Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Peluang dan Tantangan Industri Penerbangan Indonesia

Dari 7 Juta Kilometer-Persegi luas wilayah Indonesia, 1/3 nya adalah daratan, 2/3 nya adalah lautan dan 3/3 nya adalah wilayah udara.

Wilayah udara ini harus dipertahankan kedaulatannya dan juga dimanfaatkan untuk mempersatukan NKRI melalui, antara lain, pengembangan industri penerbangan Nasional.

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 15 Januari 2025, yang mengambil topik “Industri Penerbangan Indonesia”.

Menyampaikan paparan pada diskusi ini adalah Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim, dengan moderator Anggota CTIS yang juga mantan Kepala LAPAN, serta Professor Emiritus ITB, Prof. Harijono Djojodihardjo.

Dari 7 Juta Kilometer-Persegi luas wilayah Indonesia, 1/3 nya adalah daratan, 2/3 nya adalah lautan dan 3/3 nya adalah wilayah udara. 

 

Chappy Hakim, yang mantan Kepala Staf TNI-AU itu, menjelaskan tiga peristiwa besar dunia pada satu abad terakhir dipicu oleh sebuah kekuatan udara, seperti serbuan pesawat-pesawat udara dari Armada Laut Kekaisaran Jepang ke Pangkalan AL AS di Pearl Harbour, Hawaii, pada 7 Desember 1941, yang menggiring Amerika Serikat terlibat pada Perang Dunia II.  Kemudian, dijatuhkannya Bom Atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh pesawat pembom B-29 AS pada Agustus 1945, membuat Jepang bertekuk-lutut dan mengakhiri Perang Dunia II, namun berlanjut pada Perang Dingin.

Dan yang terakhir adalah aksi penabrakan pesawat sipil ke Gedung World Trade Center,di New York pada 11September 2001 yang berakibat hadirnya “War On Terorism” di seluruh Dunia.

Chappy juga menegaskan bahwa kekuatan udara AURI pada Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, di awal dekade 1960-an, termasuk kehadiran pesawat pesawat pembom strategis TU-16 AURI yang ditugaskan untuk menyasar dan menenggelamkan kapal induk AL Belanda, Karel Doorman, berhasil menggiring Belanda ke meja perundingan, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Banga (PBB).

Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi lewat jalur diplomasi dan operasi inflitrasi militer.

Wilayah udara merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara untuk dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemaslahatan rakyat.

Chappy menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia harus hidup dengan dan bersama industri penerbangan.  Untuk menghubungkan 17.500-an pulau di NKRI, hanya bisa dilakukan dengan membangun jaringan transportasi laut dan transportasi udara yang kuat.

Industri penerbangan nasional mempunyai lima ciri, yaitu 1) keberadaan maskapai penerbangan pembawa bendera (flag carrier), 2) memiliki maskapai penerbangan perintis, 3) memiliki maskapai penerbangan charter, 4) memiliki maskapai penerbangan kargo dan 5) memiliki industri pesawat terbang.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Chappy Hakim menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki lima ciri industri penerbangan itu, termasuk pengelolaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia sebagai flag carrier, yang mencontoh sistem management maskapai penerbangan Belanda, yang dikenal terbaik di Dunia.

Indonesia pernah memiliki maskapai penerbangan perintis yang dikomandoi oleh Merpati Nusantara Airlines untuk menjangkau seluruh Indonesia.  Setelah maskapai penerbangan Merpati tutup, diharapkan perannya dapat diambil alih oleh maskapai Pelita Air.

Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim memberikan paparan di  Center for Technology & Innovation Studies (CTIS)

 

 

Kehadiran maskapai penerbangan charter dan kargo perlu didukung oleh keberadaan pabrik pesawat terbang.  Chappy Hakim amat bangga dengan pesawat CN-235 Tetuko  buatan PT. Dirgantara Indonesia, yang rancang-bangunnya dapat untuk angkutan penumpang dan angkutan barang, serta dapat dipakai maskapai penerbangan sipil dan juga digunakan oleh Angkatan Udara di berbagai negara.

“Nampaknya kehandalan CN-235 perlu didukung dengan pelayanan purna-jual serta penyediaan suku cadang yang lebih baik lagi,” demikian komentar Chappy Hakim.

Ia juga berharap kiranya pesawat angkut N-219 buatan PT. Dirgantara Indonesia dapat segera di produksi massal, karena ini adalah jawaban tepat untuk transportasi antar-pulau di Nusantara yang memiliki landasan udara pendek, pesawat berbahan bakar effisien dan biaya operasi relatif rendah.

Sebagai penutup, Chappy Hakim menggaris bawahi tentang tantangan dan strategi pengembangan industri penerbangan di Indonesia, antara lain dukungan pemerintah untuk investasi dan insentif, karena pengembangan industri penerbangan merupakan strategi jangka panjang.

Di samping itu, kebijakan dan regulasi perlu di evaluasi kembali dan dimutakhirkan.  Misalnya, permasalahan wilayah udara, tentang wilayah udara sebagai bagian dari sumberdaya alam sesuai UUD-1945, perlu kehadiran kembali Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (Depanri), serta perlu keberadaan kembali Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) yang sudah dibentuk oleh Undang Undang.

“LAPAN adalah lembaga serupa pertama di Asia, dan pada tahun 1961 sudah berhasil meluncurkan roket – roket KAPPA, sayang lembaga ini sekarang hilang,” tutur Chappy Hakim menutup paparannya.

