Beragam hasil invensi karya anak bangsa siap di hiliriasi menjadi produk inovasi dengan nilai tambah ekonomi tinggi dengan memanfaatkan dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Demikian terungkap saat pertemuan yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 24 Mei 2023. CTIS berhasil menginventarisasi karya-karya iptek para ahli Indonesia untuk mendukung industri.
Diantaranya hasil karya Prof. Mulyowidodo Kartidjo yang memisahkan mineral Nikel yang mengandung besi, Pentlandite (Ni, Fe), menjadi Alkali Nikel, serta mineral nikel yang mengandung Magnesium (Ni, Mg), Garnierite, menjadi Alkali Cobalt, keduanya adalah bahan baku utama baterai mobil listrik.
Lalu ada Dr. Dwi Susanto, Profesor Riset University of Maryland-USA, salah satu penemu Arus Lintas Indonesia (Arlindo), mengusulkan sumber daya energi laut yang menggabungkan energi arus laut Arlindo dan energi arus pasang surut.
Dr. Arya Rezavidi memperlihatkan beragam energi laut yang pernah dikaji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sekitar 30 tahun lalu, yang perlu dibuka kembali dokumen-dokumen hasil kajian tadi, meliputi kajian energi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) di Pantai Bali Utara, energi ombak di Baron, Yogyakarta dan Energi Arus Laut di Selat Alas Lombok.
Dr. Rudy Purba memperlihatkan hasil kajian energi pasang surut dari Australian Renewable Energy Agency (ARENA) yang bisa diterapkan di Indonesia.
Ir. Heru Gunawan memperlihatkan Teknologi Drone yang bisa mempercepat penanaman dan rehabilitasi 600.000 hektare hutan mangrove di Indonesia. Hasil uji coba penanaman di Pantai Subang pada 1,5 tahun lalu, sekarang sudah menghasilkan pohon mangrove setinggi 3 meter. Karyanya menarik minat pihak United Arab Emirates (UAE) untuk bekerjasama guna menembus pasar global.
Sedang Dr. Agustan, pakar Remote Sensing dan Tim, tengah menguji coba teknologi remote sensing dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk penyusunan Standard Nasional Indonesia (SNI) guna pengukuhan kawasan hutan sesuai UU No.6/Th.2023 Tentang Cipta Kerja.
Pertemuan CTIS-LPDP
Beragam hasil iptek tadi bisa dihilirisasi secara cepat lewat fasilitasi dukungan dana program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Dari total dana abadi LPDP sebesar Rp134 triliun, tersedia Dana Abadi Penelitian sebesar Rp12,9 triliun yang dapat dipakai untuk hilirisasi beragam produk inovasi,” kata Direktur Fasilitasi Riset LPDP, Wisnu Soenarso.
Wisnu menyampaikan bahwa melalui program Rispro Invitasi LPDP maka para inventor bisa mengajukan proposal dana riset kepada LPDP sehingga produk hasil invesi bisa menjadi produk inovasi yang memiliki nilai ekonomi.
Oleh sebab itu, proposal riset yang diusulkan ke LPDP harus sudah ada komponen dukungan industrinya.
Proposal Riset dapat diusulkan kapan saja tanpa tenggat waktu namun ternyata sedikit sekali usulan proposal yang diterima LPDP untuk dievaluasi, sambung Wisnu.
Program Penelitian LPDP sudah menghasilkan 1009 produk teknologi yang siap masuk ke sektor industri, 340 penghargaan, 29 lisensi, 53 entitas bisnis baru, 2084 publikasi ilmiah dan 3983 sarjana baru.
Beberapa contoh produk teknologi yang didukung LPDP, antara lain sepeda motor listrik Gesit, mobil listrik Komodo, Bus Energi Listrik yang dipakai saat KTT G-20 Bali tahun 2022, Alat Deteksi Dini Penyakit Kanker dan masih banyak lagi.
