjang setahun terakhir, Indonesia menghadapi peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala bencana. Mulai dari longsor di Gunung Kuda, banjir di Padangsidempuan, Parigi Moutong, dan Flores Timur, hingga gempa di Bogor, Pacitan, dan Bandung. Fenomena ini mencerminkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk mengelola risiko bencana secara sistematis.

Naomi Klein (2007) dalam The Shock Doctrine menyoroti bahaya kapitalisme kebencanaan, yang menjadikan bencana sebagai peluang komersial oleh industri besar. Namun, pendekatan reaktif semata telah terbukti tidak cukup. Pasca tsunami Aceh 2004 dan gempa Tohoku 2011, dunia menyadari bahwa mitigasi bencana harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Muncul konsep industrialisasi kebencanaan, yaitu pendekatan berbasis teknologi, inovasi, dan tata-kelola risiko bencana yang lebih terintegrasi. Istilah ini mulai mendapat perhatian pada 2005–2010, antara lain oleh Hewitt (The Political Economy of Disaster, 2007) dan UNISDR (2009), yang menekankan pentingnya pengembangan pasar teknologi kebencanaan.

Contohnya, pasca-tsunami 2011, Jepang mengembangkan robot pencari korban dan teknologi tahan gempa untuk infrastruktur strategis seperti misalnya reaktor nuklir. Hitachi dan Toshiba menjadikan teknologi kebencanaan sebagai lini bisnis. Sementara itu, Amerika Serikat merespons Badai Sandy (2012) dengan mendorong konstruksi tahan badai melalui regulasi dan insentif pajak.

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang
Sejumlah teknologi untuk kebencanaan. Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga merujuk hasil Semnas BNPB 21 Mei 2025.

Di Indonesia, sejak 2004 hingga 2025, tercatat rata-rata 3.000 bencana per tahun dengan kerugian mencapai Rp23 triliun (BNPB). Namun, sebagaimana ditekankan Wisner dkk (2003), bencana bukanlah sesuatu yang alami. Sebaliknya, bencana merupakan hasil dari proses sosial yang tercipta sebagai akibat kerentanan dan keterbatasan kemampuan masyarakat yang berkelanjutan dalam menanggapi bahaya. Bencana terjadi karena bahaya alam bertemu dengan kerentanan buatan manusia: tata ruang buruk, deforestasi, atau kurangnya sistem peringatan dini.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga. Contoh: aplikasi @infobmkg dan @PetaBencana.id, serta pengembangan sensor gempa oleh perusahaan dalam negeri. Ini bukan bentuk kapitalisme bencana seperti dikritik Klein, melainkan bentuk kedaulatan teknologi dalam menghadapi risiko.

2. Pola Kebutuhan Teknologi Kebencanaan

Siklus manajemen risiko bencana terdiri dari tiga fase utama:

  • Pra-bencana: mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini. Kebutuhannya mencakup sensor, sistem pemetaan digital, pelatihan, serta penyusunan rencana kontinjensi dan jalur evakuasi.
  • Saat bencana: teknologi dibutuhkan untuk pemetaan kerusakan, penentuan jalur evakuasi, distribusi bantuan, serta identifikasi dan evakuasi korban. Produk seperti drone, citra satelit, dan alat komunikasi darurat sangat vital.
  • Pascabencana: fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain pembangunan infrastruktur tahan bencana, dibutuhkan teknologi yang mendukung pemulihan ekonomi dan sosial.
Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Aplikasi @Magma — informasi tentang kegiatan Gunung Api di Indonesia yang dibuat oleh PVMBG

Kebutuhan teknologi bersifat berkelanjutan dan dinamis. Tahap pra-bencana penting untuk membangun ketangguhan: mendeteksi tanda-tanda bahaya, meminimalkan dampak, dan mempercepat pemulihan. Misalnya, sensor cuaca, seismograf, dan pemetaan risiko berbasis AI. Indonesia baru memiliki sekitar 3.000 AWS (Automatic Weather Stations) dan 500 seismograf, jauh dibandingkan Tiongkok dan Jepang.

Dalam fase darurat, teknologi harus memungkinkan tanggap cepat: pemetaan wilayah terdampak, identifikasi lokasi korban, dan penetapan jalur logistik. Di fase pemulihan, teknologi mendukung rekonstruksi yang adaptif dan berkelanjutan (build-back-better).