Sumber : https://forestinsights.id/peluang-dan-tantangan-industri-penerbangan-indonesia/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Electric-Powered Boats For Lakes and Rivers In Indonesia

 A group of young university graduates from various disciplines have innovated an electric boat for river and lake transportation in Indonesia. Their idea was translated into a design that utilizes renewable energy (RE), incorporating a hybrid system combining synthetic gas-powered generators to charge electric batteries and solar panels installed on the boat’s roof.

electric boat made by Comestoarra Bentarra Noesantarra

“This will be an electric-powered, low-emission boat with simple technology, making it suitable for villages with rivers and lakes in Indonesia,” explained Arief Noerhidayat, Managing Director of Comestoarra Bentarra Noesantarra, during a discussion at the Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) on Wednesday, February 26, 2025, as stated in a press release.

In his presentation, titled “Electric Boats for Indonesia’s Waterways”, moderated by Dr. Ridha Yasser, Assistant Deputy for Energy and Telecommunications at the Coordinating Ministry for Infrastructure and Regional Development, Arief introduced a waste-to-energy technology called TOSS (Technology for Waste Processing at Source) to produce biomass pellet fuel for electricity generation. The raw materials come from various organic waste sources, including water hyacinth.

These biomass pellets are then fed into a gasifier to produce synthetic gas, which is used to power an electric generator. The electricity generated is stored in batteries, which are then used to power the boat’s propeller, making it ready to sail. The boat also has an additional electricity supply from solar panels installed on its roof.

“We have developed a mini gasifier to produce synthetic gas, which is then used to drive an electric generator. The electricity produced can reach 10,000 watts, 25,000 watts, and even 50,000 watts. This is ideal for electrifying villages,” said Arief, whose startup has already developed biomass-powered gasifier plants generating 10,000 watts in Palembang and 30,000-50,000 watts in Klungkung, Bali.

The electric boat idea caught the attention of PT Pupuk Sriwijaya Palembang, which assigned Arief and his startup, Comestoarra Bentarra Noesantarra, to create a prototype with funding support from its corporate social responsibility (CSR) program. The electric boat was used for transportation along the Musi River, on the Pulau Kamaro – Palembang City route.

 

electric boat eco-friendly

The electricity generated was equivalent to the energy from fuel costing Rp 3,800 per liter. The boat was tested using Pertalite gasoline, which is sold at around Rp 13,000 per liter in the Musi River area. If the boat requires 5 liters of Pertalite per day, the fuel cost would be Rp 65,000 per day. In comparison, using biomass pellet energy costs only Rp 19,000 per day. The test results showed that the electric boat operated excellently, leading to the construction of a second electric boat for transportation in the Musi River.

Discussion participant Dr. Ali Alkatiri, Assistant Deputy at the Ministry of Small and Medium Enterprises (SMEs), strongly supported the initiative as a solution for rural business development. SME business consultant Trihandoyo MSc welcomed Arief’s explanation that local communities had already been trained to maintain the electric boat equipment, as its technology is relatively simple. Both agreed to propose a presentation before Minister of SMEs, Maman Abdurrachman, to push for funding mobilization for electric boat development across Indonesia, including through CSR funds.

According to Arief Noerhidayat, the total cost for building the boat, including the engine, solar panels, and gasifier, is around Rp 141 million. As a follow-up, moderator Dr. Ridha Yasser plans to include this product in the E-Catalog of the Government Procurement Policy Agency (LKPP) so that it can be accessed by ministries, agencies, and local governments at the provincial, district, and city levels.

Arief further explained that the gasifier’s raw materials come from water hyacinth, which is considered an invasive weed and an environmental nuisance, commonly found in hydroelectric dams such as Rawa Pening in Central Java, as well as the Saguling and Cirata Reservoirs in West Java, and Lake Toba in Sumatra. By utilizing water hyacinth as biomass fuel for electricity generation, this innovation not only produces energy but also helps clean lakes from invasive weeds.

He added that the calorific value of water hyacinth is approximately 4,000 Kcal/kg, which is sufficient to generate synthetic gas to power an electric generator and charge the electric boat’s battery.

Source : https://environews.asia/electric-powered-boats-for-lakes-and-rivers-in-indonesia/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Perahu Listrik Inovatif Dari Energi Biomassa Eceng Gondok

KOLABORASI PT Comestoarra Bentarra Noesantarra ( comestoarra.com ) dengan PT Pupuk Sriwidjaja  (Pusri) sukses mengembangkan perahu listrik inovatif dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan dari eceng gondok..

Eceng gondok ini dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa yang kemudian diolah sebagai bahan bakar untuk menggerakkan perahu listrik.

Hal itu dipaparkan oleh CEO comestoarra.com , Arief Noerhidayat dalam diskusi publik yang dilaksanakan oleh Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) bertema Perahu Listrik untuk Wilayah Perairan Indonesia, Rabu (26/2/2025).

Arief menjelaskan bahwa bahan baku eceng gondok sangat melimpah dan mudah didapatkan di waduk, danau ataupun sungai.

Selama ini eceng gondok baru dimanfaatkan untuk kerajinan. Namun di tangan Arief, eceng gondok bisa digunakan sebagai bahan bakar penggerak perahu listrik.

