Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Ada Cuan Dari Atas Awan

TEKNOLOGI Modifikasi Cuaca (TMC) saat ini sudah sangat umum dikenal masyarakat. Dahulu namanya teknologi hujan buatan.

Dahulu masyarakat awam belum paham apa itu hujan buatan? Hujan itu sebuah siklus alam dan bukan buatan manusia. Namun kemudian ada teknologi untuk menghadirkan hujan. Dan dalam ilmu marketing, nama hujan buatan lebih banyak diingat orang.

Kemudian namanya berganti menjadi TMC. Teknologi ini sudah dimulai sejak 1980 oleh para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lembaga ini sudah melebur di dalam BRIN.

Dalam Iptek Voice edisi-79 membahas Teknologi Modifikasi Cuaca dengan narasumber Dr Asep Karsidi APU.

Dalam paparannya, Asep Karsidi menjelaskan bahwa TMC ini benar-benar teruji secara sains, jadi bukan seperti pawang hujan.  Bahkan TMC ini telah digunakan untuk membantu mengisi waduk yang debit airnya terus menyusut saat kemarau.

Membantu memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di Sumatra dan Kalimantan.

Dan pada acara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 2022, TMC dilibatkan untuk mencegah terjadinya hujan.

“Keberhasilan ini membanggakan kita semua dan keluarga besar BPPT  yang bekerja sama dengan BMKG dan Lapan. Namun sekarang BPPT dan Lapan sudah tiada, jadi sekarang di bawah BMKG,” kata Asep Karsidi.

Dan saat ini yang memanfaatkan jasa TMC ini tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta. Seperti saat musim kemarau panjang, para pemilik perusahaan perkebunan telah mengantisipasi terjadinya karhutla dengan memanfaatkan jasa TMC.

Diakui oleh Asep bahwa hadirnya TMC ini telah membangun industri jasa layanan untuk TMC. Dan  teknologi ini bertujuan untuk menambah atau mengurangi curah hujan agar sumber daya air tetap terjaga.

“Saat ini lebih luas penanganannya dan tentu didukung iptek oleh lembaga riset seperti BRIN sekarang ini. Dari aspek pemerintahan harus perkuat aspek risetnya agar efektif,” tegasnya.

TMC terus berkembang

Menurutnya TMC memiliki banyak aspek dan tidak hanya mengurangi atau menambah intensitas hujan.

Bahkan di luar negeri telah dilakukan memanen petir untuk kepentingan pertanian. Dalam TMC ini, teknologi yang digunakan untuk mengganggu calon-calon sumber air di angkasa dengan cara dinamis maupun statis.

Perkembangan teknologi TMC ini cukup dinamis. TMC di Indonesia awalnya meniru Thailand dengan menyebarkan butian garam untuk disemai di awan. Butiran garam ukurannya harus di bawah 10 mikron.

Namun pada penyemaian di awan itu justru ukurannya lebih besar 100 mikron. Pesawat yang mengangkut adalah pesawat casa  karena harus membawa 700 kg. Hal ini tidak efektif. Dalam perjalanannya TMC ini mengalami perkembangan inovasi.

“Dari Thailand tidak lagi dipakai dan diganti dengan teknologi terbaru dari AS dengan menggunakan teknologi flare,” terang Asep.

Bahan baku berupa garam dengan ukuran 1-10 mikron atau sangat kecil seperti bubuk. Dalam penyemaian ini dengan flare atau ditembakkan ke awan.  Teknologi flare ini juga bisa menggunakan roket yang ditembakkan dari tanah atau dengan drone.

“Kita kembangkan proses pembentukan butir hujan dengan membutuhkan titik kondennsasi lebih halus 1-10 mikron partikel yang halus dengan flare,’ jelas Asep Karsidi.

Meskipun teknologi ini sudah terbukti bisa meningkatkan dan mengurangi hujan, namun TMC ini kadang terkendala perubahan mikrofisik yang cepat di udara yang terbuka. Hal itu tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

“Maka dalam kegiatan TMC ini kita intervensi atau utak atik karena kondisi alam yang cepat berubah,” ujarnya.

Di AS, jasa TMC baik statis maupun dinamis dilakukan oleh perusahaan jasa swasta. Sedangkan di Thailand oleh pemerintah.

