Categories
Domestic S&T News

Laut Indonesia Tak Sehat, Perlu Aksi Nyata

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.

Pakar oseanografi fisik, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan bahwa penyebab utama dari pemanasan air laut ini adalah dampak dari perubahan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Dr. Salveanty Makarim (tengah) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025. (Dok CTIS)

Alumnus Xiamen University, Tiongkok, ini menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada 1960-an. Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal 2000-an.

“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi. Laut dalam sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.

ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia

Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut. ENSO adalah pola iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, dan bahkan dapat memengaruhi kesehatan manusia.

ENSO menyebabkan:

  • Pemutihan karang akibat suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari normal.
  • Perubahan arus laut yang berdampak pada distribusi nutrien dan kehidupan biota laut.
  • Perubahan populasi ikan, yang memengaruhi ekosistem dan sektor perikanan.
  • Peningkatan badai tropis, terutama di wilayah Pasifik.

“ENSO yang terjadi secara periodik kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim,” ujar Salveanty.

Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam. Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah memengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.

Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun  dan seterusnya.

“Sebab ENSO salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksi  ENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Pemerintah masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.

Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak

Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi. Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.

“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir. Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.

Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2021–2030), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera
Terumbu karang terancam mengalami kerusakan akibat naiknya suhu permukaan laut. (Dok KKP)

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Memprihatinkan

Menurut data terbaru, Indeks Kesehatan Laut Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.

Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan.” Program ini berfokus pada:

  • Laut yang bersih,
  • Laut yang sehat dan tangguh,
  • Laut yang produktif, dan
  • Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.

Dekade ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14, yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudra, dan sumber daya kelautan.

Namun tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai. Saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan. ***

Categories
Domestic S&T News

Diskusi CTIS: Hitung Global Stocktake Karbon, IPCC Gunakan Teknologi Satelit

Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir dengan sejumlah konsensus penting. Salah satunya adalah akan dilakukannya Global Stocktake untuk menghitung seberapa jauh progres  penurun emisi karbon setiap negara. Professor  Edvin Aldrian, ahli meteorologi dan iklim BRIN yang juga Wakil Ketua Pokja I IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menjelaskan bagaimana Global Stocktake dilakukan. “Salah satu teknologi yang akan kami terapkan adalah penggunaan citra satelit penginderaan jauh karena dinilai transparan,” katanya pada diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu, 20 Desember, 2023.

Berdasarkan Paris Agreement, berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon termasuk indonesia

Diskusi tersebut dipandu oleh moderator Dr. Andi Eka Sakya, Sekretaris CTIS yang juga Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi & Geofisika (BMKG).

Berdasarkan Paris Agreement, semua negara menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), berupa kontribusi masing-masing negara untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia menyusun  NDC dengan target cukup tinggi, yaitu pada tahun 2030 Indonesia mampu menurunkan emisi sebesar 31,89%  lewat  upaya mandiri atau mencapai 43.2% dengan kerjasama Internasional.

Menurut Edvin, semua komitmen NDC dari masing masing negara akan dikaji secara ilmiah, apakah target tercapai atau tidak. Kajian ini disebut Global Stocktake yang menjadi salah satu konsensus pada COP28 Dubai. Tujuannya untuk menghitung seberapa jauh progress penurun emisi karbon sesuai target NDC masing masing negara.  Lewat program global stocktake ini dapat diketahui kegiatan adaptasi, mitigasi dan pengukuran pendanaan yang diterapkan.  Kajian itu dilakukan IPCC dan akan dilaporkan pada UNFCCC  untuk ditetapkan pada COP berikutnya.

IPCC adalah lembaga ilmiah yang berhimpun sedikitnya 2000 pakar Dunia.  Mereka harus netral guna menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada UNFCCC.  Dari 2000-an pakar Dunia tadi terdapat 21 pakar dari Indonesia dan salah satunya menjabat sebagai Wakil Ketua Pokja I IPCC, yaitu Professor  Edvin Aldrian.