Program energi baru dan terbarukan di Pulau Kemaro pertama kali diinisiasi melihat dari permasalahan eceng gondok yang sangat melimpah di Sungai Musi, Sumatra Selatan.

Di sisi lain adanya kebutuhan transportasi masyarakat yang sehari-harinya menggunakan perahu sebagai moda transportasi utama.

Mayoritas masyarakat Pulau Kemaro memiliki perahu untuk alat transportasi. Namun untuk menggerakkan perahu, mereka membutuhkan BBM.

Apalagi letak Pulau Kemaro berada di tengah-tengah Sungai Musi. Di sana dihuni sekitar 100 kepala keluarga.

Perahu listrik dari energi terbarukan

Comestoarra.com didukung PT Pusri Palembang menginisiasi ide membuat modifikasi perahu listrik dengan menggunakan sumber energi baru terbarukan.

Pengadaan perahu listrik ini dalam program CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT Pusri Palembang.

Arief menjelaskan  konsep perahu listrik menggunakan material perahu fiber dengan dinamo penggerak DC.

Perahu fiber memang lebih ringan, dan dinamo penggerak DC lebih mudah diimplementasikan. Namun model perahu listrik seperti ini memakan investasi besar.

Maka comestoarra.com menggunakan motor penggerak AC. Dan punya desain pengisian daya baterai dengan menggunakan dua penyulang energi baru dan terbarukan.

“Pertama adalah energi dari matahari dan kedua dari energi dari biomassa. Kedua energi ini digabung sehingga operasional perahu listrik bisa optimal,” terangnya.

Perahu listrik ini menggunakan PV Solar sebagai energi tenaga surya. Sedangkan baterai yang digunakan bersumber dari hasil gasifikasi biomassa.

Bahan-bahan biomassa itu dibuat dari campuran eceng gondok di pesisir Pulau Kemaro serta daun-daun kering yang ada di lingkungan Pusri.

Biomassa dari lingkungan Pusri ini setiap hari tersedia. Biomassa berupa alang-alang, kayu dan daun-daun yang tiap hari terkumpul sekitar 5 ton dimuat di 16 truk.

Bahan-bahan ini kemudian dicampur untuk diolah menjadi pelet. Pengolahan menjadi pelet ini dengan metode Teknologi Olah Sampah di Sumbernya (TOSS).

“Ini mendapat respons positif dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat juga kementerian,” kata Arief.

Selain itu cara membuat pelet untuk mengedukasi masyarakat bahwa bahan-bahan alam di sekitar mereka bisa diolah menjadi energi terbarukan menggantikan BBM.

“Perahu listrik ini bisa dioperasikan oleh warga lokal karena tidak jelimet. Perahu yang digunakan adalah perahu yang ada di Sungai Musi kemudian dimodifikasi. Perahunya dibuat oleh warga lokal,” terang Arief.

Aspek kearifan lokal

Kelebihan perahu listrik ini pada aspek kearifan lokal. Sebab material perahu yang digunakan masih berbasis kayu dan dibuat oleh masyarakat setempat.

Perahu listrik ini telah dikembangkan dengan sejumlah uji coba dan telah beroperasi sejak Desember 2023.

Sebelum membuat perahu listrik, comestoarra.com mengedukasi masyarakat setempat memperkenalkan kompor biomassa dan mengadakan lomba memasak empek-empek.

Kompor biomassa ini juga diperkenalkan oleh comestoarra.com ke Kabupaten Ende, NTT bekerja sama dengan pemerintah daerah dan NGO.

Program ini mengolah sampah biomassa menjadi pelet yang digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor biomassa, menggantikan minyak tanah yang mahal dan langka.

Inisiatif ini tidak hanya mengatasi permasalahan sampah, tetapi juga menyediakan sumber energi alternatif bagi masyarakat setempat.

Pendekatan ini tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggantikan bahan bakar fosil, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat melalui penyediaan sumber energi alternatif yang berkelanjutan.

Hybrid panel dan gasifikasi dari pelet eceng gondok dan biomassa ini  menghasilkan listrik. Energi listrik hibrida ini selain menggerakkan kapal, juga untuk charge handphone, laptop hingga untuk memutar musik dangdut.

Perahu listrik ini memiliki kecepatan 5 knot untuk mobile bolak-balik dengan 17 penumpang.

“Penggunaan perahu listrik ini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dari sebelumnya memakai solar diganti dengan energi terbarukan,” jelas Arief.

Untuk pengisian baterai ini dibantu Loesche Indonesia, anak perusahaan dari Loesche GmbH Jerman.

Siap komersialisasi

Ia menjelaskan bahwa di Pulau Kemaro itu banyak penjual BBM floating. Ia berharap nantinya akan ada floating untuk charging station di sepanjang Sungai Musi. Saat ini baru satu charging station.

Kerjasama dengan PT Pusri ini berawal dari CSR namun berkembang menjadi bisnis karena Pusri membeli satu perahu listrik. Harga satu kapal listrik sekitar Rp140 juta.

Sedangkan di Ende, selain pengenalan kompor biomassa juga ada perahu listrik bekerja sama dengan PLN selama setahun.

Untuk terus mengedukasi masyarakat sekalian memperkenalkan lebih dekat tentang perahu listrik maka diadakan eduwisata. Para peserta eduwisata akan diajari bagaimana memproses bahan limbah menjadi listrik.

