Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

CTIS Bahas Potensi PLTS Terapung, Solusi Energi Hijau di Indonesia

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung) di Danau Waduk Cirata, Jawa Barat dengan kapasitas 192 Mega Watt (MW). PLTS-Terapung di Danau Waduk Cirata merupakan PLTS-Terapung terbesar di Asia Tenggara.   Sebagai negara tropis yang kaya energi matahari, PLTS Terapung di danau-danau, waduk-waduk dan di lepas pantai bisa memecahkan salah satu kendala  pembangunan  PLTS, yaitu ketidak-tersediaan  lahan.  Percepatan pembangunan PLTS perlu didorong mengingat saat ini Dunia semakin mengarah ke energi hijau dan mulai meninggalkan energi fosil.  Demikian disampaikan Pendiri Solar Duck-Belanda, Olaf  de Swart, pada Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) berjudul:” Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Lepas Pantai”, awal April 2024 lalu.

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung)
Para periset di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung mobile pertama di Indonesia. (dok BRIN)

Dalam Diskusi yang dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr.Unggul Priyanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Olaf menyampaikan bahwa setelah Indonesia berhasil membangun PLTS Terapung di Danau Waduk Cirata, maka terbuka lebar potensi pembangunan PLTS Terapung di danau dan waduk di seluruh Indonesia.  Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 82 ribu kilometer, berarti pembangunan PLTS Terapung di lepas pantai Nusantara juga sangat layak dan tidak ada kendala ketersediaan lahan untuk memasang panel panel sel surya (Fotofoltaik) pembangkit listrik.   Menurut Olaf, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk membangun PLTS Terapung, baik di danau, waduk maupun di lepas pantai. Diantaranya adalah tinggi gelombang maksimum yang tidak boleh melebihi 1 meter  pada PLTS di Danau, atau tidak boleh melebihi 2 meter di lepas pantai.  Kemudian kecepatan angin hanya boleh berkisar pada 30 meter/detik saja. Di samping itu, jarak lokasi PLTS  dengan jaringan listrik  PLN tidak boleh lebih dari 50 Km.  Untuk PLTS di lepas pantai, harus digunakan material yang anti korosi.

Menurut Olaf, agar effisien dan ekonomis, PLTS Terapung yang dibangun minimal harus membangkitkan 100 MW listrik.  Hal ini memang ini dilematis karena daerah berpenduduk padat dan perlu pasokan listrik besar biasanya tidak memiliki lahan.  Walaupun demikian, PLTS terapung tetap lebih ekonomis dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mengkonsumsi minyak solar.  Pada tahun 2025, Indonesia mentargetkan penggunaan PLTS sebesar 6500 MW atau 6,5 Giga Watt (GW). Saat ini, PLTS di Indonesia baru bisa membangkitkan sekitar 450 MW saja.

Indonesia telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS-Terapung)
Optimalisasi PLTS Terapung di Permukaan Waduk. (Dok ESDM)

Sementara negara tetangga, Vietnam, sudah menggunakan PLTS sebesar 5500 MW, atau 5,5 GW.  Indonesia masih tertinggal jauh.  Oleh sebab itu, mulai dikaji pembangunan PLTS dan PLTS terapung di Jawa, di Pulau Komodo dan di Pulau Batam.  Untuk Pulau Batam, diproyeksikan pembangunan PLTS terapung sebesar 2000 MW atau 2 GW untuk memasok listrik ke Singapura.   Diharapkan pula, industri-industri smelter mineral bauksit-aluminium dan nikel bisa mengganti pembangkit listriknya dari PLTD ke PLTS.  Upaya sebuah industri kehutanan terintegrasi di Pulau Mangole, Maluku  Utara, yang memproduksi panel kayu dan pellet kayu menggunakan pembangkit PLTS perlu dicontoh dan direplikasi ke wilayah lain.

Pembangunan PLTS terapung di tanah air terus digencarkan.  Menurut Kepala Balai Besar dan Survey Tenaga Energi Listrik Baru, Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian ESDM,  Ir. Senda Hurmuzan, saat ini tengah disiapkan pembangunan PLTS Terapung di Danau Singkarak dengan kapasitas 90 MW, lalu di waduk Saguling kapasitas 60 MW, di Lampung 100 MW, dan di Kalimantan Barat dengan kapasitas 50 MW. Senda, yang juga mantan Perekayasa BPPT itu, menerangkan bahwa danau di beberapa waduk sedang disiapkan pula sebagai lokasi pembangunan PLTS, seperti di Waduk Gajah Mungkur kapasitas 200 MW, Waduk Jatiluhur 100 MW dan Waduk Karang Kates 122 MW.  Harga listrik yang dihasilkan dari PLTS terapung  tadi ada pada kisaran 3 sen US Dollar hingga 5.6 sen US Dollar.  Berarti cukup layak dan ekonomis.