Menariknya jasa TMC di Amerika Serikat fokus memanen kilat atau petir yang dirintis sejak 1990. Kemudian pada 2000 an TMC berbasis flare untuk membantu PLTA dan sektor pertanian.

Bahkan TMC digunakan untuk menyebarkan benih, pupuk dan semprot hama.

Sedangkan NASA pun melakukan riset extraordinary untuk TMC ini bila ada badai. Amerika Serikat melalui NASA menerbangkan pesawat untuk meluluhkam mata badai.

Hilirisasi teknologi dan bisnis TMC

Perjalanan TMC dari 1980-an hingga sekarang telah terjadi perubahan besar. Berawal dari Teknologi Mitigasi. Cuaca kini lahir perusahaan yang fokus pada pelayanan jasa modifikasi cuaca.

Dua perusahaan itu  adalah PT Smart Cakrawala Aviation dan PT Reka Cuaca Indonesia. Untuk PT Smart Cakrawala Aviation dalam jasa TMC bersifat dinamis menggunakan flare.

Sedangkan untuk PT Reka Cuaca Indonesia menggunakan powder yag disebar dari ground atau bersifat statis.

Kedua perusahaan ini telah memiliki banyak klien di berbagai daerah baik dari provinsi, kabupaten hingga perusahaan tambang dan perkebunan serta Jasa Tirta I dan II.

Menurut Sadly, lahirnya dua perusahaan ini berawal keinginan mendukung program pemerintah dalam hilirisasi teknologi. Serta berpartisipasi melayani para users yang ingin memiliki solusi saat menghadapi karhutla, ketahanan pangan, bencana hidrometeorologi dan lainnya.

Sukses tekan karhutla

Indroyono Soesilo dari Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) yang hadir dalam pemaparan Teknologi Modifikasi Cuaca ini mengatakan bahwa TMC berperan besar dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia

Disebutkan dalam COP 26 di Glasgow pada 2020 bahwa Indonesia mampu menurunkan 83 persen karhutla melalui upaya Teknologi Modifikasi Cuaca. Dimulai dari 2010 terjadi karhutla mencapai 2,6 juta hektare kemudian pada 2020 tersisa 210 hektar. Penurunan drastis karhutla ini karena peran serta TMC dalam pengendalian hujan.

Banyaknya perusahaan yang mengandalkan TMC dalam pengendalian karhutla karena lebih menguntungkan. Sebab sewa jasa TMC untuk satu provinsi rata-rata Rp3 miliar.

Sementara karhutla yang terjadi periode 2014-2019 untuk satu provinsi menangguk kerugian Rp7,3 Triliun.

Untuk itu pelayanan jasa teknologi modifikasi cuaca bernilai ekonomi dan mendatangkan banyak cuan.

Sadly dalam paparan terakhir mengatakan bahwa TMC ini memiliki banyak peluang karena saat ini semakin banyak waduk dan PLTA.

Tantangannya dalam TMC ini mengutak atik cuaca di alam terbuka dengan kondisi sangat dinamis dan tidak menentu.

“Diperlukan dukungan iptek dan peralatan yang mumpuni  dan terus dilakukan riset lebih lanjut oleh lembaga pemerintah bersama dengan pihak terkait,” kata Sadly.

Selain itu pihak swasta diberi kesempatan untuk melaksanakan layanan TMC sebagai fungsi hilirisasi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah. Layanan terfokus pada ketersediaan air, mengurangi curah hujan untuk masyarakat.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Hilirisasi Mineral di Indonesia masih Minim Teknologi

NIKEL menjadi komponen bahan baku baterai kendaraan listrik. Oleh karena itu banyak industri baterai listrik di luar negeri  melirik ke Indonesia untuk berinvestasi.

Kendati Indonesia memiliki nikel namun belum bisa dihilirisasi menjadi baterai kendaraan listrik. Mengapa?

Dalam Iptek Voice 80 mengangkat Hilirisasi Mineral bersama DR Ir Ridwan Djamaluddin mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM.

Ridwan menekankan bahwa hingga sekarang alih teknologi nikel di Indonesia masih ketinggalan. Pemerintah melarang ekspor bahan baku nikel namun faktanya aspek teknologi nikel menjadi baterai masih dilakukan oleh pihak asing.

Menurutnya ini merupakan faktor penting bagaimana hilirisasi nikel bisa dilakukan lemvbaga-lembaga riset seperti BPPT yang kini sudah tiada.