Arief pun masih punya cita-cita ingin menciptakan perahu listrik ambulans untuk membantu warga tinggal di pulau atau di tepi sungai yang akan berobat atau kondisi emergency.

Indroyono Soesilo dari CTIS menanggapi pemaparan tentang perahu listrik mendorong agar produk perahu listrik ini dikomersialkan.

Selain menjawab masalah energi terbarukan, lahirnya perhau listrik ini bentuk dari hilirisasi energi terbarukan dan alih teknologi perahu berbasis BBM menjadi perahu berbasis listrik.

Menanggapi hal itu Arief mengatakan  “Dari sisi inovasi, perahu listrik ini sudah laik untuk dijadikan suatu produk yang dapat direplikasi dan dikomersialisasi,” ujarnya.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Ada Cuan Dari Atas Awan

TEKNOLOGI Modifikasi Cuaca (TMC) saat ini sudah sangat umum dikenal masyarakat. Dahulu namanya teknologi hujan buatan.

Dahulu masyarakat awam belum paham apa itu hujan buatan? Hujan itu sebuah siklus alam dan bukan buatan manusia. Namun kemudian ada teknologi untuk menghadirkan hujan. Dan dalam ilmu marketing, nama hujan buatan lebih banyak diingat orang.

Kemudian namanya berganti menjadi TMC. Teknologi ini sudah dimulai sejak 1980 oleh para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lembaga ini sudah melebur di dalam BRIN.

Dalam Iptek Voice edisi-79 membahas Teknologi Modifikasi Cuaca dengan narasumber Dr Asep Karsidi APU.

Dalam paparannya, Asep Karsidi menjelaskan bahwa TMC ini benar-benar teruji secara sains, jadi bukan seperti pawang hujan.  Bahkan TMC ini telah digunakan untuk membantu mengisi waduk yang debit airnya terus menyusut saat kemarau.

Membantu memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di Sumatra dan Kalimantan.

Dan pada acara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 2022, TMC dilibatkan untuk mencegah terjadinya hujan.

“Keberhasilan ini membanggakan kita semua dan keluarga besar BPPT  yang bekerja sama dengan BMKG dan Lapan. Namun sekarang BPPT dan Lapan sudah tiada, jadi sekarang di bawah BMKG,” kata Asep Karsidi.

Dan saat ini yang memanfaatkan jasa TMC ini tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta. Seperti saat musim kemarau panjang, para pemilik perusahaan perkebunan telah mengantisipasi terjadinya karhutla dengan memanfaatkan jasa TMC.

Diakui oleh Asep bahwa hadirnya TMC ini telah membangun industri jasa layanan untuk TMC. Dan  teknologi ini bertujuan untuk menambah atau mengurangi curah hujan agar sumber daya air tetap terjaga.

“Saat ini lebih luas penanganannya dan tentu didukung iptek oleh lembaga riset seperti BRIN sekarang ini. Dari aspek pemerintahan harus perkuat aspek risetnya agar efektif,” tegasnya.

TMC terus berkembang

Menurutnya TMC memiliki banyak aspek dan tidak hanya mengurangi atau menambah intensitas hujan.

Bahkan di luar negeri telah dilakukan memanen petir untuk kepentingan pertanian. Dalam TMC ini, teknologi yang digunakan untuk mengganggu calon-calon sumber air di angkasa dengan cara dinamis maupun statis.

Perkembangan teknologi TMC ini cukup dinamis. TMC di Indonesia awalnya meniru Thailand dengan menyebarkan butian garam untuk disemai di awan. Butiran garam ukurannya harus di bawah 10 mikron.

Namun pada penyemaian di awan itu justru ukurannya lebih besar 100 mikron. Pesawat yang mengangkut adalah pesawat casa  karena harus membawa 700 kg. Hal ini tidak efektif. Dalam perjalanannya TMC ini mengalami perkembangan inovasi.

“Dari Thailand tidak lagi dipakai dan diganti dengan teknologi terbaru dari AS dengan menggunakan teknologi flare,” terang Asep.

Bahan baku berupa garam dengan ukuran 1-10 mikron atau sangat kecil seperti bubuk. Dalam penyemaian ini dengan flare atau ditembakkan ke awan.  Teknologi flare ini juga bisa menggunakan roket yang ditembakkan dari tanah atau dengan drone.

“Kita kembangkan proses pembentukan butir hujan dengan membutuhkan titik kondennsasi lebih halus 1-10 mikron partikel yang halus dengan flare,’ jelas Asep Karsidi.

Meskipun teknologi ini sudah terbukti bisa meningkatkan dan mengurangi hujan, namun TMC ini kadang terkendala perubahan mikrofisik yang cepat di udara yang terbuka. Hal itu tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

“Maka dalam kegiatan TMC ini kita intervensi atau utak atik karena kondisi alam yang cepat berubah,” ujarnya.

Di AS, jasa TMC baik statis maupun dinamis dilakukan oleh perusahaan jasa swasta. Sedangkan di Thailand oleh pemerintah.

Menariknya jasa TMC di Amerika Serikat fokus memanen kilat atau petir yang dirintis sejak 1990. Kemudian pada 2000 an TMC berbasis flare untuk membantu PLTA dan sektor pertanian.

Bahkan TMC digunakan untuk menyebarkan benih, pupuk dan semprot hama.

