Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Manfaatkan 20 Miliar Dolar AS Dana JETP, Pengalaman Indonesia Kembangkan EBT Kunci Transisi Energi

Suhu bumi makin panas. Sekjen PBB Antonio Guterres di New York, Kamis, 28 Juli 2023, menyatakan bahwa suhu muka bumi pada Juli 2023 merupakan tertinggi sepanjang masa.  Suhu bumi tercatat 1,5 derajat Celcius diatas era Pra-Industri. Meningkatnya pemanasan global diantaranya akibat begitu banyak emisi gas rumah kaca (GRK) karena penggunaan banyak energi fosil yang mencakup batubara dan migas.

Kenaikan suhu muka bumi berakibat mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan, naiknya muka air laut, tenggelamnya pulau-pulau, kebakaran hutan dan lahan serta bencana akibat variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina.   Transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) pun menjadi pilihan utama guna menekan laju kenaikan suhu muka bumi.

Indonesia pun memiliki komitmen untuk melakukan transisi energi dan mengurangi emisi GRK hingga mencapai Net Zero Emission (NEZ) pada tahun 2060. Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi mendapat dukungan Internasional.  Pada KTT G-20, November 2022 lalu di Bali,  pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk mendukung Indonesia lewat program kemitraan transisi energi yang berkeadilan, dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).

Indonesia bisa memanfaatkan dana JETP untuk kembangkan energi baru terbarukan
PLTS Hybrid Selayar dengan kapasitas 1,3 mega wattpeak (MWp) menghemat biaya operasional Rp 16,5 miliar per tahun. (dok PLN)

Negara negara mitra sepakat untuk memobilisasi dana hingga 10 miliar dolar AS, ditambah dukungan dana 10 miliar dolar AS lagi dari perbankan Internasional, sehingga terhimpun dana total 20 miliar dolar AS (Rp310 triliun) guna dipakai untuk program transisi energi di Indonesia kurun 3-5 tahun kedepan.

Kepala Sekretariat JETP, Dr. Edo Mahendra menyampaikan progres kegiatan Sekretariat JETP sejak diaktifkan oleh Indonesia dan negara-negara mitra pada Februari 2023 lalu. Hal tu disampaikan dalam pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), yang dipimpin Ketua CTIS Dr.Wendy Aritenang dan dihadiri, antara lain, Pengawas CTIS, Profesor Wardiman Djojonegoro, Profesor Indroyono Soesilo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr. As Natio Lasman, serta Tim dari USAID-Sinar, Kamis 27 Juli 2023.

Menurut Edo, target awal JETP adalah selesainya Rencana Komprehensif JETP pada 16 Agustus 2023 mendatang untuksiap diimplementasikan.

Penyusunan rencana komprehensif ini melibatkan tiga kelompok kerja yang berkaitan dengan kelompok kerja teknis dan teknologi JETP,  kelompok kerja yang menyusun kebijakan JETP serta kelompok kerja yang merencanakan pendanaan JETP.

Juga tengah disusun beragam tema investasi, antara lain pola investasi pada transmisi dan GRID, program pensiun dini pembangkit pembangkit listrik tenaga uap, program-program EBT dan mekanisme transisi energi, termasuk rantai pasok (supply chain).

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo mengingatkan agar beragam model EBT yang sudah diterapkan di Indonesia oleh ahli-ahli Indonesia menjadi pengalaman yang bisa dimasukkan ke program transisi energi JETP. Jadi, Indonesia tidak memulai transisi energi lagi dari awal dan anggaran JETP tidak hanya digunakan untuk membiayai konsultan asing namun juga untuk insinyur-insinyur Indonesia.

Beragam model EBT yang sudah diterapkan oleh ahli-ahli Indonesia diantaranya listrik energi surya yang telah diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Sukabumi sejak 1978 lalu, juga Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Surya dan Diesel (hybrid) buatan BPPT di Baron, Yogyakarta, Program Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi buatan BPPT di Lahendong, Sulawesi Utara, Program Energi Ombak BPPT di Lombok, serta pembangkit listrik EBT yang telah beroperasi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang dan Gunung Salak, Jawa Barat serta pembangkit listrik tenaga angin 75 MW di Sidrap, Sulawesi Selatan.

