Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Indroyono: Bangsa Ini Harus Memalingkan Pandangan ke Laut

Sebelum Republik Indonesia berdiri, kerajaan-kerajaan besar di Nusantara telah menunjukkan kekuatan sebagai negeri bahari. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa dua pertiga wilayah Indonesia merupakan lautan.

Sejumlah kerajaan maritim seperti Sriwijaya, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, hingga Mataram berkembang pesat berkat jalur perdagangan laut. Kapal-kapal dagang dari India, Tiongkok, Arab, hingga Eropa rutin singgah di pelabuhan-pelabuhan strategis di Nusantara.

Pelabuhan seperti Sriwijaya, Majapahit, Tuban, Gresik, Barus, Banten, Banda, Ambon, dan lainnya menjadi simpul perdagangan rempah-rempah, emas, dan barang bernilai lainnya. Teknologi pelayaran pun telah dikuasai masyarakat Nusantara sejak lama melalui pembuatan kapal seperti jukung, pinisi, dan jong.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Prof. Indroyono Soesilo (duduk no 3 dari kiri), mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), sebagai narasumber diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025. (dok CTIS)

Hal ini disampaikan oleh Prof. Indroyono Soesilo, mantan Menko Kemaritiman RI sekaligus Dewan Pembina Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) dalam diskusi bertema Laut Indonesia, Rabu, 2 Juli 2025.

VOC Ubah Arah dari Laut ke Darat

Menurut Indroyono, kejayaan maritim Nusantara perlahan memudar sejak kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada awal abad ke-17. VOC datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga memonopoli jalur laut dan perdagangan rempah.

VOC mendirikan pos dagang dan benteng di Batavia, Ambon, Banda, dan memaksa masyarakat beralih dari sektor kelautan ke sektor agraris. Perkebunan kopi, tebu, dan rempah-rempah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa.

“VOC bahkan menekan raja-raja lokal untuk menutup pelabuhan agar monopoli dagang berjalan mulus. Sejak itu, orientasi bangsa berubah dari negeri bahari menjadi negeri daratan,” tegasnya.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Kapal bantu rumah sakit produksi PT PAL Indonesia. (dok PT PAL)

Deklarasi Djoeanda dan Visi Maritim Indonesia

Indroyono mengingatkan bahwa semangat maritim sempat kembali menguat saat Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.

Deklarasi ini menjadi dasar pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diperkuat dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.

Pada 1996, semangat pembangunan maritim kembali digaungkan oleh Presiden BJ Habibie (saat itu masih menjadi Menristek/Kepala BPPT) melalui inisiatif pembangunan benua maritim Indonesia yang ditandatangani di Makassar oleh berbagai lembaga negara.

Presiden setelahnya, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono ikut melanjutkan upaya pembangunan maritim. Di era Joko Widodo–Jusuf Kalla pada 2014, visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia diperkenalkan, lengkap dengan lima pilar pembangunan maritim.

Presiden juga menerbitkan Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang mencakup tujuh pilar utama seperti pengelolaan sumber daya laut, infrastruktur, pertahanan, hingga budaya bahari dan diplomasi maritim.

Namun, kata Indroyono, implementasi kebijakan ini tidak berlanjut secara konsisten. Bahkan Kementerian Kemaritiman telah dilebur, dan banyak program kelautan terabaikan.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati
Nelayan Indonesia penyangga budaya maritim. (Dok ESDM)

Saatnya Kembali ke Laut

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus memalingkan pandangan ke laut, membangkitkan budaya maritim yang sudah lama mati,” ujarnya.

Ia menyoroti pentingnya pendidikan dan pelestarian sejarah maritim untuk generasi muda. Salah satunya melalui kunjungan ke Museum Bahari atau pelajaran sejarah tentang armada laut kerajaan seperti pasukan Sultan Agung yang dulu menyerbu Batavia melalui laut.