Beragam hasil invensi karya anak bangsa siap dihiliriasi menjadi produk inovasi. (Dok Freepik)
Dalam diskusi, pakar senior CTIS, yang juga mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Profesor Wardiman Djojonegoro menyampaikan perlu dicari upaya terobosan agar para peneliti dan inventor Indonesia bergairah untuk segera menyerahkan proposal penelitiannya ke LPDP guna mendapatkan dana penelitian dan menunjang industrialisasi di tanah air.
Pakar teknologi gambut, yang juga mantan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN), Dr. Bambang Setiadi, mengharapkan kiranya produk produk inovasi yang telah memiliki nilai ekonomi tadi segera masuk ke sektor industri dan perlu dilindungi melalui kebijakan pemerintah, agar produk produk industri ini bisa tumbuh besar, berkualitas tinggi dan siap bersaing dengan produk global lainnya.
Sedang ahli geosains, yang juga mantan Deputi Menteri Ristek, Dr. Idwan Soehardi, menggaris bawahi tentang ketersediaan dana riset LPDP yang multi-tahun dengan insentif bagi peneliti yang baik, tersedia alokasi dana untuk pengadaan peralatan riset, serta alokasi dana riset untuk pengujian, standarisasi hingga publikasi hasil riset.
Ia mengharapkan semua pengadministrasian dana riset LPDP dapat dibuat sesederhana mungkin, sehingga para peneliti dan inventor penerima dana riset LPDP dapat bekerja dengan serius, tanpa terlalu terbebani dengan urusan administrasi dan birokrasi yang rumit. ***
sumber : https://agroindonesia.co.id/pertemuan-ctis-hilirisasi-hasil-invensi-bisa-manfaatkan-dana-lpdp/
Presiden Joko Widodo mendorong warga untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal karena lebih cepat dan efisien.
Hal itu dinyatakan Presiden Jokowi usai usai mencoba Kereta Cepat Jakarta – Padalarang, Rabu, 13 September 2023.
“Dengan hadirnya sistem transportasi massal, seperti Kereta Cepat, Light Railway Transportation (LRT), Mass Rapid Transportation (MRT), Kereta Railway Listrik (KRL) dan Bus Trans Jakarta, diharapkan masyarakat mau berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal yang lebih cepat dan lebih effisien ini,” kata Presiden Jokowi.
Seruan ini didukung oleh Center for Technology for Innovation Studies (CTIS) yang menilai system transportasi massal juga bisa mengatasi polusi udara.
Dr. Bambang S Pujantiyo dari Komite Transportasi CTIS, menjelaskan bahwa sistem transportasi di Jakarta memunculkan kemacetan yang parah dan menimbulkan 70% polusi udara di Ibukota.
Hal ini disebabkan panjang jalan yang terbatas, hanya sekitar 7.208 Km dengan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun dengan beragam hambatan penimbul kemacetan seperti terminal dan halte, persimpangan jalan, tempat parkir, bottleneck dan pola U-Turn.
Jalan-jalan ini dipadati 3,8 juta mobil dan 18,33 juta sepeda motor (data per-17 Agustus 2023). Idealnya, panjang jalan di Jakarta harus mencapai 12.000 Kilometer. Ini berarti panjang jalan baru 60% dari target ideal.
Belum lagi, setiap hari Jakarta “diserbu” 850.000-an penduduk Tangerang, 550.000-an penduduk Bekasi dan 600.000-an penduduk Bogor yang mencari nafkah di Jakarta.
“Nampaknya, upaya untuk mengalihkan transportasi penduduk dari kendaraan pribadi ke transportasi massal sudah sangat mendesak untuk disegerakan, kata Bambang dalam pernyataannya.
Beberapa waktu lalu CTIS telah melakukan pertemuan untuk mengkaji sistem transportasi massal di Jakarta guna menyusun rekomendasi yang sesuai untuk diusulkan kepada Pemerintah.
