Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Autothermix, Teknologi Sampah Tanpa Emisi Tinggi

Permasalahan pengelolaan sampah kian mendesak di berbagai kota besar di Indonesia. Kota Bandung, misalnya, tengah mengalami krisis akibat TPST Sarimukti yang kelebihan kapasitas dan sempat terbakar. Di Yogyakarta, TPA Piyungan ditutup karena timbunan sampah yang sudah melampaui batas. Sementara di Jakarta, TPST Bantargebang mengalami penumpukan sampah hingga sempat nyaris longsor.

Di tengah situasi darurat tersebut, teknologi autothermix muncul sebagai solusi modern dan ramah lingkungan untuk menangani sampah secara efisien.

Di tengah situasi darurat sampah, teknologi autothermix muncul sebagai solusi modern dan ramah lingkungan untuk menangani sampah secara efisien.
Diskusi bertajuk “Inovasi Teknologi Pemusnah Sampah Autothermix” menghadirkan Ir. Budi Permana (nomor 2 duduk dari kanan), Direktur Utama PT Tohaan Renewable Energy Engineering (TREE), sebagai narasumber utama. (Dok CTIS)

Teknologi ini menjadi topik utama dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) Rabu (25/6/2025). Diskusi bertajuk “Inovasi Teknologi Pemusnah Sampah Autothermix” menghadirkan Ir. Budi Permana, Direktur Utama PT Tohaan Renewable Energy Engineering (TREE), sebagai narasumber utama.

Menurut Budi, autothermix adalah teknologi pemusnah sampah berbasis autothermal, yang bekerja tanpa pembakaran terbuka dan tanpa bahan bakar tambahan. Prosesnya memanfaatkan syngas, gas hasil dekomposisi termal sampah, untuk menjaga suhu reaksi tetap tinggi dan stabil.

“Teknologi ini tidak menggunakan bahan bakar fosil, tidak menghasilkan fly ash, dan memiliki emisi sangat rendah berkat sistem pemisahan polutan yang canggih,” jelasnya.

Autothermix bekerja dengan prinsip dekomposisi termal tertutup pada suhu di atas 900°C, dengan minim oksigen, sehingga tidak ada nyala api seperti pada incinerator. Teknologi ini juga menerapkan sistem isokinetik, yang memastikan kecepatan gas dan partikel tetap stabil untuk memaksimalkan pemisahan polutan.

“Inilah yang membedakan autothermix dari incinerator konvensional yang berisiko menghasilkan dioksin, furan, dan fly ash berbahaya,” tambahnya.

Di tengah situasi darurat sampah, teknologi autothermix muncul sebagai solusi modern dan ramah lingkungan untuk menangani sampah secara efisien.
Autothermix bekerja dengan prinsip dekomposisi termal tertutup pada suhu di atas 900°C, dengan minim oksigen, sehingga tidak ada nyala api seperti pada incinerator. (Dok Pemkot Bandung)

Autothermix mampu mengolah berbagai jenis sampah campuran seperti plastik, kertas, dan limbah organik dengan kapasitas mulai dari 1 ton hingga 10 ton per hari. Teknologi ini tidak cocok untuk sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun), namun sangat ideal untuk kawasan permukiman padat.

Budi menjelaskan bahwa teknologi ini telah dioperasikan di sejumlah daerah, seperti Serang (Banten), Bandung (Jawa Barat), dan Denpasar Barat (Bali). Di Denpasar, autothermix berkapasitas 1 ton per hari telah terpasang di lingkungan permukiman.

Dari sisi ekonomi, Budi menegaskan bahwa teknologi ini layak secara bisnis. Untuk DKI Jakarta, misalnya, kebutuhan opex tahunan sekitar Rp1,3 triliun dapat ditutup dari realokasi APBD yang selama ini dialokasikan untuk TPA, RDF, dan transportasi sampah, ditambah potensi carbon credit sebesar Rp292 miliar per tahun.

“Proyek ini bahkan berpotensi menghasilkan surplus kas daerah,” ujarnya optimistis.

