Categories
Domestic S&T News

Menuju Net Zero Emission 2060, Biomassa dan Biofuel Dukung Transisi Energi

Tahun 2015 lalu, di Paris, Perancis, Presiden Joko Widodo mewakili Indonesia, bersama para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari seluruh Dunia, menandatangani Perjanjian Paris Untuk Perubahan Iklim.  Kala itu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, atau lebih cepat.  Mulai saat itu, proses transisi energi dari energi berbahan baku fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT) mulai berjalan.

Dalam diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 14 Agustus 2024,  Dr Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT), memaparkan tentang Prospek dan Tantangan Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan.  Bertindak sebagai moderator, Ketua Komite Aeronautika dan Teknologi Penerbangan CTIS, Professor Anton Adibroto.

diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 14 Agustus 2024,  Dr Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) (kelima dari kiri), memaparkan tentang Prospek dan Tantangan Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan.  

Menurut Unggul, yang alumnus ITB dan Kyushu University-Jepang, Indonesia memiliki potensi EBT yang besar, seperti energi hidro, panas bumi, fotovoltaik, biomassa, energi angin, biofuel, bahkan potensi energi nuklir, energi dari limbah dan energi batubara berteknologi Carbon Capture Storage (CCS).

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060
PLTB Sidrap 1 dengan kapasitas 75 MW dari total 30 turbin, listrik yang dihasilkan dapat mengaliri kurang lebih 67.000 s.d 72.000 pelanggan listrik.(Dok PLN)

Oleh sebab itu, peta jalan transisi energi menuju net zero emission Indonesia 2060 perlu disusun dan diimplementasikan.  Tentu prioritas yang perlu dibangun adalah penerapan EBT dengan potensi besar seperti panas bumi, hidro, nuklir dan batubara CCS, kesemuanya ini mencakup 80%.  Sedang 20% lainnya diperoleh dari energi angin, fotovoltaik, biomassa, biofuel dan kedepannya menerapkan energi hidrogen.

Dalam peta jalan transisi energi ini, telah disepakati penghentian pemberian izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara pada tahun 2030 dan sudah dimulai proses penghapusan operasionalisasi PLTU batubara secara bertahap.

Dalam jangka pendek, PLTU-PLTU batubara dicampur dengan bahan baku biomassa, antara 5 – 10%, melalui proses Co-firing.  Juga penggunaan biofuel untuk campuran BBM ditingkatkan hingga 35%, menggunakan bahan baku minyak sawit.  Disamping itu, penggunaan mobil listrik digencarkan.

Pada kurun 2031 – 2035, selain meningkatkan campuran biofuel dalam BBM hingga 40% dan kendaraan listrik digunakan secara masif, maka penerapan energi hidrogen untuk transportasi mulai pula digencarkan. Saat ini sudah tersedia satu Stasiun Pengisi Bahan Bakar Gas Hidrogen di Ibukota Jakarta dan rencanakan dalam waktu dekat siap beroperasi lagi 13 Stasiun Pengisi Gas Hidrogen lainnya di wilayah Jabodetabek.

Stasiun Pengisian Hidrogen Hijau pertama resmi beroperasi. (dok ESDM)

Pada kurun tahun 2035 – 2040, direncanakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah mulai beroperasi di Indonesia, diawali dengan pembangkit berkekuatan 250 MW.  Ditargetkan, pada kurun tahun 2041 – 2050 bauran energi di Indonesia sudah didominasi oleh EBT, termasuk telah tersedia energi Green Hydrogen.  Pada kurun tahun 2051 – 2060, ditargetkan semua listrik sudah dihasilkan dari PLT EBT, dan emisi tersisa tinggal 129 juta ton CO2 saja.

Potensi tenaga air di Nusantara mulai direalisasikan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), seperti PLTA Kayan di Provinsi Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 9.000 MW.

Lalu ada PLTA Mentarang di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 1.375 MW, PLTA Nunukan di Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 250 MW, PLTA Bahao, 1375 MW di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, serta PLTA Mamberamo I, 6630 MW dan PLTA Mamberamo II, 995 MW, keduanya di Papua.  Diharapkan, dengan terbangunnya PLTA-PLTA tadi, maka kawasan kawasan industri baru akan muncul di Indonesia Bagian Timur.

Dalam tahapan transisi energi menuju EBT ini, Unggul menyampaikan saran dan harapan, kiranya industri pembangkit listrik tenaga surya, baterai listrik dan panel fotovoltaik di dalam negeri agar bisa segera dibangun sehingga kandungan lokal pada produk-produk EBT listrik surya di tanah air ini bisa semakin meningkat.