Sedangkan NASA pun melakukan riset extraordinary untuk TMC ini bila ada badai. Amerika Serikat melalui NASA menerbangkan pesawat untuk meluluhkam mata badai.

Hilirisasi teknologi dan bisnis TMC

Perjalanan TMC dari 1980-an hingga sekarang telah terjadi perubahan besar. Berawal dari Teknologi Mitigasi. Cuaca kini lahir perusahaan yang fokus pada pelayanan jasa modifikasi cuaca.

Dua perusahaan itu  adalah PT Smart Cakrawala Aviation dan PT Reka Cuaca Indonesia. Untuk PT Smart Cakrawala Aviation dalam jasa TMC bersifat dinamis menggunakan flare.

Sedangkan untuk PT Reka Cuaca Indonesia menggunakan powder yag disebar dari ground atau bersifat statis.

Kedua perusahaan ini telah memiliki banyak klien di berbagai daerah baik dari provinsi, kabupaten hingga perusahaan tambang dan perkebunan serta Jasa Tirta I dan II.

Menurut Sadly, lahirnya dua perusahaan ini berawal keinginan mendukung program pemerintah dalam hilirisasi teknologi. Serta berpartisipasi melayani para users yang ingin memiliki solusi saat menghadapi karhutla, ketahanan pangan, bencana hidrometeorologi dan lainnya.

Sukses tekan karhutla

Indroyono Soesilo dari Center of Technology and Innovation Studies (CTIS) yang hadir dalam pemaparan Teknologi Modifikasi Cuaca ini mengatakan bahwa TMC berperan besar dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia

Disebutkan dalam COP 26 di Glasgow pada 2020 bahwa Indonesia mampu menurunkan 83 persen karhutla melalui upaya Teknologi Modifikasi Cuaca. Dimulai dari 2010 terjadi karhutla mencapai 2,6 juta hektare kemudian pada 2020 tersisa 210 hektar. Penurunan drastis karhutla ini karena peran serta TMC dalam pengendalian hujan.

Banyaknya perusahaan yang mengandalkan TMC dalam pengendalian karhutla karena lebih menguntungkan. Sebab sewa jasa TMC untuk satu provinsi rata-rata Rp3 miliar.

Sementara karhutla yang terjadi periode 2014-2019 untuk satu provinsi menangguk kerugian Rp7,3 Triliun.

Untuk itu pelayanan jasa teknologi modifikasi cuaca bernilai ekonomi dan mendatangkan banyak cuan.

Sadly dalam paparan terakhir mengatakan bahwa TMC ini memiliki banyak peluang karena saat ini semakin banyak waduk dan PLTA.

Tantangannya dalam TMC ini mengutak atik cuaca di alam terbuka dengan kondisi sangat dinamis dan tidak menentu.

“Diperlukan dukungan iptek dan peralatan yang mumpuni  dan terus dilakukan riset lebih lanjut oleh lembaga pemerintah bersama dengan pihak terkait,” kata Sadly.

Selain itu pihak swasta diberi kesempatan untuk melaksanakan layanan TMC sebagai fungsi hilirisasi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah. Layanan terfokus pada ketersediaan air, mengurangi curah hujan untuk masyarakat.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Hilirisasi Mineral di Indonesia masih Minim Teknologi

NIKEL menjadi komponen bahan baku baterai kendaraan listrik. Oleh karena itu banyak industri baterai listrik di luar negeri  melirik ke Indonesia untuk berinvestasi.

Kendati Indonesia memiliki nikel namun belum bisa dihilirisasi menjadi baterai kendaraan listrik. Mengapa?

Dalam Iptek Voice 80 mengangkat Hilirisasi Mineral bersama DR Ir Ridwan Djamaluddin mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM.

Ridwan menekankan bahwa hingga sekarang alih teknologi nikel di Indonesia masih ketinggalan. Pemerintah melarang ekspor bahan baku nikel namun faktanya aspek teknologi nikel menjadi baterai masih dilakukan oleh pihak asing.

Menurutnya ini merupakan faktor penting bagaimana hilirisasi nikel bisa dilakukan lemvbaga-lembaga riset seperti BPPT yang kini sudah tiada.

Sejauh ini yg masih tertinggal adalah alih teknologi, meski larang ekspor bahan baku, tapi aspek teknologi nikel jd baterai masih dilakukan pihak asing.

“Ini porsi penting kita kehilangan lembaga penelitian seperti BPPT. Iptek tidak kuat seperti dulu,” ujarnya.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah menekan masuknya investasi asing untuk membangun pabrik baterai.

“Sekarang kita tekan masuknya investasi asing bikin pabrik baterai tapi minim aspek teknologi,” ujarnya.

Saat ini ada dua bahan mineral penting yang dicari dunia yaitu pasir silika dan pasir kuarsa. Di dunia, pasir kuara menjadi the next nikel dan itu banyak ditemukan di Belitung.

Perusahaan dari China berminat untuk investasi pasir silika karena potensinya besar untuk bahan panel surya. Nilai investasi sebesar US$3 miliar di Bangka Belitung.

Menurutnya pandangan umum saat ini bahwa transisi energi hampir dikonotasikan dengan hentikan pemakaian bahan bakar minyak atau bahan bakar fosil dan batu bara. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PLTU batu bara dipensiunkan pada 2060.

Pemerintah menggunakan transisi berkeadilan dan tidak membangun PLTU baru. Walau transisi berkeadilan ini menandai kontribusi indonesia mendorong tumbuhnya energi baru dan terbarukan.

