Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Mampu Angkut Barang Seberat 60 Ton, Balon Udara Flying Whale Hemat Biaya Logistik di Indonesia

Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan. Pemanfaatan sistem logistik ini akan menghemat dan meningkatkan efisiensi di Indonesia. Demikian dibahas pada diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 26 Juni 2024.

Berbicara pada diskusi tersebut Ir Teguh Wibowo, alumnus ITB Bandung yang juga Perwakilan Flying Whales di Indonesia,  dengan moderator Dr Agustan, Ketua Komite Penginderaan Jauh CTIS, alumnus ITB dan Universitas Nagoya, Jepang.  Sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, Indonesia telah membangun sistem logistik darat, laut, udara yang didukung dengan sistem komunikasi Palapa Ring.

 Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan

Teguh Wibowo menjelaskan biaya logistik di Indonesia sangat tinggi sebagai dampak dari luasnya wilayah Indonesia. Sekitar 14% dari PDB, walaupun sudah turun dari sekitar 24% PDB pada 10 tahun lalu.  Sebagai perbandingan, biaya logistik di negara lain berkisar 9%-12%.

Terlebih bila harus menjangkau wilayah terluar, terdepan dan terbelakang di Kepulauan Nusantara yang infrastrukturnya belum sepenuhnya terbangun.  Kondisi serupa pun sebenarnya banyak dijumpai di berbagai negara.  Menyadari akan hal tadi, Teguh menjelaskan, pada tahun 2012 lalu, sekitar 50 industri penerbangan di dunia bergabung untuk merancang-bangun sebuah sistem pesawat terbang balon udara yang mampu mengangkut barang hingga bobot 60 ton.

Balon udara pengangkut barang tadi diberi nama LCA60T Setelah dilaksanakan studi kelayakan selama 5 tahun termasuk pendanaannya, kurun 2012-2017,  maka pada tahun 2017 lalu dimulai rancang-bangun balon udara angkut logistik tadi yang diberi nama Flying Whales, atau Ikan Paus Terbang.   Balon udara ini memiliki panjang 200 meter dan mampu mengangkut barang berukuran  96 meter X 8 meter X 7 meter.

Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan. Pemanfaatan sistem logistik ini akan menghemat dan meningkatkan efisiensi
Flying Whales (dok flying whales)

Balon udara ini memiliki 14 ruangan yang diisi gas Helium (He), suatu unsur kimia yang sangat ringan sehingga bisa terbang sekaligus mampu mengangkat suatu benda.   Sebagai penggerak, Flying Whales, menggunakan mesin propulsi dengan  7 baling baling yang memungkinkan balon udara ini terbang dengan kecepatan 100 Km per jam, mencapai ketinggian maksimum 3.000 meter dan radius terbang hingga 1.000 kilometer.  Saat ini, tahapan rancang-bangun dan konstruksi tengah berlangsung.  Diharapkan, Flying Whales, akan uji terbang perdana pada tahun 2026 nanti, untuk kemudian masuk ke jalur produksi dan sertifikasi pada tahun 2027.

Teguh menjelaskan bahwa pabrik LCA60T akan dibangun  di tiga negara, yaitu Perancis, Kanada dan Australia.   Direncanakan, pada tahun 2035 nanti sudah akan berdiri 160 pangkalan jasa LCA60T, Flying Whales di seluruh Dunia, 46 diantaranya di wilayah Asia Pasifik.  Sebanyak enam Pangkalan Flying Whales direncanakan akan dibangun di pulau Jawa, Sumatera,  Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.  Ini akan menjawab permasalahan pengiriman logistik ke wilayah terpencil, seperti angkutan peti kemas langsung dari kapal ke lokasi tujuan tanpa harus berhenti di pelabuhan.

Flying Whales juga bisa untuk mengangkut material pembangunan seperti menara listrik, baling baling Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, ataupun mengangkut kayu log dari hutan dipedalaman ke lokasi penimbunan.  Wilayah Nusantara yang rawan bencana juga akan membutuhkan kemampuan pengangkutan rumah sakit lapangan yang siap dioperasikan dan jawabannya ada di Flying Whales ini.