Dalam pertemuan itu terungkap, untuk mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi, jumlah transportasi massal juga harus dihitung dan disediakan secara tepat. Di Jakarta, MRT diharapkan mampu mengangkut penumpang antara 30.000-60.000 orang per jam, LRT bisa mengangkut 5.000-10.000 orang per jam, sedang Bus Trans Jakarta bisa mengangkut 3.000-5.000 orang per jam.
LRT bisa mengangkut 5.000-10.000 orang per jam. (dok foto : LRT Jabodetabek)
Kajian Bambang memperlihatkan bahwa ternyata interkonektivitas beragam jenis moda transportasi di Jakarta tadi masih lemah dan masih terkendala kewenangan. Misalnya, Jaringan Bus Trans Jakarta dikelola Pemprov. DKI Jakarta, Jalan Tolnya di kelola PT. Jasa Marga, sedang LRT dan MRT di kelola Perusahaan lain, sedang KA Jabodetabek dikelola PT. KAI.
Ini mengakibatkan konektivitas yang tidak terintegrasi dan berlanjut hingga berdampak sampai pada penyediaan sarana prasarana, penempatan halte bus, penempatan stasiun yang terintegrasi, hingga pada sistem jaringan telekomunkasi yang dikelola oleh beragam perusahaan.
Beberapa rekomendasi yang muncul dari pertemuan CTIS ini, antara lain, berkaitan dengan kewenangan pada sistem transportasi antar-moda tadi kiranya bisa lebih terintegrasi.
LRT dan KRL di Jakarta sudah mulai menggunakan produksi dalam negeri dengan kandungan lokal (TKDN) yang semakin meningkat. Ini progress yang menggembirakan.
Nampaknya, industri perkeretaapian di Tanah Air akan bisa lebih dikembangkan, asalkan perencanaan sistem moda transportasi ini dapat menjangkau jangka menengah hingga jangka panjang, sehingga industri perkeretaapian domestik ini bisa tumbuh secara berkelanjutan. ***
sumber : https://forestinsights.id/sistem-transportasi-massal-bisa-atasi-polusi-udara/
Roket RHan-122B sebuah lompatan teknologi dalam bidang pertahanan, telah mencapai tonggak penting dengan pendaftaran tujuh paten terkait desain dan teknologi canggihnya. Dikembangkan oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006, roket ini menggunakan bahan bakar padat komposit berbasis HTPB/AP dengan konfigurasi grain propelan ganda, hollow, dan star-7.
Hampir 60 tahun sejak Roket Kartika-1 diluncurkan Indonesia pada 14 Agustus 1964, teknologi peroketan, utamanya yang berkaitan dengan bahan bakar padat roket, sudah dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.
Inilah kesempatan untuk alih teknologi peroketan dan peningkatan nilai tambah Nasional menuju kemandirian pada program peroketan domestik, terutama di sektor industri pertahanan.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 22 November 2023.
Berbicara dalam diskusi berjudul ‘Pengembangan Peroketan Nasional: Permasalahan dan Tantangan’, adalah Mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Dr. Adi Sadewo Salatun dan dimoderatori oleh Ilmuwan Senior CTIS, yang juga mantan Kepala LAPAN Professor Harijono Djojodihardjo.
Roket RX-450 dengan bahan bakar padat roket buatan dalam negeri, diluncurkan LAPAN pada 2 Desember 2020 dan mencapai ketinggian 100 Km.
Peluncuran Roket Kartika-I yang berbobot 220 Kilogram dari Stasiun Peluncuran Roket, Pameungpeuk, Jawa Barat, dengan jarak luncur maksimum 60 kilometer itu, adalah kado HUT RI ke 19 (1964). Momen itu juga menempatkan menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di Asia sesudah Jepang, yang berhasil meluncurkan roket ke ruang angkasa.