Ia juga mengharapkan kiranya penerapan energi nuklir agar diberikan porsi lebih besar dengan dukungan teknologi PLTN mutakhir, mengingat hingga saat ini harga listrik produk PLTN adalah yang paling murah dibanding dengan Pembangkit Listrik Pembangkit Listrik dengan bahan baku EBT lainnya. ***

sumber : https://agroindonesia.co.id/menuju-net-zero-emission-2060-biomassa-dan-biofuel-dukung-transisi-energi/

Categories
Domestic S&T News

17 Tahun Para Ahli Indonesia-Tiongkok Menguak Fenomena Ilmiah Laut Indonesia

Dari segi sains dan teknologi kelautan, wilayah perairan Indonesia sangat kaya dengan ragam topik riset yang bisa dikerjasamakan guna mendapatkan berbagai temuan-temuan ilmiah tentang kelautan dunia.

Beberapa fenomena iptek kelautan di perairan Indonesia yang bisa mendunia, antara lain Arus Lintas Indonesia (Arlindo), Segitiga Terumbu Karang, Indian Ocean Dipole (IOD), kolam panas pemicu variabilitas iklim El Nino dan La Nina, proses upwelling di laut tempat ikan berkumpul, juga prediksi cuaca monsoon dan pemantauan gempa di laut, serta tsunami.

Kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu, dan sudah banyak hasil riset yang bisa dihilirisasi.  Ke depannya, diprakirakan kerja sama riset kelautan Indonesia – Tiongkok dapat ditindaklanjuti melalui revitalisasi Indonesia – China Center for Ocean Climate yang dibentuk tahun 2012 lalu.

Di samping itu, kerja sama pengembangan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dan Tiongkok melalui program Master dan Doktor, ekspedisi kelautan bersama, serta penerapan hasil hasil riset kelautan yang sudah terhimpun untuk program perubahan iklim global di laut, implementasi keanekaragaman hayati laut, ilmu perikanan dan ekonomi biru guna kemaslahatan penduduk Indonesia dan Tiongkok.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) dengan topik ‘Kerjasama Kelautan Indonesia – Tiongkok Untuk Pemantauan Iklim Laut, ,Rabu 18 September 2024

Kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu, dan sudah banyak hasil riset yang bisa dihilirisasi. 

Berbicara pada diskusi adalah Professor Weidong Yu dari Sun Yat Sen University, Zhuhai, China, sedang bertindak sebagai moderator adalah Dr Marina Frederik, ahli geofisika Laut BRIN.

Professor Yu menyampaikan bahwa sejak kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok ditandatangani, antara First Institute of Oceanography (FIO), China’s State Oceanic Administration (SOA), dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2006 lalu hingga tahun 2024 ini telah digelar 6 proyek proyek riset antara kedua negara.

Proyek riset pertama tentang:”South China Sea and Indonesian Seas Throughflow and its Impacts on Fish Seasonal Migration (SITE)”, menggunakan kapal riset Baruna Jaya BPPT, guna mengkaji peran Arus Lintas Indonesia (Arlindo) terhadap migrasi ikan dan kumpulan ikan di Perairan Laut China Selatan dan di Perairan Indonesia, mengingat fenomena Arlindo menegaskan bahwa arus laut bergerak dari Samudera Pasifik, melewati Kepulauan Nusantara menuju Samudera Hindia, ini berdampak pada pola migrasi ikan.

 Arus Lintas Indonesia (Arlindo) terhadap migrasi ikan dan kumpulan ikan di Perairan Laut China Selatan dan di Perairan Indonesia
Jalur Masuk ARLINDO
(sumber: The Geological Society of London)

Proyek Riset kedua tentang: “The Java Upwelling Variations and Impacts on Seasonal Fish Migration” pada tahun 2007 menggunakan kapal riset Baruna Jaya milik BPPT. Riset ini mempelajari tentang naiknya khlorofil dari dasar laut, yang merupakan sumber pakan ikan, sehingga dapat dipantau wilayah kaya ikan, serta migrasi ikan di perairan Indonesia.

Proyek Riset III tentang:”Monsoon Onset Monitoring in the Tropical Eastern Indian Ocean and its Social and Ecological Impacts”, tahun 2010.  Pada ekspedisi ini mulai dipasang pelampung-pelampung bouy di Samudera Hindia, sebelah Barat Sumatera.

Pada 23 Maret 2012, disaksikan Presiden SB Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Hu Jintao, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Cicip S.Soetardjo dan mitranya dari Tiongkok menandatangani pembentukan Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC).

