Indonesia memiliki beragam potensi bahan baku tekstil, mulai dari serat rami, nanas, kapok, hingga kapas lokal. Namun kenyataannya, sekitar 90 persen bahan baku tekstil masih impor, dengan porsi impor kapas mencapai 99,2 persen atau sekitar 700 ribu ton per tahun.
Kondisi ini mendorong Wibowo Akhmad, pendiri CV Ramindo Berkah Persada Sejahtera (Rabersa) di Wonosobo, mengembangkan serat alami dari tanaman rami sejak 1999.
“Kebutuhan serat rami dunia diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun. Indonesia berpotensi menyumbang hingga 20 persen. Dari sekian bahan serat alam, rami adalah yang paling sustainable dan renewable,” ujar Wibowo dalam diskusi CTIS di Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Secara global, pasar serat rami bernilai US$354,8 juta pada 2022 dan diprediksi meningkat menjadi US$451,8 juta pada 2030. Tren industri mode kini semakin melirik rami karena sifatnya kuat, menyerap kelembapan, antibakteri alami, serta ramah lingkungan.

Produksi dari Hulu ke Hilir
Wibowo mengelola rami dari penanaman hingga menjadi serat mentah atau setengah jadi yang dikenal sebagai inagrass rami. Serat ini kemudian dipintal menjadi benang untuk produk tekstil seperti kain batik, pakaian musim dingin, dan dekorasi rumah.
“Kualitas rami dari Wonosobo cukup bagus dan kompetitif dibandingkan Vietnam maupun Thailand,” jelasnya.
Selain itu, limbah rami juga bermanfaat. Daun dan batang kayunya dapat dijadikan pakan ternak, pupuk, maupun bahan sampingan lainnya. Dari lahan seluas 13 hektare, daun rami mampu menghasilkan sekitar 195 ribu kg per tahun yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan domba.
Selain rami, Wibowo juga memproduksi benang dari serat daun nanas, yang sudah dijadikan bahan baku tekstil.

Tantangan Skala Produksi
Meski potensinya besar, industri rami di Indonesia masih terkendala. Lahan yang dikelola Rabersa baru sekitar 25 hektare, padahal dibutuhkan minimal 200 hektare dengan pola panen 60 hari untuk memenuhi permintaan ekspor secara signifikan.
Teknologi dan mesin yang digunakan sebagian besar masih konvensional sehingga produktivitas rendah. Di sisi lain, keterbatasan modal juga membuat kapasitas produksi belum mampu menjawab tingginya permintaan.
Permintaan luar negeri pun sebenarnya besar: China 40 ton per bulan, Korea Selatan 1 ton per bulan, dan Jepang hingga 400 ton per bulan. Namun saat ini Rabersa baru bisa memasok produk setengah jadi ke PT Retota (Magelang) dan PT Gisapda (Pekalongan) untuk diolah menjadi dekorasi rumah. Sekitar 95 persen produk dekorasi tersebut diekspor ke Amerika Serikat.

Dukungan Pemerintah
Untuk memperkuat industri rami, Kementerian Koperasi berencana membangun Rumah Produksi Bersama (RPB) serat rami di Wonosobo. Fasilitas ini akan dikelola berbasis koperasi multipihak dengan tujuan meningkatkan ketersediaan bahan baku, menarik investor, dan mendukung produksi produk kustom berkualitas, khususnya untuk pasar ekspor.
“Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) adalah sektor strategis yang bisa menyumbang devisa Rp218,2 triliun dan menyerap 3,7 juta tenaga kerja. Saatnya kita manfaatkan serat alami dalam negeri agar Indonesia mampu swasembada sandang,” tegas Wibowo. ***