UNDRR (2022) menegaskan bahwa keberhasilan pengurangan risiko bencana tidak ditentukan oleh kekuatan bahaya alam, tetapi oleh alokasi sumber daya dan kapasitas pengelolaan risiko. Industrialisasi kebencanaan bukan hanya peluang bisnis, tetapi kebutuhan nasional untuk melindungi kehidupan dan memperkuat ketangguhan bangsa.

3. Ekosistem

Seperti halnya pengembangan industri lain, industrialisasi kebencanaan membutuhkan ekosistem yang kondusif. Ekosistem ini merupakan jaringan luas yang terdiri dari pelaku industri, lembaga riset, penyedia layanan, serta pemangku kepentingan lain yang berkolaborasi dalam menciptakan nilai tambah.

Ambil contoh sistem peringatan dini. Pengembangan teknologinya melibatkan berbagai pihak: perusahaan manufaktur pembuat sensor gempa dan banjir, start-up AI untuk prediksi cuaca ekstrem dan longsor, hingga pengembang drone dan satelit pemantau wilayah rawan bencana.

Lembaga riset dan perguruan tinggi mengembangkan model prediksi berbasis AI. Lembaga standarisasi menetapkan parameter mutu sensor dan integrasi sistem nasional. Pemerintah pusat dan daerah, melalui BNPB dan BPBD, mengatur kebijakan, regulasi, serta integrasi dalam tata ruang dan jaringan komunikasi.

Swasta juga berperan: aplikasi pelaporan komunitas, penyediaan jaringan telekomunikasi tangguh, hingga cadangan energi terbarukan di wilayah rawan bencana. Masyarakat lokal diberdayakan dalam edukasi teknologi, kurikulum sekolah memasukkan mitigasi bencana, dan organisasi kemanusiaan menjangkau wilayah terpencil.

Selain sistem peringatan dini, ekosistem ini juga mencakup konstruksi tahan gempa, logistik darurat, dan pembiayaan berbasis asuransi risiko bencana. Perpres No. 87/2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) menargetkan terwujudnya industri kebencanaan nasional pada 2030–2034, melalui pengintegrasian riset, inovasi, dan teknologi dimulai sejak 2020.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Tim SAR menggunakan drone thermal untuk mencari orang hilang di hutan Jambi

4. Langkah Rintisan Strategis

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang. RIPB 2020–2044 menjadi fondasi utamanya. Targetnya jelas: 2020–2024 integrasi riset dan teknologi; 2025–2029 kemandirian teknologi; 2030–2034 pengembangan industri kebencanaan.

Industrialisasi bencana harus dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Sektor industri perlu memandang mitigasi sebagai investasi, bukan beban. Kepala BNPB menyebutkan bahwa risiko bencana dapat mengganggu rantai pasok dan bisnis, sehingga sistem mitigasi seperti pelatihan, sistem peringatan dini, hingga asuransi harus menjadi bagian dari strategi bisnis.

Contoh rintisan strategis: perusahaan perkebunan membangun kanal pengendali banjir; industri migas menerapkan pemodelan geo-hazard; kawasan industri memasukkan risiko bencana dalam RTRW. CTIS (https://ctis.id/) mengangkat topik ini dalam berbagai kajiannya.

BNPB juga aktif mendorong kolaborasi. Seminar Nasional 21 Mei 2025 lalu merupakan bagian dari “Road to ADEXCO 2025”. ADEXCO (Asia Disaster and Emergency Expo & Conference) bukan sekadar pameran teknologi, tetapi ajang temu aktor industri, peneliti, dan komunitas. Produk lokal, purwarupa alat, dan start-up kebencanaan mulai bermunculan. Beberapa rekomendasi dari Semnas BNPB:

  • Penguatan sistem satu data bencana berbasis bukti
  • Insentif riset terapan dan pembiayaan purwarupa, termasuk skema PPP
  • Regulasi dan sertifikasi alat kebencanaan
  • Pengembangan kurikulum vokasi dan teknopreneur kebencanaan
  • Pembentukan forum riset dan industri kebencanaan lintas sektor

5. Penutup

Bencana adalah cermin kegagalan kolektif (Wisne dkk, 2003), tapi juga peluang membangun ketangguhan berbasis inovasi. Indonesia memiliki semua bahan mentah: SDM, laboratorium bencana alam, pasar, dan momentum politik. Industrialisasi kebencanaan bukan pilihan, tetapi keharusan untuk mewujudkan ketangguhan nasional berbasis riset, inovasi, dan  teknologi. ***

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang.
Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Opini ini ditulis oleh :

Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Categories
Uncategorized

Gempa Tak Terduga Bangunan Harus Siaga

Dua tahun terakhir ini, dunia diguncang bencana gempabumi bertubi-tubi. Pada Februari 2023, gempa M7,8 mengguncang Turki dan Suriah, menewaskan lebih dari 50.000 orang dan meluluh-lantakkan ribuan bangunan dalam hitungan detik. Awal tahun 2024, Semenanjung Noto, pantai barat Jepang, diguncang oleh gempa kuat dengan M7.5. Gempa yang memicu tsunami tersebu dan evakuasi masif masyarakat di sekitarnya. Namun, menelan 542 korban jiwa, menghancurkan 13.000 bangunan lebih, di berbagai lokasi terdampak. Awal April 2024, Taiwan dilanda gempa M7.4  mengguncang wilayah timur pulau itu. Belum cukup sampai di situ, Myanmar dan Filipina masing-masing mengalami gempa bermagnitudo di atas 6,5 pada awal 2025. Dan terakhir, 23 April 2025 yll, Istambul, Turki, dikagetkan dengan gempa yang mengguncang dengan magnitudo 6.2SR, kendati tidak menimbulkan korban jiwa.

Gempa Palu di Sulawesi Tengah tahun 2018 (M7,4) memicu kombinasi likuifaksi, tsunami, dan ambruknya bangunan, serta menyebabkan lebih dari 4.300 korban jiwa. Gempa Cianjur pada November 2022, yang “hanya” berkekuatan M5.6, namun menewaskan lebih dari 600 orang dan merusak lebih dari 53.000 bangunan. Mayoritas rumah tinggal yang tidak dibangun sesuai standar tahan gempa (non-engineered). Gempa Sumedang pada Januari 2024, berkekuatan M4,8, juga menyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak, dengan puluhan korban luka-luka. Di Bawean, Jawa Timur, dua gempa berturut-turut pada Maret 2024 (M6,0 dan M6,5) merusak ratusan rumah dan infrastruktur desa.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Rumah-rumah warga hancur dampak gempa tektonik. (Dok BNPB)

Taiwan atau Jepang, atau Chile sekalipun kerap mengalami gempa di atas M7, namun mampu menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan. Jika hal ini dibandingkan dengan kondisi Indonesia di atas, ini menegaskan bahwa keberhasilan mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada magnitudo dan teknologi peringatan dini, tetapi lebih pada kesiapan struktural, kualitas bangunan, dan disiplin dalam penerapan standar teknis.

Sebagai salah satu negara dengan aktivitas seismik tertinggi di dunia, Indonesia tak bisa hanya bergantung pada sistem peringatan dini. Teknologi deteksi memang mampu memberikan beberapa detik jeda sebelum guncangan tiba, cukup untuk menyelamatkan nyawa, jika infrastruktur dan masyarakat siaga. Namun kenyataannya, dalam berbagai peristiwa gempa belakangan ini, tingkat kerusakan dan jumlah korban tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan gempa itu sendiri.

Gempa di Turki pada 2023, meskipun tidak jauh berbeda intensitasnya dengan gempa di Taiwan pada 2024, menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang jauh lebih besar. Di sisi lain, Taiwan berhasil menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan, berkat penerapan disiplin terhadap standar bangunan tahan gempa dan kesiapan sistem tanggap darurat. Ini membuktikan bahwa keberhasilan mitigasi, sekali lagi bukan soal teknologi peringatan dini semata, tetapi juga soal kepatuhan dan kesiapan struktural yang menyeluruh.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Indonesia Tsunamy Early Warning System (InaTEWS). (Dok PT PAL)

Peringatan Dini Tak Bisa Berdiri Sendiri

Sistem peringatan dini gempabumi, termasuk jaringan sensor seismik, sirene peringatan, notifikasi seluler, dan protokol evakuasi telah menjadi garda terdepan dalam mitigasi bencana di banyak negara. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus mengembangkan jaringan peringatan dini, bahkan terhubung ke sistem peringatan tsunami (InaTEWS). Namun demikian, efektivitas sistem ini tetap sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat dan infrastruktur merespons peringatan tersebut.

