Categories
Domestic S&T News

PII dan CTIS Jalin Kerja Sama Bangun Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menandatangani Naskah Kerjasama (Memorandum of Understanding/MOU) untuk penguatan sumberdaya manusia dan kajian bersama tentang teknologi semikonduktor dan sel surya guna mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.

Penandatanganan MOU dilakukan antara Ketua Umum PII, Dr. Ir. Danis Sumadilaga dan Ketua CTIS, Dr. Ir. Wendy Aritenang, disaksikan Pembina CTIS Prof. Indroyono Soesilo dan Co-CEO Indonesia Solar Energy Research Center (ISEREC), Professor Michael Goutama, di Jakarta, Jumat, 15 November 2024.

Dalam kesempatan itu, Danis Sumadilaga, menegaskan bahwa sesuai UU No.11/Th.2014 Tentang Keinsinyuran, salah satu tugas utama PII adalah pengembangan keprofesian insinyur secara berkelanjutan dan pembinaan keinsinyuran.

Itulah sebabnya pada KTT G-20, yaitu KTT 20 Negara dengan ekonomi terbesar di Dunia, di Bali, November 2022 lalu, PII telah merintis pembentukan Kelompok 20 Negara G-20 untuk mengembangkan keprofesian insinyur, yang dikenal sebagai Engineering 20, atau E-20.

Salah satu implementasi E-20 adalah pembangunan Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia dengan pendekatan “End To End”, atau “Hulu – Hilir.

Para ilmuwan Indonesia mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
Penandatangan Naskah Kerjasama antara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) diwakili Ketua Umum PII. Dr. Danis Sumadilaga dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), diwakili Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang

PII kemudian menggalang kerjasama dengan berbagai universitas dan lembaga riset di tanah air, salah satunya adalah dengan CTIS.

Dewan Pembina CTIS, Professor Indroyono Soesilo, dalam kesempatan itu menyambut baik kerjasama PII – CTIS ini, mengingat CTIS memiliki pakar pakar senior yang dapat menyumbangkan pengalaman mereka demi terwujudnya industri semionduktor dan sel surya kelas Dunia, yang siap masuk dalam rantai pasok Dunia di industri ini.

Indroyono mengatakan bahwa ide pembangunan industri semikonduktor di tanah air telah dirintis oleh Menteri Ristek/Kepala BPPT, Prof. BJ Habibie pada tahun 1978 lalu, yang menugasi Professor Samaun Samadikun dan Professor Barmawi, keduanya dari ITB-Bandung untuk membangun purwa rupa industri sel surya di tanah air.

Laboratorium Sel Surya dan Semikonduktor kemudian di bangun oleh LIPI di Puspiptek – Serpong, Jawa Barat, dan pada tahun 1992 sudah berhasil membangun purwa rupa waffer dan sel surya produksi dalam negeri.

Namun, Industri ini baru akan  terwujud setelah hampir 40 tahun dikerjakan oleh ahli-ahli Indonesia sendiri, mengingat, kala itu, pasar dalam negeri belum ada.

Sekarang, Indonesia siap memasuki era industri semikondutor dan sel surya dengan kekuatan pasar dalam negeri dan juga mendorong ekspor, pertama ke Singapura dan kemudian ke mancanegara dengan memposisikan diri sebagai salah satu bagian dari rantai pasok industri sel surya dan semikonduktor Dunia.

ISEREC sekarang sedang menyusun Peta Jalan (Road Map) industri ini di Indonesia serta riset pengukuran irradiasi sinar matahari dibeberapa lokasi di tanah air guna mendapatkan energi optimum untuk membangun pembangkit listrik tenaga sel surya.  NUS-Singapura juga mulai menawarkan beasiswa Program Doktor untuk kandidat Doktor dari Indonesia.

pengembangan  Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
dok Freepik

Rencana ini disambut baik oleh Dirut Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Dr.Andin Hadiyanto yang siap mendukung lewat program Co-Funding LPDP.  Apabila NUS menyiapkan 5 Beasiswa Doktor maka LPDP akan menyiapkan beasiswa dalam jumlah yang sama, sehingga kandidat Doktor dari Indonesia ke NUS mencapai 10 orang.  Kebetulan NUS dan LPDP sudah mempunyai Program Kerjasama.

Bersamaan dengan pendandatangan MOU antara PII – CTIS, maka diresmikan pula Sekretariat ISEREC dengan Sekretaris ISEREC Dr. Andhika Prastawa.

Hadir pada acara penandatangan MOU, antara lain, Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI), yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Marzan Azis Iskandar, Ketua Komite Energi CTIS dan Mantan Kepala BPPT, Dr. Unggul Priyanto.

Mantan Ketua Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) Prof. Harijono Djojodihardjo, Ketua Komite Telekomunikasi & Informatika CTIS, yang juga mantan Dirjen di Kementerian Komunikasi & Informatika, Dr. Ashin Sasongko, para ahli energi surya Indonesia, seperti Dr. Arya Rezavidi, Dr. Martin Djamin dan Ir.Wisnubroto, serta perwakilan dari BRIN dan Universitas Negeri 11 Maret. ***

Sumber: https://forestinsights.id/pii-dan-ctis-jalin-kerja-sama-bangun-industri-semikonduktor-dan-sel-surya-di-indonesia/

Categories
Domestic S&T News

Logam Tanah Jarang Bisa Dukung Industri Baterai Listrik di Indonesia, Apa Itu?

Ketika Presiden Jokowi berbicara tentang potensi “harta karun” mineral logam tanah jarang (LTJ) yang dimiliki Indonesia, 30 Mei 2023 lalu, banyak orang yang mengerenyitkan dahi.  Mineral apa ini? Ternyata inilah mineral yang dikenal sebagai Rare-Earth Minerals, yaitu mineral ikutan di tambang-tambang timah.

Bila saat ini Indonesia menambang bijih timah dari mineral Cassiterite (SnO2), maka ternyata banyak mineral ikutannya, seperti Monasit,  Zirkon (ZrSOI4),  Ilemenit (TiO3), Rutil (TiO2), Pasir Kwarsa (SiO2) dan  Xenotime (YPO4).  Dari mineral-mineral ikutan tadi, terutama mineral Monasit, dapat dihimpun 17 unsur kimia logam tanah jarang (LTJ), antara lain Er, Eu, Gd, Ho, La, Lu, Nd, Pr, Sm, Tb, Tm dan Yb.

para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan ogam tanah jarang untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia. 
Ahli Logam Tanah Jarang (LTJ), Purwadi Kasino Putri (No.4 dari kanan) pada Paparan di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024. /CTIS/

Ternyata para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan LTJ untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia.  Demikian dipaparkan pada diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024,

Ahli nuklir Indonesia, Purwadi Kasino Putro dari Prime Energi Terbarukan  dalam paparannya yang berjudul “Baterai Untuk Kendaraan Listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Berbasis Logam Tanah Jarang (LTJ), Menuju Kemandirian Energi di Indonesia”, memperlihatkan bahwa proses pemisahan LTJ dari mineral Cassiterite sudah bisa dilaksanakan di Indonesia. Beragam purwa rupa baterai dari LTJ juga sudah bisa diproduksi di tanah air.

Purwadi, yang insinyur teknik nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada dan ahli bahan bakar nuklir lulusan Universitas di Jerman itu menegaskan bahwa dengan mencampurkan LTJ pada komponen baterai listrik berbasis Nikel yaitu NMC (Lithium, Manganese, Cobalt Oxide ) atau baterai yang berbasis Lithium, yaitu Lithium Iron Phsophate (LFP), maka baterai listrik ini akan memiliki energi yang lebih kuat, efisiensi yang tinggi, juga baterai akan berusia  lebih panjang.

Secara ekonomis, ini akan sangat menguntungkan Dalam presentasi yang dipandu oleh Dr. Arie Rahmadi, Peneliti Senior BRIN, Purwadi menyampaikan bahwa bahan baku LTJ di Indonesia sangat melimpah, namun  belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bernilai tinggi.  Sebagai contoh, pasir kwarsa yang merupakan hasil sampingan produk timah, diekspor keluar negeri sebagai bahan tambang galian C.

“harta karun” mineral logam tanah jarang  yang dimiliki Indonesia
Logam Tanah Jarang (LTJ)

Padahal di situ banyak dijumpai mineral LTJ. Purwadi juga menyatakan bahwa tahap berikutnya dalam pembangunan baterai berbasis LTJ adalah membuat baterai dengan campuran komponen NMC dan LTJ yang siap mengisi pasar baterai mobil listrik dan sepeda motor listrik di tanah air.  Sumberdaya nikel dan LTJ sudah ada di Indonesia.  Tidak itu saja, baterai jenis ini juga dapat mengisi kebutuhan baterai di kapal-kapal nelayan yang sudah tidak menggunakan minyak solar lagi, namun sudah menggunakan motor listrik.

Dalam rangka transisi energi dan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maka ada potensi sangat besar untuk penggunaan baterai NMC-LTJ untuk PLTS di tanah air. Menurut Purwadi, target awal industri baterai berbasis LTJ mencapai produksi 7 MegaWatt per-harinya. Apalagi, Pemerintah sudah mematok Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mobil listrik dan motor listrik pada tahun 2026 adalah 80%.

Seperti diketahui, salah satu komponen bernilai ekonomi terbesar pada mobil listrik dan sepeda motor listrik adalah pada komponen baterainya.  Inilah pasar yang dibidik dari industri baterai berbasis LTJ di Indonesia. *

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1788078581/logam-tanah-jarang-bisa-dukung-industri-baterai-listrik-di-indonesia-apa-itu?page=all

Categories
Domestic S&T News

Vela-Alpha: Pesawat Listrik Karya Insinyur Indonesia yang Rendah Karbon

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.

Rancang bangun VELA-Alpha dipaparkan kepada hadapan para anggota Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) oleh Chief Engineer Vela Prima Nusantara, Ilman Pamungkas, Rabu  22 Januari 2025.

VELA-Alpha dirancang oleh sepuluh insinyur muda Indonesia. Ini adalah pesawat Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik, yang bisa beroperasi seperti helikopter dan mampu mengangkut 1 Pilot dan 6 penumpang.

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.
pesawat rendah karbon Vela Alpha. (dok Vela Alpha)

Menurut Ilman Pamungkas AAM masuk sebagai kategori pesawat mobil udara berteknologi maju untuk transportasi  di wilayah urban dan wilayah regional.

Kajian potensi pasar pesawat AAM memperlihatkan bahwa pada tahun 2030, Dunia membutuhkan sekitar 7000 pesawat AAM. Separuh diantaranya untuk wilayah Asia Pasifik.

Kebutuhan pesawat jenis AAM ini akan meningkat terus menjadi 47.000 di tahun 2040, dimana 24.000  pesawat diantaranya akan beroperasi di wilayah Asia Pasifik.  Sudah pasti, negara kepulauan seperti Indonesia akan membutuhkan banyak pesawat jenis ini.

Oleh sebab itu, tahap pertama yang mereka bangun adalah pesawat untuk taksi udara wilayah urban dengan radius jangkauan sekitar 100 kilometer, cocok untuk angkutan antar-kota, untuk transportasi dari pusat kota ke bandara, untuk evakuasi medis, juga untuk pariwisata.

Hasil kajian awal, transportasi menggunakan kendaraan taksi dari pusat kota Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta membutuhkan waktu 60 hingga 90 menit, karena kemacetan lalu lintasnya, sedang dengan pesawat VELA-Alpha hanya membutuhkan waktu 8 menit saja.

Ilman juga menjelaskan bahwa pesawat VELA-Alpha bertenaga listrik, berarti skala kebisingan akan turun dan mengurangi emisi karbon. Juga berkemampuan Vertical Take Off & Landing (VTOL), sehingga tidak memerlukan landasan pacu.

Di samping itu, lewat perkembangan teknologi digital saat ini maka VELA-Alpha bisa bermitra dengan sistem transportasi darat lewat program “Ride-Sharing”, atau menumpang bersama.

Markas Vela Prima Nusantara berada di dalam kompleks Pabrik Pesawat Terbang Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung. Di sanalah kegiatan rancang-bangun pesawat digelar.  Direncanakan, kegiatan produksi pesawat VELA-Alpha akan dilaksanakan di fasilitas PT DI.

Sementara uji terowongan angin pada model pesawat telah dilaksanakan di Laboratorium Aeordinamika, Gas dan Getaran (LAGG) di Puspiptek Serpong, Jawa Barat.  Untuk Uji-Simulasi dilaksanakan di Laboratorium Vela Prima Nusantara sendiri.

Ilman dan group insinyur muda Indonesia ini mentargetkan bahwa Desain Rekayasa Rinci (Detailed Engineering Design) sudah bisa selesai pada  tahun 2025 ini.  Sedang terbang perdana diharapkan akan berlangsung tahun 2026 dan sertifikasi pesawat akan selesai pada tahun 2027, siap memasuki tahapan produksi.

