Negara memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyat, salah satunya dengan membangun perekonomian berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Namun, langkah ini dinilai belum menjadi prioritas utama.
Ketua Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Wendy Aritenang, dalam diskusi yang digelar Rabu (17/9/2025), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini belum mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarak salah satu penyebabnya karena minimnya pemanfaatan iptek.

“Peran negara dalam membangun perekonomian berbasis (iptek) harus ditingkatkan, karena sektor swasta /perusahaan di Indonesia saat ini umumnya masih berorientasi jangka pendek dan disibuki berbagai kewajiban, aturan dan prosedural yang kerap berubah . Belum banyak yang berperan dalam membangun industri berbasis iptek,” ujarnya.
Wendy mencontohkan, dalam mengembangkan industri transportasi publik seperti kereta api, di sini negara harus hadir karena customernya hanya “tunggal” yaitu negara. Iptek dan industri yang menyangkut kepentingan negara seperti Hankam, Industri Pangan Pokok, Kedirgantaraan dan Antariksa , Riset Kelautan; dan sektor-sektor strategis lainnya harus diperankan oleh negara karena menyangkut NKRI, persaingan negara, dan kemandirian negara. Jadi tidak boleh dibiarkan sepenuhnya kepada swasta karena orientasinya berbeda, meskipun tentunya dimungkinkan kerjasama dan partisipasi swasta di tahap hilirnya.

Ia juga menyoroti dukungan pemerintah terhadap lembaga Iptek yang cenderung menurun, seperti terlihat dari berkurangnya support dan perhatian terhadap sejumlah lembaga yang lahir sejak era Presiden Soekarno hingga BJ Habibie dan SBY, seperti LAPAN, LIPI, BATAN, BPPT, Bapeten; dan litbang-litbang sektor yang seyogyanya diharapkan menjadi penopang Iptek nasional. “Lembaga iptek yang ada masih sangat sedikit. Indonesia sebagai negara besar seharusnya memiliki lebih banyak institusi /pusat iptek, bukan dikurangi” tambahnya.
Sejarah menunjukkan, Soekarno merancang penguasaan teknologi kedirgantaraan agar Indonesia mampu memproduksi pesawat penghubung antarpulau. Cita-cita itu kemudian diwujudkan BJ Habibie dengan pengembangan pesawat komuter, industri pertahanan, serta berdirinya PT PAL, PT PINDAD, dan PT Dirgantara Indonesia. Habibie juga memperluas iptek di sektor pangan, kelautan, dan energi.
Namun, menurut Wendy, political will dalam pengembangan iptek kini cenderung semakin meredup. Lembaga R&D yang ada bahkan sudah “dilebur” ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berubah orientasinya. “Negara harus hadir di sektor pangan dan komoditas pokok, kesehatan, pertahanan, kelautan, dan sektor strategis lainnya. BRIN jangan hanya mengurusi riset, tetapi juga harus banyak aspek pengembangan (development),” tegasnya.

Ia juga menilai di beberapa aspek adanya “back-log” peraturan dan kebijakan menyebabkan terjadinya “pembiaran” yang menyebabkan akumulasi permasalahan publik yang semakin sulit diselesaikan. Salah satunya kasus truk ODOL (Over Dimension Over Loading) yang terus berlarut. “Padahal bila sejak awal peraturan diikuti dengan benar bisa diatasi dengan optimalisasi jembatan timbang dan integrasi teknologi ETLE serta WIM (Weight-in-Motion), atau teknologi lainnya,” katanya.
Peserta diskusi menekankan dalam peningkatan peran Iptek bagi pembangunan pentingnya konsep sinergi antara pemerintah, dunia usaha, Universitas; dan pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi ini dinilai krusial untuk mendorong inovasi dan membangun ekonomi berbasis iptek yang dapat lebih memakmurkan rakyat. ***