Di samping itu, Indroyono menyarankan agar paket teknologi dan paket finansial dalam investasi proyek JETP dapat digabung menjadi satu paket yang memungkinkan Indonesia mendapatkan teknologi mutakhir, termasuk komponen alih teknologinya, dengan pendanaan bunga rendah.

Indonesia terus bisa kembangkan energi baru terbarukan dengan memanfaatkan dana JETP
Gardu listrik Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Gayo Lues, Aceh. (dok IBEKA)

Anggota CTIS, yang juga Profesor Oseanografi di University of Maryland AS, Profesor Dwi Susanto mengusulkan agar program energi dari arus laut bisa masuk kedalam program JETP mengingat potensi arus laut yang dimiliki Indonesia begitu besar, terutama di pulau-pulau kecil dan di kawasan timur Indonesia.

Diharapkan tiga program energi dari arus laut di Nusa Penida, Bali, di Larantuka NTT dan di Selat Alas NTB, yang saat ini tengah dirintis oleh PLN dapat segera diimplementasikan melalui program JETP.

Edo Mahendra menyambut baik masukan masukan dari para ahli CTIS dan sepakat untuk melibatkan para ilmuwan dan teknolog yang meguasai hal hal “ekonomi mikro” ini agar program program JETP bisa berlangsung sukses.

Ia mencontohkan, dalam tahap awal implementasi EBT kiranya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN – Local Content) tidak harus terlalu tinggi, baru kemudian bila volume ekonominya semakin membesar  maka TKDN dapat ditingkatkan pula secara bertahap.  ***

sumber : https://forestinsights.id/manfaatkan-20-miliar-dolar-as-dana-jetp-pengalaman-indonesia-kembangkan-ebt-kunci-transisi-energi/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Indonesia Terus Tingkatkan Kemampuan Tangguh Bencana, Pemanfaatan Teknologi Jadi Keniscayaan

Indonesia perlu terus meningkatkan kemampuan tangguh bencana (disaster resilience) agar mampu mengurangi risiko bencana hingga seminimal mungkin.

Demikian rangkuman pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Minggu 27 Agustus 2023 lalu. Berbicara di Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Raditya Jati, Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang sistem dan strategi penanggulangan bencana di tanah air pasca tsunami Aceh 2004 lalu.

Seperti diketahui, pada 26 Desember 2004, tsunami yang dipicu gempa sesar aktif di dasar laut Pantai Barat Sumatera, berkekuatan 9,1 Skala Richter, menerjang wilayah daratan Aceh dan dampaknya merambah hingga Thailand, Bangladesh, bahkan sampai Madagaskar di Afrika Timur. Diperkirakan, bencana tsunami ini menelan korban 230.000 jiwa.

Menurut Radita Jati, sejak Tsunami Aceh, telah banyak upaya dilaksanakan Pemerintah dan masyarakat untuk memitigasi dan mempersiapkan diri bila bencana sebesar itu kembali muncul.

Dia menjelaskan berbagai langkah guna mengurangi dampak bencana, diawali dengan penyediaan data yang akurat dan berlanjut menggunakan teknologi informasi, seperti data digital geospasial, data risiko yang dikenal sebagai INARISK, Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) serta beragam data peringatan dini lainnya.

Diharapkan melalui berbagai penyediaan data yang sahih ini maka pengelolaan risiko bencana dari tahap perencanaan, mitigasi, hingga tanggap darurat, kemudian pemulihan dan rekonstruksi dapat dilaksanakan secara cepat, efisien dan berlanjut.

Raditya juga membahas tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020 – 2044 yang akan dipakai sebagai pedoman pengurangan risiko bencana di Indonesia menyongsong peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka, tahun 2045 mendatang.

Memang, dari sudut perencanaan jangka menengah dan jangka panjang, upaya mengurangi bencana telah disusun secara rapi. Namun muncul dalam diskusi tentang kesenjangan RIPB ini antara pusat dan daerah.

Indonesia terus meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana
Buoy Merah Putih yang dipasang BPPT, 14 April 2019, di area Gunung Anak Krakatau untuk memantau gejala tsunami. (BPPT)

Kesenjangan ini perlu dihilangkan mengingat ujung tombak penanggulangan bencana berada di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

Dalam diskusi yang dipandu Profesor Jan Sopaheluwakan dan Dr. Idwan Soehardi, beberapa peserta pertemuan menggaris bawahi tentang kesenjangan dari aspek perencanaan ke aspek implementasi di lapangan.