Telah dijalin kerja sama dengan industri-industri pesawat terbang dunia untuk pengadaan baling baling, motor listrik, material komposit, baterai listrik, roda pendarat, struktur pesawat, kontrol pesawat dan avionic, untuk membangun VELA-Alpha sesuai Desain Rekayasa Rinci para Insinyur Indonesia.

Saat tampil pada Singapore Air Show 2024 lalu, telah terhimpun minat awal dari para kostumer untuk membeli pesawat VELA-Alpha sebanyak 120 unit. ***

sumber : https://ecobiz.asia/article/vela-alpha-pesawat-listrik-karya-insinyur-indonesia-yang-rendah-karbon

Categories
Domestic S&T News

Jaga Keberlanjutan Usaha, Industri Perlu Investasi Mitigasi Bencana

Indonesia yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam karena letak geografis dan geologinya. Kondisi itu pula yang menjadikan Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana. Diperlukan kemauan untuk menginvestasikan sebagian sumber daya perusahaan untuk dapat menjamin keberlanjutan bisnis.

Topik di atas dibahas dalam acara bertajuk “NGOPI Bareng BNPB” edisi Maret 2024 yang mengambil tema “Industri Berbasis Mitigasi Bencana dengan Sentuhan Teknologi”, Kamis, 28 Maret 2024. Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Indroyono Soesilo dari CTIS (Center for Technology and Innovation Studies) dan Sujica W Lusaka, Head CFOM (Corporate Fire Operation Management) Asia Pulp & Paper (APP) Sinarmas.

 Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.
Dari kiri: Trevi Jayanti, Indroyono Soesilo, Sujica W Lusaka dan Andrian Cader pada Acara NGOPI BARENG yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta.

Indroyono mengingatkan tentang kondisi geologi Indonesia yang merupakan bagian dari Ring of Fire, yaitu wilayah di sekeliling Samudra Pasifik yang memiliki banyak aktivitas kegempaan dan vulkanisme.

Hal ini menyebabkan indonesia rawan terhadap bencana, namun sekaligus dilimpahi kekayaan minyak dan gas alam serta berbagai mineral ekonomis.

Demikian pula kondisi geografis Indonesia menyebabkan negara ini terpengaruh oleh anomali iklim ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang. Dampaknya, Indonesia lebih rawan mengalami bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Pada saat yang sama, anomali iklim tersebut membuat kawasan laut Indonesia berlimpah ikan.

Dua sisi yang selalu berdampingan, antara bencana dan anugerah ini, menuntut kita untuk mampu menjalankan pemanfaatan sumber daya alam dan memperkuat resiliensi terhadap bencana secara beriringan.

Penggunaan teknologi, misalnya berupa buoy cuaca yang telah terpasang di lautan Indonesia merupakan salah satu wujud upaya tersebut.  “Dengan sistem pemantauan cuaca saat ini, potensi kemarau panjang akibat anomali iklim telah bisa dilihat sejak 12 bulan sebelumnya,” kata Indroyono.

Data cuaca ini pula yang menjadi satu pertimbangan penting untuk perusahaan pulp dan paper APP Sinarmas dalam memitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dapat menyebabkan perusahaan kekurangan kayu sebagai bahan baku dan asapnya dapat merusak tisu yang diproduksi.

Hal ini mendorong APP Sinarmas untuk menyusun program yang komprehensif untuk menanggulangi kebakaran hutan. Sujica menjelaskan, “APP Sinarmas menjalankan empat pilar penanggulangan kebakaran hutan yang kami sebut dengan Integrated Fire Management. Empat pilar itu adalah Prevention, Preparation, Early Warning, dan Rapid Response.” 

Prevention merujuk pada bagaimana perusahaan melibatkan masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar, mengingat sebagian besar kasus kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Perusahaan membuat program pemberdayaan masyarakat bernama Desa Makmur Peduli Api yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan tanpa pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pada tahapan Preparation dan Early Warning, pemanfaatan teknologi diwujudkan dalam bentuk penggunaan satelit kamera termal untuk memantau titik api. Selain itu, APP Sinarmas juga telah memasang AWS (Automatic Weather Station) secara mandiri, yang berfungsi untuk memantau tingkat bahaya kebakaran hutan di wilayah konsesi  perusahaan dan sekitarnya.

 Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara dengan potensi bencana yang lengkap.
Ratusan titik api di lahan gambut Riau terpantau dari udara. (BPBD Riau)

Perusahaan juga memiliki beberapa helikopter yang digunakan untuk pemantauan titik api secara konvensional maupun untuk upaya pemadaman bila terjadi kebakaran hutan pada tahapan Rapid Response.

Indroyono menilai bahwa manajemen kebakaran hutan APP Sinarmas merupakan contoh praktik baik yang perlu direplikasi oleh pelaku lain di sektor swasta. Tidak hanya dalam hal mitigasi bencana, namun juga untuk mencegah kerusakan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terbukti tidak semata menjadi beban anggaran, namun juga merupakan investasi yang berdampak baik bagi keberlanjutan bisnis.

Peran aktif pihak swasta adalah hal krusial dalam membangun resiliensi terhadap bencana, sebab pihak swasta memiliki kepentingan untuk terhindar dari bencana, serta memiliki sumber daya untuk menerapkan teknologi kebencanaan dan memberdayakan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan. Ketangguhan bencana di Indonesia mutlak hasil kolaborasi dan inklusi lintas sektor termasuk pihak swasta. ***

Sumber: https://agroindonesia.co.id/jaga-keberlanjutan-usaha-industri-perlu-investasi-mitigasi-bencana/

Categories
Domestic S&T News

Konvergensi Infrastruktur Telekomunikasi Satelit dan Terestris, Kesempatan Bagi Ahli-ahli Indonesia

Begitu dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi. Hal itu akan menjadikan seluruh infrastruktur sistem  komunikasi satelit  dan sistem komunikasi terestris di bumi dapat dimanfaatkan secara optimal, saling mendukung, melengkapi dan semakin effisien.

Pemanfaatannya lebih pada aplikasi sesuai proritas, seperti sistem informasi cuaca, sistem informasi geografis, sistem informasi digital, sistem komunikasi kuantum, Artificial Intelligence hingga Internet of Things (IoT).  Ahli-ahli Indonesia juga bisa terlibat pada perkembangan teknologi ini mengingat orang Indonesia dikenal memiliki nilai kreativitas yang tinggi.