Turki, misalnya, telah memiliki standar bangunan tahan gempa yang diperbarui setelah gempa besar di Marmara tahun 1999. Revisi kode bangunan terakhir dilakukan pada 2018, menekankan desain struktur untuk menahan beban lateral dari guncangan. Ketika gempa dahsyat melanda pada 2023, banyak bangunan yang runtuh justru bangunan baru.

Di sisi lain, Taiwan menunjukkan gambaran yang kontras. Gempa magnitudo 7,4 pada April 2024 mengguncang wilayah Hualien dan memicu kekhawatiran tsunami. Namun, jumlah korban jiwa sangat minim, dan sebagian besar gedung tetap berdiri kokoh. Hal ini tak lepas dari pengalaman panjang Taiwan dengan gempa dan komitmen kuat terhadap penerapan seismic design dalam setiap tahapan pembangunannya.

Jepang juga menjadi contoh global dalam upaya menekan risiko bencana. Melalui sistem Early Earthquake Warning (EEW) yang dikomandoi oleh JMA dan terintegrasi ke dalam sistem transportasi dan layanan publik, masyarakat Jepang terbiasa merespons peringatan dalam hitungan detik. Yang membuat Jepang berbeda bukan hanya teknologinya, tetapi juga budayanya, keteguhan terhadap norma bangunan, simulasi bencana secara rutin, dan kesadaran publik yang tinggi.

Belajar dari mereka

Indonesia tidak kekurangan regulasi. SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk perencanaan bangunan tahan gempa sudah ada sejak lama dan terus disempurnakan, seperti SNI 1726:2019. Tetapi seperti halnya Turki, tantangan terbesar kita adalah di ranah implementasi dan pengawasan. Banyak bangunan, termasuk fasilitas publik dan permukiman padat penduduk, tidak dibangun sesuai standar. Dalam sejumlah kasus gempa besar di Indonesia, seperti di Padang (2009), Palu (2018) dan Cianjur (2022), struktur bangunan yang runtuh mendominasi jumlah korban.

Dari data gempa BMKG, BNPB dan BPS, Indonesia mengalami puluhan kali gempa besar sejak tahun 2000, dan hampir semua menimbulkan dampak signifikan terhadap infrastruktur. Beberapa bahkan menyebabkan korban jiwa meskipun pusat gempanya berada di laut. Ini memperkuat urgensi, tidak hanya untuk memiliki sistem peringatan dini yang mumpuni, tetapi juga sistem konstruksi yang tangguh dan patuh aturan.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Membangun sistem peringatan dini yang canggih adalah langkah penting, tetapi tidak cukup. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-layered dalam mitigasi risiko gempa, yang mencakup:

  1. Penegakan Building Code SNI 1726:2019 secara afirmasi perlu menjadi standar wajib dalam semua jenis pembangunan, bukan hanya proyek pemerintah atau komersial berskala besar.
  2. Audit dan pengawasan konstruksi melalui pemeriksaan rutin terhadap proyek bangunan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran konstruksi.
  3. Reformasi perizinan bangunan dengan menerapkan secara terintegrasi kajian risiko bencana di sekitarnya ke dalam proses perizinan dan pengawasan tata-ruang, ruang publik.
  4. Edukasi dan simulasi dengan mendorong peningkatan literasi gempa bagi masyarakat umum dan pelatihan evakuasi secara rutin.
  5. Penguatan infrastruktur kritis dan strategis, termasuk misalnya sekolah, rumah sakit, dan fasilitas vital lainnya harus direnovasi agar sesuai standar tahan gempa.

Perjalanan menuju zero victim bukanlah utopia. Negara-negara seperti Jepang dan Taiwan membuktikan bahwa disiplin terhadap kode bangunan dan budaya siaga bencana menyelamatkan ribuan nyawa. Indonesia, sebagai negara yang terletak di “Ring of Fire”, tidak memiliki pilihan selain mengejar standar tersebut.

Sistem peringatan dini “hanyalah alarm”. Namun demikian, bangunan yang kokoh, masyarakat yang sadar, dan pemerintah yang tegas, bisa memastikan alarm tersebut menyelamatkan. ***

Andi Eka Sakya penulis opini
Dr Andi Eka Sakya M Eng
Periset diPeriset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

*) tulisan ini adalah opini ditulis oleh Dr Andi Eka Sakya M Eng Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN