Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bio Avtur dan Minyak Solar Hijau Dikembangkan Para Ahli Indonesia, Dukung Aksi Pengendalian Perubahan Iklim

Para ahli Indonesia ternyata sudah mampu membuat bahan bakar untuk pesawat terbang dengan mencampurkan avtur yang berasal dari minyak tanah dengan Refined Bleach Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yaitu hasil pemrosesan inti bijih minyak sawit (kernel).

Lewat bantuan katalis kimia yang tersedia di tanah air, berhasil pula dibuat minyak solar yang 100% hasil pengolahan dari Used Vegetable Oil (UVO), yang dikenal sebagai minyak goreng bekas atau minyak jelantah.

Selain dapat mengurangi emisi karbon, menghasilkan “Energi Hijau”, ini juga bisa mengurangi impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan di dalam negeri.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 11 September 2024.

Berbicara dalam diskusi yang bertema “Teknologi Katalis Untuk Pengolahan Used Cooking Oil (UCO) menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)” adalah pakar Kilang Pertamina Internasional, Ir Djatmiko Darmo Saputro dan Ir Wawan Rustyawan. Bertindak sebagai moderator, Peneliti Senior BRIN, Dr Arie Rahmadi.

Djatmiko menjelaskan bahwa kilang-kilang Pertamina yang ada sudah mulai mencoba membuat minyak solar dari bahan bakar nabati sejak tahun 2014 lalu. Upaya ini diawali di kilang Pertamina Dumai, dengan campuran 7,5% minyak sawit olahan.

Kemudian pada tahun 2020, kilang Pertamina di Plaju berhasil membuat Green Gasoline, atau Bensin dengan campuran 20% minyak sawit olahan.

Bio avtur telah dikembangkan sebagai respons terhadap perubahan iklim
Pertamina sedang mengisi avtur untuk pesawat terbang komersial di Bandara Ahnad Yani Semarang. Saat ini telah dikembangkan bio avtur untuk merespons dampak perubahan iklim. (dok Pertamina)

Pada Desember 2020, kilang Pertamina di Cilacap berhasil membuat Bio Avtur untuk menggerakkan mesin pesawat terbang, dengan komposisi 98% Avtur dan 2% RBDPKO.

Akhirnya, pada Oktober 2021 Bio Avtur produksi kilang Pertamina Cilacap berhasil diuji-coba pada pesawat terbang CN-235 buatan PT. Dirgantara Indonesia. Bio Avtur dengan nama J-2.4 terdiri dari 2,4% RBDPKO dan 97,6% Avtur dari minyak tanah.

Selanjutnya, pada Oktober 2023, Bio Avtur hasil kilang Cilacap berhasil pula di uji-coba pada pesawat Boeing 737 milik Garuda Indonesia.

Tidak itu saja, dari Used Vegetable Oil (UVO), atau dikenal dengan minyak jelantah, berhasil diolah menggunakan katalis yang tersedia menjadi produk Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau minyak solar yang 100% dibuat dari minyak jelantah.

Saat KTT negara negara G-20 di Bali, November 2022 lalu, produk minyak solar Pertamina dari bahan baku 100% minyak jelantah tadi berhasil didemonstrasikan sebagai BBM penggerak mesin mesin Diesel.

Indonesia semakin menancapkan pengaruhnya sebagai negara penghasil “Green Energy” yang mulai diperhitungkan Dunia.

Kedepannya, kilang kilang Pertamina akan ditingkatkan kemampuannya agar bisa memproduksi lebih banyak lagi minyak solar dan bio-avtur dari minyak jelantah dan dari inti minyak sawit.

Pertamina memproyeksikan bahwa pada tahun 2026, dengan kilang minyak yang lebih modern maka kilang di Cilacap akan mampu memproduksi minyak solar dari minyak jelantah, sebesar 6 juta barrel perhari. Sedang kilang di Plaju ditargetkan mampu memproduksi 20 juta barrel minyak solar dari bahan baku minyak sawit.

bio solar atau minyak solar hijau telah dikembangkan di indonesia
Bio Solar B 30 terbuat dari bahan dasar yang terbentuk dari tumbuhan. (dok Pertamina)

Dalam diskusi, muncul permasalahan tentang ketersediaan bahan baku minyak jelantah harus diperoleh dari mana? Peneliti dari Traction Energy Asia menyampaikan bahwa potensi minyak jelantah di Indonesia mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun.

Tinggal sekarang, perlu dibuat kebijakan untuk mengumpulkan minyak jelantah tadi dan penetapan tempat tempat penampungannya.