Sejauh ini yg masih tertinggal adalah alih teknologi, meski larang ekspor bahan baku, tapi aspek teknologi nikel jd baterai masih dilakukan pihak asing.

“Ini porsi penting kita kehilangan lembaga penelitian seperti BPPT. Iptek tidak kuat seperti dulu,” ujarnya.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

“Sekarang kita tekan masuknya investasi asing bikin pabrik baterai tapi minim aspek teknologi,” ujarnya.

Saat ini ada dua bahan mineral penting yang dicari dunia yaitu pasir silika dan pasir kuarsa. Di dunia, pasir kuara menjadi the next nikel dan itu banyak ditemukan di Belitung.

Perusahaan dari China berminat untuk investasi pasir silika karena potensinya besar untuk bahan panel surya. Nilai investasi sebesar US$3 miliar di Bangka Belitung.

Menurutnya pandangan umum saat ini bahwa transisi energi hampir dikonotasikan dengan hentikan pemakaian bahan bakar minyak atau bahan bakar fosil dan batu bara. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PLTU batu bara dipensiunkan pada 2060.

Pemerintah menggunakan transisi berkeadilan dan tidak membangun PLTU baru. Walau transisi berkeadilan ini menandai kontribusi indonesia mendorong tumbuhnya energi baru dan terbarukan.

Ridwan berpendapat bahwa transisi energi tidak semata-mata dikonotasikan dengan mematikan PLTU batubara, tetapi juga kontribusi Indonesia dalam energi baru dan terbarukan.

“Di awal kita mendorong nikel kadar rendah jadi baterai listrik. Sekarang panel surya menggunakan pasir kuarsa yang banyak ditemui di Bangka Belitung dan Kalimantan. Pasir silika dakar kuarsa tinggi dan kadar besi juga tinggi,” kata Ridwan.

Keberadaan besi ini interlocking dengan kuarsa, namun China tidak masalah dalam pemisahan besi dan kuarsa.

Menurutnya ini penting karena  regulasinya bagus tetapi fakta di lapangan justru lama dan banyak kendala. Di Indonesia 18 bulan itu masih proses amdal, sementara di China sudah produksi barang.

Selain itu investor China sanggup memproduksi panel surya dari kuarsa dan keluar pabrik 18 bulan  setelah pabrik dibangun.

Pembangkit Listrik Tenaga Thorium

Mineral kedua adalah thorium yang bisa digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Thorium ini pembangkit listrik murah tapi isu negatifnya adalah radioaktif. Padahal tidak semua radioaktif mengancam manusia. Biaya listriknya 3-4 sen dolar AS, cukup murah.

Potensi penghasil thorium di Indonesia adalah di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.

Pulau Gelasa bakal dijadikan lokasi pembangkit nuklir tenaga thorium pertama di Indonesia.

Selain investor dari China, dari Kanada maupun dalam negeri berminat pada Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Dijelaskan oleh Ridwan Djamaluddin bahwa ada empat pihak yang berminat membangun Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Thorium ini yakni AS, China, Kanada dan Indonesia.

China dan AS telah melakukan eksperimen pembangunan PLTT ini. Namun Indonesia yang memiliki bahan baku thorium justru belum atau tidak melakukan eksperimen. Alasan di internal menunggu negara lain melakukan. “Indonesia tidak mau menjadi pioner di sini,” ujar Ridwan.

Secara potensi, Indonesia berpotensi untuk energi baru dan terbarukan dan mengkapitalisasikan. Pemerintah telah melarang ekspor bauxite (biji aluminium), tembaga dan timah untuk transisi energi.

“Kita masih syok melarang ekspor bauxit pada Maret 2023. Larangan ini tidak ada langkah-langkah antisipatif. Bauxit bisa dihilirisasi lebih mudah maka harus bangun pabrik hilirisasi. Kita antisipasi larangan ekspor logam timah. 6-7 bulan lalu bentuk tim pokja antisipasi potensi larangan bahan mineral mentah,”  paparnya.

Investasi dan relokasi industri

Menurutnya tim pokja ini solid dan sangat serius. Ridwan memaparkan bahwa saat Presiden Jokowi mengecek smelter timah dari lima tungku menjadi satu tungku, Presiden akan larang ekspor timah.