Demikian kesimpulan Diskusi Center For Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 12 Juni 2024, yang mengambil topik: Satellite In Converging Infrastructure”.  Berbicara pada Diskusi CTIS ini, Dr Anggoro K. Widiawan, Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) yang juga Doktor Alumnus Universitas Surrey, Inggris.

dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi
Dr Anggoro K. Widiawan (Depan No.4 dari Kiri) Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies, Rabu 12 Juni 2024. /CTIS/

Bertindak sebagai moderator, Dr Agustan, Ketua Komite Teknologi Penginderaan Jauh CTIS, yang juga Ketua Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).  Menurut Anggoro teknologi satelit akan selalu menjadi penjuru di depan dan selalu mampu membuat terobosan teknologi.  Ia menyampaikan pula, sejak awal penerapan satelit komunikasi di dunia, maka Indonesia juga selalu tampil di depan.  Satelit komunikasi pertama bernama Comsat, beroperasi tahun 1965 dan hanya dalam tempo satu dekade, pada 1976, Indonesia sudah meluncurkan Satelit Palapa A-1  untuk menghubungkan  jaringan komunikasi pulau-pulau Nusantara.

Perkembangan teknologi serat optik pada awal dekade 1980-an telah memacu sangat cepat sistem konektivitas telekomunikasi terestris di bumi  dan meninggalkan sistem konektivitas telekomunikasi satelit.  Anggoro menyatakan bahwa saat ini pangsa sistem konektivitas satelit komunikasi tinggal 4%, sedang sistem komunikasi terestris di Bumi mencapai 96%.  Diprakirakan, penggunaan sistem konektivitas satelit komunikasi akan meningkat lagi dengan beroperasinya ribuan satelit internet di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) seperti Starlink.

Data dari  Kementerian Kominfo (2023) memperlihatkan bahwa  infrastruktur telekomunikasi di Indonesia sudah lengkap terbangun.  Saat ini beroperasi  610.581 Base Transceiver Stations (BTS), 835 ribu Kilometer Kabel Serat Optik, 10 satelit komunikasi aktif dan ada 221.5 juta pengguna internet, atau sekitar 76% Penduduk Indonesia.  Jaringan Komunikasi Palapa Ring juga sudah selesai dibangun pada tahun 2019 lalu.  Kehadiran infrastruktur komunikasi yang sudah lengkap di Indonesia ini tentu akan menjadikan sistem konektivitas komunikasi semakin handal dan semakin efisien.

Oleh sebab itu, Indonesia perlu bergerak ke arah penerapan teknologi internet yang lebih maju, seperti jasa internet untuk sistem komunikasi generasi kelima atau 5G, bahkan bersiap merintis ke sistem komunikasi generasi keenam, yaitu 6G. Menurut Anggoro, inilah kesempatan bagi ahli-ahli Indonesia untuk terjun ke bidang bidang seperti Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), Internet of  Things (IoT), Quantum Communication,  Quantum Sensing, sistem informasi geografis, sistem informasi digital hingga office automation, factory automation, mobil tanpa pengemudi, sistem transportasi logistik menggunakan pesawat nir-awak (Drone) dan masih banyak lagi kerja kreativitas lainnya.

Memang, untuk daerah  Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T) penerapan sistem komunikasi satelit lebih cocok, tapi untuk daerah perkotaan, di dalam mall, gedung, hanggar serta di pabrik pabrik, maka sistem infrastruktur komunikasi terestris lebih di depan.

dunia memasuki sistem teknologi internet generasi kelima atau 5G, maka konvergensi konektivitas sistem komunikasi satelit dan sistem komunikasi terestris di Bumi akan terjadi

Di luar itu semua, yang lebih utama adalah pengembangan teknologi informasi mutakhir dengan memanfaatkan sistem komunikasi 5G bahkan 6G yang disediakan infrastruktur satelit komunikasi dan infrastruktur komunikasi terestris.  Disinilah konvergensi akan terjadi dan disini pula Indonesia bisa terlibat aktif.  Tinggal dibuat pembagian tugas, Pemerintah yang menyusun Peta Jalan Industri Komunikasi dan Informatika, sedang penerapannya dalam IoT, AI, digital communication  dan lain-lain, digarap oleh para ahli di lembaga lembaga riset, di universitas unversitas dan di industri industri melalui penerapan program program prioritas yang sudah digariskan oleh Peta Jalan tadi. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788222201/konvergensi-infrastruktur-telekomunikasi-satelit-dan-terestris-kesempatan-bagi-ahli-ahli-indonesia?page=all

Categories
Domestic S&T News

Teknologi Remote Sensing untuk Eksplorasi Sumber Daya Alam, Profesor Indroyono Soesilo: Dasar Pengambilan Kebijakan

Dalam kegiatan eksplorasi geologi, data awal hasil remote sensing, atau penginderaan jauh diolah sebagai informasi untuk kemudian dianalisis serta diinterpretasikan guna dipakai untuk pengambilkan kebijakan tentang tahapan eksplorasi berikutnya.  Data penginderaan jauh diperoleh dari sensor yang dijejalkan pada satelit, pesawat udara dan pada pesawat nir-awak atau drone.

Demikian pandangan Prof. Dr.Indroyono Soesilo saat memberikan kuliah umum tentang Teknologi Remote Sensing Untuk Eksplorasi, Inventarisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia, di Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung, Jumat, 1 Maret, 2024.

Dihadapan sekitar sekitar 120 peserta dan mahasiswa ITB, baik secara langsung maupun secara daring, Indroyono juga memaparkan tahapan membangun Industri Jasa Penginderaan Jauh di Tanah Air sejak 30 tahun terakhir.

Satelit Remote Sensing yang pertama di Dunia, bernama Landsat-I, diluncurkan oleh Badan Antariksa dan Penerbangan AS, NASA pada tahun 1972.  Dua ahli dari Indonesia, yaitu Professor JA Katili dan Professor Jacub Rais diundang NASA sebagai Principal Investigator Landsat-1 untuk wilayah Asia Tenggara.

Dalam kegiatan eksplorasi geologi, data awal hasil remote sensing diolah sebagai informasi untuk bahan kebijakan tahapan berikutnya
Prof. Dr.Indroyono Soesilo (tengah) bersama para Dosen dan Mahasiswa Teknik Geologi ITB, usai Acara Kuliah Umum tentang Teknologi Remote Sensing Untuk Eksplorasi Geologi di Indonesia, di Kampus ITB Bandung, 1 Maret 2024.