Juga, perlu ditetapkan harga patokan minyak jelantah yang sesuai, karena minyak jelantah juga harganya tinggi bila di ekspor, mengingat kualitas minyak jelantah dan minyak sawit sangat mirip untuk menghasilkan minyak solar penggerak mesin diesel.

Peserta diskusi juga mengusulkan kiranya dalam kegiatan riset dan uji coba ini dapat dilibatkan para ahli di luar Pertamina, seperti para ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Seperti untuk uji coba penggunaan bahan baku kepuh (Sterculia foetida), nyamplung (Calophyllum inophyllum), jarak pagar (Jathropa curcas) dan kopra.

Apalagi, saat ini telah tersedia beragam kebijakan yang mendukung kegiatan riset dan inovasi, seperti UU No.11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang mewajibkan BUMN mendukung kegiatan riset dan inovasi. Juga tersedia kebijakan pengurangan pajak hingga 300% bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan riset.

Adapula dana riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kegiatan riset hilir mengarah pada produk industri. ***

sumber : https://forestinsights.id/bio-avtur-dan-minyak-solar-hijau-dikembangkan-para-ahli-indonesia-dukung-aksi-pengendalian-perubahan-iklim/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Transisi Energi Menuju Energi Hijau, Indonesia Punya Banyak Potensi

Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menilai Indonesia memiliki banyak potensi untuk mendukung kebijakan Transisi Energi dari energi fosil menuju energi hijau.

Demikian terungkap saat pertemuan CTIS, di Jakarta, Rabu 7 Juni 2023.

“Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya energi untuk bergerak ke kebijakan transisi dari energi fosil menjadi energi yang lebih hijau guna mencapai target NZE 2060, namun perlu terus didukung dengan perencanaan yang rinci dan berlanjut,” demikian ditegaskan Ketua Komisi Energi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Dr. Unggul Priyanto, yang juga Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, Indonesia ditargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. NZE berarti jumlah karbon yang diemisikan dan yang diserap adalah nol.

Di sini peluang dan tantangan harus dihadapi sektor energi, karena bila tidak maka dampak perubahan iklim di Nusantara akan tak terkendali.

Fenomena perubahan iklim kini sudah terjadi seperti peningkatan suhu di permukaan, kenaikan muka laut yang mengakibatkan 1.800 kilometer garis pantai masuk kategori rentan, ditambah lagi gelombang laut ekstrim yang meningkat hingga diatas 1,5 meter, dan turunnya produksi padi di beberapa wilayah.

Dalam Pertemuan CTIS tersebut dipaparkan potensi energi hijau yang dimiliki Indonesia untuk menggantikan energi fosil, seperti energi surya, energi air, bio energi, angin, panas bumi dan gelombang laut.

Total potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini mencapai 3.686 GigaWatt, namun saat ini baru dimanfaatkan sekitar 12 GigaWatt saja.

Penggunaan energi fosil masih tetap tinggi, seperti batubara untuk pembangkit listrik mencapai 73%, belum lagi penggunaan BBM untuk sektor transportasi yang volume impornya terus meningkat dari waktu ke waktu. Indonesia dinilai sebagai penghasil emisi karbon nomor lima terbanyak di Dunia sesudah AS, Tiongkok, India dan Brazil.

Unggul Priyanto menyodorkan berbagai pilihan dalam transisi energi di Indonesia ini, seperti peningkatan efisiensi pembangkit dengan penerapan boiler super-critical dan ultra super-critical .

Juga, pembangunan pembangkit listrik di mulut tambang batubara, seperti yang sudah digagas oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sejak 30 tahun yang lalu.

Di bidang transportasi, komponen bahan bakar minyak (BBM) masih sangat besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sekitar 5% pertahun.

Ini jelas menguras devisa karena Indonesia harus mengimpor BBM sekitar 700 ribu hingga 800 ribu barel minyak bumi per hari. BBM harus dialihkan ke Bahan Bakar Gas (BBG) dan ke Bahan Bakar Nabati (BBN).

Unggul merekomendasikan perlunya dirintis pembangunan kilang minyak nabati sehingga Indonesia semakin mandiri dalam pemanfaatan biofuel.

Di sisi lain, penggunaan kendaraan listrik perlu terus didorong.

Ahli Energi Terbarukan CTIS, Dr. Arya Rezavidi menyodorkan pilihan penggunaan transportasi massal bertenaga listrik, termasuk penggunaan diesel elektrik seefisien mungkin di jalur-jalur kereta api.

Energi listrik untuk memasak juga perlu lebih dipacu untuk mengurangi penggunaan gas LPG yang bersumber dari impor dan terus meningkat. Impor LPG tahun 2016 mencapai 4,48 juta ton dengan nilai Rp20,5 triliun.