Pada diskusi CTIS tadi, diusulkan kiranya wilayah Indonesia bisa dipakai sebagai lokasi uji-coba balon terbang Flying Whales ini sekiranya produk teknologi tinggi ini selesai di produksi pada tahun 2027.  Selain implementasi jasa logistik, kiranya pihak Flying Whales bisa bekerjasama dengan pabrik pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia  yang sudah memiliki kemampuan untuk membuat komponen komponen pesawat, guna membangun balon terbang, Flying Whales ini di Indonesia, guna mengisi pangsa pasar Asia Pasifik. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788273368/mampu-angkut-barang-seberat-60-ton-balon-udara-flying-whale-hemat-biaya-logistik-di-indonesia

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bio-Arang, Bio-Sintetis Gas dan Turunannya Menuju Energi Hijau di Indonesia

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal yang dihasilkan dari beragam pasokan bahan baku biomassa.

Dari padanya kemudian dapat diproduksi beragam turunnya,  seperti bio-sintetis gas untuk menggantikan peran gas LPG.

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu19 Juni 2024.  Berbicara pada Diskusi berjudul “Smart City Decarbonization”  adalah Co-Founder & CEO After Oil.id, Rifo Romello, dengan moderator Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi yang juga mantan Deputi Menristek.

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal
Ir. Rifo Romello (No.3 dari kanan) pada Diskusi Center fot Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 19 Juni 2024

Rifo Romello mengawali paparannya dengan memperlihatkan data konsumi gas LPG di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Pada tahun 2013, konsumsi gas LPG kita mencapai 5,6 juta ton, dan tahun 2023 sudah mencapai 8,7 juta ton.  Di samping 80% LPG harus di impor, ini menyerap 56% subsidi energi pertahunnya. Gas LPG tadi juga mengemisikan gas CO2 yang berdampak pada perubahan iklim global.

Harus ada upaya mencari alternatif untuk mengurangi konsumsi gas LPG, mengurangi impor, yang berarti juga menghemat devisa kita.

Rifo menawarkan penggunaan bio-charcoal untuk mengganti penggunaan gas LPG dan bisa diproses lagi menjadi beragam produk seperti bio-sintetis gas.

Sebenarnya, unsur kimia energi fosil dan energi biomassa tidak lah terlalu berbeda.  Komponen energi fosil terdiri dari Hidrogen (H) dan Karbon (C), sedang komponen energi biomasa terdiri dari H, C dan Oksigen (O).

Agar tidak terjadi kompetisi sumberdaya biomasa untuk pangan terhadap untuk energi, maka perlu dibuat aturan penggunaan lahannya.  Lahan subur digunakan untuk produksi pangan, sedang lahan tidak subur dan lahan kritis dapat ditanami pepohonan untuk pasokan energi biomasa.

Oleh sebab itu, Uni Eropa sampai menetapkan 17 jenis biomasa yang dapat digunakan sebagai energi, dari sekam padi, limbah pohon sawit, limbah produk kehutanan hingga sampah perkotaan.

Dari pasokan beragam jenis biomasa tadi  kemudian dapat diproduksi bio-charcoal atau bio-arang dalam bentuk pellet, yang memiliki panas hingga diatas 7000 kalori, untuk energi biomasa.

Rifo menegaskan bahwa sudah saatnya, usaha-usaha UMKM, juga warung-warung,  rumah-rumah makan dan pedagang makanan keliling mulai mengalihkan penggunaan bahan bakarnya dari LPG 3 kg ke bio-arang.  Ini akan menghemat biaya, sekaligus mengurangi impor LPG dan menghemat devisa.

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal
briket arang (dok  rumahsabut.com)

Pada tahapan berikutnya, Rifo menawarkan pengolahan produk dari bio-arang menjadi bio-sintetis gas.  Ini berarti, tabung-tabung gas bekas LPG tidak lagi diisi gas LPG namun bisa diisi oleh  bio-sintetis gas berbahan baku biomasa. Kembali lagi, devisa untuk impor gas LPG bisa dihemat.

