hilirisasi nikel diharapkan bisa menumbuhkan nilia tambah ekonomi terutama di industri baterai kendaraan listrik. (foto dok ESDM)

Hilirisasi Mineral di Indonesia masih Minim Teknologi

NIKEL menjadi komponen bahan baku baterai kendaraan listrik. Oleh karena itu banyak industri baterai listrik di luar negeri  melirik ke Indonesia untuk berinvestasi.

Kendati Indonesia memiliki nikel namun belum bisa dihilirisasi menjadi baterai kendaraan listrik. Mengapa?

Dalam Iptek Voice 80 mengangkat Hilirisasi Mineral bersama DR Ir Ridwan Djamaluddin mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM.

Ridwan menekankan bahwa hingga sekarang alih teknologi nikel di Indonesia masih ketinggalan. Pemerintah melarang ekspor bahan baku nikel namun faktanya aspek teknologi nikel menjadi baterai masih dilakukan oleh pihak asing.

Menurutnya ini merupakan faktor penting bagaimana hilirisasi nikel bisa dilakukan lemvbaga-lembaga riset seperti BPPT yang kini sudah tiada.

Sejauh ini yg masih tertinggal adalah alih teknologi, meski larang ekspor bahan baku, tapi aspek teknologi nikel jd baterai masih dilakukan pihak asing.

“Ini porsi penting kita kehilangan lembaga penelitian seperti BPPT. Iptek tidak kuat seperti dulu,” ujarnya.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

“Sekarang kita tekan masuknya investasi asing bikin pabrik baterai tapi minim aspek teknologi,” ujarnya.

Saat ini ada dua bahan mineral penting yang dicari dunia yaitu pasir silika dan pasir kuarsa. Di dunia, pasir kuara menjadi the next nikel dan itu banyak ditemukan di Belitung.

Perusahaan dari China berminat untuk investasi pasir silika karena potensinya besar untuk bahan panel surya. Nilai investasi sebesar US$3 miliar di Bangka Belitung.

Menurutnya pandangan umum saat ini bahwa transisi energi hampir dikonotasikan dengan hentikan pemakaian bahan bakar minyak atau bahan bakar fosil dan batu bara. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PLTU batu bara dipensiunkan pada 2060.

Pemerintah menggunakan transisi berkeadilan dan tidak membangun PLTU baru. Walau transisi berkeadilan ini menandai kontribusi indonesia mendorong tumbuhnya energi baru dan terbarukan.

Ridwan berpendapat bahwa transisi energi tidak semata-mata dikonotasikan dengan mematikan PLTU batubara, tetapi juga kontribusi Indonesia dalam energi baru dan terbarukan.

“Di awal kita mendorong nikel kadar rendah jadi baterai listrik. Sekarang panel surya menggunakan pasir kuarsa yang banyak ditemui di Bangka Belitung dan Kalimantan. Pasir silika dakar kuarsa tinggi dan kadar besi juga tinggi,” kata Ridwan.

Keberadaan besi ini interlocking dengan kuarsa, namun China tidak masalah dalam pemisahan besi dan kuarsa.

Menurutnya ini penting karena  regulasinya bagus tetapi fakta di lapangan justru lama dan banyak kendala. Di Indonesia 18 bulan itu masih proses amdal, sementara di China sudah produksi barang.

Selain itu investor China sanggup memproduksi panel surya dari kuarsa dan keluar pabrik 18 bulan  setelah pabrik dibangun.

Pembangkit Listrik Tenaga Thorium

Mineral kedua adalah thorium yang bisa digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Thorium ini pembangkit listrik murah tapi isu negatifnya adalah radioaktif. Padahal tidak semua radioaktif mengancam manusia. Biaya listriknya 3-4 sen dolar AS, cukup murah.

Potensi penghasil thorium di Indonesia adalah di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.

Pulau Gelasa bakal dijadikan lokasi pembangkit nuklir tenaga thorium pertama di Indonesia.

Selain investor dari China, dari Kanada maupun dalam negeri berminat pada Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Dijelaskan oleh Ridwan Djamaluddin bahwa ada empat pihak yang berminat membangun Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Thorium ini yakni AS, China, Kanada dan Indonesia.

China dan AS telah melakukan eksperimen pembangunan PLTT ini. Namun Indonesia yang memiliki bahan baku thorium justru belum atau tidak melakukan eksperimen. Alasan di internal menunggu negara lain melakukan. “Indonesia tidak mau menjadi pioner di sini,” ujar Ridwan.

Secara potensi, Indonesia berpotensi untuk energi baru dan terbarukan dan mengkapitalisasikan. Pemerintah telah melarang ekspor bauxite (biji aluminium), tembaga dan timah untuk transisi energi.

“Kita masih syok melarang ekspor bauxit pada Maret 2023. Larangan ini tidak ada langkah-langkah antisipatif. Bauxit bisa dihilirisasi lebih mudah maka harus bangun pabrik hilirisasi. Kita antisipasi larangan ekspor logam timah. 6-7 bulan lalu bentuk tim pokja antisipasi potensi larangan bahan mineral mentah,”  paparnya.

Investasi dan relokasi industri

Menurutnya tim pokja ini solid dan sangat serius. Ridwan memaparkan bahwa saat Presiden Jokowi mengecek smelter timah dari lima tungku menjadi satu tungku, Presiden akan larang ekspor timah.

“Cuma kapan larangan itu akan kita hitung. Secara ringkas begini berapa lama kita butuh pabrik untuk hilirisasi. Apa diperlukan 23 bulan atau 2 tahun?”

Aspek lainnya adalah investasi. Bila larangan ekspor timah dilakukan, maka perlu disediakan investasi di dalam negeri senilai Rp400 miliar.

Menurutnya nilai investasi Rp400 miliar ini cukup kecil namun pengusaha di dalam negeri tidak ada yang berinvestasi di sektor tambang timah.

Idealnya, lanjut Ridwan adalah merelokasi pabrik atau perusahaan/industri pengelola timah ke Indonesia apabila ekspor bahan mentah termasuk timah dilarang dieskpor. Bila tidak demikian, Asosiasi ekspor timah akan berjualan apa?

Di sisi lain, China dan Malaysia akan membangun smelter timah yang semula akan dibangun di Indonesia, kini pindah ke Afrika.

Ia berharap jangan sampai biji timah diselundupkan karena adanya larangan ekspor timah itu. Selain itu ekspor timah ke China akan kena tarif 26% sedangkan ke Indonesia tidak ada tarif.

Saat ini perusahaan semi konduktor dari Taiwan sedang dilobi untuk membangun pabrik di Indonesia.

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter