Categories
Domestic S&T News

Bio Avtur dan Minyak Solar Hijau Dikembangkan Para Ahli Indonesia, Dukung Aksi Pengendalian Perubahan Iklim

Para ahli Indonesia ternyata sudah mampu membuat bahan bakar untuk pesawat terbang dengan mencampurkan avtur yang berasal dari minyak tanah dengan Refined Bleach Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yaitu hasil pemrosesan inti bijih minyak sawit (kernel).

Lewat bantuan katalis kimia yang tersedia di tanah air, berhasil pula dibuat minyak solar yang 100% hasil pengolahan dari Used Vegetable Oil (UVO), yang dikenal sebagai minyak goreng bekas atau minyak jelantah.

Selain dapat mengurangi emisi karbon, menghasilkan “Energi Hijau”, ini juga bisa mengurangi impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan di dalam negeri.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 11 September 2024.

Berbicara dalam diskusi yang bertema “Teknologi Katalis Untuk Pengolahan Used Cooking Oil (UCO) menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)” adalah pakar Kilang Pertamina Internasional, Ir Djatmiko Darmo Saputro dan Ir Wawan Rustyawan. Bertindak sebagai moderator, Peneliti Senior BRIN, Dr Arie Rahmadi.

Djatmiko menjelaskan bahwa kilang-kilang Pertamina yang ada sudah mulai mencoba membuat minyak solar dari bahan bakar nabati sejak tahun 2014 lalu. Upaya ini diawali di kilang Pertamina Dumai, dengan campuran 7,5% minyak sawit olahan.

Kemudian pada tahun 2020, kilang Pertamina di Plaju berhasil membuat Green Gasoline, atau Bensin dengan campuran 20% minyak sawit olahan.

Bio avtur telah dikembangkan sebagai respons terhadap perubahan iklim
Pertamina sedang mengisi avtur untuk pesawat terbang komersial di Bandara Ahnad Yani Semarang. Saat ini telah dikembangkan bio avtur untuk merespons dampak perubahan iklim. (dok Pertamina)

Pada Desember 2020, kilang Pertamina di Cilacap berhasil membuat Bio Avtur untuk menggerakkan mesin pesawat terbang, dengan komposisi 98% Avtur dan 2% RBDPKO.

Akhirnya, pada Oktober 2021 Bio Avtur produksi kilang Pertamina Cilacap berhasil diuji-coba pada pesawat terbang CN-235 buatan PT. Dirgantara Indonesia. Bio Avtur dengan nama J-2.4 terdiri dari 2,4% RBDPKO dan 97,6% Avtur dari minyak tanah.

Selanjutnya, pada Oktober 2023, Bio Avtur hasil kilang Cilacap berhasil pula di uji-coba pada pesawat Boeing 737 milik Garuda Indonesia.

Tidak itu saja, dari Used Vegetable Oil (UVO), atau dikenal dengan minyak jelantah, berhasil diolah menggunakan katalis yang tersedia menjadi produk Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau minyak solar yang 100% dibuat dari minyak jelantah.

Saat KTT negara negara G-20 di Bali, November 2022 lalu, produk minyak solar Pertamina dari bahan baku 100% minyak jelantah tadi berhasil didemonstrasikan sebagai BBM penggerak mesin mesin Diesel.

Indonesia semakin menancapkan pengaruhnya sebagai negara penghasil “Green Energy” yang mulai diperhitungkan Dunia.

Kedepannya, kilang kilang Pertamina akan ditingkatkan kemampuannya agar bisa memproduksi lebih banyak lagi minyak solar dan bio-avtur dari minyak jelantah dan dari inti minyak sawit.

Pertamina memproyeksikan bahwa pada tahun 2026, dengan kilang minyak yang lebih modern maka kilang di Cilacap akan mampu memproduksi minyak solar dari minyak jelantah, sebesar 6 juta barrel perhari. Sedang kilang di Plaju ditargetkan mampu memproduksi 20 juta barrel minyak solar dari bahan baku minyak sawit.

bio solar atau minyak solar hijau telah dikembangkan di indonesia
Bio Solar B 30 terbuat dari bahan dasar yang terbentuk dari tumbuhan. (dok Pertamina)

Dalam diskusi, muncul permasalahan tentang ketersediaan bahan baku minyak jelantah harus diperoleh dari mana? Peneliti dari Traction Energy Asia menyampaikan bahwa potensi minyak jelantah di Indonesia mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun.

Tinggal sekarang, perlu dibuat kebijakan untuk mengumpulkan minyak jelantah tadi dan penetapan tempat tempat penampungannya.

Juga, perlu ditetapkan harga patokan minyak jelantah yang sesuai, karena minyak jelantah juga harganya tinggi bila di ekspor, mengingat kualitas minyak jelantah dan minyak sawit sangat mirip untuk menghasilkan minyak solar penggerak mesin diesel.

Peserta diskusi juga mengusulkan kiranya dalam kegiatan riset dan uji coba ini dapat dilibatkan para ahli di luar Pertamina, seperti para ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Seperti untuk uji coba penggunaan bahan baku kepuh (Sterculia foetida), nyamplung (Calophyllum inophyllum), jarak pagar (Jathropa curcas) dan kopra.

Apalagi, saat ini telah tersedia beragam kebijakan yang mendukung kegiatan riset dan inovasi, seperti UU No.11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang mewajibkan BUMN mendukung kegiatan riset dan inovasi. Juga tersedia kebijakan pengurangan pajak hingga 300% bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan riset.

Adapula dana riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kegiatan riset hilir mengarah pada produk industri. ***

sumber : https://forestinsights.id/bio-avtur-dan-minyak-solar-hijau-dikembangkan-para-ahli-indonesia-dukung-aksi-pengendalian-perubahan-iklim/

Categories
Domestic S&T News

Manfaatkan 20 Miliar Dolar AS Dana JETP, Pengalaman Indonesia Kembangkan EBT Kunci Transisi Energi

Suhu bumi makin panas. Sekjen PBB Antonio Guterres di New York, Kamis, 28 Juli 2023, menyatakan bahwa suhu muka bumi pada Juli 2023 merupakan tertinggi sepanjang masa.  Suhu bumi tercatat 1,5 derajat Celcius diatas era Pra-Industri. Meningkatnya pemanasan global diantaranya akibat begitu banyak emisi gas rumah kaca (GRK) karena penggunaan banyak energi fosil yang mencakup batubara dan migas.

Kenaikan suhu muka bumi berakibat mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan, naiknya muka air laut, tenggelamnya pulau-pulau, kebakaran hutan dan lahan serta bencana akibat variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina.   Transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) pun menjadi pilihan utama guna menekan laju kenaikan suhu muka bumi.

Indonesia pun memiliki komitmen untuk melakukan transisi energi dan mengurangi emisi GRK hingga mencapai Net Zero Emission (NEZ) pada tahun 2060. Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi mendapat dukungan Internasional.  Pada KTT G-20, November 2022 lalu di Bali,  pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk mendukung Indonesia lewat program kemitraan transisi energi yang berkeadilan, dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).

Indonesia bisa memanfaatkan dana JETP untuk kembangkan energi baru terbarukan
PLTS Hybrid Selayar dengan kapasitas 1,3 mega wattpeak (MWp) menghemat biaya operasional Rp 16,5 miliar per tahun. (dok PLN)

Negara negara mitra sepakat untuk memobilisasi dana hingga 10 miliar dolar AS, ditambah dukungan dana 10 miliar dolar AS lagi dari perbankan Internasional, sehingga terhimpun dana total 20 miliar dolar AS (Rp310 triliun) guna dipakai untuk program transisi energi di Indonesia kurun 3-5 tahun kedepan.

Kepala Sekretariat JETP, Dr. Edo Mahendra menyampaikan progres kegiatan Sekretariat JETP sejak diaktifkan oleh Indonesia dan negara-negara mitra pada Februari 2023 lalu. Hal tu disampaikan dalam pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), yang dipimpin Ketua CTIS Dr.Wendy Aritenang dan dihadiri, antara lain, Pengawas CTIS, Profesor Wardiman Djojonegoro, Profesor Indroyono Soesilo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr. As Natio Lasman, serta Tim dari USAID-Sinar, Kamis 27 Juli 2023.

Menurut Edo, target awal JETP adalah selesainya Rencana Komprehensif JETP pada 16 Agustus 2023 mendatang untuksiap diimplementasikan.

Penyusunan rencana komprehensif ini melibatkan tiga kelompok kerja yang berkaitan dengan kelompok kerja teknis dan teknologi JETP,  kelompok kerja yang menyusun kebijakan JETP serta kelompok kerja yang merencanakan pendanaan JETP.

Juga tengah disusun beragam tema investasi, antara lain pola investasi pada transmisi dan GRID, program pensiun dini pembangkit pembangkit listrik tenaga uap, program-program EBT dan mekanisme transisi energi, termasuk rantai pasok (supply chain).

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo mengingatkan agar beragam model EBT yang sudah diterapkan di Indonesia oleh ahli-ahli Indonesia menjadi pengalaman yang bisa dimasukkan ke program transisi energi JETP. Jadi, Indonesia tidak memulai transisi energi lagi dari awal dan anggaran JETP tidak hanya digunakan untuk membiayai konsultan asing namun juga untuk insinyur-insinyur Indonesia.

Beragam model EBT yang sudah diterapkan oleh ahli-ahli Indonesia diantaranya listrik energi surya yang telah diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Sukabumi sejak 1978 lalu, juga Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Surya dan Diesel (hybrid) buatan BPPT di Baron, Yogyakarta, Program Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi buatan BPPT di Lahendong, Sulawesi Utara, Program Energi Ombak BPPT di Lombok, serta pembangkit listrik EBT yang telah beroperasi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang dan Gunung Salak, Jawa Barat serta pembangkit listrik tenaga angin 75 MW di Sidrap, Sulawesi Selatan.

Di samping itu, Indroyono menyarankan agar paket teknologi dan paket finansial dalam investasi proyek JETP dapat digabung menjadi satu paket yang memungkinkan Indonesia mendapatkan teknologi mutakhir, termasuk komponen alih teknologinya, dengan pendanaan bunga rendah.

Indonesia terus bisa kembangkan energi baru terbarukan dengan memanfaatkan dana JETP
Gardu listrik Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Gayo Lues, Aceh. (dok IBEKA)

Anggota CTIS, yang juga Profesor Oseanografi di University of Maryland AS, Profesor Dwi Susanto mengusulkan agar program energi dari arus laut bisa masuk kedalam program JETP mengingat potensi arus laut yang dimiliki Indonesia begitu besar, terutama di pulau-pulau kecil dan di kawasan timur Indonesia.

Diharapkan tiga program energi dari arus laut di Nusa Penida, Bali, di Larantuka NTT dan di Selat Alas NTB, yang saat ini tengah dirintis oleh PLN dapat segera diimplementasikan melalui program JETP.

Edo Mahendra menyambut baik masukan masukan dari para ahli CTIS dan sepakat untuk melibatkan para ilmuwan dan teknolog yang meguasai hal hal “ekonomi mikro” ini agar program program JETP bisa berlangsung sukses.

Ia mencontohkan, dalam tahap awal implementasi EBT kiranya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN – Local Content) tidak harus terlalu tinggi, baru kemudian bila volume ekonominya semakin membesar  maka TKDN dapat ditingkatkan pula secara bertahap.  ***

sumber : https://forestinsights.id/manfaatkan-20-miliar-dolar-as-dana-jetp-pengalaman-indonesia-kembangkan-ebt-kunci-transisi-energi/

Categories
Domestic S&T News

Indonesia Terus Tingkatkan Kemampuan Tangguh Bencana, Pemanfaatan Teknologi Jadi Keniscayaan

Indonesia perlu terus meningkatkan kemampuan tangguh bencana (disaster resilience) agar mampu mengurangi risiko bencana hingga seminimal mungkin.

Demikian rangkuman pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Minggu 27 Agustus 2023 lalu. Berbicara di Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Raditya Jati, Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang sistem dan strategi penanggulangan bencana di tanah air pasca tsunami Aceh 2004 lalu.

Seperti diketahui, pada 26 Desember 2004, tsunami yang dipicu gempa sesar aktif di dasar laut Pantai Barat Sumatera, berkekuatan 9,1 Skala Richter, menerjang wilayah daratan Aceh dan dampaknya merambah hingga Thailand, Bangladesh, bahkan sampai Madagaskar di Afrika Timur. Diperkirakan, bencana tsunami ini menelan korban 230.000 jiwa.

Menurut Radita Jati, sejak Tsunami Aceh, telah banyak upaya dilaksanakan Pemerintah dan masyarakat untuk memitigasi dan mempersiapkan diri bila bencana sebesar itu kembali muncul.

Dia menjelaskan berbagai langkah guna mengurangi dampak bencana, diawali dengan penyediaan data yang akurat dan berlanjut menggunakan teknologi informasi, seperti data digital geospasial, data risiko yang dikenal sebagai INARISK, Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) serta beragam data peringatan dini lainnya.

Diharapkan melalui berbagai penyediaan data yang sahih ini maka pengelolaan risiko bencana dari tahap perencanaan, mitigasi, hingga tanggap darurat, kemudian pemulihan dan rekonstruksi dapat dilaksanakan secara cepat, efisien dan berlanjut.

Raditya juga membahas tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020 – 2044 yang akan dipakai sebagai pedoman pengurangan risiko bencana di Indonesia menyongsong peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka, tahun 2045 mendatang.

Memang, dari sudut perencanaan jangka menengah dan jangka panjang, upaya mengurangi bencana telah disusun secara rapi. Namun muncul dalam diskusi tentang kesenjangan RIPB ini antara pusat dan daerah.

Indonesia terus meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana
Buoy Merah Putih yang dipasang BPPT, 14 April 2019, di area Gunung Anak Krakatau untuk memantau gejala tsunami. (BPPT)

Kesenjangan ini perlu dihilangkan mengingat ujung tombak penanggulangan bencana berada di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

Dalam diskusi yang dipandu Profesor Jan Sopaheluwakan dan Dr. Idwan Soehardi, beberapa peserta pertemuan menggaris bawahi tentang kesenjangan dari aspek perencanaan ke aspek implementasi di lapangan.

Juga dicermati berkaitan dengan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Koordinasi Lintas Kementerian/Lembaga di Pusat sendiri.

Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang mengingatkan bahwa terkadang kewenangan sektor tentang suatu permasalahan dialihkan ke institusi khusus seperti BNPB ini, namun tidak didukung oleh sarana, prasarana serta dana yang memadai. Ini bisa mengakibatkan kewenangan sektor tadi tidak berfungsi, di lain pihak lembaga yang ditugasi untuk menangani permasalahan tadi juga tidak bisa berfungsi.