Professor Katili memanfaatkan data Landsat-1 hasil rekaman Sensor Multi-Spectral Scanner (MSS) digital untuk kegiatan eksplorasi geologi di Indonesia.  Inilah kali pertama Indonesia memasuki era satelit, disusul dengan peluncuran satelit komunikasi domestik Palapa-1 pada tahun 1976.

Ahli-ahli remote sensing generasi berikutnya disiapkan pada awal dekade 1980-an, ke AS dan Perancis, yang kala itu sudah meluncurkan satelit satelit Landsat, Satelit SPOT, Satelit NOAA serta penerapan pesawat space shuttle untuk menghimpun data remote sensing dari ruang angkasa.

Indroyono, yang Alumnus Teknik Geologi ITB 1978 itu, memaparkan bahwa pengiriman ahli-ahli Indonesia tadi, antara lain ke NASA, ke CNES-Perancis, ke European Space Agency di Frascati, Italia, maupun ke Radarsat di Canada adalah dalam rangka membangun industri jasa remote sensing menerapkan falsafah” Berawal di Hilir, Berakhir di Hulu” yang dicetuskan Professor BJ Habibie dalam membangun suatu industri bebasis teknologi.

Sekembali para ahli muda Indonesia ke tanah air, mereka membangun industri ini dari “hilir” dengan mengembangkan beragam aplikasi teknologi remote sensing untuk eksplorasi geologi, kehutanan, kelautan, pertanian, perencanaan wilayah dan kota, pemetaan sumberdaya alam serta untuk penanggulang bencana.

Daftar Proyek Proyek “Blue Book” Bappenas disisir satu persatu  guna diinventarisasi proyek proyek mana yang bisa menggunakan teknologi remote sensing.  Lalu sebuah perangkat lunak pengolahan citra digital satelit, diberi nama CITRA 88, dibangun oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan disebarkan kepada para calon pengguna secara gratis.  Alhasil, dalam tempo 4 tahun, jumlah pengguna data remote sensing semakin banyak dan pasar industri jasa ini mulai terbentuk.

Kebijakan selanjutnya diarahkan ke “hulu” dengan membangun Stasiun Bumi Satelit Remote Sensing di Parepare, Sulawesi Selatan, yang mulai beroperasi pada tahun 1994. Data satelit Landsat, SPOT, Radarsat dan NOAA sudah bisa diterima langsung oleh Stasiun Bumi Parepare.

Di samping itu, pengembangan pasar pengguna data remote sensing terus di gencarkan, berbagai uji-coba teknologi berikut aplikasinya terus dilaksanakan, termasuk penggunaan data satelit radar interferommetry untuk memprediksi erupsi gunung berapi, serta memantau pergerakan sesar/patahan dalam hitungan milimeter per tahun.

Bencana El Nino yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan hebat tahun 1997 di Tanah Air, membuka pasar aplikasi remote sensing lebih luas lagi, termasuk interpretasi “Hot Spot” dari data satelit NOAA tentang posisi lintang-bujur hutan yang terbakar, serta upaya pemadaman kebakaran hutan dengan teknologi modifikasi cuaca serta pemboman air dari udara.  Istilah “Hot Spot” sekarang sudah memasyarakat.  Juga uji coba teknologi Light Detection & ranging (LIDAR) serta Laser Airborne Depth Sounder (LADS) untuk pembuatan peta batimetri dasar laut sudah dilaksanakan para ahli BPPT di wilayah perairan Pulau Enggano, Sumatera Bagian Selatan pada tahun 1994.

teknologi remote sensing sangat diperlukan untuk olahan data awal yang digunakan sebagai kebijakan tahap berikutnya
Terra Drone Indonesia, melakukan survei menggunakan drone LiDAR (Light Detection and Ranging) di Kampus Institut Teknologi Bandung. (Dok BSKDN KEMENDAGRI)

Tahapan terakhir dari upaya pengembangan “Hulu” adalah membangun satelit remote sensing sendiri, dan ini berhasil diluncurkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tahun 2007.  Saat ini telah beroperasi 4 satelit remote sensing buatan LAPAN, dan diharapkan satelit ke 5 akan meluncur pada tahun 2024 ini.

Indroyono juga menjelaskan bahwa pasar untuk pengembangkan suatu industri berbasis teknologi perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan.  Pasca Reformasi 1998, beragam undang-undang dan Peraturan Pemerintah telah terbit agar penggunaan data satelit remote sensing dapat lebih memasyarakat, diantaranya UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan, UU No.4 tahun 2011 tentang Geospasial, serta UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  Kesemuannya memasukan remote sensing dan Sistem Informasi Geografis didalamnya.  Belum lagi beragam Peraturan Presiden, Instruksi Presiden serta Peraturan Menteri yang mengatur beragam penggunaan data remote sensing, sekarang sudah tersedia.

Dengan semakin gencarkan permasalahan perubahan iklim Dunia, perlu dilaksanakan aksi mitigasi termasuk transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan guna menurunkan emisi gas rumah kaca semaksimal mungkin.

Indroyono menyodorkan peran ahli geologi dan eksplorasi untuk menerapkan teknologi remote sensing ini untuk mencari dan menemukan potensi gas hidrogen alam (Natural Hydrogen) di wilayah Nusantara, yang sampai saat ini belum pernah dieksplorasi oleh ahli ahli kita.

Terakhir, mantan Menko Kemaritiman RI 2014-2015 ini juga mengharapkan kiranya para geologiwan dan explorationists Indonesia masa depan terus bergerak menerapkan dan mengembangkan industri 4.0, yaitu industri digital, yang telah Indroyono kerjakan sejak dekade 1980-an lalu, mengingat industri 4.0 amatlah penting.

teknologi remote sensing
Salah satu anggota Beehive Drones saat menyiapkan drone sniffing untuk uji coba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. (Dok Kemendiktisaintek)

Bahkan sekarang dunia sudah bergerak ke Society 5.0 yang merupakan imagination Society, yang lebih mengedepankan kreativitas.  Sejatinya, sejak awal para ahli geologi itu dilatih untuk menganalisis, menginterpretasikan dan membuat beragam imajinasi tentang mulajadi Bumi kita ini. ***

Sumber : https://forestinsights.id/teknologi-remote-sensing-untuk-eksplorasi-sumber-daya-alam-profesor-indroyono-soesilo-dasar-pengambilan-kebijakan/

Categories
Domestic S&T News

CTIS Bahas Potensi PLTS Terapung, Solusi Energi Hijau di Indonesia

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung) di Danau Waduk Cirata, Jawa Barat dengan kapasitas 192 Mega Watt (MW). PLTS-Terapung di Danau Waduk Cirata merupakan PLTS-Terapung terbesar di Asia Tenggara.   Sebagai negara tropis yang kaya energi matahari, PLTS Terapung di danau-danau, waduk-waduk dan di lepas pantai bisa memecahkan salah satu kendala  pembangunan  PLTS, yaitu ketidak-tersediaan  lahan.  Percepatan pembangunan PLTS perlu didorong mengingat saat ini Dunia semakin mengarah ke energi hijau dan mulai meninggalkan energi fosil.  Demikian disampaikan Pendiri Solar Duck-Belanda, Olaf  de Swart, pada Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) berjudul:” Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Lepas Pantai”, awal April 2024 lalu.