Pada dekade 1960-an, bekerja sama dengan Jepang, LAPAN meluncurkan roket-roket jenis KAPPA yang bisa mencapai ketinggian 160 kilometer. Bahan bakar padat propelan roket KAPPA terbilang rumit karena harus disiapkan pada kondisi -18 derajat celsius. Apabila temperatur bahan bakar padat meningkat cepat sebelum peluncuran maka roket bisa meledak.
Adi menyatakan bahwa riset membuat bahan bakar padat untuk propelan roket di Indonesia dilaksanakan bertahun-tahun, karena memang ini adalah komponen yang paling rumit.
Para ahli Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk menguasai teknologi bahan bakar padat propelan roket tadi. Apalagi banyak pihak tidak ingin Indonesia memiliki kemampuan teknologi ini. Pasalnya, bila Indonesia menguasai teknologi pembuatan roket dan bahan bakar padatnya secara mandiri maka bisa membuat banyak negara khawatir, karena roket selain bisa dipakai untuk membawa muatan sensor telekomunikasi, sensor sonda telemetri atau muatan satelit juga dipakai untuk membawa hulu ledak konvensional, bahkan membawa hulu ledak nuklir.
Kerja keras para ahli Indonesia membuahkan hasil bahan bakar padat roket Hydroxy Terminated Poly Butadiene (HTPB) sebagai fuel binder, kemudian Amonium Preklorat sebagai oksidator dan Toulene Di-Isocyanate (TDI) sebagai curing agent. Sedang desain roketnya sudah mencapai desain roket diameter 320 milimeter sebagai roket RX-320, juga desain roket 450 milimeter sebagai roket RX-450.
Tentu kemampuan penguasaan teknologi tinggi ini, perlu diterapkan dan kegiatan riset peroketan harus sejalan dengan program pembangunan di Indonesia secara keseluruhan.
Peserta diskusi sepakat bahwa hasil karya monumental para ahli peroketan Indonesia ini perlu dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada 2013 – 2014 lalu, sebenarnya telah dirintis Konsorsium Roket Nasional (KRN) dengan PT. Dirgantara Indonesia membuat struktur roket, LAPAN membuat motor roket, Pindad memproduksi hulu ledak, sedang PT. Dahana menyediakan bahan bakar padatnya.
Konsorsium ini telah menghasilkan Roket RHAN-122 dengan jarak jangkau 15 kilopmeter. Pola seperti ini perlu dipacu.
Kerja sama dengan mitra internasional yang memasok roket-roket peralatan utama sistem persenjataan (alutista) TNI perlu digalang. Dimulai dengan kerja sama pengadaan bahan bakar padat karena komponen ini memiliki masa kadaluwarsa, yang apabila roket tidak digunakan maka masa pakai bahan bakar padatnya akan habis.
Banyak alutsista TNI yang menggunakan roket, seperti roket RM-70 Grad Korps Marinir TNI-AL. Ada juga roket Multilaras ASTROS TNI-AD buatan Brasil, rudal rudal Excocet TNI-AL juga menggunakan bahan bakar roket, belum lagi roket-roket yang dipasang pada pesawat pesawat tempur TNI-AU, seperti AIM-9 Sidewinder.
Kesemua roket tadi memerlukan bahan bakar padat dan Indonesia sudah menguasai kemampuan membuat bahan bakar padat ini. Awal program alih teknologi peroketan, sekaligus peningkatan nilai tambah produk nasional di bidang peroketan bisa dimulai dari sini. Apalagi, sesuai UU No.16/Th.2012 Tentang Industri Pertahanan, mewajibkan semaksimal mungkin penggunaan kemampuan Nasional dalam pembangunan alutsista.
sumber : https://forestinsights.id/telah-kuasai-teknologi-saatnya-indonesia-tingkatkan-nilai-tambah-di-industri-roket/
anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Mumpuni (dok Ibeka)
Pembangunan harus melibatkan masyarakat agar berdampak langsung terhadap komunitasnya. Masyarakat bisa berkreativitas, berinovasi dan berdampak positif. Maka dibutuhkan paradigma yang tepat untuk membangun Indonesia yang sangat luas ini.