Ridwan berpendapat bahwa transisi energi tidak semata-mata dikonotasikan dengan mematikan PLTU batubara, tetapi juga kontribusi Indonesia dalam energi baru dan terbarukan.

“Di awal kita mendorong nikel kadar rendah jadi baterai listrik. Sekarang panel surya menggunakan pasir kuarsa yang banyak ditemui di Bangka Belitung dan Kalimantan. Pasir silika dakar kuarsa tinggi dan kadar besi juga tinggi,” kata Ridwan.

Keberadaan besi ini interlocking dengan kuarsa, namun China tidak masalah dalam pemisahan besi dan kuarsa.

Menurutnya ini penting karena  regulasinya bagus tetapi fakta di lapangan justru lama dan banyak kendala. Di Indonesia 18 bulan itu masih proses amdal, sementara di China sudah produksi barang.

Selain itu investor China sanggup memproduksi panel surya dari kuarsa dan keluar pabrik 18 bulan  setelah pabrik dibangun.

Pembangkit Listrik Tenaga Thorium

Mineral kedua adalah thorium yang bisa digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Thorium ini pembangkit listrik murah tapi isu negatifnya adalah radioaktif. Padahal tidak semua radioaktif mengancam manusia. Biaya listriknya 3-4 sen dolar AS, cukup murah.

Potensi penghasil thorium di Indonesia adalah di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.

Pulau Gelasa bakal dijadikan lokasi pembangkit nuklir tenaga thorium pertama di Indonesia.

Selain investor dari China, dari Kanada maupun dalam negeri berminat pada Pembangkit Listrik Tenaga Thorium.

Dijelaskan oleh Ridwan Djamaluddin bahwa ada empat pihak yang berminat membangun Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Thorium ini yakni AS, China, Kanada dan Indonesia.

China dan AS telah melakukan eksperimen pembangunan PLTT ini. Namun Indonesia yang memiliki bahan baku thorium justru belum atau tidak melakukan eksperimen. Alasan di internal menunggu negara lain melakukan. “Indonesia tidak mau menjadi pioner di sini,” ujar Ridwan.

Secara potensi, Indonesia berpotensi untuk energi baru dan terbarukan dan mengkapitalisasikan. Pemerintah telah melarang ekspor bauxite (biji aluminium), tembaga dan timah untuk transisi energi.

“Kita masih syok melarang ekspor bauxit pada Maret 2023. Larangan ini tidak ada langkah-langkah antisipatif. Bauxit bisa dihilirisasi lebih mudah maka harus bangun pabrik hilirisasi. Kita antisipasi larangan ekspor logam timah. 6-7 bulan lalu bentuk tim pokja antisipasi potensi larangan bahan mineral mentah,”  paparnya.

Investasi dan relokasi industri

Menurutnya tim pokja ini solid dan sangat serius. Ridwan memaparkan bahwa saat Presiden Jokowi mengecek smelter timah dari lima tungku menjadi satu tungku, Presiden akan larang ekspor timah.

“Cuma kapan larangan itu akan kita hitung. Secara ringkas begini berapa lama kita butuh pabrik untuk hilirisasi. Apa diperlukan 23 bulan atau 2 tahun?”

Aspek lainnya adalah investasi. Bila larangan ekspor timah dilakukan, maka perlu disediakan investasi di dalam negeri senilai Rp400 miliar.

Menurutnya nilai investasi Rp400 miliar ini cukup kecil namun pengusaha di dalam negeri tidak ada yang berinvestasi di sektor tambang timah.

Idealnya, lanjut Ridwan adalah merelokasi pabrik atau perusahaan/industri pengelola timah ke Indonesia apabila ekspor bahan mentah termasuk timah dilarang dieskpor. Bila tidak demikian, Asosiasi ekspor timah akan berjualan apa?

Di sisi lain, China dan Malaysia akan membangun smelter timah yang semula akan dibangun di Indonesia, kini pindah ke Afrika.

Ia berharap jangan sampai biji timah diselundupkan karena adanya larangan ekspor timah itu. Selain itu ekspor timah ke China akan kena tarif 26% sedangkan ke Indonesia tidak ada tarif.

Saat ini perusahaan semi konduktor dari Taiwan sedang dilobi untuk membangun pabrik di Indonesia.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

BMKG Merintis InaTEWS Hingga Diakui Internasional

BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus berbenah dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BMKG dalam perkembangannya saat ini telah menjadi tulang punggung informasi kebencanaan di wilayah Indonesia.

Di saat Bumi menghadapi perubahan iklim, BMKG juga harus siap menyebarkan informasi kebencanaan dengan info terkini.

Dr Muhammad Sadly M.Eng, Deputi Bidang Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jarkom BMKG memaparkan bahwa dalam laporan kebencanaan dibutuhkan teknologi modern yang high performance.

Teknologi yang dibutuhkan adalah teknologi dengan internet things untuk mengembangkan big data, ICT yang handal, kecerdasan buatan (AI) dan rekayasa instrumentasi.

Teknologi kekinian ini lanjut Muhammad Sadly tetap membutuhkan manajemen pemeliharaan alat-alat.

Ia kemudian memaparkan bahwa BMKG telah mengembangkan inovasi InaTEWS setelah Aceh dilanda gempa besar dan tsunami yang menyebabkan 170 ribu orang meninggal dunia belum termasuk korban hilang.