Di tengah situasi darurat sampah, teknologi autothermix muncul sebagai solusi modern dan ramah lingkungan untuk menangani sampah secara efisien.
Di Denpasar, autothermix berkapasitas 1 ton per hari telah terpasang di lingkungan permukiman wilayah Kecamatan Denpasar Barat. (Dok PT TREE)

Teknologi serupa telah banyak digunakan di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman dalam skema waste-to-energy. Di Indonesia, autothermix mulai dilirik sebagai solusi jangka panjang untuk krisis sampah perkotaan.

Dengan keunggulan efisiensi, rendah emisi, dan tidak membutuhkan lahan penimbunan, autothermix diyakini menjadi alternatif masa depan dalam pengelolaan sampah nasional yang lebih berkelanjutan. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bangkitkan Rusnas, Dorong Ekspor Buah Lokal

Indonesia dikenal memiliki kekayaan buah-buahan tropis lokal yang sangat beragam. Keunikan dan cita rasa eksotis buah-buah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara, sekaligus menjadi potensi unggulan dalam perdagangan global.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2019 mencatat, Indonesia merupakan negara penyedia buah tropis terbesar kelima di dunia, setelah India, China, Thailand, dan Meksiko. Namun, dari total produksi nasional, ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah. Komoditas andalan ekspor di antaranya manggis, salak, pepaya, dan mangga.

Isu ini menjadi perhatian dalam diskusi yang diselenggarakan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, pada Rabu, 18 Juni 2025. Hadir sebagai pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi, Ketua Komite Agriculture CTIS sekaligus mantan Deputi Menristek.

 ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah
Diskusi CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, Rabu, 18 Juni 2025. Pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi (duduk tengah), Ketua Komite Agriculture CTIS.

Tien mengungkapkan, saat menjabat sebagai Deputi Menristek di era Menteri Hatta Rajasa, pemerintah telah menyusun peta jalan teknologi (technology roadmap) untuk pengembangan buah tropis Indonesia. Peta jalan ini menjadi dasar lahirnya Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) sektor pertanian yang fokus pada pengembangan buah unggulan berbasis riset.

Inovasi Berbasis Pasar dan Potensi Lokal

Menurut Tien, peta jalan teknologi penting untuk memahami tantangan masa depan, memperkuat kolaborasi, serta mengurangi risiko investasi teknologi. Roadmap ini juga membantu mengidentifikasi teknologi kunci, menutup kesenjangan inovasi, dan memperluas akses industri terhadap hasil riset dan pengembangan (R&D).

“Inovasi yang dihasilkan harus terserap pasar dan bisa ditangkap oleh industri,” jelas Tien. Salah satu hasil nyata dari Rusnas adalah pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan peneliti IPB dan kini banyak ditanam petani di seluruh Indonesia karena tingginya permintaan dalam dan luar negeri.

ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah
Pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. (Dok IPB)

Selain pepaya, beberapa komoditas lain yang dikembangkan lewat Rusnas adalah nanas madu dan manggis tanpa biji. Manggis asal Indonesia dikenal luas karena rasanya manis dan ukuran daging buah yang besar. Produk-produk ini mulai mendominasi pasar modern dan tradisional serta menjadi komoditas ekspor andalan.

Tien menegaskan, Rusnas telah dirancang dengan tujuan besar menjadikan Indonesia sebagai produsen buah tropika terkemuka di ASEAN pada 2025, dan eksportir terbesar dunia pada 2045.

ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah.
Pisang, buah tropis yang banyak ditemui di Indonesia merupakan salah satu buah tropika unggulan (dok IPB)

Pentingnya Keberlanjutan dan Dukungan Pemerintah

Sayangnya, menurut Tien, program Rusnas tidak dilanjutkan setelah pembubaran Kemenristek. Hal ini dikhawatirkan menghambat visi besar Indonesia di sektor buah tropis.

Sebagai perbandingan, Tien menyebut keberhasilan Kosta Rika yang dijuluki Banana Republic karena ekspor pisangnya mendominasi pasar dunia. Negara tersebut berhasil mengintegrasikan riset dan teknologi untuk menghasilkan pisang berkualitas ekspor. Contoh lain adalah Argentina yang telah menerapkan teknologi mutakhir untuk pemotongan sapi secara halal dan efisien.