Khusus berkaitan dengan upaya mengurangi resiko bencana tadi, perlu dilaksanakan arahan Presiden Joko Widodo, yaitu agar tata ruang dan perizinan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana. Presiden juga menginstruksikan agar dilakukan identifikasi resiko bencana di daerah masing masing. Serta tidak lupa, perlu disediakan anggaran yang memadai.

Wendy juga mengusulkan kiranya berbagai perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga, perlu mendapat masukan dari BNPB berkaitan dengan resiko kebencanaan, agar upaya mitigasi dapat diantisipasi sejak awal.

Sedang Dr. Idwan Soehardi mengingatkan pentingnya dibangun kembali Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang sudah beroperasi sejak 20 tahun terakhir namun saat ini terhenti. Peran detektor INA-TEWS yang terakhir adalah berhasil memantau tsunami di Laut Banda pada Maret 2022 lalu.

Indonesia terus meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana
Indonesia Tsunamy Early Warning System (InaTEWS). (Dok PT PAL)

Idwan juga menyarankan agar Tsunami Early Warning System Disaster Mitigation Research Center di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh agar tetap berfungsi untuk terus meningkatkan kemampuan Nasional dalam Deteksi Tsunami.

Dalam waktu dekat, BNPB dan CTIS akan menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang teknologi kebencanaan, guna mendapatkan beragam teknologi kebencanaan yang telah dimiliki Indonesia, seperti Rumah Tahan Gempa, Satelit SATRIA-1 untuk jaringan internet, sistem pemantauan gunung api dan teknologi kecerdasan artifisial untuk kebencanaan. ***

sumber : https://agroindonesia.co.id/indonesia-terus-tingkatkan-kemampuan-tangguh-bencana-pemanfaatan-teknologi-jadi-keniscayaan/

Categories
Domestic S&T News

CTIS Bahas Indonesia Penuhi Syarat Jadi Pemain Utama Industri Kabel Bawah Laut Dunia, Simak Sebabnya

Kemampuan nasional dalam teknologi pembuatan kabel bawah laut, survey jalur kabel laut serta penggelaran kabel-kabel bawah laut telah dikuasai ahli-ahli Indonesia.  Ditambah posisi geografis Nusantara sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, adalah suatu keniscayaan bahwa seluruh kabel bawah laut yang menghubungkan wilayah wilayah pantai timur Amerika Serikat,  Asia-Pasifik, Australia dan Eropa harus melewati perairan Indonesia ini.  Tiada kata lain, Indonesia harus menjadi pemain utama industri kabel laut dunia. Demikian kesimpulan Diskuksi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 29 November 2023.

Berbicara dalam Diskusi: ”Perkembangan Teknologi Kabel Laut di Indonesia” adalah pakar Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN), Dr Michael Andreas Purwoadi dan Dr Sasono.  Mereka telah menggeluti teknologi kabel bawah laut sejak di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada awal dekade 2000-an.

Diskusi yang dipandu  Ketua Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) CTIS, Dr Ashwin Sasongko, diawali dengan sejarah pertama kali kabel bawah laut dibangun di perairan Nusantara , yaitu pada  tahun 1871, yang  menghubungkan Darwin di Australia dengan Pulau Jawa.

Kabel bawah laut dibuat dari kabel tembaga.  Baru pada tahun  1988, kabel laut dari serta optik  jalur Trans-Atlantik, yang menghubungkan daratan AS dengan Eropa, selesai dibangun.  Purwoadi menyampaikan bahwa kabel bawah laut digunakan di sektor energi untuk distribusi listrik, antara lain untuk menghubungkan jalur transmisi listrik dari Pembangkit Listrik Energi Bayu ke para konsumer.

Ia juga menambahan, di bidang telekomunikasi, 95% transmisi data dan suara melewati kabel bawah laut, karena di nilai lebih cepat, lebih aman, lebih ekonomis dibanding sistem satelit karena kabel laut diganti sesudah beroperasi 25-30 tahun, sedang umur satelit hanya 7-10 tahun.

Walaupun  ada tantangannya pula, seperti pembangunannya  lebih lama dibanding satelit, investasi awal lebih tinggi dan ada kemungkinan kerusakan akibat bencana alam dan ulah manusia.  Kabel bawah laut juga dipakai dalam operasi industri migas lepas pantai, serta untuk pemantauan bencana alam seperti gempa bawah laut dan tsunami.

Indonesia memenuhi syarat menjadi pemain utama industri kabel bawah laut
dok Triasmitra

Kemampuan survei kabel bawah laut telah dikuasai Indonesia sejak awak dekade 1990-an, saat kapal-kapal riset BPPT Baruna Jaya mulai beroperasi.  Sebagian besar survei kabel bawah laut dilaksanakan oleh armada kapal riset BPPT Baruna Jaya dan juga dilaksanakan oleh kapal kapal Pusat Penelitian & Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), serta oleh TechnoGIS.  Kemampuan Indonesia untuk survei jalur kabel laut sudah diakui dunia Internasional.

Menurut Dr Wahyu Pandoe, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknik Baruna Jaya BPPT, hingga saat ini kontrak kontrak survei jalur kabel bawah laut terus berdatangan,  seperti survey kabel bawah laut jalur Sarawak – Singapura sejauh 720 kilometer.  Juga survei kabel seismik bawah laut jalur daratan India ke Pulau Andaman.

Dr Sasono, ahli elektronika kabel laut BRIN, menambahkan bahwa semua jalur kabel laut Internasional pasti harus melewati Kepulauan Nusantara.  Sebagai contoh, jalur kabel optik bawah laut dari Selandia Baru – Australia – AS sepanjang 15.000 Km, yang dikenal sebagai jalur kabel bawah laut Hawiki Nui, melewati perairan kepulauan Maluku dan Indonesia perlu ikut dalam kegiatan survei dan implementasinya.

Ahli-ahli Indonesia sudah menguasai kemampuan survey dan penggelaran kabel bawah laut untuk memantau gempa bumi dan tsunami didasar laut dan telah diuji coba di Pamengpeuk, Jawa Barat dan Baron DI Yogyakarta pada 2011.  Kemudian di Pulau Sertung guna memantau Gunung Krakatau pada 2019, di Pulau Sipora dan Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (2019 – 2020), serta di perairan sekitar Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.  Sedang untuk penggelaran kabel kabel bawah laut sudah bisa dilaksanakan dengan menggunakan kapal kapal Triasmitra, DABN, BMP, Persada, LTI, Nika Global Maritim dan Baita.

indonesia punya potensi besar kembangkan kabel laut
Pemasangan kabel bawah laut oleh Kapal Triasmitra. (dok Triasmitra)

Pembuatan kabel serat optik untuk digelar di bawah laut telah mulai dilaksanakan didalam negeri.  Dalam kegiatan ini,  Indonesia bermitra dengan Jerman, Korea Selatan dan Tiongkok.  Ini memungkinkan peningkatan nilai tambah semaksimal mungkin sekaligus peningkatan kandungan lokal pada pengembangan industri kabel bawah laut di tanah air.

Dengan beragam regulasi yang telah tersedia, baik tentang alur kabel dan pipa bawah laut, tentang Alur Pelayaran & Bangunan Instalasi di laut, serta telah terbentuknya Timnas  Penataan Alur Pipa dan Kabel Bawah Laut, maka sudah selayaknya Indonesia menjadi pelaku utama dalam industri kabel bawah laut dunia. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1787421456/ctis-bahas-indonesia-penuhi-syarat-jadi-pemain-utama-industri-kabel-bawah-laut-dunia-simak-sebabnya?page=3

Categories
Domestic S&T News

Pemerintah Mau Bangun PLTN, CTIS Tekankan Soal Sosialisasi

Pemerintah baru saja membentuk Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).  Tim dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan.

Pada pernyataan awal, Menko Luhut minta diperhatikannya dua hal penting yaitu lokasi tempat PLTN akan dibangun, utamanya berkaitan dengan kondisi kegempaannya, serta tingkat disiplin dan keberterimaan masyarakat terhadap teknologi canggih ini.

Menanggapi rencana pembangunan PLTN tadi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk ”Perkembangan PLTN dan Daur Bahan Bakar Nuklir”, Rabu, 31 Januari 2024. Diskusi menghadirkan narasumber, ahli teknologi nuklir dan mantan Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Professor Jarot Wisnubroto dan dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Prijanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dalam diskusi,  Jarot merujuk skenario Dewan Energi Nasional (DEN) tentang kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2060, yang akan mencapai sekitar 400 GigaWatt, atau setara 400 Milyar Watt.

PLTN akan dibangun di Indonesia, membutuhkan proses sosialisasi ke masyarakat

Sesuai Perjanjian Paris 2015 Tentang Perubahan Iklim, saat itu Indonesia sudah harus mengurangi penggunaan energi fosil hingga semaksimal mungkin menuju “Net Zero Emission”, dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi hidro, biomassa, angin, gelombang, fotovoltaik dan panas bumi.  Diprakirakan, untuk mencukupi kebutuhan 400 Giga Watt tadi perlu tambahan pembangkit listrik dari PLTN.

Skenario DEN memperlihatkan bahwa kelak pada tahun 2032,  PLTN sudah bisa mulai dioperasikan di Indonesia, walaupun Jarot menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman di berbagai negara, perioda pembangunan PLTN, dari perencanaan hingga operasional, membutuhkan waktu 10 tahun.

Secara teknologis, Jarot Wisnubroto memaparkan bahwa rancang-bangun PLTN tidaklah rumit, hampir sama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang menghasilkan uap untuk memutar turbin lalu membangkitkan generator guna menghasilkan listrik.  Hanya bedanya, uap untuk memutar turbin diperoleh dari reaktor nuklir yang dibangun dengan tingkat keamanan dan keselamatan sangat tinggi.  Generasi pertama PLTN dibangun pada dekade 1950-an.

PLTN di Indonesia akan dibangun di Babel dan Jepara, Jawa Tengah

Saat ini, PLTN yang beroperasi di dunia ada pada Generasi III+ dan IV, mengarah pada Small Modular Reactor (SMR) yang semakin efisien secara ekonomis, dengan tingkat keselamatan semakin tinggi, hanya sedikit limbah dan anti proliferasi.  Musibah PLTN di Chernobyl, Rusia tahun 1986, maupun di Fukushima, Jepang tahun 2011, adalah hasil rancang-bangun PLTN dari Generasi I.

Khusus untuk PLTN Fukushima, bencana terjadi bukan akibat gempa bumi-nya, karena memang sudah diperhitungkan kekokohan PLTN untuk menghadapi bencana gempa bumi, namun akibat tinggi gelombang tsunami yang menerjang daratan Fukushima kala itu. Simak

Saat ini telah beroperasi sekitar 440 PLTN di 30 Negara.  Di Asia Tenggara, baru Filipina yang memiliki PLTN, dibangun sekitar dekade 1970-an di Bataan, namun belum sempat dioperasikan.

Sekarang, Malaysia dan Vietnam tengah merencanakan pembangunan PLTN. Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai Negara Nuklir sejak 1956 lalu, sesudah Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke AS dan mencanangkan “Nuklir Untuk Maksud-Maksud Damai”.

Presiden RI Pertama ini kemudian mengirimkan para insinyur muda Indonesia ke University of Michigan USA untuk belajar Nuclear Engineering disana, kemudian pada tahun 1958 dibentuk Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan sepulang para insinyur nuklir Indonesia dari studi di luar negeri, dibangunlah Reaktor Atom pertama di Bandung dan mulai beroperasi tahun 1965, kemudian Reaktor Atom RA Kartini di Yogyakarta mulai beroperasi tahun 1979, sedang Reaktor Atom GA Siwabessy di Serpong Jawa Barat, dengan daya 30 MW, mulai beroperasi tahun 1987.

Ketiga reaktor atom di Indonesia tadi dimanfaatkan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Jurusan pendidikan tekologi nuklir mulai dibuka di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1977.  Kegiatan riset dan pengembangan teknologi nuklir telah berlangsung di Indonesia lebih dari 60 tahun, kesemuanya disiapkan bila kelak Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membangun PLTN.

Tiga lokasi yang berpotensi sebagai tempat dibangunnya PLTN juga sudah di survei, yaitu di Jepara, Jawa Tengah, di Pulau Bangka dan Pantai Gosong, Kalimantan Barat.  Bahkan di Bangka dan di Kalimantan Barat terdapat potensi cadangan Uranium U-235 sebagai sumberdaya pembangkit PLTN.

PLTN sangat dibutuhkan
Batuan basal dari kompleks Gunung Api Adang, Mamuju, Sulawesi Barat mengandung radioakyif berupa uranium dan torium dalam jumlah cukup tinggi. (Dok Batan)

Pada tahun 2011, saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  telah dicanangkan rencana pembangunan PLTN ini, dan digelontorkan dana Rp250 miliar untuk kegiatan  studi kelayakan, survei lokasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Dalam studi kelayakan muncul kesimpulan bahwa bahwa teknologi PLTN yang akan diterapkan harus dari Generasi III+ atau Generasi IV dan sudah dioperasikan terlebih dahulu di tempat lain. Reaktor yang dipilih adalah Small Modular Reactor (SMR) yang bisa dibangun lebih cepat, dengan daya 250 MW.  Tingkat keberterimaan masyarakat terhadap PLTN mencapai 90%  di Kalbar, 49% di Bangka, dan hanya 20% di Jepara.  Nampaknya, upaya sosialisasi perlu lebih digencarkan sekiranya PLTN akan dibangun di Indonesia.

Dr. Unggul Priyanto menanggapi bahwa guna mencapai pembangkit listrik 400 Giga Watt pada 2060 maka mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus membangun PLTN.  Apalagi, saat itu konsumsi listrik untuk mobil listrik di tanah air, semakin meningkat.

Belum lagi semangat Indonesia untuk mencapai target “Net Zero Emission” pada tahun 2060.  Peserta diskusi sepakat bahwa sebelum melangkah lebih jauh, Pemerintah perlu lebih menggencarkan  sosialisasi kepada masyarakat tentang perlu dibangunnya PLTN di Indonesia, mengingat kelangkaan tenaga listrik mungkin akan terjadi saat Indonesia memasuki era sebagai Negara Industri pada peringatan 100 Tahun Kemerdekaan NKRI, pada 17 Agustus 2045. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787675587/pemerintah-mau-bangun-pltn-ctis-tekankan-soal-sosialisasi?page=2

Categories
Domestic S&T News

CTIS dan IATI Gelar Diskusi Pemanfaatan Teknologi untuk Pemilihan Umum (Pemilu) Elektronik di Indonesia

Meski teknologi sudah tersedia, namun pemanfaatan sistem Pemilu Elektronik atau E-Voting belum akan digunakan pada Pemilu 14 Februari 2024.

Dari sebelas tahapan Pemilu, sistem Pemilu digital elektronik  baru diterapkan pada tahapan Pendaftaran Partai Politik, Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Calon Peserta Pemilu.

Tahapan-tahapan pemilu berikutnya, seperti Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Pengiriman Hasil, Tabulasi dan Penayangan Hasil, ternyata masih akan dilaksanakan secara konvensional.

Memang, ada tahapan yang menggunakan sistem pemilu elektronik, yaitu sistem e-rekapitulasi dengan mengirimkan hasil dari TPS, oleh Kepala PPS sendiri, langsung ke pusat tabulasi data. Namun, itupun hanya dipakai sebagai verifikasi, tidak bisa dipakai sebagai hasil pemilu yang sahih.

Demikian beberapa kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) bersama Ikatan Audit Teknologi Indonesia (IATI), Rabu 24 Januari 2024.

pemilu elektronik atau e-voting lebih praktis dan tidak gampang dicurangi
dok PT INTI

Dalam pertemuan yang diawali pengantar oleh Ketua IATI, Prof Hammam Riza, moderator Wakil Ketua IATI, Dr  Jarot Suroso dan pembicara Dr Andrari Grahitandaru, Ketua Cluster Teknologi Informatika dan Elektronika (TIE) IATI, berhasil dipaparkan progress penerapan E-voting yang telah dibangun sejak awal dekade 2010-an, namun baru mulai diterapkan pada E-Voting Pemilihan Kepala Desa di beberapa desa, mulai tahun 2013 lalu.

Hal ini bukan disebabkan teknologinya yang belum siap, melainkan aspek regulasinya yang belum mendukung.

Andrari menyatakan bahwa untuk penerapan E-Voting ini, minimal ada 5 komponen yang perlu diperhatikan yaitu komponen legalitas, komponen teknologi, komponen penyelenggara, komponen masyarakat dan komponen pembiayaan.

Komponen legalitas mengacu pada Putuskan Mahkamah Konstitusi No.147/PUU-VII/2009 yang mewajibkan pemilu harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.  Sedang untuk komponen elektronikanya mengacu pada UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah beberapa kali diubah, hingga terakhir menjadi UU No.1/Th.2024 Tentang ITE.

Pada penyusunan RUU Pemilu Tahun 2017 lalu, Kementerian Kominfo, ITB, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT. Inti mengadakan dengar pendapat bersama DPR RI.  Dari Hasil dengar pendapat dan beragam kajian, akhirnya disimpulkan bahwa Indonesia belum siap untuk melaksanakan Pemilu Elektronik atau E-Voting ini.

UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, akhirnya tidak memasukan sistem E-Voting ini. Yang baru bisa dicobakan hanyalah sistem e-rekapitulasi, itupun hanya untuk verifikasi yang tidak bersifat sahih.

e-voting dirintis oleh BPPT dan hingga kini terus dikembangkan
Teknologi e-Voting adalah teknologi pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Mulai dari pembuatan surat suara, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi, dan penayangan hasil otomatis secara elektronik. (Dok BRIN )

Para ahli BPPT telah merancang-bangun sistem E-Voting sejak awal dekade 2010-an.  Andrari menegaskan bahwa uji coba pertama dilaksanakan pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun 2017, yang mencakup 178 Desa di seluruh Indonesia.  Hingga tahun 2022 lalu telah diterapkan E-Voting pada Pilkades di 1.106 Desa di seluruh Indonesia.

Aspek regulasi yang dipakai adalah UU No 6 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa.  Pada tahun 2024 ditargetkan 3106 Desa akan menggelar Pilkades menggunakan E-Voting dan akan meningkat menjadi 11388 Pilkades pada tahun 2025 yad.

Lalu, apakah E-Voting sudah dapat diterapkan pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota? Andrari menegaskan bahwa sesuai UU No 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka E-Voting sudah bisa diterapkan.

Lewat E-Voting maka akurasi terjamin, berarti menjamin azas jujur.  E-Voting juga menjamin azas langsung dan umum karena Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperoleh secara Online.  E-Voting juga menjamin azas rahasia, dan sistem verifikasi pemilu elektroniknya menjamin azas jujur dan adil.

Para peserta diskusi CTIS-IATI juga sepakat kiranya sistem E-Voting ini bisa diuji-cobakan secara bertahap guna mendapatkan keyakinan dan penerimaan masyarakat yang semakin meningkat.  Hal ini menjadi penting karena melalui Sistem E-Voting ini diharapkan biaya pemilu dapat ditekan hingga maksimal 50% saja. ***

sumber : https://forestinsights.id/ctis-dan-iati-gelar-diskusi-pemanfaatan-teknologi-untuk-pemilihan-umum-pemilu-elektronik-di-indonesia/

Categories
Domestic S&T News

Kondisi Geografis Ideal, Indonesia Butuh Kebijakan Keantariksaan dan Peta Jalan Industri Persatelitan

Hampir setengah abad Indonesia menerapkan teknologi komunikasi satelit domestik. Dimulai saat Satelit Palapa A meruangangkasa pada tahun 1976 yang menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga di Dunia yang menerapkan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) sesudah Amerika Serikat dan Kanada.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang 5100 kilometer di katulistiwa, tidak mungkin negara sebesar ini hidup tanpa teknologi satelit, baik itu satelit komunikasi, satelit remote sensing maupun satelit navigasi.

Dengan semakin canggihnya teknologi satelit, semakin efisien pengoperasiannya dan biaya yang semakin murah, saat ini pengembangan teknologi satelit sudah bukan hanya domain Pemerintah saja, namun peran industri satelit swasta juga sudah bermunculan di tanah air, baik untuk ruas antariksanya maupun untuk ruas Buminya.

Namun, masih ditunggu adanya kebijakan Nasional tentang Keantariksaan dan Peta Jalan pengembangan Industri Satelit di tanah air agar potensi penerapan teknologi antariksa semakin optimal dengan investasi kemampuan sumber daya manusia yang semakin mumpuni.

Demikian ringkasan hasil pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.

Indonesia membutuhkan peta jalan keantariksaan nasional.

Diskusi CTIS menampilkan Ir. Adi Adiwoso,  Direktur Utama PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga salah seorang perintis pembangunan satelit Palapa A-1 lebih 48 tahun lalu bersama tokoh persatelitan Indonesia, Alm. Profesor Iskandar Alisyahbana.

PSN baru saja berhasil meluncurkan Satelit Satria-1, pada 18 Juni 2023 dari Tanjung Canaveral, Florida AS, dan mulai akhir 2023 nanti akan melayani 50.000 titik jaringan internet diseluruh Indonesia.

Investasi swasta yang dibenamkan untuk pembangunan Satelit Satria-1 mencapai Rp8,1 triliun, yang nantinya akan disewa oleh Pemerintah untuk melayani daerah daerah terluar, tertinggal, dan terdepan Indonesia.

Adi Adiwoso menyampaikan bahwa setelah memetik pengalaman hampir 50 tahun, investasi swasta di bidang persatelitan di Indonesia sudah semakin layak.

Satelit swasta pertama di Indonesia adalah Satelit Cakrawarta-1 yang meluncur tahun 1997.

PSN sendiri mulai meluncurkan satelit komunikasi Garuda-1 pada tahun 2000. Saat ini PSN mengoperasikan Satelit Nusantara-1 sebagai satelit Broadband Pertama di Indonesia dan tengah bersiap meluncurkan Satelit Nusantara-5.

Di samping itu, ahli-ahli Indonesia juga sudah mulai membangun satelit satelit mini secara mandiri, yang dikenal sebagai Cubesat untuk ditempatkan di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) ketinggian 500 kilometer.

Contohnya LAPAN-IPBSat untuk pertanian dan konservasi lingkungan (2013), LAPAN-A3Sat untuk remote sensing dan cuaca, ITB-Sat buatan ITB-Bandung, dan UNIBRAW Sat buatan Universitas Brawijaya Malang.

Kesemuanya ini dimungkinkan karena telah tersedianya teknologi 4.0,  termasuk teknologi Internet of  Things (IOT),  juga 3-D Printing yang memungkinkan rancang-bangun satelit dapat dilaksanakan secara cepat dan rinci.

Indonesia sukses meluncurkan satelit ke-18-nya, BRISat, di Guyana Space Center, Guyana, Prancis, pada Sabtu, 18 Juni 2016. (dok Komdigi)

Ditambah lagi, teknologi peluncur roket yang sudah sangat tersedia dengan biaya yang semakin murah.  Sebagai perbandingan, saat ini tengah dibangun jaringan satelit Starlinks yang terdiri 4000 satelit internet yang melingkupi seluruh Bumi, sehingga fasilitas internet dapat dinikmati oleh seluruh penduduk Bumi.  Untuk itu, diluncurkan 60 satelit Starlinks per-minggu menggunakan roket Falcon-9 yang komponen-komponen roketnya dapat digunakan kembali (reusable), membuat operasi peluncuran roket cukup memakan biaya 10 juta dolar AS saja.

Adi Adiwoso juga menyampaikan bahwa satelit satelit komunikasi, seperti Satelit Satria-1, juga dilengkapi sensor cuaca sehingga bisa berfungsi sebagai satelit cuaca, mengingat operasi satelit komunikasi juga berkaitan dengan kondisi cuaca, liputan awan dan kelembaban wilayah yang dicakup satelit.

Di samping itu, jaringan satelit komunikasi ini juga bisa dipakai sebagai satelit navigasi guna menentukan posisi lintang-bujur di permukaan Bumi.

Khusus untuk teknologi remote sensing, nampaknya kemampuan mengolah data remote sensing menjadi informasi, yang dianalisis guna pengambilan kebijakan, lebih penting daripada membangun satelit remote sensingnya itu sendiri.  Oleh sebab itu, aplikasi data satelit remote sensing dengan beragam perangkat lunak yang dibangun secara spesifik perlu dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.

Di tengah maraknya perkembangan teknologi satelit dan aplikasi teknologi antariksa di tanah air, ternyata Indonesia belum memiliki kebijakan antariksa Nasional dan juga belum ada Peta Jalan Pembangunan Teknologi Persatelitan di Tanah Air.

Misalnya, untuk pembangunan Bandar Antariksa (Spaceport) yang memanfaatkan lokasi geografis ideal Indonesia di katulistiwa untuk peluncuran roket antariksa, ternyata belum diketahui kemana perijinan dan regulasi bisa diperoleh.

Dewan Pengarah CTIS, Profesor Rahardi Ramelan, yang juga mantan Menteri Ristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyarankan kiranya CTIS bisa mulai merintis pembuatan butir butir rancangan kebijakan keantariksaan dan peta jalan teknologi persatelitan untuk diusulkan kepada Pemerintah.

Rahardi Ramelan juga menyodorkan UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan sebagai dasar untuk penyusunan kebijakan keantariksaan nasional. ***

sumber : https://forestinsights.id/kondisi-geografis-ideal-indonesia-butuh-kebijakan-keantariksaan-dan-peta-jalan-industri-persatelitan/

 

 

Categories
Domestic S&T News

Teknologi dan Aplikasi Drone Makin Berkembang di Indonesia, CTIS Bahas Soal Regulasi

Teknologi pesawat tanpa awak atau yang lebih dikenal sebagai Drone, berkembang amat pesat dan harganya pun sudah semakin terjangkau. Industri yang berkembang tidak hanya pada rancang-bangun pesawatnya semata.

Tetapi juga pada industri aplikasi dan perangkat lunaknya, antara lain untuk mendukung industri perkebunan, pertambangan, migas dan kehutanan, Namun regulasi penerapan teknologi drone masih belum jelas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia, mengingat hingga saat ini Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization – ICAO) belum menetapkan regulasi tentang penggunaan Drone.

Itulah butir butir kesimpulan Diskusi Teknologi Drone dan Aplikasinya di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 1 November 2023.

Berbicara pada Komite Teknologi Penerbangan CTIS adalah Ir. Heru Gunawan, insinyur penerbangan lulusan Sup-Aero, Prancis yang juga Ketua Yayasan Masyarakat Teknologi Penghijauan.

penggunaan drone di indonesia membutuhkan regulasi

Dalam Disuksi yang dimoderatori Professor Anton Adibroto dari CTIS, muncul data pasar drone Dunia pada tahun 2023 mencapai 37,5 miliar dolar AS. Sebesar 80% diantaranya ada di bidang jasa aplikasi, pasar teknologi drone-nya menguasai pangsa 16% , sedang pangsa pasar pengembangan perangkat lunaknya mencapai 4% saja.

Pertumbuhan pasar teknologi dan aplikasi drone Dunia diproyeksikan mencapai 7,1% pertahun, sehingga pasar Dunia akan menembus 54,6 miliar dolar AS pada tahun 2030. Tentu sebagian dari pasar tadi akan ditangkap Indonesia. Ini menjadi peluang. Heru memperlihatkan ragam aplikasi yang juga sudah mulai digunakan di Indonesia, seperti di bidang perkebunan sawit maupun di hutan tanaman industri.

Selain untuk memantau pertumbuhan pohon per pohon, teknologi drone juga dipakai untuk menebar pupuk, untuk menanam benih dengan cara ditembakkan ke tanah, serta untuk untuk memprediksi volume hasil panenan.

Karena yang dipantau dan diinventarisasi adalah pohon per pohon, antara pohon yang sehat dengan potensi hasil panen maskimal, maupun pohon yang tidak sehat, maka bisa diprakirakan potensi hasil panen minimal.

Semua data tadi masuk ke “Big Data” untuk kemudian dianalisis guna memproyeksikan harga komoditas tadi hingga prakiraan permodalan dari perbankan, serta prakiraan harga komoditas tadi di pasar modal.

teknologi pembuatan drone di Indonesia  semakin maju
Uji coba penerbangan perdana drone Wulung di Lapangan Udara Suparlan Batujajar, Padalarang Bandung Barat, 14 Maret 2025. (dok BRIN)

Aplikasi drone di sektor pertambangan diperlihatkankan Heru Gunawan pada eksplorasi geologi permukaan, seperti penggunaan kamera video, sensor infrared multi-spektral dan sensor Light Detection & Ranging (LIDAR), hingga eksplorasi bawah permukaan dengan menggunakan sensor Ground Penetrating Radar (GPR), airborne magnetic survey hingga gamma ray spectrometric survey.