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo mengingatkan kiranya potensi pasar  PLTS dan PLTS terapung yang besar di Indonesia ini harus bisa membangkitkan industri PLTS di tanah air.  Industri PLTS harus tumbuh dan berkembang, tidak hanya pada penguasaan teknologi membangun PLTS dan penguasaan industri perakitan panel surya semata, namun harus bisa menguasai industri sel surya silikon kristalin,  menguasai industri pembuatan ingot kristal silikon dan wafer silikon, hingga penguasaan teknologi pemurnian silika.  Ini merupakan tantangan  bagi proses alih teknologi, peningkatan kandungan lokal,  sekaligus dapat membuka lapangan kerja yang besar di tanah air. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787960016/ctis-bahas-potensi-plts-terapung-solusi-energi-hijau-di-indonesia?page=all

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Potensi Pembangkit Listrik Biomassa Skala Kecil, Ramah Lingkungan dan Lebih Murah

Ada 5.200 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Indonesia, berbahan bakar minyak solar.  Ini perlu di de-dieselisasi menggunakan ragam energi baru terbarukan (EBT), termasuk energi biomasa.

Ahli-ahli Indonesia telah mampu merancang-bangun pembangkit pembangkit listrik sekala kecil, antara 7 – 10 Megawatt, dengan bahan bakar gas, batubara, panas bumi dan biomasa.

Sedang PLN telah memprioritaskan program de-dieselisasi untuk 200-an PLTD di Kawasan Timur Indonesia dengan EBT, yang harga bahan bakarnya lebih murah dibanding harga minyak solar, serta lebih ramah lingkungan.

Program ini juga dapat dipakai untuk menghidupkan kembali pabrik boiler, pabrik turbin, dan pabrik generator di tanah air yang pernah mencapai puncak produksi di dekade 1990-an lalu.

Itulah butir butir hasil diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Selasa, 14 November 2023.

Dari 120 juta ha di Indonesia, saat ini tengah disiapkan sekitar 800 ribu ha untuk  menjadi Hutan Tanaman
Para Ahli Pembangkit Listrik Indonesia – Finlandia pada Disuksi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Selasa 14 November 2023 lalu.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Priyanto, tampil sebagai pembicara para perancang-bangun pembangkit listrik Andhika Prastawa, Arie Rahmadi dan Arli Guardi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mereka telah merancang bangun pembangkit listrik sejak tahun 2001, saat masih bergabung di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Sejak 2001, mereka telah merancang-bangun 12 pembangkit listrik, diantaranya, PLTU di Kaltim 2 X 7 Megawatt, lalu ada PLTU Lombok 2 X 25 MW,  ada juga Pembangkit Listrik 1 X 65 Megawatt milik PT Semen Indonesia di Sulawesi, PLT Gas 210 MW di Balaraja, Banten, PLT Panas Bumi 1 X 60 Megawatt di Patuha Jawa Barat.

Juga pembangkit listrik sekala kecil, 7 – 10 Megawatt, seperti yang di Sangatta, Kalimantan Timur, serta  PLTU 2 X 10 MW di Ketapang, Kalimantan Barat, Tahun 2003.

Atas permintaan PT. PLN, para ahli pembangkit listrik BRIN ini juga mulai merancang PLT biomassa sekala kecil, dengan prioritas pertama dibangun di Tobelo, Maluku Utara, berskala 7 Mega Watt.  Ini merupakan upaya awal untuk mengganti PLTD dengan PLT Biomassa.

Pada acara diskusi, juga tampil sebagai pembicara Dr. Ari Koko, Direktur R & D Valmet Finland dan Rushikesh Dikule, Perwakilan Valmet di Indonesia.

120 juta ha di Indonesia, saat ini tengah disiapkan sekitar 800 ribu ha untuk  menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE) guna mendukung program EBT biomassa.
PLTBM Siantan. Sumber : PT. PLN

Tim Valmet ini menerangkan bahwa Dunia sekarang bergerak ke arah EBT, sebagai contoh, 85% bauran energi pembangkit listrik di Finlandia menggunakan energi biomassa,  padahal luas hutannya hanya 22,8 juta hektare (ha) saja. Bauran energi di Swedia mencapai 60% energi biomasa untuk  pembangkit listriknya, dengan luas hutan 28 juta ha.