Indonesia telah menyusun strategis pengurangan emisi karbon
Petugas Manggala Agni memadamkan api kebakaran hutan di Riau. (Dok KLHK)

Selain Global Stocktake, COP28 juga menghasilkan konsensus untuk dimulainya pengakhiran penggunaan energi fosil. Targetnya juga cukup ambisius, yaitu mengurangi penggunaan energi fosil dari 100 juta barel ke hanya 30 juta barel saja.  Namun negara berkembang masih belum puas, karena dalam Keputusan COP28 tidak dimunculkan sistem pendanaan untuk transisi energi ini.  Indonesia sudah lebih maju karena ada dukungan Negara-negara maju dan Perbankan Internasional sebesar 20 miliar dolar AS untuk program transisi energi di Indonesia, yang dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).  COP28 juga menyepakati dukungan pendanaan sekitar 700 juta dolar AS untuk memperkuat ketahanan pangan global menghadapi perubahan iklim.

Anggota CTIS, Profesor Harijono Djojodihardjo menggaris bawahi tentang kesenjangan teknologi yang dimiliki negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement.  Sangat disayangkan bila keputusan keputusan COP justru memperlebar jurang  antara negara negara maju dan negara negara berkembang.  “Teknologi dan pendanaan harus dibagi rata secara berkeadilan, karena kita bersama akan menyelamatkan Bumi,” tegas Harijono.

Anggota CTIS yang lain, Fathor Rahman lebih menyoroti pada program transisi energi di Indonesia dari energi fosil kepada energi terbarukan guna mendukung target NDC.  Ia memperkirakan akan terjadi destruksi ketahanan energi listrik Indonesia apabila proses transisi energi tidak dilakukan secara hati-hati, mengingat Indonesia juga sedang membangun dan bertumbuh menjadi negara maju pada tahun 2045. ***

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1787508519/diskusi-ctis-hitung-global-stocktake-karbon-ipcc-gunakan-teknologi-satelit

Categories
Domestic S&T News

Bio Avtur dan Minyak Solar Hijau Dikembangkan Para Ahli Indonesia, Dukung Aksi Pengendalian Perubahan Iklim

Para ahli Indonesia ternyata sudah mampu membuat bahan bakar untuk pesawat terbang dengan mencampurkan avtur yang berasal dari minyak tanah dengan Refined Bleach Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yaitu hasil pemrosesan inti bijih minyak sawit (kernel).

Lewat bantuan katalis kimia yang tersedia di tanah air, berhasil pula dibuat minyak solar yang 100% hasil pengolahan dari Used Vegetable Oil (UVO), yang dikenal sebagai minyak goreng bekas atau minyak jelantah.

Selain dapat mengurangi emisi karbon, menghasilkan “Energi Hijau”, ini juga bisa mengurangi impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan di dalam negeri.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 11 September 2024.

Berbicara dalam diskusi yang bertema “Teknologi Katalis Untuk Pengolahan Used Cooking Oil (UCO) menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)” adalah pakar Kilang Pertamina Internasional, Ir Djatmiko Darmo Saputro dan Ir Wawan Rustyawan. Bertindak sebagai moderator, Peneliti Senior BRIN, Dr Arie Rahmadi.

Djatmiko menjelaskan bahwa kilang-kilang Pertamina yang ada sudah mulai mencoba membuat minyak solar dari bahan bakar nabati sejak tahun 2014 lalu. Upaya ini diawali di kilang Pertamina Dumai, dengan campuran 7,5% minyak sawit olahan.

Kemudian pada tahun 2020, kilang Pertamina di Plaju berhasil membuat Green Gasoline, atau Bensin dengan campuran 20% minyak sawit olahan.