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung)
Para periset di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung mobile pertama di Indonesia. (dok BRIN)

Dalam Diskusi yang dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr.Unggul Priyanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Olaf menyampaikan bahwa setelah Indonesia berhasil membangun PLTS Terapung di Danau Waduk Cirata, maka terbuka lebar potensi pembangunan PLTS Terapung di danau dan waduk di seluruh Indonesia.  Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 82 ribu kilometer, berarti pembangunan PLTS Terapung di lepas pantai Nusantara juga sangat layak dan tidak ada kendala ketersediaan lahan untuk memasang panel panel sel surya (Fotofoltaik) pembangkit listrik.   Menurut Olaf, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk membangun PLTS Terapung, baik di danau, waduk maupun di lepas pantai. Diantaranya adalah tinggi gelombang maksimum yang tidak boleh melebihi 1 meter  pada PLTS di Danau, atau tidak boleh melebihi 2 meter di lepas pantai.  Kemudian kecepatan angin hanya boleh berkisar pada 30 meter/detik saja. Di samping itu, jarak lokasi PLTS  dengan jaringan listrik  PLN tidak boleh lebih dari 50 Km.  Untuk PLTS di lepas pantai, harus digunakan material yang anti korosi.

Menurut Olaf, agar effisien dan ekonomis, PLTS Terapung yang dibangun minimal harus membangkitkan 100 MW listrik.  Hal ini memang ini dilematis karena daerah berpenduduk padat dan perlu pasokan listrik besar biasanya tidak memiliki lahan.  Walaupun demikian, PLTS terapung tetap lebih ekonomis dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mengkonsumsi minyak solar.  Pada tahun 2025, Indonesia mentargetkan penggunaan PLTS sebesar 6500 MW atau 6,5 Giga Watt (GW). Saat ini, PLTS di Indonesia baru bisa membangkitkan sekitar 450 MW saja.

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung)
Optimalisasi PLTS Terapung di Permukaan Waduk. (Dok ESDM)

Sementara negara tetangga, Vietnam, sudah menggunakan PLTS sebesar 5500 MW, atau 5,5 GW.  Indonesia masih tertinggal jauh.  Oleh sebab itu, mulai dikaji pembangunan PLTS dan PLTS terapung di Jawa, di Pulau Komodo dan di Pulau Batam.  Untuk Pulau Batam, diproyeksikan pembangunan PLTS terapung sebesar 2000 MW atau 2 GW untuk memasok listrik ke Singapura.   Diharapkan pula, industri-industri smelter mineral bauksit-aluminium dan nikel bisa mengganti pembangkit listriknya dari PLTD ke PLTS.  Upaya sebuah industri kehutanan terintegrasi di Pulau Mangole, Maluku  Utara, yang memproduksi panel kayu dan pellet kayu menggunakan pembangkit PLTS perlu dicontoh dan direplikasi ke wilayah lain.

Pembangunan PLTS terapung di tanah air terus digencarkan.  Menurut Kepala Balai Besar dan Survey Tenaga Energi Listrik Baru, Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian ESDM,  Ir. Senda Hurmuzan, saat ini tengah disiapkan pembangunan PLTS Terapung di Danau Singkarak dengan kapasitas 90 MW, lalu di waduk Saguling kapasitas 60 MW, di Lampung 100 MW, dan di Kalimantan Barat dengan kapasitas 50 MW. Senda, yang juga mantan Perekayasa BPPT itu, menerangkan bahwa danau di beberapa waduk sedang disiapkan pula sebagai lokasi pembangunan PLTS, seperti di Waduk Gajah Mungkur kapasitas 200 MW, Waduk Jatiluhur 100 MW dan Waduk Karang Kates 122 MW.  Harga listrik yang dihasilkan dari PLTS terapung  tadi ada pada kisaran 3 sen US Dollar hingga 5.6 sen US Dollar.  Berarti cukup layak dan ekonomis.

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo mengingatkan kiranya potensi pasar  PLTS dan PLTS terapung yang besar di Indonesia ini harus bisa membangkitkan industri PLTS di tanah air.  Industri PLTS harus tumbuh dan berkembang, tidak hanya pada penguasaan teknologi membangun PLTS dan penguasaan industri perakitan panel surya semata, namun harus bisa menguasai industri sel surya silikon kristalin,  menguasai industri pembuatan ingot kristal silikon dan wafer silikon, hingga penguasaan teknologi pemurnian silika.  Ini merupakan tantangan  bagi proses alih teknologi, peningkatan kandungan lokal,  sekaligus dapat membuka lapangan kerja yang besar di tanah air. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787960016/ctis-bahas-potensi-plts-terapung-solusi-energi-hijau-di-indonesia?page=all

Categories
Domestic S&T News

Pembangunan Wilayah Terintegrasi Secara Bottom Up, Jawa Barat Bagian Utara dan Selatan Jadi Contoh

Menerapkan perencanaan pengembangan suatu wilayah hingga terwujud hasil pembangunan yang nyata memerlukan beberapa prasyarat, antara lain, perencanaan disusun secara “Bottom Up” sesuai kebutuhan wilayah tersebut.

Kemudian, hasil perencanaan dari daerah diusulkan ke Bappenas dan setelah  disepakati maka disusun payung kebijakannya, berupa Peraturan Presiden.