Sedang dari 120 juta ha di Indonesia, saat ini tengah disiapkan sekitar 800 ribu ha untuk  menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE) guna mendukung program EBT biomassa. Termasuk di dalamnya program  co-firing biomassa, yaitu mencampur 95% batubara dengan 5% serpih kayu sebagai pasokan PLTU.

Valmet, Finlandia telah membangun 10 Pembangkit Listrik berbahan baku campuran, batubara dan serpih kayu di Indonesia.

Mengingat potensi pembangkit listrik di Indonesia menggunakan energi biomassa sangatlah besar, para ahli pembangkit listrik Indonesia mengharapkan kiranya ada program kerjasama Valmet Finlandia dan BRIN Indonesia untuk membangun PLT Biomassa, sekaligus menghidupkan kembali pabrik-pabrik boiler di Indonesia seperti PT. Barata dan PT. Boma Bisma Indra, serta pabrik pabrik turbin, seperti Nusantara Turbine, Pindad, dan PT PAL.

Saat ini, mobilisasi pendanaan internasional untuk Green Energy tidaklah  trelalu sulit, karena Dunia sedang mengarah pada Transisi Energi yang berkaitan dengan Perubahan Iklim.  Indonesia juga mendapatkan sumber dana hingga 20 miliar dolar AS melalui Program Just Energy Transition Partnerhsip (JETP) yang diluncurkan saat KTT G-20 di Bali pada November 2022 lalu.

Untuk pertama kalinya, Provinsi Kalimantan Barat memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). PLTBm yang terletak di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Siantan, Kab. Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Dok ESDM

Tentunya ini bukan hibah, namun perlu dibuat paket komponen hibah untuk pelatihan, paket pinjaman bunga rendah untuk alih teknologi pembangunan pembuatan Pembangkit Listrik di dalam negeri melalui peningkatan kandungan lokal secara bertahap, hingga  alokasi dana untuk mempekerjakan para ahli dan konsultan dalam negeri sendiri dalam tahapan pembuatan studi kelayakan, pembuatan  detail engineering design, hingga kegiatan pengawasan pembangunan proyek.

Para peserta diskusi sepakat  kiranya pola ini dapat dicobakan pada pembangunan PLT Biomassa di Tobelo Maluku Utara yang saat ini tengah digarap. ***

Sumber : https://agroindonesia.co.id/potensi-pembangkit-listrik-biomassa-skala-kecil-ramah-lingkungan-dan-lebih-murah/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Menuju Net Zero Emission 2060, Biomassa dan Biofuel Dukung Transisi Energi

Tahun 2015 lalu, di Paris, Perancis, Presiden Joko Widodo mewakili Indonesia, bersama para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari seluruh Dunia, menandatangani Perjanjian Paris Untuk Perubahan Iklim.  Kala itu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, atau lebih cepat.  Mulai saat itu, proses transisi energi dari energi berbahan baku fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT) mulai berjalan.

Dalam diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 14 Agustus 2024,  Dr Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT), memaparkan tentang Prospek dan Tantangan Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan.  Bertindak sebagai moderator, Ketua Komite Aeronautika dan Teknologi Penerbangan CTIS, Professor Anton Adibroto.

diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 14 Agustus 2024,  Dr Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) (kelima dari kiri), memaparkan tentang Prospek dan Tantangan Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan.  

Menurut Unggul, yang alumnus ITB dan Kyushu University-Jepang, Indonesia memiliki potensi EBT yang besar, seperti energi hidro, panas bumi, fotovoltaik, biomassa, energi angin, biofuel, bahkan potensi energi nuklir, energi dari limbah dan energi batubara berteknologi Carbon Capture Storage (CCS).

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060
PLTB Sidrap 1 dengan kapasitas 75 MW dari total 30 turbin, listrik yang dihasilkan dapat mengaliri kurang lebih 67.000 s.d 72.000 pelanggan listrik.(Dok PLN)

Oleh sebab itu, peta jalan transisi energi menuju net zero emission Indonesia 2060 perlu disusun dan diimplementasikan.  Tentu prioritas yang perlu dibangun adalah penerapan EBT dengan potensi besar seperti panas bumi, hidro, nuklir dan batubara CCS, kesemuanya ini mencakup 80%.  Sedang 20% lainnya diperoleh dari energi angin, fotovoltaik, biomassa, biofuel dan kedepannya menerapkan energi hidrogen.

Dalam peta jalan transisi energi ini, telah disepakati penghentian pemberian izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara pada tahun 2030 dan sudah dimulai proses penghapusan operasionalisasi PLTU batubara secara bertahap.