Dampak gempa dan tsunami tidak hanya di Indonesia, tetapi juga 14 negara ikut merasakan gempa dan mengalami tsunami. Total 230.000 orang meninggal di 14 negara belum termasuk korban hilang.

“Saat itu kami belum memahami dan sistem pemantauan gempa. Dan kurang sadar ancaman tsunami di masyarakat. Gempa dan tsunami di Aceh itu kerugiannya mencapai US414 miliar,” ungkap Sadly dalam diskusi Iptek Voice edisi-81 bertema Indonesia Tsunami Early Warning System.

Belajar dari peristiwa gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 itu,  Pemerintah meresmikan Indonesia tsunami early warning system (InaTEWS) pada 2008 diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

BMKG melakukan simulasi InaTEWS lima menit setelah gempa, masyarakat harus bagaimana.

“Bagaimana memberikan peringatan dini untuk menyelesaikan dampak becana gempa dan tsunami,” terangnya.

Dijelaskan oleh Sadly bahwa sejarah InaTEWS sejak dimulai gempa di Nias pada 2005, kemudian gempa Yogyakarta 2006, kemudian pada 2007 hingga 2013 tidak ada progres signifikan dalam pengembangan InaTEWS.

Pada 2018 BMKG mengoperasikan 178 sensor seismograf untuk mendeteksi secara cepat saat gempa dan tsunami.

Di saat ada 178 sensor seismograf, terjadilah gempa besar di beberapa wilayah. Mulai dari gempa Lombok 19 Agustus 2018.

Kemudian gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu pada 28 September 2018 dan tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018.

Diakui Sadly bahwa peristiwa bencana gempa yang berurutan dengan jumlah korban cukup besar ini membuat BMKG babak belur mendapat tekanan dari sana sini. “Terus terang kami babak belur menghadapi tekanan dalam peristiwa bencana besar ini,” ungkapnya.

Lahirnya Perpres No 93/2019

Dari situlah akhirnya lahir Perpres No 93/2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

Lahirnya Perpres No 93/2019 ini kemudian BMKG mendapat dukungan berupa bantuan 194 alat seismograf yang anggarannya dari APBN dan telah disetujui oleh Presiden.

Hingga 2023 total ada 533 seismograf yang dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dan penyebaran sensor seismograf ke seluruh Indonesia sudah cukup baik.

Adanya Perpres ini mulai tertata pembagian tugas dan kewenangan dalam menangani kebencanaan.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di bawah Kementerian ESDM menangani bencana gunung berapi.

Kemudian BPPT (sebelum terbentuknya BRIN) memasang Ina buoy untuk deteksi tsunami dengan teknologi buoy yang dipasang di dasar laut.

Kemudian Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data gauges. Sedangkan untuk kultur dalam menghadapi bencana, sejumlah kementerian, Kepolisian, TNI, BNPB, BPBD hingga media.

Aktivitas gempa berdasarkan catatan BMKG sejak 2008 hingga 2022 meningkat terus termasuk gempa Cianjur yang terjadi 21 November 2022.

Gempa Cianjur berkekuatam 5,6 Mw dan kedalaman 10 km ini berdasarkan hasil monitoring INA TEWS BMKG, informasi gempa ini bisa langsung disebar dengan cepat terutama saat terjadi guncangan.

Informasi guncangan cukup cepat langsung diterima BMKG dan Basarnas yang kemudian disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Cianjur, sehingga bupati bisa langsung memutuskan cara terbaik untuk warga terdampak gempa.

“Kami bisa bersinergi secara struktur dan kultur sehingga saat terjadi gempa bisa langsung menginformasikan kepada stakeholder,” terangnya.

Namun untuk peristiwa tsunami di Selat Sunda yang disebabkan bukan non tektonik menyebabkan korban meninggal dunia 437 orang ini cukup mengejutkan karena tsunami tidak harus disertai dengan gempa tektonik.

Inovasi BMKG

Untuk kajian tsunami non tektonik ini, BMKG mendalami sistem monitoring permukaan laut di Selat Sunda bekerja sama dengan lembaga kementerian terkait di antaranya adalah ESDM dan Jepang.

Dari hasil kajian ini melahirkan inovasi mendeteksi tsunami non tektonik.  BMKG telah berhasil kembangkan sistem INA TNT (Tsunamin Non Tectonic) setelah kejadian tsunami di Selat Sunda akhir 2018.

InaTEWS ini akhirnya diakui internasional.  BMKG sebagai institusi pelaksana operasional teknologi deteksi tsunami di Indonesia, kini

Melalui InaTEWS ini, BMKG memberikan peringatan dini tsunami di semua negara ASEAN.

Selain itu BMKG sebagai tsunami service provider untik 28 negara wilayahnya di Lautan Hindia. Bahkan India dan Australia juga mengikuti peringatan tsunami yang dikeluarkan oleh INA TEWS.

BMKG mendapatkan penghargaan Tsunami IOTIC sebagai lembaga tsunami service providers.

Inovasi-inovasi yang dihasilkan BMKG selain InaTEWS, yaitu inovasi peralatan rekayasa invasi BMKG yaitu ALW dan AWS Maritim, AWOS IRMavia dn Intensimeter.