Dari produk bio-sintetis gas tadi, bisa diolah lebih lanjut lagi menjadi bio-methanol, bio-gasoline, green diesel dan bio-jet.  Kemudian, turunannya lagi bisa menghasilkan Reformed Methanol Fuel Cell (RMFC) bagi gas hidrogen untuk menggerakkan mobil listrik.  Juga bisa menghasilkan Reformed Dimethyl Ether Fuel Cell (RDMEFC), suatu bentuk gas hidrogen untuk menggerakan kendaraan listrik dan lebih mudah diangkut dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Karya Rifo Romello dan kawan-kawan telah menarik perhatian lembaga lembaga riset di luar negeri dan mendapatkan penghargaan Juara 1 Climate Impact Innovation Challenge yang digelar Temasek Foundation, Singapura.   Juga masuk Top 5 The World’s  Most Innovative Changemaker dari Standford University, AS. ***

Sumber: https://forestinsights.id/bio-arang-bio-sintetis-gas-dan-turunannya-menuju-energi-hijau-di-indonesia/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bantu Kendalikan Perubahan Iklim, Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Makin Berkembang

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi. Saat ini  pemanfaatan panas bumi sekitar 2000 MW saja.

Guna meningkatkan pemanfaatkan energi panas bumi di Indonesia, perlu dipertimbangkan tiga hal. Pertama layak secara teknis, kedua secara ekonomis menguntungkan, dan ketiga adanya regulasi yang ramah investasi.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) Tentang “Tantangan Penggunaan Teknologi Konvensional di Geothermal”, Rabu, 6 Maret, 2024.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Dr. Arcandra Tahar (Duduk No.2 dari Kanan), Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Tentang Teknologi Geothermal, Rabu, 6 Maret 2024.

Berbicara dalam diskusi CTIS tersebut, Dr. Arcandara Tahar, mantan Menteri dan Wakil Menteri Energi & Sumberdaya Mineral. Diskusi dimoderatori Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Priyanto yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Arcandra menegaskan bahwa salah satu sumber energi ramah lingkungan dan berpotensi mengurangi dampak perubahan iklim adalah geothermal atau panas bumi.   Lapisan kerak bumi yang panas, dikenal sebagai “Hot Rocks” menghasilkan uap air, antara lain, digunakan sebagai tempat pemandian air panas.

Untuk skala besar, uap geothermal digunakan untuk memutar turbin dan membangkitkan Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). Di tahun 2023, 60% energi panas bumi digunakan untuk pemanas dan sisanya untuk pembangkit listrik, menghasilkan listrik sekitar 16.000 MW. Pada tahun 2050, diperkirakan sekitar 80% energi geothermal akan digunakan untuk pembangkit listrik. Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, Turki, dan Selandia Baru adalah beberapa negara yang sudah memanfaatkan geothermal untuk pembangkit listrik. Sementara China, Turki, Jepang dan Islandia memanfaatkan geothermal untuk pemanas.

Pemanfaatan geothermal untuk energi memerlukan inovasi.  Arcandra menegaskan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah menghitung seberapa besar cadangan terbukti (proven reserve) dari besaran potensi energi geothermal yang diprakirakan.  Berbagai pemboran eksplorasi, survey geologi maupun survey geofisika diperlukan guna menghitung seberapa besar uap air yang dihasilkan agar dapat memutar turbin dan menghasilkan listrik.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Pertamina Geothermal Energy. (Dok Pertamina)

Sebuah reservoir panas bumi dapat dikembangkan apabila memiliki panas di atas 120 derajat Celcius, lokasi reservoir yang dangkal serta tingkat permeabilitas yang besar, yaitu tingkat kelolosan uap air yang mampu melewati celah-celah batuan di reservoir, dengan ukuran permeabilitas diatas 10 darcy-meter. Semakin tinggi angka permeabilitas maka semakin mudah uap air untuk mengalir.

Lokasi reservoir diupayakan sedangkal mungkin karena menyangkut biaya pemboran yang semakin mahal bila semakin dalam.  Temperatur akan naik sekitar 30 derajat Celcius per-kilometer.  Berarti, untuk mendapatkan temperatur diatas 120 derajat Celcius, diperlukan pengeboran sedalam 4 kilometer, atau 4000 meter.