Juga dicermati berkaitan dengan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Koordinasi Lintas Kementerian/Lembaga di Pusat sendiri.

Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang mengingatkan bahwa terkadang kewenangan sektor tentang suatu permasalahan dialihkan ke institusi khusus seperti BNPB ini, namun tidak didukung oleh sarana, prasarana serta dana yang memadai. Ini bisa mengakibatkan kewenangan sektor tadi tidak berfungsi, di lain pihak lembaga yang ditugasi untuk menangani permasalahan tadi juga tidak bisa berfungsi.

Khusus berkaitan dengan upaya mengurangi resiko bencana tadi, perlu dilaksanakan arahan Presiden Joko Widodo, yaitu agar tata ruang dan perizinan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana. Presiden juga menginstruksikan agar dilakukan identifikasi resiko bencana di daerah masing masing. Serta tidak lupa, perlu disediakan anggaran yang memadai.

Wendy juga mengusulkan kiranya berbagai perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga, perlu mendapat masukan dari BNPB berkaitan dengan resiko kebencanaan, agar upaya mitigasi dapat diantisipasi sejak awal.

Sedang Dr. Idwan Soehardi mengingatkan pentingnya dibangun kembali Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang sudah beroperasi sejak 20 tahun terakhir namun saat ini terhenti. Peran detektor INA-TEWS yang terakhir adalah berhasil memantau tsunami di Laut Banda pada Maret 2022 lalu.

Indonesia terus meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana
Indonesia Tsunamy Early Warning System (InaTEWS). (Dok PT PAL)

Idwan juga menyarankan agar Tsunami Early Warning System Disaster Mitigation Research Center di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh agar tetap berfungsi untuk terus meningkatkan kemampuan Nasional dalam Deteksi Tsunami.

Dalam waktu dekat, BNPB dan CTIS akan menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang teknologi kebencanaan, guna mendapatkan beragam teknologi kebencanaan yang telah dimiliki Indonesia, seperti Rumah Tahan Gempa, Satelit SATRIA-1 untuk jaringan internet, sistem pemantauan gunung api dan teknologi kecerdasan artifisial untuk kebencanaan. ***

sumber : https://agroindonesia.co.id/indonesia-terus-tingkatkan-kemampuan-tangguh-bencana-pemanfaatan-teknologi-jadi-keniscayaan/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

CTIS Bahas Indonesia Penuhi Syarat Jadi Pemain Utama Industri Kabel Bawah Laut Dunia, Simak Sebabnya

Kemampuan nasional dalam teknologi pembuatan kabel bawah laut, survey jalur kabel laut serta penggelaran kabel-kabel bawah laut telah dikuasai ahli-ahli Indonesia.  Ditambah posisi geografis Nusantara sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, adalah suatu keniscayaan bahwa seluruh kabel bawah laut yang menghubungkan wilayah wilayah pantai timur Amerika Serikat,  Asia-Pasifik, Australia dan Eropa harus melewati perairan Indonesia ini.  Tiada kata lain, Indonesia harus menjadi pemain utama industri kabel laut dunia. Demikian kesimpulan Diskuksi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 29 November 2023.

Berbicara dalam Diskusi: ”Perkembangan Teknologi Kabel Laut di Indonesia” adalah pakar Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN), Dr Michael Andreas Purwoadi dan Dr Sasono.  Mereka telah menggeluti teknologi kabel bawah laut sejak di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada awal dekade 2000-an.

Diskusi yang dipandu  Ketua Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) CTIS, Dr Ashwin Sasongko, diawali dengan sejarah pertama kali kabel bawah laut dibangun di perairan Nusantara , yaitu pada  tahun 1871, yang  menghubungkan Darwin di Australia dengan Pulau Jawa.