Dalam penerapannya, dilaksanakan sinkornisasi program yang melibatkan lintas kementerian, sedang mobilisasi pendanaan diintegrasikan lewat program program lintas-kementerian/lembaga, pendanaan dari daerah, serta pendanaan lewat kerjasama pemerintah dengan badan usaha dan dukungan badan badan internasional

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 21 Februari 2024.  Diskusi dipimpin Ketua Komite Kebencanaan & Pengembangan Wilayah CTIS, Dr Idwan Soehardi, yang juga mantan Deputi Menteri Ristek.

Dalam Paparan Dr. Djoko Hartoyo, Asisten Deputi Kemenko Marinvest, berjudul ”Pengembangan Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan”, diperlihatkan konsep perencanaan pembangunan yang disusun Bappeda Provinsi Jabar, kemudian secara berjenjang diusulkan ke Pemerintah Pusat.

Pengembangan Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan dengan sistem bottom up

Konsep yang sudah matang tadi lalu dipaparkan oleh Menko Marvest dihadapan Presiden RI dalam Rapat Kabinet Terbatas dan setelah rancangan perencanaan pembangunan disetujui maka diterbitkan Keputusan Presiden No.87 tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan.  Wilayah ini memang memiliki tingkat kemiskinan penduduk yang masih tinggi, Indeks Pembangunan Manusia nya masih rendah dan tingkat pengangguran juga tinggi.  Ini yang harus diubah.

Oleh sebab itu, Kawasan Rebana difokuskan pada pembangunan kawasan baru dengan inti Kota Cirebon, dua pusat ekonomi baru, yaitu Pelabuhan Internasional Patimban dan Bandara Internasional Kertajati, serta didukung kabupaten sekitar, yaitu Kabupaten Cirebon, Sumedang, Majalengka, Subang, Indramayu dan kabupaten Kuningan. Sedang Pengembangan Kawasan Jawa Barat Selatan mencakup Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasimalaya dan Kabupaten Pangandaran.

Dipaparkan Djoko bahwa ada 81 Proyek/Program di kawasan Rebana dengan total anggaran Rp234 triliun, sedang di Wilayah Jawa Barat Selatan terhimpun 89 Proyek/Program dengan total anggaran Rp158 trilyun.

Proyek dan Program ini lalu dimasukkan kedalam perencanaan Bappenas, sedang untuk pelaksanaannya diawasi BPKP dengan koordinasi, sinkronasi dan pengendalian kegiatan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Pembangunan kawasan dengan total anggaran Rp392 trilyun ini mencakup pembangunan sektor jalan dan jembatan, pembangunan sektor jalan tol, pembangunan sektor infrastruktur, seperti pembangunan pengaman pantai dan breakwater, Pembangunan Sektor Pasar dan Perguruan Tinggi, diantaranya pembangunan Politeknik di Majalengka, Pembangunan Sektor Sarana dan Prasarana Pemukiman, Pembangunan Sektor Perhubungan diantaranya reaktivasi beberapa jalur kereta api di Jawa Barat yang sudah lama tidak berfungsi, Pembangunan Kawasan Industri, serta pembangunan kawasan pertanian.

Pengembangan Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan
dok Bappeda Jawa Barat

Djoko Hartoyo menyampaikan bahwa perencanaan terintegrasi dengan program tersusun rapi, di bawah payung hukum yang jelas membuat para investor luar negeri juga tertarik untuk turut berinvestasi. Misalnya, pembangunan jalan tol dari Pelabuhan Patimban ke Tol Cipali yang dibiayai oleh JICA Jepang.  Juga pembangunan Politeknik di Majalengka yang lahannya disediakan oleh Pemda, pembiayaannya didukung Kemendibudristek dan Kemen PUPR, sedang pihak swasta dari Korea Selatan tertarik untuk membiayai secara hibah pengecatan seluruh bangunan Politeknik ini dengan garansi 5 tahun.

Para peserta diskusi sepakat bahwa pola pembangunan wilayah terintegrasi seperti ini, dari perencanaan yang “Bottom Up”, dan didukung multi-pemangku kepentingan serta memiliki aspek legalitas yang kuat, sangat mungkin untuk direplikasikan di wilayah lain di Nusantara ini.***

Sumber : https://forestinsights.id/pembangunan-wilayah-terintegrasi-secara-bottom-up-jawa-barat-bagian-utara-dan-selatan-jadi-contoh/

Categories
Domestic S&T News

Alumni BPPT Gelar Jalan Santai dan Silaturahmi, Sejumlah Mantan Menteri Hadir

Sekitar 150-an teknolog, perekayasa dan inovator ex Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar Jalan Santai dan Silaturahmi Alumni BPPT di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu 23 September 2023. Dalam acara tahunan untuk memperkuat persaudaraan pada alumni BPPT itu juga dilaporkan melaporkan progres kegiatan lembaga think-tank Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), yang diasuh para alumni BPPT dan merupakan rangkaian kegiatan Habibie Memorial Lecture 2023 yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), CTIS dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Perpustakaan Nasional pada Kamis 21 September 2023 lalu. Kegiatan Jalan diawali laporan oleh Ketua CTIS, Dr.Wendy Aritenang, yang mantan Sekjen Kemenhub, Laporan Progress Perkembangan CTIS oleh Dr. Idwan Soehardi yang mantan Deputi Menteri Ristek dan juga mantan anggota MPR-RI, serta wejangan dari Ketua Dewan Pengarah CTIS, Professor Wardiman Djojonegoro, yang juga mantan Mendikbud dan mantan Deputi BPPT.

Selain acara jalan santai keliling Stadion GBK, acara juga dimeriahkan Group Penyanyi LOLITA-BPPT disusul Senam Poco-Poco dan Senam Maumere oleh seluruh peserta Jalan Santai.

reuni dan jalan sehat eks pegawai BPPT
Sekitar 150-an teknolog, perekayasa dan inovator ex Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar Jalan Santai dan Silaturahmi Alumni BPPT di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu 23 September 2023.

