Categories
Domestic S&T News

Indonesia, Surga Baru Perdagangan Karbon

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.

Indonesia juga telah mengambil peran aktif dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Bersama lebih dari 200 negara lainnya, Indonesia menyepakati komitmen melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai bagian dari implementasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Dalam diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, CEO TruCarbon, Debby Reynata, mengungkapkan berbagai potensi besar perdagangan karbon di Indonesia.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Diskusi bertajuk “Non-Extractive Forest Business” yang diselenggarakan oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 30 Juli 2025, dengan narasumber CEO TruCarbon, Debby Reynata (no 3 duduk dari kanan). (dok CTIS)

“Potensi karbon dari hutan Indonesia sangat besar, mencapai 240 juta ton per tahun. Untuk membangun proyek karbon di sektor kehutanan memang butuh waktu panjang, sekitar 30–40 tahun,” jelas Debby.

Ia menyebutkan bahwa dari total 120 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, sekitar 50 juta hektare merupakan hutan lindung, sementara 61 juta hektare lainnya adalah hutan produksi yang sangat potensial untuk proyek karbon.

Selain itu, terdapat sekitar 20 juta hektare hutan produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal. Area ini dianggap sangat cocok untuk pengembangan proyek karbon berbasis alam seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), ARR (Afforestation, Reforestation, and Revegetation), dan IFM (Improved Forest Management).

Secara keseluruhan, potensi karbon dari hutan Indonesia diperkirakan mencapai 2,8 miliar ton setara CO2 (tCO2e), angka yang diyakini mampu mendukung pencapaian target NDC.

Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Penanaman mangrove di pesisir pantai sebagai bagian gerakan blue carbon oleh Pemerintah RI. (dok CTIS)

Enam Tipe Proyek Karbon Berbasis Alam

Ia memaparkan bahwa terdapat enam tipe pendekatan utama dalam proyek karbon hutan yang bisa diterapkan di Indonesia, yakni:

  1. Penghutanan kembali (afforestation/reforestation)
  2. Pengelolaan hutan yang ditingkatkan (Improved Forest Management/IFM)
  3. Perlindungan dan restorasi tanah gambut
  4. Karbon biru (blue carbon) seperti mangrove
  5. Agroforestri atau sistem tumpang sari
  6. Konservasi kawasan dengan fungsi ekologis tinggi

“Agroforestri, misalnya, mampu menjaga kesehatan tanah karena vegetasinya tidak monokultur, dan memberikan alternatif pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat lokal,” tambahnya.

Standar Proyek Karbon Berkualitas

Debby juga menekankan pentingnya menjaga integritas proyek karbon. Beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi, antara lain:

  • Additionality (pengurangan emisi yang tidak akan terjadi tanpa proyek tersebut)
  • Kuantifikasi emisi
  • Titik acuan atau baseline
  • Risiko kebocoran (leakage)
  • Manfaat bersama (co-benefits)
  • Keberlanjutan atau permanence
Dengan kekayaan hutan, laut, dan sektor pertanian, Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam bisnis perdagangan karbon berbasis alam.
Petugas Manggala Agni tengah memadamkan api saat karhutla di Riau. Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor risiko dalam proyek karbon. (Dok CTIS)

Sebagai contoh, hutan lindung yang secara teori tidak bisa masuk dalam proyek karbon karena status perlindungannya, dalam praktiknya bisa dipertimbangkan jika perlindungan tersebut tidak berjalan optimal, seperti masih terjadi pembalakan liar atau kebakaran hutan.

“Jika perlindungan tidak efektif dan proyek karbon justru mampu menjaga keberlanjutan hutan tersebut, maka itu bisa masuk ke dalam skema,” jelas Debby.

Ia juga menegaskan bahwa proyek karbon harus tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. “Warga desa yang semula menggantungkan hidup dari aktivitas seperti penebangan liar atau penambangan emas, harus dialihkan ke pekerjaan lain yang tetap menjaga hutan tetap lestari,” tambahnya.

Tantangan dan Peluang

Menurut Debby, pengembangan proyek karbon melibatkan tahapan panjang, mulai dari studi kelayakan, penyusunan dokumen desain proyek, pendaftaran dan validasi, pelaksanaan dan pemantauan (MRV), hingga verifikasi dan penerbitan kredit karbon.

Namun demikian, tidak semua proyek karbon memiliki tingkat kesulitan yang sama. Proyek di lahan gambut dinilai paling kompleks karena memerlukan pengelolaan air yang ketat. Sementara proyek di ekosistem mangrove menghadapi kendala keterbatasan lahan karena berada di wilayah pesisir.

TruCarbon sebagai project development menggandeng mitra strategis untuk memastikan ketersediaan data valid terkait kondisi hutan yang dijadikan objek proyek karbon.

Debby mengakui bahwa risiko tetap ada, seperti kebakaran di area konsesi, rendahnya kualitas pembeli, hingga fluktuasi tren pasar. “Pembeli karbon biasanya melihat tren. Kalau sedang ramai, mereka beli. Kalau tidak, ya ditinggalkan,” jelasnya.