Dalam jangka pendek, PLTU-PLTU batubara dicampur dengan bahan baku biomassa, antara 5 – 10%, melalui proses Co-firing.  Juga penggunaan biofuel untuk campuran BBM ditingkatkan hingga 35%, menggunakan bahan baku minyak sawit.  Disamping itu, penggunaan mobil listrik digencarkan.

Pada kurun 2031 – 2035, selain meningkatkan campuran biofuel dalam BBM hingga 40% dan kendaraan listrik digunakan secara masif, maka penerapan energi hidrogen untuk transportasi mulai pula digencarkan. Saat ini sudah tersedia satu Stasiun Pengisi Bahan Bakar Gas Hidrogen di Ibukota Jakarta dan rencanakan dalam waktu dekat siap beroperasi lagi 13 Stasiun Pengisi Gas Hidrogen lainnya di wilayah Jabodetabek.

Stasiun Pengisian Hidrogen Hijau pertama resmi beroperasi. (dok ESDM)

Pada kurun tahun 2035 – 2040, direncanakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah mulai beroperasi di Indonesia, diawali dengan pembangkit berkekuatan 250 MW.  Ditargetkan, pada kurun tahun 2041 – 2050 bauran energi di Indonesia sudah didominasi oleh EBT, termasuk telah tersedia energi Green Hydrogen.  Pada kurun tahun 2051 – 2060, ditargetkan semua listrik sudah dihasilkan dari PLT EBT, dan emisi tersisa tinggal 129 juta ton CO2 saja.

Potensi tenaga air di Nusantara mulai direalisasikan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), seperti PLTA Kayan di Provinsi Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 9.000 MW.

Lalu ada PLTA Mentarang di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 1.375 MW, PLTA Nunukan di Kalimantan Utara dengan pembangkit sebesar 250 MW, PLTA Bahao, 1375 MW di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, serta PLTA Mamberamo I, 6630 MW dan PLTA Mamberamo II, 995 MW, keduanya di Papua.  Diharapkan, dengan terbangunnya PLTA-PLTA tadi, maka kawasan kawasan industri baru akan muncul di Indonesia Bagian Timur.

Dalam tahapan transisi energi menuju EBT ini, Unggul menyampaikan saran dan harapan, kiranya industri pembangkit listrik tenaga surya, baterai listrik dan panel fotovoltaik di dalam negeri agar bisa segera dibangun sehingga kandungan lokal pada produk-produk EBT listrik surya di tanah air ini bisa semakin meningkat.

Ia juga mengharapkan kiranya penerapan energi nuklir agar diberikan porsi lebih besar dengan dukungan teknologi PLTN mutakhir, mengingat hingga saat ini harga listrik produk PLTN adalah yang paling murah dibanding dengan Pembangkit Listrik Pembangkit Listrik dengan bahan baku EBT lainnya. ***

sumber : https://agroindonesia.co.id/menuju-net-zero-emission-2060-biomassa-dan-biofuel-dukung-transisi-energi/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Manfaatkan 20 Miliar Dolar AS Dana JETP, Pengalaman Indonesia Kembangkan EBT Kunci Transisi Energi

Suhu bumi makin panas. Sekjen PBB Antonio Guterres di New York, Kamis, 28 Juli 2023, menyatakan bahwa suhu muka bumi pada Juli 2023 merupakan tertinggi sepanjang masa.  Suhu bumi tercatat 1,5 derajat Celcius diatas era Pra-Industri. Meningkatnya pemanasan global diantaranya akibat begitu banyak emisi gas rumah kaca (GRK) karena penggunaan banyak energi fosil yang mencakup batubara dan migas.

Kenaikan suhu muka bumi berakibat mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan, naiknya muka air laut, tenggelamnya pulau-pulau, kebakaran hutan dan lahan serta bencana akibat variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina.   Transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) pun menjadi pilihan utama guna menekan laju kenaikan suhu muka bumi.

Indonesia pun memiliki komitmen untuk melakukan transisi energi dan mengurangi emisi GRK hingga mencapai Net Zero Emission (NEZ) pada tahun 2060. Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi mendapat dukungan Internasional.  Pada KTT G-20, November 2022 lalu di Bali,  pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk mendukung Indonesia lewat program kemitraan transisi energi yang berkeadilan, dikenal sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP).

Indonesia bisa memanfaatkan dana JETP untuk kembangkan energi baru terbarukan
PLTS Hybrid Selayar dengan kapasitas 1,3 mega wattpeak (MWp) menghemat biaya operasional Rp 16,5 miliar per tahun. (dok PLN)

Negara negara mitra sepakat untuk memobilisasi dana hingga 10 miliar dolar AS, ditambah dukungan dana 10 miliar dolar AS lagi dari perbankan Internasional, sehingga terhimpun dana total 20 miliar dolar AS (Rp310 triliun) guna dipakai untuk program transisi energi di Indonesia kurun 3-5 tahun kedepan.

