Indonesia memasuki fase baru dalam pengelolaan mineral kritis. Logam tanah jarang (LTJ), komponen penting dalam industri kendaraan listrik, energi terbarukan, elektronik presisi, hingga teknologi pertahanan, resmi menjadi salah satu fokus kebijakan nasional. Dorongan ini semakin kuat sejak pemerintah membentuk Badan Industri Mineral (BIM) pada 2025, lembaga yang bertugas mengoordinasikan strategi pengembangan mineral strategis, termasuk LTJ.
Isu LTJ mengemuka dalam diskusi ilmiah yang digelar CTIS pada Rabu, 26 November 2025, bertema “Logam Tanah Jarang: Kita Kaya?”. Salah satu pembicara, ahli geologi sekaligus mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin, PhD, menyatakan bahwa perhatian pemerintah terhadap LTJ dalam beberapa pekan terakhir meningkat signifikan.

“Jarang geologi mendapat perhatian presiden. Namun untuk logam tanah jarang ini, presiden benar-benar memberi fokus, dan kami memberi masukan agar arahan tersebut bisa diwujudkan,” ujar Ridwan.
Seminar Nasional ITB: Menyatukan Ilmuwan dan Pembuat Kebijakan
Sebelumnya, pada 1 November 2025, ITB menggelar seminar nasional bertema prospek LTJ, menghadirkan Kepala BIM Brian Yuliarto, Rektor ITB, serta Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya. Dalam forum tersebut, Brian menegaskan bahwa LTJ bukan mineral yang berdiri sendiri, melainkan hadir sebagai mineral ikutan pada penambangan timah, nikel, bauksit, dan tembaga.
LTJ memiliki peran strategis dalam berbagai teknologi modern—dari magnet permanen, baterai kendaraan listrik dan hybrid, katalis industri, perangkat elektronik, hingga aplikasi pertahanan dan nuklir. “Potensi ekonominya sangat besar bila dikelola dengan benar,” ujar Ridwan.
Sebutan “jarang” merujuk pada kesulitannya diekstraksi dan dimurnikan, bukan pada kelangkaan absolut di alam. China hingga saat ini menguasai rantai pasok LTJ global, dari hulu hingga hilir, berkat teknologi pemisahan yang paling maju di dunia.
Unsur-unsur utama dalam LTJ meliputi cerium, lanthanum, neodymium, praseodymium, dan yttrium, unsur kunci dalam magnet berenergi tinggi dan komponen elektronik canggih.

Apakah Indonesia Benar-Benar Kaya LTJ?
Menurut Ridwan, berbagai survei global pada 2011–2019 memang mengidentifikasi potensi sumber daya LTJ di Indonesia. Namun hingga kini, Indonesia belum memiliki cadangan LTJ yang diakui bernilai ekonomis.
Hal ini berbeda dengan negara seperti Vietnam, India, Australia, dan Brasil, yang cadangannya sudah tervalidasi dan dieksploitasi secara industri. “Kesimpulannya, belum ada eksplorasi sistematis yang benar-benar ditujukan untuk target REE di Indonesia,” tegas Ridwan.
Di kawasan Asia Pasifik, distribusi cadangan LTJ saat ini diperkirakan sebagai berikut:
- China: 44 juta ton
- Vietnam: 22 juta ton
- India: 6,9 juta ton
- Australia: 3,4 juta ton
Sementara itu, Brasil memimpin di Amerika dengan 22 juta ton, disusul Amerika Serikat dengan 1,4 juta ton. Rusia memiliki sekitar 12 juta ton di Eropa.
Menariknya, Malaysia yang tidak tercatat sebagai negara dengan cadangan besar justru menjadi pemain penting dalam industri pengolahan LTJ melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dan juga China.

Peta Indonesia: Potensi Ada, Cadangan Belum Terkonfirmasi
Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada 2019, terdapat 28 lokasi yang mengindikasikan keberadaan LTJ, dengan 9 lokasi sudah dieksplorasi awal. Daerah yang dianggap paling prospektif mencakup: Bangka Belitung, Sulawesi, Kalimantan dan Papua
Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, mencatat bahwa estimasi potensi Indonesia bisa mencapai 300 ribu ton LTJ, meski angka ini berbeda antara lembaga seperti MIND ID dan Kementerian ESDM. Intinya, Indonesia memiliki sumber daya, tetapi belum ada cadangan.
Indonesia juga belum memiliki IUP khusus LTJ ataupun wilayah izin khusus untuk komoditas tersebut. Meski demikian, ada preseden penting: pilot plant LTJ PT Timah di Bangka, yang pernah berjalan sebelum dihentikan. “Kita punya cikal bakal yang bisa dihidupkan lagi,” ujar Ridwan.
BIM sendiri mendapat dukungan dari Perusahaan Mineral Nasional (Perminas), BUMN baru yang ditugaskan mendorong hilirisasi LTJ.
Kerja Sama Internasional: Peluang dengan Amerika Serikat
Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Indroyono Soesilo, yang hadir secara daring, menilai Indonesia berpotensi membuka kerja sama eksplorasi bersama AS. Negara-negara lain seperti Jepang, Australia, Thailand, dan Malaysia sudah menandatangani MoU dengan Washington terkait pengembangan LTJ.
“Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama. Amerika pasti tertarik, asal jangan memberikan terlalu banyak syarat,” ujarnya. Ia menyarankan kerja sama dimulai dari joint exploration, tanpa harus menunggu kesiapan pabrik pengolahan atau regulasi lengkap.
Menurut Indroyono, data potensi LTJ nasional juga perlu diperbarui, mengingat keterkaitannya dengan mineral “saudara” seperti tembaga, nikel, bauksit, dan timah. Ia menekankan pentingnya melihat potensi regional lintas batas seperti:
- Sulawesi dan Papua terhubung dengan Filipina
- Kalimantan terhubung secara geologi dengan Malaysia
Dari Kedutaan Besar RI di Washington DC, Ibrani menambahkan bahwa isu LTJ kini berada di jantung geopolitik global, terutama setelah AS memasukkan LTJ dalam agenda pertahanan nasional. “Peluang sinergi resources Indonesia-AS sangat relevan dan strategis,” ujarnya.

Membangun Kemampuan Teknologi Dalam Negeri
Ketua CTIS Wendy Aritenang, PhD, menegaskan kesiapan institusinya untuk mendukung arahan Presiden dengan menyusun rekomendasi ilmiah. Sementara itu, moderator diskusi Idwan Suhardi, PhD, menekankan bahwa kemampuan mengolah LTJ akan menentukan daya saing Indonesia dalam teknologi tinggi.
“Penguasaan teknologi pemisahan LTJ bukan hanya soal industri, tetapi fondasi untuk kemandirian teknologi nasional,” ujar Idwan.
Keberhasilan Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan negara mempercepat eksplorasi, menguasai teknologi pemurnian, dan menarik investasi ke industri hilirisasi berbasis LTJ. ***