Menurut Professor Yu, keberadaan lembaga ini semakin memacu kerjasama iptek kelautan antara dua negara tadi.  Berbagai kegiatan riset bersama yang digelar, antara lain: Proyek “Response of Marine Hazards to Climate Change in the Western Pacific (ROSE)”.  Lalu ada proyek:” Marine Biotechnology and Biodiversity Joint Study”, juga proyek: “Joint Observation Station in Badong, West Sumatra” dan proyek:  Eastern Indian Ocean Geology and  Benthic Biology Joint Study.

Tidak hanya kerja sama antara dua negara, Indonesia dan Tiongkok berpartisipasi dan berkontribusi pada program program riset kelautan regional, seperti 2nd Internationl Indian Ocean Expedetion (IIOE-2).  Juga pengkajian tentang sebaran serta migrasi ikan tuna sirip biru (Blue Fun Tuna) yang berada di Samudera Hindia antara selatan pulau Jawa dan perairan Australia Utara.

Melalui kerjasama Indonesia – USA – China, dibangun pula jarigan pelampung pemantauan laut, sebagai bagian dari Program “Global Tropical Moored Buoy Array”, untuk prediksi El Nino dan La Nina.  Data ini sangat penting untuk prakiraan kehadiran El Nino, karena kehadiran El Nino bisa berdampak pada kebakaran hutan dan lahan, gagal panen serta meningkatnya beberapa penyakit seperti demam berdarah.

Investasi Tiongkok dalam riset kelautan terus ditingkat.  Kerja sama dengan Indonesia, yang tadinya menggunakan kapal riset BPPT Baruna Jaya dan kapal riseet BRKP Madidihang, sekarang Tiongkok telah membangun kapal riset sendiri yang amat besar dan sangat modern, diberi nama R/V Zhong Shan Da Xue.

Kapal yang panjangnya 115 meter, berarti dua kali panjang Kapal Riset Baruna Jaya.  R/V Zhong Shan Da Xue ini juga dilengkapi oleh kapal selam riset yang mampu menyelam hingga kedalaman 7000 meter.

Bermodalkan pengalaman bekerjasama lebih dari 17 tahun antara Indonesia dan Tiongkok di bidang riset kelautan ini, ditambah dengan ketersediaan infrastruktur yang semakin baik, terutama dari pihak Tiongkok, seperti kapal selam modern tadi, maka Professor Yu mengusulkan program yang telah terjalin sangat baik ini bisa dilanjutkan, terutama dengan merevitalisasi kerjasama Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC) yang sudah mulai bekerja sejak tahun 2012 lalu.

Diharapkan , melalui ICCOC dapat dibuat program program unggulan kelautan untuk mengkaji dan mengimplementasikan permasalahan kelautan dan perubahan iklim Global, studi keanekaragaman hayati laut, riset tentang perikanan dan pembangunan ekonomi biru.

Para pakar CTIS sepakat untuk segera menyusun usulan program revitalisasi riset kelautan RI-Tiongkok, untuk diserahkan kepada Pemerintahan yang baru. ***

Sumber : https://forestinsights.id/17-tahun-para-ahli-indonesia-tiongkok-menguak-fenomena-ilmiah-laut-indonesia/

Categories
Domestic S&T News

Bio Avtur dan Minyak Solar Hijau Dikembangkan Para Ahli Indonesia, Dukung Aksi Pengendalian Perubahan Iklim

Para ahli Indonesia ternyata sudah mampu membuat bahan bakar untuk pesawat terbang dengan mencampurkan avtur yang berasal dari minyak tanah dengan Refined Bleach Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yaitu hasil pemrosesan inti bijih minyak sawit (kernel).

Lewat bantuan katalis kimia yang tersedia di tanah air, berhasil pula dibuat minyak solar yang 100% hasil pengolahan dari Used Vegetable Oil (UVO), yang dikenal sebagai minyak goreng bekas atau minyak jelantah.

Selain dapat mengurangi emisi karbon, menghasilkan “Energi Hijau”, ini juga bisa mengurangi impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan di dalam negeri.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 11 September 2024.

Berbicara dalam diskusi yang bertema “Teknologi Katalis Untuk Pengolahan Used Cooking Oil (UCO) menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)” adalah pakar Kilang Pertamina Internasional, Ir Djatmiko Darmo Saputro dan Ir Wawan Rustyawan. Bertindak sebagai moderator, Peneliti Senior BRIN, Dr Arie Rahmadi.