Kepala Sekretariat JETP, Dr. Edo Mahendra menyampaikan progres kegiatan Sekretariat JETP sejak diaktifkan oleh Indonesia dan negara-negara mitra pada Februari 2023 lalu. Hal tu disampaikan dalam pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), yang dipimpin Ketua CTIS Dr.Wendy Aritenang dan dihadiri, antara lain, Pengawas CTIS, Profesor Wardiman Djojonegoro, Profesor Indroyono Soesilo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr. As Natio Lasman, serta Tim dari USAID-Sinar, Kamis 27 Juli 2023.

Menurut Edo, target awal JETP adalah selesainya Rencana Komprehensif JETP pada 16 Agustus 2023 mendatang untuksiap diimplementasikan.

Penyusunan rencana komprehensif ini melibatkan tiga kelompok kerja yang berkaitan dengan kelompok kerja teknis dan teknologi JETP,  kelompok kerja yang menyusun kebijakan JETP serta kelompok kerja yang merencanakan pendanaan JETP.

Juga tengah disusun beragam tema investasi, antara lain pola investasi pada transmisi dan GRID, program pensiun dini pembangkit pembangkit listrik tenaga uap, program-program EBT dan mekanisme transisi energi, termasuk rantai pasok (supply chain).

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo mengingatkan agar beragam model EBT yang sudah diterapkan di Indonesia oleh ahli-ahli Indonesia menjadi pengalaman yang bisa dimasukkan ke program transisi energi JETP. Jadi, Indonesia tidak memulai transisi energi lagi dari awal dan anggaran JETP tidak hanya digunakan untuk membiayai konsultan asing namun juga untuk insinyur-insinyur Indonesia.

Beragam model EBT yang sudah diterapkan oleh ahli-ahli Indonesia diantaranya listrik energi surya yang telah diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Sukabumi sejak 1978 lalu, juga Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Surya dan Diesel (hybrid) buatan BPPT di Baron, Yogyakarta, Program Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi buatan BPPT di Lahendong, Sulawesi Utara, Program Energi Ombak BPPT di Lombok, serta pembangkit listrik EBT yang telah beroperasi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang dan Gunung Salak, Jawa Barat serta pembangkit listrik tenaga angin 75 MW di Sidrap, Sulawesi Selatan.

Di samping itu, Indroyono menyarankan agar paket teknologi dan paket finansial dalam investasi proyek JETP dapat digabung menjadi satu paket yang memungkinkan Indonesia mendapatkan teknologi mutakhir, termasuk komponen alih teknologinya, dengan pendanaan bunga rendah.

Indonesia terus bisa kembangkan energi baru terbarukan dengan memanfaatkan dana JETP
Gardu listrik Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Gayo Lues, Aceh. (dok IBEKA)

Anggota CTIS, yang juga Profesor Oseanografi di University of Maryland AS, Profesor Dwi Susanto mengusulkan agar program energi dari arus laut bisa masuk kedalam program JETP mengingat potensi arus laut yang dimiliki Indonesia begitu besar, terutama di pulau-pulau kecil dan di kawasan timur Indonesia.

Diharapkan tiga program energi dari arus laut di Nusa Penida, Bali, di Larantuka NTT dan di Selat Alas NTB, yang saat ini tengah dirintis oleh PLN dapat segera diimplementasikan melalui program JETP.

Edo Mahendra menyambut baik masukan masukan dari para ahli CTIS dan sepakat untuk melibatkan para ilmuwan dan teknolog yang meguasai hal hal “ekonomi mikro” ini agar program program JETP bisa berlangsung sukses.

Ia mencontohkan, dalam tahap awal implementasi EBT kiranya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN – Local Content) tidak harus terlalu tinggi, baru kemudian bila volume ekonominya semakin membesar  maka TKDN dapat ditingkatkan pula secara bertahap.  ***

sumber : https://forestinsights.id/manfaatkan-20-miliar-dolar-as-dana-jetp-pengalaman-indonesia-kembangkan-ebt-kunci-transisi-energi/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Pemerintah Mau Bangun PLTN, CTIS Tekankan Soal Sosialisasi

Pemerintah baru saja membentuk Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).  Tim dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan.

Pada pernyataan awal, Menko Luhut minta diperhatikannya dua hal penting yaitu lokasi tempat PLTN akan dibangun, utamanya berkaitan dengan kondisi kegempaannya, serta tingkat disiplin dan keberterimaan masyarakat terhadap teknologi canggih ini.