Tien berharap, peta jalan teknologi dan program Rusnas bisa kembali dihidupkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Saya ingin bertemu Presiden Prabowo agar ada kebijakan kelanjutan Rusnas. Beliau pernah memimpin HKTI dan sangat peduli terhadap isu ketahanan pangan,” ujarnya.

Peran Agro Techno Park dan UKM Teknologi

Dukungan terhadap hasil Rusnas juga sempat diwujudkan melalui pembangunan Agro Techno Park (ATP) di sejumlah daerah. ATP berfungsi sebagai pusat riset dan pengembangan teknologi pertanian, termasuk budidaya buah tropika.

“Bibit hasil riset kami ditanam di ATP hingga panen. Kemudian melalui mitra swasta, bibit tersebut dijual ke petani untuk dikembangkan di lahan mereka,” jelas Tien.

Tien menambahkan, Rusnas juga mengarah pada penguatan rantai pasok teknologi dan pengembangan klaster industri berbasis UKM, dengan sektor prioritas seperti budidaya kerapu, buah unggulan, pangan pokok, industri hilir sawit, dan small engine.

Namun tanpa keberlanjutan, potensi ini berisiko hilang. “Impian saya menjadikan pisang sebagai proyek padat karya nasional, seperti di Kosta Rika, belum terwujud,” ujar Tien penuh harap.***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Industrialisasi Kebencanaan: Dari Mitigasi hingga Ketangguhan Nasional

1. Pengantar

Sepanjang setahun terakhir, Indonesia menghadapi peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala bencana. Mulai dari longsor di Gunung Kuda, banjir di Padangsidempuan, Parigi Moutong, dan Flores Timur, hingga gempa di Bogor, Pacitan, dan Bandung. Fenomena ini mencerminkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk mengelola risiko bencana secara sistematis.

Naomi Klein (2007) dalam The Shock Doctrine menyoroti bahaya kapitalisme kebencanaan, yang menjadikan bencana sebagai peluang komersial oleh industri besar. Namun, pendekatan reaktif semata telah terbukti tidak cukup. Pasca tsunami Aceh 2004 dan gempa Tohoku 2011, dunia menyadari bahwa mitigasi bencana harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Muncul konsep industrialisasi kebencanaan, yaitu pendekatan berbasis teknologi, inovasi, dan tata-kelola risiko bencana yang lebih terintegrasi. Istilah ini mulai mendapat perhatian pada 2005–2010, antara lain oleh Hewitt (The Political Economy of Disaster, 2007) dan UNISDR (2009), yang menekankan pentingnya pengembangan pasar teknologi kebencanaan.

Contohnya, pasca-tsunami 2011, Jepang mengembangkan robot pencari korban dan teknologi tahan gempa untuk infrastruktur strategis seperti misalnya reaktor nuklir. Hitachi dan Toshiba menjadikan teknologi kebencanaan sebagai lini bisnis. Sementara itu, Amerika Serikat merespons Badai Sandy (2012) dengan mendorong konstruksi tahan badai melalui regulasi dan insentif pajak.

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang
Sejumlah teknologi untuk kebencanaan. Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga merujuk hasil Semnas BNPB 21 Mei 2025.

Di Indonesia, sejak 2004 hingga 2025, tercatat rata-rata 3.000 bencana per tahun dengan kerugian mencapai Rp23 triliun (BNPB). Namun, sebagaimana ditekankan Wisner dkk (2003), bencana bukanlah sesuatu yang alami. Sebaliknya, bencana merupakan hasil dari proses sosial yang tercipta sebagai akibat kerentanan dan keterbatasan kemampuan masyarakat yang berkelanjutan dalam menanggapi bahaya. Bencana terjadi karena bahaya alam bertemu dengan kerentanan buatan manusia: tata ruang buruk, deforestasi, atau kurangnya sistem peringatan dini.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga. Contoh: aplikasi @infobmkg dan @PetaBencana.id, serta pengembangan sensor gempa oleh perusahaan dalam negeri. Ini bukan bentuk kapitalisme bencana seperti dikritik Klein, melainkan bentuk kedaulatan teknologi dalam menghadapi risiko.