Djatmiko menjelaskan bahwa kilang-kilang Pertamina yang ada sudah mulai mencoba membuat minyak solar dari bahan bakar nabati sejak tahun 2014 lalu. Upaya ini diawali di kilang Pertamina Dumai, dengan campuran 7,5% minyak sawit olahan.

Kemudian pada tahun 2020, kilang Pertamina di Plaju berhasil membuat Green Gasoline, atau Bensin dengan campuran 20% minyak sawit olahan.

Bio avtur telah dikembangkan sebagai respons terhadap perubahan iklim
Pertamina sedang mengisi avtur untuk pesawat terbang komersial di Bandara Ahnad Yani Semarang. Saat ini telah dikembangkan bio avtur untuk merespons dampak perubahan iklim. (dok Pertamina)

Pada Desember 2020, kilang Pertamina di Cilacap berhasil membuat Bio Avtur untuk menggerakkan mesin pesawat terbang, dengan komposisi 98% Avtur dan 2% RBDPKO.

Akhirnya, pada Oktober 2021 Bio Avtur produksi kilang Pertamina Cilacap berhasil diuji-coba pada pesawat terbang CN-235 buatan PT. Dirgantara Indonesia. Bio Avtur dengan nama J-2.4 terdiri dari 2,4% RBDPKO dan 97,6% Avtur dari minyak tanah.

Selanjutnya, pada Oktober 2023, Bio Avtur hasil kilang Cilacap berhasil pula di uji-coba pada pesawat Boeing 737 milik Garuda Indonesia.

Tidak itu saja, dari Used Vegetable Oil (UVO), atau dikenal dengan minyak jelantah, berhasil diolah menggunakan katalis yang tersedia menjadi produk Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau minyak solar yang 100% dibuat dari minyak jelantah.

Saat KTT negara negara G-20 di Bali, November 2022 lalu, produk minyak solar Pertamina dari bahan baku 100% minyak jelantah tadi berhasil didemonstrasikan sebagai BBM penggerak mesin mesin Diesel.

Indonesia semakin menancapkan pengaruhnya sebagai negara penghasil “Green Energy” yang mulai diperhitungkan Dunia.

Kedepannya, kilang kilang Pertamina akan ditingkatkan kemampuannya agar bisa memproduksi lebih banyak lagi minyak solar dan bio-avtur dari minyak jelantah dan dari inti minyak sawit.

Pertamina memproyeksikan bahwa pada tahun 2026, dengan kilang minyak yang lebih modern maka kilang di Cilacap akan mampu memproduksi minyak solar dari minyak jelantah, sebesar 6 juta barrel perhari. Sedang kilang di Plaju ditargetkan mampu memproduksi 20 juta barrel minyak solar dari bahan baku minyak sawit.

bio solar atau minyak solar hijau telah dikembangkan di indonesia
Bio Solar B 30 terbuat dari bahan dasar yang terbentuk dari tumbuhan. (dok Pertamina)

Dalam diskusi, muncul permasalahan tentang ketersediaan bahan baku minyak jelantah harus diperoleh dari mana? Peneliti dari Traction Energy Asia menyampaikan bahwa potensi minyak jelantah di Indonesia mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun.

Tinggal sekarang, perlu dibuat kebijakan untuk mengumpulkan minyak jelantah tadi dan penetapan tempat tempat penampungannya.

Juga, perlu ditetapkan harga patokan minyak jelantah yang sesuai, karena minyak jelantah juga harganya tinggi bila di ekspor, mengingat kualitas minyak jelantah dan minyak sawit sangat mirip untuk menghasilkan minyak solar penggerak mesin diesel.

Peserta diskusi juga mengusulkan kiranya dalam kegiatan riset dan uji coba ini dapat dilibatkan para ahli di luar Pertamina, seperti para ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Seperti untuk uji coba penggunaan bahan baku kepuh (Sterculia foetida), nyamplung (Calophyllum inophyllum), jarak pagar (Jathropa curcas) dan kopra.

Apalagi, saat ini telah tersedia beragam kebijakan yang mendukung kegiatan riset dan inovasi, seperti UU No.11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang mewajibkan BUMN mendukung kegiatan riset dan inovasi. Juga tersedia kebijakan pengurangan pajak hingga 300% bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan riset.

Adapula dana riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kegiatan riset hilir mengarah pada produk industri. ***

sumber : https://forestinsights.id/bio-avtur-dan-minyak-solar-hijau-dikembangkan-para-ahli-indonesia-dukung-aksi-pengendalian-perubahan-iklim/