Lewat teknologi drone di pertambangan tadi dapat dihitung seberapa besar timbunan bahan tambang yang ada, seberapa luas wilayah yang sudah ditambang hingga pemantauan kegiatan reklamasi wilayah pertambangan.

Untuk pemantauan suatu wilayah dari ketinggian, dapat digunakan Tethered Drone yang bekerja 24 jam non-stop, dengan menerbangkan drone rotor vertikal, lalu drone dihubungkan dengan kabel di darat untuk terus memasok daya baterai, sekaligus merekam gambar dan informasi guna disalurkan ke basis data di darat. Mengingat operasional drone komersial yang saat ini hanya menjangkau ketinggian 150 meter, maka belum ada regulasi yang mengatur benda terbang hingga ketinggian tadi.

Melihat semakin maraknya aplikasi drone, maka seluruh negara anggota ICAO, termasuk Indonesia, perlu duduk bersama guna menetapkan regulasi umum penggunaan drone, dengan mengedepankan faktor keamanan dan keselamatan, yang nantinya dapat dipakai sebagai rujukan pembuatan regulasi di masing masing negara anggota ICAO.

Pakar Penerbangan Universitas Bina Nusantara (BINUS), yang juga mantan ahli penerbangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Jarot Suroso, memperlihatkan ragam drone rotor karya civitas academica BINUS yang siap diterapkan diberbagai sektor pembangunan di tanah air. Direncanakan, dalam waktu dekat program hilirisasi drone di Universitas BINUS akan diusulkan untuk mendapatkan dana riset dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP). ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1787320616/teknologi-dan-aplikasi-drone-makin-berkembang-di-indonesia-ctis-bahas-soal-regulasi

Categories
Domestic S&T News

Barelang Bisa Jadi Pembelajaran Untuk IKN Nusantara, CTIS: Pembangunan Non Fisik Penting

Pembangunan Pulau Batam-Rempang-Galang (Barelang), Provinsi Kepulauan Riau, sejak 1973 bisa menjadi lesson learned untuk pembelajaran pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.

Pembangunan IKN Nusantara harus yang mencakup fokus pada skala prioritas peruntukan wilayah, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) handal, regulasi yang kondusif untuk menarik investasi dan pembangunan non-fisik, tidak hanya pembangunan sarana prasarana fisik.

 Demikian antara lain butir butir kesimpulan Diskusi yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 11 Oktober 2023.  Diskusi yang dipandu Ketua Komite Pengembangan Wilayah CTIS, Dr. Tusy Adibroto menampilkan pembicara diantaranya  Prof. Antony Sihombing dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr. Tjahjo Prionggo, mantan Direktur Perencanaan Badan Otorita Pembangunan Barelang (Opdib Barelang) dan Dr.Wicaksono Sarosa dari institusi Jasa Konsultansi Ruang Waktu.

Dr. Tjahjo Prionggo menyampaikan bahwa saat Batam mulai dibangun pada 1973 lalu, seluruh Pulau Batam, Rempang dan Galang masih berupa kawasan hutan tak berpenghuni.

Sedikit ada permukiman Desa Nelayan di pinggiran pantai.

Melalui Keppres No.41/Th.1973, Batam mulai dibangun sebagi kawasan industri, pusat perdagangan, pusat logistik dan juga merupakan destinasi wisata. Ini memanfaatkan lokasi strategis Batam di jalur pelayaran internasional dan, sesuai  “Teori Balon”  BJ Habibie sebagai Ketua Otorita Batam, maka kelebihan investasi di Singapura akan mengalir ke Batam karena luas wilayah  dan sumberdaya Singapurayang terbatas.

Pembangunan Pulau Batam-Rempang-Galang (Barelang), Provinsi Kepulauan Riau menjadikan Kota Batam sebagai kota besar di wilayah Kepri
Pembangunan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang menjadikan kota itu terus berkembang. (dok SSC Batam)

Kala itu, belum ada wilayah perdagangan bebas lain di sekitar Singapura, belum ada Johor Baru, belum ada Penang yang maju, juga belum ada Pelabuhan Internasional Malaka, belum ada Port Klang dan Kawasan Tanjung Pelepas di Malaysia, yang maju.  Kala itu, peluang untuk memposisikan Batam sebagai pusat perdagangan internasional sangat besar.

Pembangunan sarana dan prasarana di Batam, Rempang dan Galang dipacu.  Jembatan Penghubung tiga pulau Barelang selesai dibangun pada tahun 1997.  Pembangunan fisik yang pesat di Batam mengesampingkan aspek regulasinya.

Alhasil, penduduk ilegal berdatangan ke Barelang untuk mengadu nasib. Pasca reformasi 1998, dengan maraknya otonomi daerah yang menjurus ke desentralisasi kewenangan dari Pusat ke Daerah, maka terbentuk Pemerintahan Kota Batam.

Sesuai UU No.26/Th.2007 Tentang Penataan Ruang, status Batam masuk kedalam Kawasan Strategis Nasional.  Kerancuan regulasi tentang Otonomi Daerah dengan Tata Ruang pun muncul.

Ditambah lagi, regulasi tentang posisi Walikota Batam yang juga harus memimpin Badan Pengelola Kawasan Barelang yang bersifat Nasional.  Belum lagi tumpang tindih dengan regulasi yang berkaitan dengan Zona Perdagangan Bebas Barelang.  Kesemuanya ini mengakibatkan investasi di Barelang tersendat.

Dilain pihak, wilayah-wilayah perdagangan bebas di kawasan, seperti Johor Baru, berkembang pesat.  Oleh sebab itu, regulasi dan birokrasi nampaknya perlu dirampingkan agar wilayah Barelang tetap kompetitif sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi regional yang potensial.

Belajar dari pengalaman pembangunan Barelang ini maka  dalam pembangunan Ibukota Nusantara (IKN), di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur maka urusan regulasi nampaknya perlu dirapikan terlebih dahulu.

Pembangunan pelabuhan di Balerang menjadi penopang ekonomi
Pelabuhan di Batam menjadi salah satu infrastruktur ekonomi Provinsi Kepulauan Riau. (dok SSC Batam)

Dr.  Wicaksono Sarosa memaparkan UU No.3/Th.2022 Tentang Ibukota Negara yang telah dilengkapi beragam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) serta Peraturan Kepala Otorita IKN.  Keberadan IKN juga strategis, berada di tengah Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan kota masa depan yang ramah lingkungan serta smart & green city berteknologi digital.

Aspek teknologi baru, memanfaatkan Industri 4.0, harus dimunculkan pada pembangunan IKN.  Hal ini digarisbawahi oleh Professor Anthony Sihombing.  Apalagi pada kurun 2020 – 2021 muncul pandemi Covid 19 yang menyodorkan teknologi Kecerdasan Artifisial (Artifical Intelligence – AI) semakin masif pada perkembangan metropolitan modern.  Ini akan mengurangi kebutuhan ruang perkantoran, akan mengurangi keberadaan toko dan mall, didukung penggunaan sistem transportasi yang ramah lingkungan, serta jaringan telekomunikasi yang harus berteknologi mutakhir.

Ini semua perlu diantisipasi pada proses pembangunan IKN yang sedang berprogress saat ini agar muncul suatu kota metropolitan baru ditengah Negara Kepulauan Nusantara, yang akan mencerminkan Indonesia sebagai negara masa depan yang maju dan modern.