Ia juga menyinggung sosok Laksamana Alfonso de Albuquerque, arsitek ekspansi Portugis ke Asia Tenggara melalui laut yang berhasil menjalin hubungan dengan Sultan Ternate.

“Laut adalah kekuatan ekonomi, ketahanan, dan budaya kita,” tegasnya.

Indroyono menambahkan bahwa Indonesia sudah memiliki roadmap Blue Economy, yakni pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Hal ini juga berkaitan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang harus dicapai sebelum 2030.

“Semua perangkat hukum sudah ada. Tinggal dilaksanakan. Mulai dari pembangunan pelabuhan-pelabuhan dagang modern, hingga mengaktifkan kembali pelayaran nasional. Kalau sudah disiapkan infrastrukturnya, maka industri dan tenaga kerja akan mengikuti,” pungkasnya. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

17 Tahun Para Ahli Indonesia-Tiongkok Menguak Fenomena Ilmiah Laut Indonesia

Dari segi sains dan teknologi kelautan, wilayah perairan Indonesia sangat kaya dengan ragam topik riset yang bisa dikerjasamakan guna mendapatkan berbagai temuan-temuan ilmiah tentang kelautan dunia.

Beberapa fenomena iptek kelautan di perairan Indonesia yang bisa mendunia, antara lain Arus Lintas Indonesia (Arlindo), Segitiga Terumbu Karang, Indian Ocean Dipole (IOD), kolam panas pemicu variabilitas iklim El Nino dan La Nina, proses upwelling di laut tempat ikan berkumpul, juga prediksi cuaca monsoon dan pemantauan gempa di laut, serta tsunami.

Kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu, dan sudah banyak hasil riset yang bisa dihilirisasi.  Ke depannya, diprakirakan kerja sama riset kelautan Indonesia – Tiongkok dapat ditindaklanjuti melalui revitalisasi Indonesia – China Center for Ocean Climate yang dibentuk tahun 2012 lalu.

Di samping itu, kerja sama pengembangan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dan Tiongkok melalui program Master dan Doktor, ekspedisi kelautan bersama, serta penerapan hasil hasil riset kelautan yang sudah terhimpun untuk program perubahan iklim global di laut, implementasi keanekaragaman hayati laut, ilmu perikanan dan ekonomi biru guna kemaslahatan penduduk Indonesia dan Tiongkok.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) dengan topik ‘Kerjasama Kelautan Indonesia – Tiongkok Untuk Pemantauan Iklim Laut, ,Rabu 18 September 2024

Kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu, dan sudah banyak hasil riset yang bisa dihilirisasi. 

Berbicara pada diskusi adalah Professor Weidong Yu dari Sun Yat Sen University, Zhuhai, China, sedang bertindak sebagai moderator adalah Dr Marina Frederik, ahli geofisika Laut BRIN.

Professor Yu menyampaikan bahwa sejak kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok ditandatangani, antara First Institute of Oceanography (FIO), China’s State Oceanic Administration (SOA), dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2006 lalu hingga tahun 2024 ini telah digelar 6 proyek proyek riset antara kedua negara.

Proyek riset pertama tentang:”South China Sea and Indonesian Seas Throughflow and its Impacts on Fish Seasonal Migration (SITE)”, menggunakan kapal riset Baruna Jaya BPPT, guna mengkaji peran Arus Lintas Indonesia (Arlindo) terhadap migrasi ikan dan kumpulan ikan di Perairan Laut China Selatan dan di Perairan Indonesia, mengingat fenomena Arlindo menegaskan bahwa arus laut bergerak dari Samudera Pasifik, melewati Kepulauan Nusantara menuju Samudera Hindia, ini berdampak pada pola migrasi ikan.

 Arus Lintas Indonesia (Arlindo) terhadap migrasi ikan dan kumpulan ikan di Perairan Laut China Selatan dan di Perairan Indonesia
Jalur Masuk ARLINDO
(sumber: The Geological Society of London)

Proyek Riset kedua tentang: “The Java Upwelling Variations and Impacts on Seasonal Fish Migration” pada tahun 2007 menggunakan kapal riset Baruna Jaya milik BPPT. Riset ini mempelajari tentang naiknya khlorofil dari dasar laut, yang merupakan sumber pakan ikan, sehingga dapat dipantau wilayah kaya ikan, serta migrasi ikan di perairan Indonesia.