“Cuma kapan larangan itu akan kita hitung. Secara ringkas begini berapa lama kita butuh pabrik untuk hilirisasi. Apa diperlukan 23 bulan atau 2 tahun?”

Aspek lainnya adalah investasi. Bila larangan ekspor timah dilakukan, maka perlu disediakan investasi di dalam negeri senilai Rp400 miliar.

Menurutnya nilai investasi Rp400 miliar ini cukup kecil namun pengusaha di dalam negeri tidak ada yang berinvestasi di sektor tambang timah.

Idealnya, lanjut Ridwan adalah merelokasi pabrik atau perusahaan/industri pengelola timah ke Indonesia apabila ekspor bahan mentah termasuk timah dilarang dieskpor. Bila tidak demikian, Asosiasi ekspor timah akan berjualan apa?

Di sisi lain, China dan Malaysia akan membangun smelter timah yang semula akan dibangun di Indonesia, kini pindah ke Afrika.

Ia berharap jangan sampai biji timah diselundupkan karena adanya larangan ekspor timah itu. Selain itu ekspor timah ke China akan kena tarif 26% sedangkan ke Indonesia tidak ada tarif.

Saat ini perusahaan semi konduktor dari Taiwan sedang dilobi untuk membangun pabrik di Indonesia.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

BMKG Merintis InaTEWS Hingga Diakui Internasional

BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus berbenah dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BMKG dalam perkembangannya saat ini telah menjadi tulang punggung informasi kebencanaan di wilayah Indonesia.

Di saat Bumi menghadapi perubahan iklim, BMKG juga harus siap menyebarkan informasi kebencanaan dengan info terkini.

Dr Muhammad Sadly M.Eng, Deputi Bidang Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jarkom BMKG memaparkan bahwa dalam laporan kebencanaan dibutuhkan teknologi modern yang high performance.

Teknologi yang dibutuhkan adalah teknologi dengan internet things untuk mengembangkan big data, ICT yang handal, kecerdasan buatan (AI) dan rekayasa instrumentasi.

Teknologi kekinian ini lanjut Muhammad Sadly tetap membutuhkan manajemen pemeliharaan alat-alat.

Ia kemudian memaparkan bahwa BMKG telah mengembangkan inovasi InaTEWS setelah Aceh dilanda gempa besar dan tsunami yang menyebabkan 170 ribu orang meninggal dunia belum termasuk korban hilang.

Dampak gempa dan tsunami tidak hanya di Indonesia, tetapi juga 14 negara ikut merasakan gempa dan mengalami tsunami. Total 230.000 orang meninggal di 14 negara belum termasuk korban hilang.

“Saat itu kami belum memahami dan sistem pemantauan gempa. Dan kurang sadar ancaman tsunami di masyarakat. Gempa dan tsunami di Aceh itu kerugiannya mencapai US414 miliar,” ungkap Sadly dalam diskusi Iptek Voice edisi-81 bertema Indonesia Tsunami Early Warning System.

Belajar dari peristiwa gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 itu,  Pemerintah meresmikan Indonesia tsunami early warning system (InaTEWS) pada 2008 diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

BMKG melakukan simulasi InaTEWS lima menit setelah gempa, masyarakat harus bagaimana.

“Bagaimana memberikan peringatan dini untuk menyelesaikan dampak becana gempa dan tsunami,” terangnya.

Dijelaskan oleh Sadly bahwa sejarah InaTEWS sejak dimulai gempa di Nias pada 2005, kemudian gempa Yogyakarta 2006, kemudian pada 2007 hingga 2013 tidak ada progres signifikan dalam pengembangan InaTEWS.

Pada 2018 BMKG mengoperasikan 178 sensor seismograf untuk mendeteksi secara cepat saat gempa dan tsunami.

Di saat ada 178 sensor seismograf, terjadilah gempa besar di beberapa wilayah. Mulai dari gempa Lombok 19 Agustus 2018.

Kemudian gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu pada 28 September 2018 dan tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018.

Diakui Sadly bahwa peristiwa bencana gempa yang berurutan dengan jumlah korban cukup besar ini membuat BMKG babak belur mendapat tekanan dari sana sini. “Terus terang kami babak belur menghadapi tekanan dalam peristiwa bencana besar ini,” ungkapnya.