Menanggapi rencana pembangunan PLTN tadi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menggelar diskusi bertajuk ”Perkembangan PLTN dan Daur Bahan Bakar Nuklir”, Rabu, 31 Januari 2024. Diskusi menghadirkan narasumber, ahli teknologi nuklir dan mantan Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Professor Jarot Wisnubroto dan dipandu Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Prijanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dalam diskusi,  Jarot merujuk skenario Dewan Energi Nasional (DEN) tentang kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2060, yang akan mencapai sekitar 400 GigaWatt, atau setara 400 Milyar Watt.

PLTN akan dibangun di Indonesia, membutuhkan proses sosialisasi ke masyarakat

Sesuai Perjanjian Paris 2015 Tentang Perubahan Iklim, saat itu Indonesia sudah harus mengurangi penggunaan energi fosil hingga semaksimal mungkin menuju “Net Zero Emission”, dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi hidro, biomassa, angin, gelombang, fotovoltaik dan panas bumi.  Diprakirakan, untuk mencukupi kebutuhan 400 Giga Watt tadi perlu tambahan pembangkit listrik dari PLTN.

Skenario DEN memperlihatkan bahwa kelak pada tahun 2032,  PLTN sudah bisa mulai dioperasikan di Indonesia, walaupun Jarot menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman di berbagai negara, perioda pembangunan PLTN, dari perencanaan hingga operasional, membutuhkan waktu 10 tahun.

Secara teknologis, Jarot Wisnubroto memaparkan bahwa rancang-bangun PLTN tidaklah rumit, hampir sama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang menghasilkan uap untuk memutar turbin lalu membangkitkan generator guna menghasilkan listrik.  Hanya bedanya, uap untuk memutar turbin diperoleh dari reaktor nuklir yang dibangun dengan tingkat keamanan dan keselamatan sangat tinggi.  Generasi pertama PLTN dibangun pada dekade 1950-an.

PLTN di Indonesia akan dibangun di Babel dan Jepara, Jawa Tengah

Saat ini, PLTN yang beroperasi di dunia ada pada Generasi III+ dan IV, mengarah pada Small Modular Reactor (SMR) yang semakin efisien secara ekonomis, dengan tingkat keselamatan semakin tinggi, hanya sedikit limbah dan anti proliferasi.  Musibah PLTN di Chernobyl, Rusia tahun 1986, maupun di Fukushima, Jepang tahun 2011, adalah hasil rancang-bangun PLTN dari Generasi I.

Khusus untuk PLTN Fukushima, bencana terjadi bukan akibat gempa bumi-nya, karena memang sudah diperhitungkan kekokohan PLTN untuk menghadapi bencana gempa bumi, namun akibat tinggi gelombang tsunami yang menerjang daratan Fukushima kala itu. Simak

Saat ini telah beroperasi sekitar 440 PLTN di 30 Negara.  Di Asia Tenggara, baru Filipina yang memiliki PLTN, dibangun sekitar dekade 1970-an di Bataan, namun belum sempat dioperasikan.

Sekarang, Malaysia dan Vietnam tengah merencanakan pembangunan PLTN. Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai Negara Nuklir sejak 1956 lalu, sesudah Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke AS dan mencanangkan “Nuklir Untuk Maksud-Maksud Damai”.

Presiden RI Pertama ini kemudian mengirimkan para insinyur muda Indonesia ke University of Michigan USA untuk belajar Nuclear Engineering disana, kemudian pada tahun 1958 dibentuk Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan sepulang para insinyur nuklir Indonesia dari studi di luar negeri, dibangunlah Reaktor Atom pertama di Bandung dan mulai beroperasi tahun 1965, kemudian Reaktor Atom RA Kartini di Yogyakarta mulai beroperasi tahun 1979, sedang Reaktor Atom GA Siwabessy di Serpong Jawa Barat, dengan daya 30 MW, mulai beroperasi tahun 1987.

Ketiga reaktor atom di Indonesia tadi dimanfaatkan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Jurusan pendidikan tekologi nuklir mulai dibuka di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1977.  Kegiatan riset dan pengembangan teknologi nuklir telah berlangsung di Indonesia lebih dari 60 tahun, kesemuanya disiapkan bila kelak Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membangun PLTN.

Tiga lokasi yang berpotensi sebagai tempat dibangunnya PLTN juga sudah di survei, yaitu di Jepara, Jawa Tengah, di Pulau Bangka dan Pantai Gosong, Kalimantan Barat.  Bahkan di Bangka dan di Kalimantan Barat terdapat potensi cadangan Uranium U-235 sebagai sumberdaya pembangkit PLTN.