Mempertimbangkan syarat reservoir geothermal yang harus memiliki temperatur di atas 120 derajat Celcius, tingkat permeabilitas batuan diatas 10 darcy-meter dan lokasi reservoir yang dangkal, maka ternyata hanya 0,6% reservoir panas bumi di Dunia yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi melalui penerapan teknologi konvensional geothermal yang ada saat ini.  Oleh sebab itu, hitung-hitungan dari potensi sumber daya panas bumi untuk menjadi cadangan terbukti (proven reserve) menjadi sangat penting agar dapat ditentukan tingkat keekonomiannya.

Menurut Arcandra para ahli geothermal Dunia saat ini tengah memutar otak guna mengembangkan energi panas bumi tanpa tergantung keberadaan gunung api lagi.  Yang penting dicari adalah keberadaan “Hot Rocks” di kerak Bumi.

Para ahli mengkaji data dari  45.000 sumur pemboran migas di seluruh Dunia guna menentukan lokasi lokasi berpotensi hot rocks untuk pembangkit listrik.  Dicobakan penerapan Advanced Geothermal System (AGS) dengan melakukan pemboran batuan di lapisan kerak bumi tadi guna mendapat batuan panas bertempartur tinggi di kedalaman, lalu dialirkan fluida ke arah batuan panas tadi sehingga memproduksi uap guna memutar turbin dan membangkitkan tenaga listrik.

Ada juga Enhanced Geothermal Systems (EGS) dengan cara melakukan pemboran ke kerak bumi, hingga diperoleh batuan panas di kedalaman, kemudian dimasukkan air ke lubang sumur pemboran tadi agar menghasilkan uap air, lalu melalui saluran pipa lainnya maka uap air tadi dialirkan ke permukaan Bumi guna dipakai untuk memutar turbin pembangkit listrik tenaga panas bumi.  Dengan demikian, potensi panas bumi tidak lagi harus bergantung pada panas dan uap air dari sumber gunung api, melainkan bisa dari sumber batuan panas di lokasi lapisan batuan dimana saja di Bumi.

Istilah “Geothermal Anywhere” pun muncul.  Selama kerak Bumi panas, maka pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat dihasilkan di lokasi mana saja dimuka Bumi.  Perkembangan teknologi mutakhir pemanfaatkan panas bumi tadi diharapkan segera muncul hasilnya dan mulai operasional diterapkan pada sekitar tahun 2025 mendatang.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW. (dok Star Energy)

Indonesia memang belum memulai konsep “Geothermal Anywhere” mengingat potensi panas bumi konvensional yang dimiliki Kepulauan Nusantara ini masih sangat berlimpah.  Beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah beroperasi di tanah air, antara lain PLTP Kamojang, Jawa Barat dengan daya 235 Megawatt (MW), PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW, PLTP Darajat, Jabar dengan daya 270 MW, PLTP Gunung Salak, Jabar dengan daya 377 MW, PLTP Cibuni, Jabar dengan daya 85 MW,  PLTP Ulubelu, Lampung dengan daya 110 MW, PLTP Sarulla, Sumatera Utara dengan daya  330 MW dan PLTP Lahendong, Sulawesi Utara dengan daya 80 MW.

Mengingat riset tentang PLTP telah dilaksanakan BPPT sejak dekade 1980-an lalu, Dr. Unggul menyarankan kiranya PLTP BPPT di Kamojang dengan daya 3 MW dan PLTP BPPT Siklus Biner di Lahendong, dengan daya 0,5 MW dapat terus dipakai untuk uji coba penerapan beragam teknologi mutakhir energi geothermal, serta dipakai untuk memproduksi energi Hidrogen, selain juga bisa dipakai untuk kegiatan pengeringan produk produk pertanian guna memberikan nilai tambah produk pertanian di wilayah-wilayah tadi. ***

Sumber : https://agroindonesia.co.id/bantu-kendalikan-perubahan-iklim-pemanfaatan-potensi-panas-bumi-makin-berkembang/