Kabel bawah laut dibuat dari kabel tembaga.  Baru pada tahun  1988, kabel laut dari serta optik  jalur Trans-Atlantik, yang menghubungkan daratan AS dengan Eropa, selesai dibangun.  Purwoadi menyampaikan bahwa kabel bawah laut digunakan di sektor energi untuk distribusi listrik, antara lain untuk menghubungkan jalur transmisi listrik dari Pembangkit Listrik Energi Bayu ke para konsumer.

Ia juga menambahan, di bidang telekomunikasi, 95% transmisi data dan suara melewati kabel bawah laut, karena di nilai lebih cepat, lebih aman, lebih ekonomis dibanding sistem satelit karena kabel laut diganti sesudah beroperasi 25-30 tahun, sedang umur satelit hanya 7-10 tahun.

Walaupun  ada tantangannya pula, seperti pembangunannya  lebih lama dibanding satelit, investasi awal lebih tinggi dan ada kemungkinan kerusakan akibat bencana alam dan ulah manusia.  Kabel bawah laut juga dipakai dalam operasi industri migas lepas pantai, serta untuk pemantauan bencana alam seperti gempa bawah laut dan tsunami.

Indonesia memenuhi syarat menjadi pemain utama industri kabel bawah laut
dok Triasmitra

Kemampuan survei kabel bawah laut telah dikuasai Indonesia sejak awak dekade 1990-an, saat kapal-kapal riset BPPT Baruna Jaya mulai beroperasi.  Sebagian besar survei kabel bawah laut dilaksanakan oleh armada kapal riset BPPT Baruna Jaya dan juga dilaksanakan oleh kapal kapal Pusat Penelitian & Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), serta oleh TechnoGIS.  Kemampuan Indonesia untuk survei jalur kabel laut sudah diakui dunia Internasional.

Menurut Dr Wahyu Pandoe, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknik Baruna Jaya BPPT, hingga saat ini kontrak kontrak survei jalur kabel bawah laut terus berdatangan,  seperti survey kabel bawah laut jalur Sarawak – Singapura sejauh 720 kilometer.  Juga survei kabel seismik bawah laut jalur daratan India ke Pulau Andaman.

Dr Sasono, ahli elektronika kabel laut BRIN, menambahkan bahwa semua jalur kabel laut Internasional pasti harus melewati Kepulauan Nusantara.  Sebagai contoh, jalur kabel optik bawah laut dari Selandia Baru – Australia – AS sepanjang 15.000 Km, yang dikenal sebagai jalur kabel bawah laut Hawiki Nui, melewati perairan kepulauan Maluku dan Indonesia perlu ikut dalam kegiatan survei dan implementasinya.

Ahli-ahli Indonesia sudah menguasai kemampuan survey dan penggelaran kabel bawah laut untuk memantau gempa bumi dan tsunami didasar laut dan telah diuji coba di Pamengpeuk, Jawa Barat dan Baron DI Yogyakarta pada 2011.  Kemudian di Pulau Sertung guna memantau Gunung Krakatau pada 2019, di Pulau Sipora dan Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (2019 – 2020), serta di perairan sekitar Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.  Sedang untuk penggelaran kabel kabel bawah laut sudah bisa dilaksanakan dengan menggunakan kapal kapal Triasmitra, DABN, BMP, Persada, LTI, Nika Global Maritim dan Baita.

indonesia punya potensi besar kembangkan kabel laut
Pemasangan kabel bawah laut oleh Kapal Triasmitra. (dok Triasmitra)

Pembuatan kabel serat optik untuk digelar di bawah laut telah mulai dilaksanakan didalam negeri.  Dalam kegiatan ini,  Indonesia bermitra dengan Jerman, Korea Selatan dan Tiongkok.  Ini memungkinkan peningkatan nilai tambah semaksimal mungkin sekaligus peningkatan kandungan lokal pada pengembangan industri kabel bawah laut di tanah air.

Dengan beragam regulasi yang telah tersedia, baik tentang alur kabel dan pipa bawah laut, tentang Alur Pelayaran & Bangunan Instalasi di laut, serta telah terbentuknya Timnas  Penataan Alur Pipa dan Kabel Bawah Laut, maka sudah selayaknya Indonesia menjadi pelaku utama dalam industri kabel bawah laut dunia. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1787421456/ctis-bahas-indonesia-penuhi-syarat-jadi-pemain-utama-industri-kabel-bawah-laut-dunia-simak-sebabnya?page=3