2. Pola Kebutuhan Teknologi Kebencanaan

Siklus manajemen risiko bencana terdiri dari tiga fase utama:

  • Pra-bencana: mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini. Kebutuhannya mencakup sensor, sistem pemetaan digital, pelatihan, serta penyusunan rencana kontinjensi dan jalur evakuasi.
  • Saat bencana: teknologi dibutuhkan untuk pemetaan kerusakan, penentuan jalur evakuasi, distribusi bantuan, serta identifikasi dan evakuasi korban. Produk seperti drone, citra satelit, dan alat komunikasi darurat sangat vital.
  • Pascabencana: fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain pembangunan infrastruktur tahan bencana, dibutuhkan teknologi yang mendukung pemulihan ekonomi dan sosial.
Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Aplikasi @Magma — informasi tentang kegiatan Gunung Api di Indonesia yang dibuat oleh PVMBG

Kebutuhan teknologi bersifat berkelanjutan dan dinamis. Tahap pra-bencana penting untuk membangun ketangguhan: mendeteksi tanda-tanda bahaya, meminimalkan dampak, dan mempercepat pemulihan. Misalnya, sensor cuaca, seismograf, dan pemetaan risiko berbasis AI. Indonesia baru memiliki sekitar 3.000 AWS (Automatic Weather Stations) dan 500 seismograf, jauh dibandingkan Tiongkok dan Jepang.

Dalam fase darurat, teknologi harus memungkinkan tanggap cepat: pemetaan wilayah terdampak, identifikasi lokasi korban, dan penetapan jalur logistik. Di fase pemulihan, teknologi mendukung rekonstruksi yang adaptif dan berkelanjutan (build-back-better).

UNDRR (2022) menegaskan bahwa keberhasilan pengurangan risiko bencana tidak ditentukan oleh kekuatan bahaya alam, tetapi oleh alokasi sumber daya dan kapasitas pengelolaan risiko. Industrialisasi kebencanaan bukan hanya peluang bisnis, tetapi kebutuhan nasional untuk melindungi kehidupan dan memperkuat ketangguhan bangsa.

3. Ekosistem

Seperti halnya pengembangan industri lain, industrialisasi kebencanaan membutuhkan ekosistem yang kondusif. Ekosistem ini merupakan jaringan luas yang terdiri dari pelaku industri, lembaga riset, penyedia layanan, serta pemangku kepentingan lain yang berkolaborasi dalam menciptakan nilai tambah.

Ambil contoh sistem peringatan dini. Pengembangan teknologinya melibatkan berbagai pihak: perusahaan manufaktur pembuat sensor gempa dan banjir, start-up AI untuk prediksi cuaca ekstrem dan longsor, hingga pengembang drone dan satelit pemantau wilayah rawan bencana.

Lembaga riset dan perguruan tinggi mengembangkan model prediksi berbasis AI. Lembaga standarisasi menetapkan parameter mutu sensor dan integrasi sistem nasional. Pemerintah pusat dan daerah, melalui BNPB dan BPBD, mengatur kebijakan, regulasi, serta integrasi dalam tata ruang dan jaringan komunikasi.

Swasta juga berperan: aplikasi pelaporan komunitas, penyediaan jaringan telekomunikasi tangguh, hingga cadangan energi terbarukan di wilayah rawan bencana. Masyarakat lokal diberdayakan dalam edukasi teknologi, kurikulum sekolah memasukkan mitigasi bencana, dan organisasi kemanusiaan menjangkau wilayah terpencil.

Selain sistem peringatan dini, ekosistem ini juga mencakup konstruksi tahan gempa, logistik darurat, dan pembiayaan berbasis asuransi risiko bencana. Perpres No. 87/2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) menargetkan terwujudnya industri kebencanaan nasional pada 2030–2034, melalui pengintegrasian riset, inovasi, dan teknologi dimulai sejak 2020.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Tim SAR menggunakan drone thermal untuk mencari orang hilang di hutan Jambi

4. Langkah Rintisan Strategis

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang. RIPB 2020–2044 menjadi fondasi utamanya. Targetnya jelas: 2020–2024 integrasi riset dan teknologi; 2025–2029 kemandirian teknologi; 2030–2034 pengembangan industri kebencanaan.