Bio avtur telah dikembangkan sebagai respons terhadap perubahan iklim
Pertamina sedang mengisi avtur untuk pesawat terbang komersial di Bandara Ahnad Yani Semarang. Saat ini telah dikembangkan bio avtur untuk merespons dampak perubahan iklim. (dok Pertamina)

Pada Desember 2020, kilang Pertamina di Cilacap berhasil membuat Bio Avtur untuk menggerakkan mesin pesawat terbang, dengan komposisi 98% Avtur dan 2% RBDPKO.

Akhirnya, pada Oktober 2021 Bio Avtur produksi kilang Pertamina Cilacap berhasil diuji-coba pada pesawat terbang CN-235 buatan PT. Dirgantara Indonesia. Bio Avtur dengan nama J-2.4 terdiri dari 2,4% RBDPKO dan 97,6% Avtur dari minyak tanah.

Selanjutnya, pada Oktober 2023, Bio Avtur hasil kilang Cilacap berhasil pula di uji-coba pada pesawat Boeing 737 milik Garuda Indonesia.

Tidak itu saja, dari Used Vegetable Oil (UVO), atau dikenal dengan minyak jelantah, berhasil diolah menggunakan katalis yang tersedia menjadi produk Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau minyak solar yang 100% dibuat dari minyak jelantah.

Saat KTT negara negara G-20 di Bali, November 2022 lalu, produk minyak solar Pertamina dari bahan baku 100% minyak jelantah tadi berhasil didemonstrasikan sebagai BBM penggerak mesin mesin Diesel.

Indonesia semakin menancapkan pengaruhnya sebagai negara penghasil “Green Energy” yang mulai diperhitungkan Dunia.

Kedepannya, kilang kilang Pertamina akan ditingkatkan kemampuannya agar bisa memproduksi lebih banyak lagi minyak solar dan bio-avtur dari minyak jelantah dan dari inti minyak sawit.

Pertamina memproyeksikan bahwa pada tahun 2026, dengan kilang minyak yang lebih modern maka kilang di Cilacap akan mampu memproduksi minyak solar dari minyak jelantah, sebesar 6 juta barrel perhari. Sedang kilang di Plaju ditargetkan mampu memproduksi 20 juta barrel minyak solar dari bahan baku minyak sawit.

bio solar atau minyak solar hijau telah dikembangkan di indonesia
Bio Solar B 30 terbuat dari bahan dasar yang terbentuk dari tumbuhan. (dok Pertamina)

Dalam diskusi, muncul permasalahan tentang ketersediaan bahan baku minyak jelantah harus diperoleh dari mana? Peneliti dari Traction Energy Asia menyampaikan bahwa potensi minyak jelantah di Indonesia mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun.

Tinggal sekarang, perlu dibuat kebijakan untuk mengumpulkan minyak jelantah tadi dan penetapan tempat tempat penampungannya.

Juga, perlu ditetapkan harga patokan minyak jelantah yang sesuai, karena minyak jelantah juga harganya tinggi bila di ekspor, mengingat kualitas minyak jelantah dan minyak sawit sangat mirip untuk menghasilkan minyak solar penggerak mesin diesel.

Peserta diskusi juga mengusulkan kiranya dalam kegiatan riset dan uji coba ini dapat dilibatkan para ahli di luar Pertamina, seperti para ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Seperti untuk uji coba penggunaan bahan baku kepuh (Sterculia foetida), nyamplung (Calophyllum inophyllum), jarak pagar (Jathropa curcas) dan kopra.

Apalagi, saat ini telah tersedia beragam kebijakan yang mendukung kegiatan riset dan inovasi, seperti UU No.11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang mewajibkan BUMN mendukung kegiatan riset dan inovasi. Juga tersedia kebijakan pengurangan pajak hingga 300% bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan riset.

Adapula dana riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kegiatan riset hilir mengarah pada produk industri. ***

sumber : https://forestinsights.id/bio-avtur-dan-minyak-solar-hijau-dikembangkan-para-ahli-indonesia-dukung-aksi-pengendalian-perubahan-iklim/