Tampak hadir pada kegiatan olah raga ini, antara lain, Mantan Menko Kemaritiman, Indroyono Soesilo yang juga Professor Riset BPPT, Mantan Kepala BPPT yang saat ini menjabat Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI), Dr. Marzan Azis Iskandar, Mantan Kepala BPPT yang saat ini menjabat Komut PT. INTI, Dr. Unggul Pryanto, Ahli Gambut yang mantan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN), Dr. Bambang Setiadi, Mantan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) yang juga ahli hujan buatan, Professor Asep Karsidi, Mantan Kepala LAPAN. Lalu ada Professor Harijono Djojodihardjo yang juga mantan Deputi BPPT, Mantan Deputi BPPT, Dra.Trulyanti Soetrasno MA, yang juga mantan Anggota MPR-RI, serta para teknolog ahli pesawat terbang, ahli perkapalan, ahli kereta api, ahli energi, ahli sumberdaya alam dan lain lain. BPPT berdiri melalui Keppres No.25/Th.1978, pada 21 Agustus 1978, guna menyiapkan Indonesia menuju Negara Industri pada Abad Ke-21, dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selama 20 tahun, BPPT dipimpin Profesor BJ Habibie yang kelak kemudian hari menjadi Presiden RI Ketiga. Beragam karya iptek para ahli BPPT telah disumbangkan kepada Bangsa dan Negara, antara lain pesawat N-250 Gatotkoco, Kapal Layar Modern Maruta Jaya, Kapal Angkut Caraka Jaya, Beragam Desain Jembatan Antar Pulau Batam – Rempang – Galang, desain Mass Rapid Transport Jakarta, desain Light Railway Train (LRT), pembangkit listrik energi panas bumi – Lahendong, Sulut, Survey Landas Kontinen Baruna Jaya, Operasi Hujan Buatan, Prediksi El Nino dan La Nina melalui pola Arus Lintas Indonesia (Arlindo), pembuatan prototipe Lab. Uji Virus Covid BSL Level 3 dan masih banyak lagi.

Hingga tahun 2021, sebelum melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), para ahli BPPT tengah menyelesaikan rancang bangun pesawat N-219 Nurtanio, Pesawat tanpa awak Elang Hitam, Bouy Tsunami Early Warning System (INA TEWS) dan teknologi Industri garam. Selama pengabdiannya yang lebih 40 tahun, BPPT juga dikenal sebagai lembaga yang mengirimkan ribuan pemuda-pemudi Indonesia ke mancanegara untuk studi bidang iptek dan industri guna mendukung pembangunan di tanah air.

Saat ini, program pengirim putra-putri unggul Indonesia untuk studi ke luar negeri dilanjutkan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pada awal tahun 2023, para alumni BPPT mendirikan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) guna menghimpun pemikiran dan pengalaman puluhan tahun dibidang iptek dan inovasi untuk disumbangkan kepada kemaslahatan masyarakat.

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/seputar-cibubur/pr-1787158740/alumni-bppt-gelar-jalan-santai-dan-silaturahmi-sejumlah-mantan-menteri-dan-hadir

Categories
Domestic S&T News

Diskusi CTIS: Hitung Global Stocktake Karbon, IPCC Gunakan Teknologi Satelit

Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir dengan sejumlah konsensus penting. Salah satunya adalah akan dilakukannya Global Stocktake untuk menghitung seberapa jauh progres  penurun emisi karbon setiap negara. Professor  Edvin Aldrian, ahli meteorologi dan iklim BRIN yang juga Wakil Ketua Pokja I IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menjelaskan bagaimana Global Stocktake dilakukan. “Salah satu teknologi yang akan kami terapkan adalah penggunaan citra satelit penginderaan jauh karena dinilai transparan,” katanya pada diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu, 20 Desember, 2023.

Berdasarkan Paris Agreement, berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon termasuk indonesia

Diskusi tersebut dipandu oleh moderator Dr. Andi Eka Sakya, Sekretaris CTIS yang juga Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi & Geofisika (BMKG).

Berdasarkan Paris Agreement, semua negara menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia menyusun  NDC dengan target cukup tinggi, yaitu pada tahun 2030 Indonesia mampu menurunkan emisi sebesar 31,89%  lewat  upaya mandiri atau mencapai 43.2% dengan kerjasama Internasional.

Menurut Edvin, semua komitmen NDC dari masing masing negara akan dikaji secara ilmiah, apakah target tercapai atau tidak. Kajian ini disebut Global Stocktake yang menjadi salah satu konsensus pada COP28 Dubai. Tujuannya untuk menghitung seberapa jauh progress penurun emisi karbon sesuai target NDC masing masing negara.  Lewat program global stocktake ini dapat diketahui kegiatan adaptasi, mitigasi dan pengukuran pendanaan yang diterapkan.  Kajian itu dilakukan IPCC dan akan dilaporkan pada UNFCCC  untuk ditetapkan pada COP berikutnya.

IPCC adalah lembaga ilmiah yang berhimpun sedikitnya 2000 pakar Dunia.  Mereka harus netral guna menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada UNFCCC.  Dari 2000-an pakar Dunia tadi terdapat 21 pakar dari Indonesia dan salah satunya menjabat sebagai Wakil Ketua Pokja I IPCC, yaitu Professor  Edvin Aldrian.

Indonesia telah menyusun strategis pengurangan emisi karbon
Petugas Manggala Agni memadamkan api kebakaran hutan di Riau. (Dok KLHK)

Selain Global Stocktake, COP28 juga menghasilkan konsensus untuk dimulainya pengakhiran penggunaan energi fosil. Targetnya juga cukup ambisius, yaitu mengurangi penggunaan energi fosil dari 100 juta barel ke hanya 30 juta barel saja.  Namun negara berkembang masih belum puas, karena dalam Keputusan COP28 tidak dimunculkan sistem pendanaan untuk transisi energi ini.  Indonesia sudah lebih maju karena ada dukungan Negara-negara maju dan Perbankan Internasional sebesar 20 miliar dolar AS untuk program transisi energi di Indonesia, yang dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).  COP28 juga menyepakati dukungan pendanaan sekitar 700 juta dolar AS untuk memperkuat ketahanan pangan global menghadapi perubahan iklim.

Anggota CTIS, Profesor Harijono Djojodihardjo menggaris bawahi tentang kesenjangan teknologi yang dimiliki negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement.  Sangat disayangkan bila keputusan keputusan COP justru memperlebar jurang  antara negara negara maju dan negara negara berkembang.  “Teknologi dan pendanaan harus dibagi rata secara berkeadilan, karena kita bersama akan menyelamatkan Bumi,” tegas Harijono.

Anggota CTIS yang lain, Fathor Rahman lebih menyoroti pada program transisi energi di Indonesia dari energi fosil kepada energi terbarukan guna mendukung target NDC.  Ia memperkirakan akan terjadi destruksi ketahanan energi listrik Indonesia apabila proses transisi energi tidak dilakukan secara hati-hati, mengingat Indonesia juga sedang membangun dan bertumbuh menjadi negara maju pada tahun 2045. ***

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1787508519/diskusi-ctis-hitung-global-stocktake-karbon-ipcc-gunakan-teknologi-satelit