Industrialisasi bencana harus dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Sektor industri perlu memandang mitigasi sebagai investasi, bukan beban. Kepala BNPB menyebutkan bahwa risiko bencana dapat mengganggu rantai pasok dan bisnis, sehingga sistem mitigasi seperti pelatihan, sistem peringatan dini, hingga asuransi harus menjadi bagian dari strategi bisnis.

Contoh rintisan strategis: perusahaan perkebunan membangun kanal pengendali banjir; industri migas menerapkan pemodelan geo-hazard; kawasan industri memasukkan risiko bencana dalam RTRW. CTIS (https://ctis.id/) mengangkat topik ini dalam berbagai kajiannya.

BNPB juga aktif mendorong kolaborasi. Seminar Nasional 21 Mei 2025 lalu merupakan bagian dari “Road to ADEXCO 2025”. ADEXCO (Asia Disaster and Emergency Expo & Conference) bukan sekadar pameran teknologi, tetapi ajang temu aktor industri, peneliti, dan komunitas. Produk lokal, purwarupa alat, dan start-up kebencanaan mulai bermunculan. Beberapa rekomendasi dari Semnas BNPB:

  • Penguatan sistem satu data bencana berbasis bukti
  • Insentif riset terapan dan pembiayaan purwarupa, termasuk skema PPP
  • Regulasi dan sertifikasi alat kebencanaan
  • Pengembangan kurikulum vokasi dan teknopreneur kebencanaan
  • Pembentukan forum riset dan industri kebencanaan lintas sektor

5. Penutup

Bencana adalah cermin kegagalan kolektif (Wisne dkk, 2003), tapi juga peluang membangun ketangguhan berbasis inovasi. Indonesia memiliki semua bahan mentah: SDM, laboratorium bencana alam, pasar, dan momentum politik. Industrialisasi kebencanaan bukan pilihan, tetapi keharusan untuk mewujudkan ketangguhan nasional berbasis riset, inovasi, dan  teknologi. ***

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang.
Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Opini ini ditulis oleh :

Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Laut Indonesia Tak Sehat, Perlu Aksi Nyata

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.

Pakar oseanografi fisik, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan bahwa penyebab utama dari pemanasan air laut ini adalah dampak dari perubahan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Dr. Salveanty Makarim (tengah) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025. (Dok CTIS)

Alumnus Xiamen University, Tiongkok, ini menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada 1960-an. Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal 2000-an.

“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi. Laut dalam sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.

ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia

Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut. ENSO adalah pola iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, dan bahkan dapat memengaruhi kesehatan manusia.

ENSO menyebabkan:

  • Pemutihan karang akibat suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari normal.
  • Perubahan arus laut yang berdampak pada distribusi nutrien dan kehidupan biota laut.
  • Perubahan populasi ikan, yang memengaruhi ekosistem dan sektor perikanan.
  • Peningkatan badai tropis, terutama di wilayah Pasifik.

“ENSO yang terjadi secara periodik kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim,” ujar Salveanty.

Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam. Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah memengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.

Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun  dan seterusnya.

“Sebab ENSO salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksi  ENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Pemerintah masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.

Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak

Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi. Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.

“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir. Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.

Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2021–2030), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera
Terumbu karang terancam mengalami kerusakan akibat naiknya suhu permukaan laut. (Dok KKP)

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Memprihatinkan

Menurut data terbaru, Indeks Kesehatan Laut Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.

Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan.” Program ini berfokus pada:

  • Laut yang bersih,
  • Laut yang sehat dan tangguh,
  • Laut yang produktif, dan
  • Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.

Dekade ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14, yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudra, dan sumber daya kelautan.

Namun tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai. Saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Pembangunan Indonesia Harus Libatkan Partisipasi Masyarakat

Penggagas dan Ketua Umum Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah, menurutnya, perlu membuka ruang keterlibatan publik dalam menentukan arah pembangunan, mengingat Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan multikultural.

Pernyataan tersebut disampaikan Pontjo dalam diskusi bertema “Peran Iptek dan Inovasi bagi Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 4 Juni 2025.