Proyek Riset III tentang:”Monsoon Onset Monitoring in the Tropical Eastern Indian Ocean and its Social and Ecological Impacts”, tahun 2010.  Pada ekspedisi ini mulai dipasang pelampung-pelampung bouy di Samudera Hindia, sebelah Barat Sumatera.

Pada 23 Maret 2012, disaksikan Presiden SB Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Hu Jintao, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Cicip S.Soetardjo dan mitranya dari Tiongkok menandatangani pembentukan Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC).

Menurut Professor Yu, keberadaan lembaga ini semakin memacu kerjasama iptek kelautan antara dua negara tadi.  Berbagai kegiatan riset bersama yang digelar, antara lain: Proyek “Response of Marine Hazards to Climate Change in the Western Pacific (ROSE)”.  Lalu ada proyek:” Marine Biotechnology and Biodiversity Joint Study”, juga proyek: “Joint Observation Station in Badong, West Sumatra” dan proyek:  Eastern Indian Ocean Geology and  Benthic Biology Joint Study.

Tidak hanya kerja sama antara dua negara, Indonesia dan Tiongkok berpartisipasi dan berkontribusi pada program program riset kelautan regional, seperti 2nd Internationl Indian Ocean Expedetion (IIOE-2).  Juga pengkajian tentang sebaran serta migrasi ikan tuna sirip biru (Blue Fun Tuna) yang berada di Samudera Hindia antara selatan pulau Jawa dan perairan Australia Utara.

Melalui kerjasama Indonesia – USA – China, dibangun pula jarigan pelampung pemantauan laut, sebagai bagian dari Program “Global Tropical Moored Buoy Array”, untuk prediksi El Nino dan La Nina.  Data ini sangat penting untuk prakiraan kehadiran El Nino, karena kehadiran El Nino bisa berdampak pada kebakaran hutan dan lahan, gagal panen serta meningkatnya beberapa penyakit seperti demam berdarah.

Investasi Tiongkok dalam riset kelautan terus ditingkat.  Kerja sama dengan Indonesia, yang tadinya menggunakan kapal riset BPPT Baruna Jaya dan kapal riseet BRKP Madidihang, sekarang Tiongkok telah membangun kapal riset sendiri yang amat besar dan sangat modern, diberi nama R/V Zhong Shan Da Xue.

Kapal yang panjangnya 115 meter, berarti dua kali panjang Kapal Riset Baruna Jaya.  R/V Zhong Shan Da Xue ini juga dilengkapi oleh kapal selam riset yang mampu menyelam hingga kedalaman 7000 meter.

Bermodalkan pengalaman bekerjasama lebih dari 17 tahun antara Indonesia dan Tiongkok di bidang riset kelautan ini, ditambah dengan ketersediaan infrastruktur yang semakin baik, terutama dari pihak Tiongkok, seperti kapal selam modern tadi, maka Professor Yu mengusulkan program yang telah terjalin sangat baik ini bisa dilanjutkan, terutama dengan merevitalisasi kerjasama Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC) yang sudah mulai bekerja sejak tahun 2012 lalu.

Diharapkan , melalui ICCOC dapat dibuat program program unggulan kelautan untuk mengkaji dan mengimplementasikan permasalahan kelautan dan perubahan iklim Global, studi keanekaragaman hayati laut, riset tentang perikanan dan pembangunan ekonomi biru.

Para pakar CTIS sepakat untuk segera menyusun usulan program revitalisasi riset kelautan RI-Tiongkok, untuk diserahkan kepada Pemerintahan yang baru. ***

Sumber : https://forestinsights.id/17-tahun-para-ahli-indonesia-tiongkok-menguak-fenomena-ilmiah-laut-indonesia/