Disinilah peran SDM menjadi penting, seperti disampaikan Tjahjo Prionggo,  yang juga diamini kedua pembicara lainnya, karena apabila kesiapan SDM, utamanya SDM lokal, tidak ditingkatkan maka para penduduk lokal akan hanya menjadi penonton, tidak bisa berpartisipasi lebih aktif, akibat rendahnya tingkat produktivitas masyarakatnya.

Seperti dicontohkan beberapa wilayah pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang memiliki tingkat GDP Per-Kapita tinggi, namun ternyata ketimpangan ekonominya juga tinggi karena sebagian besar sumberdaya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok masyarakat.  Oleh sebab itu,  anggota CTIS yang juga Sekjen Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Chairil Abdini mengingatkan tentang pentingnya pembangunan non-fisik, seperti budaya lokal dan aspek sosial penduduk, disertakan di samping pembangunan fisik infrastruktur semata,  agar wilayah baru yang muncul lebih manusiawi dengan kehidupan penduduk yang lebih sejahtera dan harmonis.

Dalam rencana pembangunan IKN, jumlah penduduk IKN dipatok pada 1,9 juta orang pada tahun 2050.

Salah satu jenis pembangunan di IKN yang direkomendasikan oleh Dr. Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), adalah pembangunan Pusat Iptek Kelautan Indonesia di Kabupaten Penajam Paser Utara ini.

Sejak 2012,  BPPT dan Pemerintah Perancis telah menyusun rencana Pusat Iptek Kelautan ini, yang juga akan menjadi Pelabuhan sandar kapal kapal riset Indonesia, karena lokasinya di tengah tengah negara kepulauan Nusantara.

Program kerjasama RI – Perancis ini sudah masuk kedalam Blue Book Bappenas 2015, dan pada April 2015 lalu juga sudah ditinjau oleh Menko Kemaritiman kala itu, Indroyono Soesilo, untuk segera diimplementasikan.  Dengan ditetapkannya Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai IKN, nampaknya program Pusat Iptek Kelautan Indonesia ini dapat dibahas dan dihidupkan kembali. ***

sumber : https://forestinsights.id/barelang-bisa-jadi-pembelajaran-untuk-ikn-nusantara-ctis-pembangunan-non-fisik-penting/

 

Categories
Domestic S&T News

Pupuk Organik dari Rumput Laut Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca, Bantu Pengendalian Perubahan Iklim

Rumput laut potensial untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Selain bisa meningkatkan produktivitas tanaman, pupuk organik dari rumput laut juga bisa mendukung upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian.

Demikian terungkap saat  pertemuan Komite Pangan dan Obat, Center for Technology  &Innovasion Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 9 Agustus 2023. Pada kesempatan itu, dua praktisi rumput laut George Riswantyo dan Kevin Lovett dari Siwid Impact memaparkan kelebihan pupuk organik berbasis rumput laut.

Dipaparkan, saat ini digunakan 11 – 12 juta ton pupuk kimia pada kegiatan pertanian di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia mencapai 90% dari penggunaan pupuk secara keseluruhan.

Penggunaan pupuk kimia yang pada 50 tahun terakhir berdampak pada degradasi kualitas lahan pertanian. Lahan semakin  tidak subur, polusi pada air tanah meningkat, dan semakin ‘lapar’ pupuk kimia pada masa tanam berikutnya.  Siklus ini terus berlangsung bertahun-tahun.

Selain itu penggunaan pupuk kimi juga berdampak pada manusia. Pasalnya pupuk kimia membuat residu pada produk pertanian yang dihasilkan dan kemudian dikonsumsi manusia.

Untuk itu penggunaan pupuk organik menjadi solusi. Pilihan pupuk organik memang beragam, salah satunya dari rumput laut. Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut sangat menguntungkan karena 100% dihasilkan di dalam negeri, harga lebih bersaing disbanding pupuk kimia, dan bisa kembali menyuburkan tanah.  Konsumen juga mendapatkan produk pertanian yang lebih sehat serta jejak emisi karbon yang lebih rendah yang berarti ramah terhadap perubahan iklim.

Penggunaan pupuk cair dan pupuk padat dari rumput laut telah di ujicoba  di Desa Kutamukti, Kabupaten Karawang, Jawa Barat;  di 11 Desa di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan  dan Kabupaten Bombana, ketiganya di Provinis Sulawesi Tenggara; serta di Kabupaten Tabanan, Bali.

Untuk tanaman padi, hasil rata rata panen bisa mencapai 5,1 ton per hektare. Meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang hasil panennya hanya sekitar 4 ton per hektare. Pupuk organik dari rumput laut ini juga sudah dicobakan pada tanaman hortikultura, seperti sayur mayur dan tanaman buah buahan dengan hasil memuaskan.

Anggota CTIS, Professor Harijono Djojodihardjo menggaris bawahi tentang perlunya kebijakan Pemerintah yang menyeluruh agar penggunakan pupuk organik, seperti pupuk dari rumput laut ini bisa diterapkan secara masal.

Hal itu juga yang disarankan oleh anggota CTIS yang lain, Dr. Idwan Soehardi. Dia menyatakan perlunya dibangun ekosistem yang utuh untuk penggunaan pupuk organik dengan sub-sistem sub-sistem yang lebih jelas, termasuk ragam pupuk organik yang tepat untuk jenis tanaman yang spesifik.

Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang mendukung penggunaan pupuk organik. Apalagi dikaitkan dengan isu penurunan emisi karbon dari sektor pertanian mengingat pupuk organik, seperti dari rumput laut ini, tingkat emisi karbonnya dan “footprint” karbonnya  lebih rendah dibanding emisi karbon dari pupuk kimia.

Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut juga sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Pada Rapat Terbatas (Ratas)  Kabinet 27 April 2023, Presiden Jokowi minta agar penggunaan pupuk organik ditingkatkan dan kebijakan pupuk bersubsidi juga perlu memasukkan penggunaan pupuk organik.  Sedangkan,

Pada Ratas Kabinet 21 Juni 2023, Presiden Jokowi mendorong hilirisasi rumput laut yang produksinya mencapai 10,2 Juta ton, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen rumput laut terbesar Nomor 2 di Dunia setelah Tiongkok.

Penggunaan pupuk organik berbasis rumput laut sangat menguntungkan karena 100% dihasilkan di dalam negeri
Penggunaan pupuk cair dan pupuk padat dari rumput laut telah di ujicoba  di sejumlah wilayah di Indonesia. Dok foto : Siwid Impact

Guna lebih menggencarkan arahan Presiden Jokowi tentang penggunaan pupuk organik dan peningkatan nilai tambah produk rumput laut,  maka dalam waktu dekat akan dicobakan penggunaan pupuk cair rumput laut dan pupuk padat rumput laut dalam program peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai di Tanah Air secara lebih luas.

Di samping itu, pupuk dari rumput laut ini akan diuji cobakan di pusat pusat persemaian benih pohon yang saat ini tengah dilaksanakan di beberapa tempat di Indonesia.

Beberapa hasil pertanian dari pupuk organik rumput laut akan ditampilkan pada gelaran Festival Lingkungan Hidup, Kehutanan, Energi Terbarukan dan Sosial (LIKES) pada 15-17 September 2023 mendatang di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta. ***

sumber : https://forestinsights.id/pupuk-organik-dari-rumput-laut-pangkas-emisi-gas-rumah-kaca-bantu-pengendalian-perubahan-iklim/