Perdagangan Karbon di Indonesia masih Dini

Saat ini, perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal. Meski sejumlah proyek karbon sudah berjalan, skalanya masih terbatas.

“Indonesia sebenarnya sangat seksi di mata pembeli karbon internasional. Banyak dari mereka mulai masuk ke pasar Indonesia,” ungkap Debby.

Namun, perdagangan karbon domestik masih terhambat oleh ketiadaan regulasi yang mewajibkan perusahaan menetapkan batas emisi. Akibatnya, belum banyak perusahaan dalam negeri yang terdorong untuk ikut menjual kredit karbon.

“Selama ini hampir seluruh permintaan berasal dari luar negeri. Pemerintah sedang berupaya mendorong keterlibatan pelaku usaha dalam negeri, sambil mempersiapkan regulasinya,” pungkas Debby. ***

Categories
Domestic S&T News

Diskusi CTIS: Hitung Global Stocktake Karbon, IPCC Gunakan Teknologi Satelit

Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir dengan sejumlah konsensus penting. Salah satunya adalah akan dilakukannya Global Stocktake untuk menghitung seberapa jauh progres  penurun emisi karbon setiap negara. Professor  Edvin Aldrian, ahli meteorologi dan iklim BRIN yang juga Wakil Ketua Pokja I IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menjelaskan bagaimana Global Stocktake dilakukan. “Salah satu teknologi yang akan kami terapkan adalah penggunaan citra satelit penginderaan jauh karena dinilai transparan,” katanya pada diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu, 20 Desember, 2023.

Berdasarkan Paris Agreement, berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon termasuk indonesia

Diskusi tersebut dipandu oleh moderator Dr. Andi Eka Sakya, Sekretaris CTIS yang juga Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi & Geofisika (BMKG).

Berdasarkan Paris Agreement, semua negara menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia menyusun  NDC dengan target cukup tinggi, yaitu pada tahun 2030 Indonesia mampu menurunkan emisi sebesar 31,89%  lewat  upaya mandiri atau mencapai 43.2% dengan kerjasama Internasional.

Menurut Edvin, semua komitmen NDC dari masing masing negara akan dikaji secara ilmiah, apakah target tercapai atau tidak. Kajian ini disebut Global Stocktake yang menjadi salah satu konsensus pada COP28 Dubai. Tujuannya untuk menghitung seberapa jauh progress penurun emisi karbon sesuai target NDC masing masing negara.  Lewat program global stocktake ini dapat diketahui kegiatan adaptasi, mitigasi dan pengukuran pendanaan yang diterapkan.  Kajian itu dilakukan IPCC dan akan dilaporkan pada UNFCCC  untuk ditetapkan pada COP berikutnya.

IPCC adalah lembaga ilmiah yang berhimpun sedikitnya 2000 pakar Dunia.  Mereka harus netral guna menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada UNFCCC.  Dari 2000-an pakar Dunia tadi terdapat 21 pakar dari Indonesia dan salah satunya menjabat sebagai Wakil Ketua Pokja I IPCC, yaitu Professor  Edvin Aldrian.

Indonesia telah menyusun strategis pengurangan emisi karbon
Petugas Manggala Agni memadamkan api kebakaran hutan di Riau. (Dok KLHK)

Selain Global Stocktake, COP28 juga menghasilkan konsensus untuk dimulainya pengakhiran penggunaan energi fosil. Targetnya juga cukup ambisius, yaitu mengurangi penggunaan energi fosil dari 100 juta barel ke hanya 30 juta barel saja.  Namun negara berkembang masih belum puas, karena dalam Keputusan COP28 tidak dimunculkan sistem pendanaan untuk transisi energi ini.  Indonesia sudah lebih maju karena ada dukungan Negara-negara maju dan Perbankan Internasional sebesar 20 miliar dolar AS untuk program transisi energi di Indonesia, yang dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).  COP28 juga menyepakati dukungan pendanaan sekitar 700 juta dolar AS untuk memperkuat ketahanan pangan global menghadapi perubahan iklim.

Anggota CTIS, Profesor Harijono Djojodihardjo menggaris bawahi tentang kesenjangan teknologi yang dimiliki negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement.  Sangat disayangkan bila keputusan keputusan COP justru memperlebar jurang  antara negara negara maju dan negara negara berkembang.  “Teknologi dan pendanaan harus dibagi rata secara berkeadilan, karena kita bersama akan menyelamatkan Bumi,” tegas Harijono.

Anggota CTIS yang lain, Fathor Rahman lebih menyoroti pada program transisi energi di Indonesia dari energi fosil kepada energi terbarukan guna mendukung target NDC.  Ia memperkirakan akan terjadi destruksi ketahanan energi listrik Indonesia apabila proses transisi energi tidak dilakukan secara hati-hati, mengingat Indonesia juga sedang membangun dan bertumbuh menjadi negara maju pada tahun 2045. ***

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1787508519/diskusi-ctis-hitung-global-stocktake-karbon-ipcc-gunakan-teknologi-satelit