Lahirnya Perpres No 93/2019

Dari situlah akhirnya lahir Perpres No 93/2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

Lahirnya Perpres No 93/2019 ini kemudian BMKG mendapat dukungan berupa bantuan 194 alat seismograf yang anggarannya dari APBN dan telah disetujui oleh Presiden.

Hingga 2023 total ada 533 seismograf yang dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dan penyebaran sensor seismograf ke seluruh Indonesia sudah cukup baik.

Adanya Perpres ini mulai tertata pembagian tugas dan kewenangan dalam menangani kebencanaan.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di bawah Kementerian ESDM menangani bencana gunung berapi.

Kemudian BPPT (sebelum terbentuknya BRIN) memasang Ina buoy untuk deteksi tsunami dengan teknologi buoy yang dipasang di dasar laut.

Kemudian Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data gauges. Sedangkan untuk kultur dalam menghadapi bencana, sejumlah kementerian, Kepolisian, TNI, BNPB, BPBD hingga media.

Aktivitas gempa berdasarkan catatan BMKG sejak 2008 hingga 2022 meningkat terus termasuk gempa Cianjur yang terjadi 21 November 2022.

Gempa Cianjur berkekuatam 5,6 Mw dan kedalaman 10 km ini berdasarkan hasil monitoring INA TEWS BMKG, informasi gempa ini bisa langsung disebar dengan cepat terutama saat terjadi guncangan.

Informasi guncangan cukup cepat langsung diterima BMKG dan Basarnas yang kemudian disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Cianjur, sehingga bupati bisa langsung memutuskan cara terbaik untuk warga terdampak gempa.

“Kami bisa bersinergi secara struktur dan kultur sehingga saat terjadi gempa bisa langsung menginformasikan kepada stakeholder,” terangnya.

Namun untuk peristiwa tsunami di Selat Sunda yang disebabkan bukan non tektonik menyebabkan korban meninggal dunia 437 orang ini cukup mengejutkan karena tsunami tidak harus disertai dengan gempa tektonik.

Inovasi BMKG

Untuk kajian tsunami non tektonik ini, BMKG mendalami sistem monitoring permukaan laut di Selat Sunda bekerja sama dengan lembaga kementerian terkait di antaranya adalah ESDM dan Jepang.

Dari hasil kajian ini melahirkan inovasi mendeteksi tsunami non tektonik.  BMKG telah berhasil kembangkan sistem INA TNT (Tsunamin Non Tectonic) setelah kejadian tsunami di Selat Sunda akhir 2018.

InaTEWS ini akhirnya diakui internasional.  BMKG sebagai institusi pelaksana operasional teknologi deteksi tsunami di Indonesia, kini

Melalui InaTEWS ini, BMKG memberikan peringatan dini tsunami di semua negara ASEAN.

Selain itu BMKG sebagai tsunami service provider untik 28 negara wilayahnya di Lautan Hindia. Bahkan India dan Australia juga mengikuti peringatan tsunami yang dikeluarkan oleh INA TEWS.

BMKG mendapatkan penghargaan Tsunami IOTIC sebagai lembaga tsunami service providers.

Inovasi-inovasi yang dihasilkan BMKG selain InaTEWS, yaitu inovasi peralatan rekayasa invasi BMKG yaitu ALW dan AWS Maritim, AWOS IRMavia dn Intensimeter.

AWOS IRMavia dipasang di bandara Yogyakarta International Airport untuk memberikan informasi pesawat take off dan landing.

Inovasi BMKG seperti infobmkg, MHEWS (Multi Hazard Early Warning System/Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya) teritegrasi dan lainnya sudah dimanfaatkan stakeholder dan masyarakat di tanah air dan luar negeri bahkan jadi acuan di India dan Australia.

BMKG telah inisiasi pembentukan konsorsium nasional gempa bumi dan tsunami.

Sadly menegaskan bahwa saat ini dari segi teknologi sudah banyak kemajuan. Menurutnya yang saat ini harus disiapkan adalah penguatan komponen kultur.

“Penguatan kesiapan masyarakat dalam menghadapi gempa dan tsunami agar saat terjadi bencana zero victim,” harapnya.

Sebab target BMKG yang sampai sekarang terus diupayakan adalah zero victim di setiap peristiwa bencana. Untuk itu pelibatan kultur masyarakat sangat penting .