Hal itu disampaikan oleh Tri Mumpuni, anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 12 Maret 2025.
Pelopor pemberdaya listrik di lebih dari 60 lokasi di wilayah terpencildi Indonesia memaparkan bahwa ada sebuah paradigma yang tepat sebuah transfer teknologi yang berkeadilan sosial dan berkeadilan lingkungan.
Paradigma ini dikaitkan dengan kondisi planet Bumi yang kondisinya kian memprihatinkan. Kerusakan lingkungan, bencana alam, kemiskinan terjadi dimana-mana sementara Tuhan telah menciptakan sumber daya alam luar biasa.
“Sejak Indonesia merdeka, resource yang diberikan Tuhan belum mampu memakmurkan rakyat. Banjir dimana-mana. Sudah tahu daerah sungai justru ditutup. Tempatnya tumbuh biota malah dipagar,” ugkap Tri Mumpuni.
Untuk itu paradigma yang harus dikembangkan dengan melihatkonteks Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas.
Ada lebih dari 17 ribu pulau. Ada 74.954 desa tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan wilayah Indonesia ini luasnya seperti dari Dublin (Irlandia) menuju Ankara (Turki).
“Apalagi Indonesia punya dua pantai terpanjang di dunia,” ujar pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) itu.
Paradigma yang diterapkan adalah paradigma archipelego. Yakni cara pandang dalam pembangunan wilayah kepulauan yang berbasi pada keragaman budaya, ekosistem dan kompleksitas wilayah.
Ini sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya dan ekosistem alam terbesar di dunia.
Namun yang terjadi selama ini, pembangunan wilayah Indonesia menggunakan paradigma kontinen.
Paradigma kontinen adalah cara pandang yang berbeda dengan paradigma kepulauan dalam memahami suatu wilayah.
Untuk kontinen, Indonesia menggunakan landas kontinen merupakan hak berdaulat negara untuk memanfaatkan kekayaan alam di dalamnya.
Menurut Tri Mumpuni pelaksanaan paradigma ini berdampak hingga saat ini.
“Banyak penyeragaman, padahal itu tidak perlu seragam. Padahal dengan archipelego ini walau kecil tapi unik, tapi tujuannya untuk memakmurkan rakyat,” kata Tri Mumpuni.
“The biggest mistake yang dibuat di dalam pemerintaha, tidak pernah memberikan kesempatan kepada rakyat untukmampu mengurus dirinya sendiri,” tegasya.
Semuanya diurus oleh negara dalam arti lain terjadi sentralisasi. Tri pun menyinggung soal aliran listrik untuk penerangan belum merata. Masih banyak wilayah Indonesia gelap karena tidak ada penerangan.
Masyarakat hanya menunggu kebijakan dari PLN yang notabene dari pemerintah pusat, sehingga masih banyak masyarakat yang tertinggal karena tidak ada penerangan di desanya.
Tri Mumpuni memberikan materi tentang paradigma pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Center for Technology and Inovation Studies, Rabu (12/3/2025)
Selain itu ancaman korupsi terjadi dimana-mana juga melumpuhkan sendi-sendi pembangunan. Kemudian konsep pembangunan based on monetery.Padahal dalam konsep paradigma archipelego ini pembagunan harus inklusif, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat.
“Yang selalu dipikirkan adalah pertumbuhan ekonomi maksimal. Padahal dalam pembangunan yang harus dipikirkan bagaimana kebahagiaan rakyat. Bagaimana rakyat bisa beraktivitas. Maka di sini perlu sebuah pandangan tentang techno anthropology,” tegasnya.
Bagaimana teknologi didekatkan dengankemampuan masyarakat atau rakyat. Mereka diberdayakan sehingga teknologi bisa memberikan arti positif dan benar-benar membangun kehidupan masyarakat lebih baik.