Upaya penggunaan energi listrik untuk berbagai sektor kehidupan perlu terus didorong mengingat saat ini PLN kelebihan pasokan listrik.

“Tapi itu sementara, tahun 2028 nanti kita sudah tidak ada kelebihan pasokan dan sudah harus merencanakan pembangunan pembangkit listrik lagi untuk 10 tahun kedepan,” demikian tanggapan M. Fathor Rahman, pakar Markal di CTIS.

Di sini, perencanaan perlu dibuat secara rinci dan dengan tetap berpegang pada perencanaan yang sudah disepakati. Kebijakan energi harus bersifat jangka menengah dan panjang karena investasi yang dibenamkan pada sektor ini cukup besar.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjangkau hingga tahun 2050 harus diimplementasikan dan dievaluasi secara periodik.

Teknologi Market Allocation (MARKAL) untuk perencanaan energi dan bauran energi yang telah diterapkan oleh BPPT sejak 35 tahun lalu dan sekarang terus dipakai, perlu selalu diperbaharui untuk kajian dan evaluasi secara periodik.

Ke depan, Unggul Priyanto menyatakan perlunya terus dikaji tentang penerapan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia mengingat pembangkit energi nuklir mampu menghasilkan pasokan listrik dalam jumlah besar, kontinyu dan ramah lingkungan.

Sebanyak 10% pasokan listrik dunia saat ini menggunakan energi nuklir. ***

https://forestinsights.id/2023/06/08/transisi-energi-menuju-energi-hijau-indonesia-punya-banyak-potensi/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Potensi Transisi Energi Hijau, CTIS: Perlu Didukung Perencanaan Rinci Berkelanjutan

Indonesia memiliki banyak potensi untuk mendukung kebijakan Transisi Energi untuk beralih dari energi fosil menuju energi hijau.

Demikian terungkap saat pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 7 Juni 2023.

“Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya energi untuk bergerak ke kebijakan transisi dari energi fosil menjadi energi yang lebih hijau guna mencapai target NZE 2060, namun perlu terus didukung dengan perencanaan yang rinci dan berlanjut,” demikian ditegaskan Ketua Komisi Energi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Dr. Unggul Priyanto, yang juga Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, Indonesia ditargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. NZE berarti jumlah karbon yang diemisikan dan yang diserap adalah nol.

Di sini peluang dan tantangan harus dihadapi sektor energi, karena bila tidak maka dampak perubahan iklim di Nusantara akan tak terkendali.

Fenomena perubahan iklim kini sudah terjadi seperti peningkatan suhu di permukaan, kenaikan muka laut yang mengakibatkan 1.800 kilometer garis pantai masuk kategori rentan, ditambah lagi gelombang laut ekstrim yang meningkat hingga diatas 1,5 meter, dan turunnya produksi padi di beberapa wilayah.

Dalam Pertemuan CTIS tersebut dipaparkan potensi energi hijau yang dimiliki Indonesia untuk menggantikan energi fosil, seperti energi surya, energi air, bio energi, angin, panas bumi dan gelombang laut.

Total potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini mencapai 3.686 GigaWatt, namun saat ini baru dimanfaatkan sekitar 12 GigaWatt saja.

“Tapi itu sementara, tahun 2028 nanti kita sudah tidak ada kelebihan pasokan dan sudah harus merencanakan pembangunan pembangkit listrik lagi untuk 10 tahun kedepan,” demikian tanggapan M. Fathor Rahman, pakar Markal di CTIS.

Di sini, perencanaan perlu dibuat secara rinci dan dengan tetap berpegang pada perencanaan yang sudah disepakati. Kebijakan energi harus bersifat jangka menengah dan panjang karena investasi yang dibenamkan pada sektor ini cukup besar.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjangkau hingga tahun 2050 harus diimplementasikan dan dievaluasi secara periodik.

Teknologi Market Allocation (MARKAL) untuk perencanaan energi dan bauran energi yang telah diterapkan oleh BPPT sejak 35 tahun lalu dan sekarang terus dipakai, perlu selalu diperbaharui untuk kajian dan evaluasi secara periodik.

Ke depan, Unggul Priyanto menyatakan perlunya terus dikaji tentang penerapan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia mengingat pembangkit energi nuklir mampu menghasilkan pasokan listrik dalam jumlah besar, kontinyu dan ramah lingkungan.

Sebanyak 10% pasokan listrik dunia saat ini menggunakan energi nuklir. ***

https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1786755689/potensi-transisi-energi-hijau-ctis-perlu-didukung-perencanaan-rinci-berkelanjutan