PLTN sangat dibutuhkan
Batuan basal dari kompleks Gunung Api Adang, Mamuju, Sulawesi Barat mengandung radioakyif berupa uranium dan torium dalam jumlah cukup tinggi. (Dok Batan)

Pada tahun 2011, saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  telah dicanangkan rencana pembangunan PLTN ini, dan digelontorkan dana Rp250 miliar untuk kegiatan  studi kelayakan, survei lokasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Dalam studi kelayakan muncul kesimpulan bahwa bahwa teknologi PLTN yang akan diterapkan harus dari Generasi III+ atau Generasi IV dan sudah dioperasikan terlebih dahulu di tempat lain. Reaktor yang dipilih adalah Small Modular Reactor (SMR) yang bisa dibangun lebih cepat, dengan daya 250 MW.  Tingkat keberterimaan masyarakat terhadap PLTN mencapai 90%  di Kalbar, 49% di Bangka, dan hanya 20% di Jepara.  Nampaknya, upaya sosialisasi perlu lebih digencarkan sekiranya PLTN akan dibangun di Indonesia.

Dr. Unggul Priyanto menanggapi bahwa guna mencapai pembangkit listrik 400 Giga Watt pada 2060 maka mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus membangun PLTN.  Apalagi, saat itu konsumsi listrik untuk mobil listrik di tanah air, semakin meningkat.

Belum lagi semangat Indonesia untuk mencapai target “Net Zero Emission” pada tahun 2060.  Peserta diskusi sepakat bahwa sebelum melangkah lebih jauh, Pemerintah perlu lebih menggencarkan  sosialisasi kepada masyarakat tentang perlu dibangunnya PLTN di Indonesia, mengingat kelangkaan tenaga listrik mungkin akan terjadi saat Indonesia memasuki era sebagai Negara Industri pada peringatan 100 Tahun Kemerdekaan NKRI, pada 17 Agustus 2045. ***

sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/ekonomi-bisnis/pr-1787675587/pemerintah-mau-bangun-pltn-ctis-tekankan-soal-sosialisasi?page=2

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Perahu Listrik Inovatif Dari Energi Biomassa Eceng Gondok

KOLABORASI PT Comestoarra Bentarra Noesantarra ( comestoarra.com ) dengan PT Pupuk Sriwidjaja  (Pusri) sukses mengembangkan perahu listrik inovatif dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan dari eceng gondok..

Eceng gondok ini dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa yang kemudian diolah sebagai bahan bakar untuk menggerakkan perahu listrik.

Hal itu dipaparkan oleh CEO comestoarra.com , Arief Noerhidayat dalam diskusi publik yang dilaksanakan oleh Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) bertema Perahu Listrik untuk Wilayah Perairan Indonesia, Rabu (26/2/2025).

Arief menjelaskan bahwa bahan baku eceng gondok sangat melimpah dan mudah didapatkan di waduk, danau ataupun sungai.

Selama ini eceng gondok baru dimanfaatkan untuk kerajinan. Namun di tangan Arief, eceng gondok bisa digunakan sebagai bahan bakar penggerak perahu listrik.

Program energi baru dan terbarukan di Pulau Kemaro pertama kali diinisiasi melihat dari permasalahan eceng gondok yang sangat melimpah di Sungai Musi, Sumatra Selatan.

Di sisi lain adanya kebutuhan transportasi masyarakat yang sehari-harinya menggunakan perahu sebagai moda transportasi utama.

Mayoritas masyarakat Pulau Kemaro memiliki perahu untuk alat transportasi. Namun untuk menggerakkan perahu, mereka membutuhkan BBM.

Apalagi letak Pulau Kemaro berada di tengah-tengah Sungai Musi. Di sana dihuni sekitar 100 kepala keluarga.

Perahu listrik dari energi terbarukan

Comestoarra.com didukung PT Pusri Palembang menginisiasi ide membuat modifikasi perahu listrik dengan menggunakan sumber energi baru terbarukan.

Pengadaan perahu listrik ini dalam program CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT Pusri Palembang.

Arief menjelaskan  konsep perahu listrik menggunakan material perahu fiber dengan dinamo penggerak DC.

Perahu fiber memang lebih ringan, dan dinamo penggerak DC lebih mudah diimplementasikan. Namun model perahu listrik seperti ini memakan investasi besar.

Maka comestoarra.com menggunakan motor penggerak AC. Dan punya desain pengisian daya baterai dengan menggunakan dua penyulang energi baru dan terbarukan.

“Pertama adalah energi dari matahari dan kedua dari energi dari biomassa. Kedua energi ini digabung sehingga operasional perahu listrik bisa optimal,” terangnya.