“Kenapa demikian, karena sistem pendidikan kita hanya berdasarkan mengejar prestasi, tidak disertakan dengan logic, rasa, empati atau kolbu,” kata Tri Mumpuni.
Maka dalam sistem pendidikan, otak digunakan untuk meningkatkan kecerdasan namun harus diimbangi dengan rasa. Bukan hanya pendidikan kognitif seperti yang sekarang diajarkan. Murid hanya fokus proses belajar daripada hasil belajarnya.
Penerima Ashden Award dan Ramon Magsaysay Award ini menjalankan techno anthropology dalam membangun wilayah Indonesia. Terlebih banyak wilayah Indonesia yang berada di pelosok, terpencil dan belum tersentuh pembangunan.
Ia sangat peduli dengan masyarakat di kawasan terpencil melalui pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sudah ada 60 desa lebih yang didatangi dan dibantu dengan teknologi PLTMH ini untuk penerangan. Hal itu berdampak luas bagi masyarakat yang bertahun-tahun mengalami kegelapan karena tidak ada penerangan. Kemudian mereka menikmati listrik di rumah.
Jalanan kampung-kampung menjadi terang. Masyarakat semakin meningkat dalam beraktivitas.
Pembangkit Listrk Mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Tri Mumpuni di pedalaman Indonesia. (dok Ibeka)
Beberapa upaya dalam membangun PLTMH yang ia bagikan dalam diskusi tersebut di Gayo Lues, Aceh. Desa-desa terpencil mendapatkan penerangan dari energi terbarukan tenaga mikrohidro pada 2008 dan hingga sekarang masih beroperasi.
“Masyarakat senang karena ada penerangan listrik. Masyarakat di sana terlibat mulai dari pembuatan PLTMH, membuat jalan desa dan terpenting lagi merawat PLTMH ini karena mereka merasa ikut memiliki,” jelas Tri Mumpuni.
Dalam pembangunan PLTMH ini tidak membutuhkan anggaran besar. Namun berdampak bagi masyarakat di sekitar.
Kisah serupa juga terjadi di Sumba dan Papua dalam proyek pembangunan PLTMH berbasis komunitas.
“Semua bergerak untuk membangun dan merawat hasil karya itu. Inilah konsep paradigma pembangunan yang berkeadilan karena melibatkan masyarakat dan yang menikmati masyarakat,” ujarnya lagi.
Namun di tengah pembangunan itu, Tri juga mencari anak-anak muda yang diberikan pendampingannantinya akan menjadi pioner dan champion di daerahnya dalam program Patriot Desa.
Mereka yang selama ini mengunyah pendidikan kognitif mulai dikenalkan dengan empati, rasa atau qolbu.
Dalam membimbing anak-anak muda untuk membangun Indonesia telah membuahkan hasil. Tri mencontohkan Rumah Mocaf di Banjarnegara, Jawa Tengah digawangi anak muda lulusan UGM yang memilih menjadi petani singkong dan melakukan hilirisasi teknologi dari singkong menjadi tepung mocaf pengganti terigu yang telah diekspor.
Tepung Mocaf diberi nama Rumah Mocaf ini telah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Petani singkong pun mendapatkan manfaat nilai tambah ekonomi karena awalnya singkong hanya dihargai Rp800 per kilogram. “Kini adanya tepung mocaf, harga singkong naik,” kata Tri.
Kemudian di Yogyakarta, anak muda mendirikan Agradayadengan memberdayakan petani sekitar. Anak muda dari Agradaya ini mengajari petani jahe di desanya dengan cara unik.
“Ibu-ibu diajari kalau menjual jahe tidak dengan tanahnya harganya Rp35 ribu per kg. Bila menjual jahe dalam keadaan bersih dan sudah diiris-iris harganya jadi Rp65 ribu per kg. Bila sudah menjadi bubuk jahe harganya Rp300 ribu. Ini konsep tidak bisa dilaksanakan di birokrasi. Maka percayakan pada anak-anak muda,” tegasnya.