 

Pmembangun Indonesia harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo (tengah) sebagai narasumber dalam diskusi bertema “Peran Iptek dan Inovasi bagi Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 4 Juni 2025.. (Dok CTIS)

“Budaya dan kondisi alam Indonesia yang majemuk memerlukan satu faktor pemersatu, yaitu Pancasila. Pendekatan budaya dalam membangun peradaban bangsa harus dimulai dari pembangunan jiwa dan raga manusia Indonesia,” ujar Pontjo.

Ia mengutip istilah dari mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, yakni ranah mental-kultural atau tata nilai. Ranah ini secara simultan membangun sistem tata kelola negara (ranah institusional-politikal) serta sistem perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (ranah tata-sejahtera atau material-teknologikal).

Menurut Pontjo, paradigma Pancasila menjadi fondasi dalam membangun ketiga ranah tersebut. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik sangat penting.

Ia mencontohkan program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), yang seharusnya melibatkan masyarakat secara lebih aktif.

“MBG dirancang untuk mencegah stunting. Namun jika masyarakat dilibatkan, misalnya dengan menyertakan pangan lokal, maka program ini bisa mendorong ketahanan pangan daerah dan ekonomi lokal,” katanya.

pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat
Anak-anak sekolah menyantap menu makan siang program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Pontjo menambahkan, setiap daerah memiliki pangan lokal unggulan yang dapat dikembangkan dengan dukungan teknologi agar menjadi produk yang menarik, terutama bagi anak-anak.

Ia juga menyoroti pentingnya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Merujuk pada krisis beras di Jepang akibat gagal panen, Pontjo menilai pendekatan Jepang yang tidak membuka keran impor sebagai bentuk penghargaan terhadap petani lokal.

“Ini bentuk partisipasi masyarakat. Pemerintah Jepang membiarkan harga naik sebagai bentuk penghormatan terhadap petani yang gagal panen. Dengan begitu, kerja sama antara pemerintah dan petani untuk mencegah kegagalan panen bisa terus ditingkatkan,” jelasnya.

Di sektor pendidikan, Pontjo mengkritik rencana pendirian sekolah unggulan baru seperti Sekolah Nusantara dan Sekolah Rakyat. Menurutnya, pemerintah seharusnya memaksimalkan peran sekolah-sekolah yang sudah ada, termasuk sekolah swasta.

“Biaya untuk meningkatkan kualitas sekolah swasta agar setara dengan standar nasional jauh lebih efisien dibandingkan membangun sekolah baru,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti eksklusivitas BUMN yang dianggap menutup ruang partisipasi bagi sektor swasta. “Pemerintah cenderung melihat badan usaha swasta sebagai pesaing, bukan mitra. Ini perlu diubah,” tegasnya.

Pontjo menilai, tata kelola partisipatif di sektor pendidikan maupun BUMN bisa meniru model sistem pertahanan semesta yang diterapkan TNI. Dalam sistem tersebut, Panglima TNI berperan sebagai penentu ancaman dan strategi militer, sementara pelaksanaannya diserahkan kepada Kepala Staf Angkatan yang mengelola sumber daya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sistem perekonomian Indonesia harus berbasis pada pengetahuan. “Sains adalah proses memperoleh pengetahuan melalui observasi dan eksperimen, sedangkan teknologi merupakan penerapannya dalam kehidupan manusia,” jelas Pontjo.

pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat
PT INKA memproduksi gerbong kereta KRL dengan muatan TKDN . (Dok PT INKA)

 

Namun, ia menilai kebijakan ekonomi pemerintah belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri dalam negeri. Ia mengkritik strategi substitusi impor yang tidak selalu relevan.

“Tidak semua barang impor harus diproduksi dalam negeri. TKDN untuk substitusi impor tidak otomatis mendorong kemajuan industri nasional,” kata Pontjo.

Menutup diskusi, Pontjo mengajak CTIS dan Aliansi Kebangsaan bersama komunitas cendekiawan serta profesional Indonesia untuk merumuskan strategi pembangunan industri berbasis pengetahuan dengan paradigma Pancasila.

“Hasil pemikiran ini nantinya akan disampaikan kepada pemerintah sebagai kontribusi intelektual,” pungkasnya. ***