Perahu listrik ini menggunakan PV Solar sebagai energi tenaga surya. Sedangkan baterai yang digunakan bersumber dari hasil gasifikasi biomassa.

Bahan-bahan biomassa itu dibuat dari campuran eceng gondok di pesisir Pulau Kemaro serta daun-daun kering yang ada di lingkungan Pusri.

Biomassa dari lingkungan Pusri ini setiap hari tersedia. Biomassa berupa alang-alang, kayu dan daun-daun yang tiap hari terkumpul sekitar 5 ton dimuat di 16 truk.

Bahan-bahan ini kemudian dicampur untuk diolah menjadi pelet. Pengolahan menjadi pelet ini dengan metode Teknologi Olah Sampah di Sumbernya (TOSS).

“Ini mendapat respons positif dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat juga kementerian,” kata Arief.

Selain itu cara membuat pelet untuk mengedukasi masyarakat bahwa bahan-bahan alam di sekitar mereka bisa diolah menjadi energi terbarukan menggantikan BBM.

“Perahu listrik ini bisa dioperasikan oleh warga lokal karena tidak jelimet. Perahu yang digunakan adalah perahu yang ada di Sungai Musi kemudian dimodifikasi. Perahunya dibuat oleh warga lokal,” terang Arief.

Aspek kearifan lokal

Kelebihan perahu listrik ini pada aspek kearifan lokal. Sebab material perahu yang digunakan masih berbasis kayu dan dibuat oleh masyarakat setempat.

Perahu listrik ini telah dikembangkan dengan sejumlah uji coba dan telah beroperasi sejak Desember 2023.

Sebelum membuat perahu listrik, comestoarra.com mengedukasi masyarakat setempat memperkenalkan kompor biomassa dan mengadakan lomba memasak empek-empek.

Kompor biomassa ini juga diperkenalkan oleh comestoarra.com ke Kabupaten Ende, NTT bekerja sama dengan pemerintah daerah dan NGO.

Program ini mengolah sampah biomassa menjadi pelet yang digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor biomassa, menggantikan minyak tanah yang mahal dan langka.

Inisiatif ini tidak hanya mengatasi permasalahan sampah, tetapi juga menyediakan sumber energi alternatif bagi masyarakat setempat.

Pendekatan ini tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggantikan bahan bakar fosil, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat melalui penyediaan sumber energi alternatif yang berkelanjutan.

Hybrid panel dan gasifikasi dari pelet eceng gondok dan biomassa ini  menghasilkan listrik. Energi listrik hibrida ini selain menggerakkan kapal, juga untuk charge handphone, laptop hingga untuk memutar musik dangdut.

Perahu listrik ini memiliki kecepatan 5 knot untuk mobile bolak-balik dengan 17 penumpang.

“Penggunaan perahu listrik ini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dari sebelumnya memakai solar diganti dengan energi terbarukan,” jelas Arief.

Untuk pengisian baterai ini dibantu Loesche Indonesia, anak perusahaan dari Loesche GmbH Jerman.

Siap komersialisasi

Ia menjelaskan bahwa di Pulau Kemaro itu banyak penjual BBM floating. Ia berharap nantinya akan ada floating untuk charging station di sepanjang Sungai Musi. Saat ini baru satu charging station.

Kerjasama dengan PT Pusri ini berawal dari CSR namun berkembang menjadi bisnis karena Pusri membeli satu perahu listrik. Harga satu kapal listrik sekitar Rp140 juta.

Sedangkan di Ende, selain pengenalan kompor biomassa juga ada perahu listrik bekerja sama dengan PLN selama setahun.

Untuk terus mengedukasi masyarakat sekalian memperkenalkan lebih dekat tentang perahu listrik maka diadakan eduwisata. Para peserta eduwisata akan diajari bagaimana memproses bahan limbah menjadi listrik.

Arief pun masih punya cita-cita ingin menciptakan perahu listrik ambulans untuk membantu warga tinggal di pulau atau di tepi sungai yang akan berobat atau kondisi emergency.

Indroyono Soesilo dari CTIS menanggapi pemaparan tentang perahu listrik mendorong agar produk perahu listrik ini dikomersialkan.

Selain menjawab masalah energi terbarukan, lahirnya perhau listrik ini bentuk dari hilirisasi energi terbarukan dan alih teknologi perahu berbasis BBM menjadi perahu berbasis listrik.

Menanggapi hal itu Arief mengatakan  “Dari sisi inovasi, perahu listrik ini sudah laik untuk dijadikan suatu produk yang dapat direplikasi dan dikomersialisasi,” ujarnya.