Kemudian ada pabrik kemiri di Yogyakarta dibangun tahun 2015. Kemiri ini diekspor ke Arab Saudi dalam kondisi sudah dikupas dalam keadaan biji kemiri utuh.
Teknologi yang dikembangkan sangat sederhana yaitu biji kemiridikirim dari NTT masih terbungkus cangkang dimasukkan ke freezer dan kulkas. Setelah beku kemudian cangkangnya dipecah melalui mesin pengupas cangkang kemiri. Hasilnya biji kemiri masih utuh.
“Sekali ekspor satu kontainer seharga Rp2,3 miliar. Arab Saudi membutuhkan satu batch itu 23 ton. Pengiriman dari Yogyakarta dua kontainer, jadi sekali kirim sudah Rp4,6 miliar hanya dari kemiri saja,” terangnya.
Indonesia sebagai penghasil rempah bisa memanfaatkan peluang ekspor selain kemiri. Di Salatiga, lahir sebuah Akademi Inovasi Indonesia. Sebuah akademi yang menggratiskan biaya kuliah.
Akademi ini menerapkan kurikulum berbasis teaching factory dan project based learning. Berdirinya akademi ini karena kegelisahan anak muda melihat banyaknya pengangguran di usia produktif dan tidak mampu sekolah di perguruan tinggi.
Di akademi ini para mahasiswa bisa langsung praktek di industri. Akhirnya para alumninya mampu menghasilkan produk-produk yang diekspor terutama ke China dan membuka lapangan pekerjaan.
Di Indonesiakepemilikan rasio Computer Numerical Control (CNC) mungkin sekitar 10 ribu dan Singapura 99 ribu. Dengan adanya akademi ini, maka bisa dibayangkan desa-desa yang memakai CNC akan bertambah dan membanjiri seperti di China.
Tri Mumpuni menekankan pentingnya peran techno anthropology, yaitu pembangunan berbasis masyarakat atau sosio bisnis modern.
“Kita harus tahu persis inisiatif masyarakat, pembagunan berbasis pada masyarakat. Local community akan memberikan respect apabila pembangunan itu memberdayakan masyarakat. Dan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat,” jelasnya.
Dari sinilah maka local capasity terbangun dan local equity juga hadir . Sebab selama ini masyarakat hanya menjadi penonton. Selama ini konsep berinvestasi hanya punya penguasa dan pengusaha. Padahal rakyat pun bisa berinvestasi.
“Sehingga lahir pembangunan pro kearifan lokal. Manfaatnya capability dan local capasity bisa terlihat.Kita sebut pohon pemberdayaan. Dimana pun di dunia ada local resources dan menjadi local contribution. Itu bisa terjadi karena akarnya adalah rakyat punya motivasidan kreativitas.”
Tri Mumpuni juga menyinggung soal pupuk untuk pertanian. Selama ini keberadaan pupuk bersubsidi tergantung pada satu kontraktor. Seharusnya petani diberikan space untuk membuat pupuk secara mandiri sehingga kebutuhan selalu terpenuhi.
Sehingga pohon pemberdayaan ini kian berkembang apabila masyarakat ikut dilibatkan.
Di kesempatan diskusi tersebut, Prof Indroyono Soesilo selaku Dewan Pakar CTIS menyinggung berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh anak-anak muda dalam membangun industri dan hiirisasi teknologi.
“Apakah biayanya cukup besar? Atau di bawah Rp100 juta?”
Tri Mumpuni menjawab bahwa modal yang mereka pakai di bawah Rp100 juta. “Dengan biaya seperti itu saya kira pemerintah bisa mencontoh karena tidak perlu modal besar. Seperti pembangkit listrik di pelosok, setelah mampu menerangi desa-desa, PLN baru masuk,” kata Tri Mumpuni.