Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Jejak Peneliti Indonesia di Antartika dan Dampak Globalnya

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi pembahasan dalam diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies pada Rabu, 20 Agustus 2025, menghadirkan narasumber Dr. Anastasia Kuswardani, Kepala Pusat Standardisasi dan Sertifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adapun tema yang diangkat  Benua Antartika dan Perubahan Iklim di Kepulauan Nusantara.

Anastasia merupakan salah satu ekspedisioner Australia’s Antarctic Programme, Australian Antarctic Division 2004–2005. Saat itu, Indonesia mengirim dua peneliti perempuan, salah satunya Anastasia yang berkolaborasi dengan akademisi dari Universitas Sam Ratulangi.

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia.
Diskusi yang digelar Centre for Technology and Innovation Studies pada Rabu, 20 Agustus 2025, menghadirkan narasumber Dr. Anastasia Kuswardani (no 3 duduk dari kanan), Kepala Pusat Standardisasi dan Sertifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Dok CTIS)

Lulusan Geofisika dan Meteorologi ITB serta doktor bidang Physical Oceanography dari Ocean University of China ini berbagi pengalaman setahun penuh melakukan riset di Antartika. Ekspedisi yang berlangsung sejak Desember 2004 hingga Februari 2005 itu menggunakan kapal riset Aurora Australis milik Australia.

Rute perjalanan dari Fremantle ke Davis Station Hobart, 23 Desember 2004 hingga 17 Februari 2005

Cadangan Air Tawar Dunia

Menurut Anastasia, Antartika menyimpan 60–70% cadangan air tawar Bumi dalam bentuk es. Data British Antarctic Survey menyebutkan 70% air tawar global tersimpan di kawasan ini, sementara USGS mencatat 91% gletser dunia berada di Antartika. Perubahan yang terjadi di sana sangat relevan dengan kenaikan muka laut di seluruh dunia, termasuk Nusantara.

Hasil Penelitian Ekspedisi

Tim ekspedisi melakukan berbagai riset, mulai dari pengukuran arus laut dalam, suhu, salinitas, hingga massa gunung es. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan suhu permukaan laut yang memengaruhi densitas air. Data 2005 memperlihatkan air laut di Samudra Selatan lebih tawar dan ringan dibandingkan pengamatan pada 1995.

“Laju perubahan iklim memiliki pola yang sama, namun dengan magnitudo lebih besar dibandingkan periode akhir 1960-an hingga 1990-an,” jelas Anastasia.

Ia menambahkan, mencairnya es Antartika dapat memengaruhi sirkulasi termohalin global, memperlambat Antarctic Circumpolar Current (ACC), dan berdampak pada perubahan iklim hingga ke Samudra Hindia.

Dampak bagi Indonesia

Bagi Indonesia, perubahan di Antartika tercermin pada pola monsun Asia–Australia, curah hujan, hingga musim ikan. Cuaca ekstrem, gelombang tinggi, rob, serta paceklik ikan semakin sering dirasakan nelayan.

Fenomena migrasi ikan dan paus terdampar di perairan Indonesia juga dikaitkan dengan perubahan suhu laut. “Ikan-ikan akan mencari habitat yang lebih nyaman, sehingga terjadi migrasi besar-besaran,” kata Anastasia.

Melelehnya salju di benua Antartika berpengaruh besar terhadap kondisi iklim global, termasuk Indonesia.
Pada 2005, pemerintah memasang plakat bertanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri di Davis Station sebagai bentuk apresiasi terhadap para peneliti Indonesia yang ikut serta dalam riset global tersebut. (Dok CTIS)

Seruan Menjaga Laut

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, Anastasia menekankan pentingnya menjaga kesehatan laut, antara lain dengan mengurangi plastik sekali pakai, tidak membuang sampah ke laut, serta menghemat energi.

Ekspedisi Antartika sendiri memiliki arti penting bagi Indonesia. Pada 2005, pemerintah memasang plakat bertanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri di Davis Station sebagai bentuk apresiasi terhadap para peneliti Indonesia yang ikut serta dalam riset global tersebut. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Laut Indonesia Tak Sehat, Perlu Aksi Nyata

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.

Pakar oseanografi fisik, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan bahwa penyebab utama dari pemanasan air laut ini adalah dampak dari perubahan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Dr. Salveanty Makarim (tengah) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025. (Dok CTIS)

Alumnus Xiamen University, Tiongkok, ini menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada 1960-an. Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal 2000-an.

“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi. Laut dalam sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.

ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia

Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut. ENSO adalah pola iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, dan bahkan dapat memengaruhi kesehatan manusia.

ENSO menyebabkan:

  • Pemutihan karang akibat suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari normal.
  • Perubahan arus laut yang berdampak pada distribusi nutrien dan kehidupan biota laut.
  • Perubahan populasi ikan, yang memengaruhi ekosistem dan sektor perikanan.
  • Peningkatan badai tropis, terutama di wilayah Pasifik.

“ENSO yang terjadi secara periodik kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim,” ujar Salveanty.

Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam. Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah memengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.

Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun  dan seterusnya.

“Sebab ENSO salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksi  ENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Pemerintah masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.

Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak

Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi. Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.

“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir. Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.

Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2021–2030), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera
Terumbu karang terancam mengalami kerusakan akibat naiknya suhu permukaan laut. (Dok KKP)

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Memprihatinkan

Menurut data terbaru, Indeks Kesehatan Laut Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.

Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan.” Program ini berfokus pada:

  • Laut yang bersih,
  • Laut yang sehat dan tangguh,
  • Laut yang produktif, dan
  • Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.

Dekade ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14, yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudra, dan sumber daya kelautan.

Namun tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai. Saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan. ***