Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Langkah Indonesia Menuju Penerbangan Ramah Lingkungan

Perubahan iklim tidak hanya berdampak di darat dan laut, tetapi juga di udara. Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.

Menjawab tantangan tersebut, Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang, tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS.

“Ada dua jalur utama dalam pengembangan bahan bakar alternatif, yaitu untuk ketahanan energi dan untuk kepentingan lingkungan,” ujar Wendy.

Ia menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga mencapai net zero emission pada 2050, termasuk di sektor transportasi udara melalui pengembangan bioavtur sebagai alternatif dari avtur konvensional.

 Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.
Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk “Sustainable Aviation Fuel (SAF): Kesiapan Indonesia”, Rabu, 9 Juli 2025. Hadir sebagai narasumber, Wendy Aritenang (duduk no 2 dari kiri), tenaga ahli Indonesia di Fuel Task Group CAEP-ICAO sekaligus Ketua CTIS. (Dok CTIS)

ICAO Dorong Reduksi Emisi Penerbangan Internasional

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengendalikan emisi karbon, termasuk melalui pengembangan Carbon Emissions Calculator (ICEC) yang memungkinkan penumpang menghitung jejak emisi perjalanan udara mereka. Alat ini diakui secara internasional dan mudah digunakan.

ICAO juga menerapkan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), sebuah skema global untuk menekan emisi karbon penerbangan internasional. Melalui CORSIA, maskapai wajib mengimbangi peningkatan emisi dengan penggunaan SAF, efisiensi operasional, atau pembelian kredit karbon.

“Maskapai punya tiga opsi untuk memenuhi CORSIA: menggunakan SAF, meningkatkan efisiensi penerbangan, atau membeli kredit karbon,” jelas Wendy.

SAF: Solusi Ramah Lingkungan untuk Aviasi

Menurut Wendy, penggunaan SAF harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca minimal 50%, bahkan hingga 80% dibandingkan avtur konvensional. SAF juga wajib diproduksi dari bahan non-fosil seperti limbah pertanian, minyak jelantah, limbah hutan, atau alga.

“Tidak boleh berasal dari lahan gambut atau hutan primer,” tegasnya.

Secara teknis, SAF harus memiliki karakteristik yang mirip dengan avtur agar dapat digunakan tanpa modifikasi mesin pesawat. SAF juga wajib melalui sertifikasi dari lembaga independen untuk memastikan kualitas dan keberlanjutannya.

Sektor penerbangan menjadi salah satu penyumbang emisi karbon yang kini tengah dihadapkan pada tuntutan untuk bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.

Potensi Bahan Baku SAF di Indonesia

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan SAF. Bahan bakunya melimpah, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, nyamplung, hingga kemiri.

Dari seluruh sumber itu, kelapa sawit dan minyak jelantah menjadi bahan utama. Indonesia sendiri merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi 48,16 juta ton pada 2023. Sementara itu, produksi minyak jelantah nasional mencapai 3,9 juta ton per tahun.

“Inilah peluang Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri SAF global,” ujar Wendy.

Tantangan dan Harapan

Meski potensinya besar, harga bioavtur saat ini masih tergolong mahal dibandingkan avtur fosil. Namun Wendy menilai, investasi dalam SAF adalah langkah strategis untuk membangun industri penerbangan yang lebih hijau dan mandiri secara energi.

“Pengembangan bioavtur diharapkan bisa menjadi solusi ramah lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional,” pungkasnya. ***