AWOS IRMavia dipasang di bandara Yogyakarta International Airport untuk memberikan informasi pesawat take off dan landing.

Inovasi BMKG seperti infobmkg, MHEWS (Multi Hazard Early Warning System/Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya) teritegrasi dan lainnya sudah dimanfaatkan stakeholder dan masyarakat di tanah air dan luar negeri bahkan jadi acuan di India dan Australia.

BMKG telah inisiasi pembentukan konsorsium nasional gempa bumi dan tsunami.

Sadly menegaskan bahwa saat ini dari segi teknologi sudah banyak kemajuan. Menurutnya yang saat ini harus disiapkan adalah penguatan komponen kultur.

“Penguatan kesiapan masyarakat dalam menghadapi gempa dan tsunami agar saat terjadi bencana zero victim,” harapnya.

Sebab target BMKG yang sampai sekarang terus diupayakan adalah zero victim di setiap peristiwa bencana. Untuk itu pelibatan kultur masyarakat sangat penting .

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Proceeding World Creativity & Innovation Day 2023

LAPORAN KEGIATAN 2023
Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Faktor Manusia Jadi Penentu Bencana Alam, CTIS Bahas Peran Penting Teknologi dan Inovasi Dalam Kebencanaan

Ahli Kebencanaan  dari Center for Environmental Disaster Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER), Universitas Indonesia Profesor Jan Sopaheluwakan  menegaskan bahwa bencana terjadi karena ulah manusia, karena faktor manusia dan karena kebijakan yang dibuat oleh manusia sendiri. 

Demikian dipaparkan oleh Profesor Jan Sopaheluwakan pada pada pertemuan Center For Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 21 Juni 2023.  

Dia menjelaskan bencana karena faktor alam itu tidak ada.  Bila terjadi erupsi gunung api di wilayah tanpa penduduk bukanlah sebuah bencana, longsor di tengah hutan lebat tanpa penduduk juga bukan bencana, gempa bumi dan tsunami di pulau terpencil tanpa penduduk juga bukan bencana.  

Namun bila banjir menerjang ibukota Jakarta akibat limpahan air sungai kiriman dari Bogor yang disebabkan manusia membangun vila-vila di Puncak, Bogor sehingga volume air hujan yang diserap tanah lebih kecil dibanding air yang mengalir ke sungai maka itu adalah bencana banjir, kata Profesor Jan Sopaheluwakan.

Wanita 55-an asal dengan Baby Face Pakai Ini sebelum Tidur

Cara Menghilangkan -15 Kg Lemak Perut dalam 2 Minggu

Begitu pula, kegiatan  pembalakan kayu di hutan tanpa mengikuti aturan, juga eksploitasi penambangan batubara secara serampangan bisa mengakibatkan bencana tanah longsor dan banjir.  Walaupun ada keuntungan ekonomi disitu.

Penegasan Profesor Jan Sopaheluwakan ditanggapi oleh Sekretaris CTIS, Dr. Andi Eka Sakya, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menggaris-bawahi pernyataan Utusan Khusus Sekjen PBB Mami Mizutori bahwa bencana alam itu tidak ada. 

Yang ada adalah bencana yang berdampak pada manusia, pada sosial-ekonomi masyarakat.  Oleh sebab itu, Program PBB “Decade for Natural Disaster Risk Reduction” telah diubah menjadi “Decade for Disaster Risk Reduction”. 

Profesor Jan Sopaheluwakan juga menyampaikan bahwa Bencana memang bisa membawa “Risiko” namun juga memberikan “Rezeki”.  Ini seperti kutipan Alquran Surat Al Insyirah Ayat 94 (5-6) yang berbunyi “Bersama kesulitan pasti ada kemudahan”.  

Professor Jan Sopaheluwakan (No. 4 dari Kiri) pada FGD Kebencanaan yan digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 21 Juni 2023

Professor Jan Sopaheluwakan (No. 4 dari Kiri) pada FGD Kebencanaan yan digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 21 Juni 2023 /CTIS/

Dia menjelaskan Apabila semua kegiatan umat manusia selalu memperhitungkan faktor  “Risiko”,  maka bencana dapat dimitigasi hingga sekecil mungkin, lalu tingkat ketahanan terhadap bencana di masyarakat muncul, bahkan bisa memberikan “rezeki” kepada pelakunya.  

Dicontohkan, bencana akibat jalanan macet menghasilkan jenis pekerjaan baru ojek online. Lalu ada kehadiran pandemi Covid 19 yang justru membuat berkembangnya metoda belajar dari rumah, bekerja dari rumah, serta belanja secara daring.  Dan masih banyak lagi.  

Dia mengingatkan setiap program pembangunan harus memasukan faktor risiko, bagaimana memitigasinya, bila terjadi bencana bagaimana operasi tanggap daruratnya dan antisipasi membangun kembali kondisi yang rusak akibat bencana dengan membangun lebih baik lagi. “Build back better & resilient development”.

Dalam diskusi tersebut juga dibahas tentang peran penting teknologi dan inovasi di sektor kebencanaan. Antara lain penerapan teknologi geospasial, sistem komunikasi darurat, Internet of Things, Big Data & Analysis serta Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence-AI).  

Pada pertemuan tersebut, Dewan Pengarah CTIS, Prof. Indroyono Soesilo memperagakan simulasi Chat Box AI dengan menetapkan lokasi Lintang-Bujur sebuah pusat gempa bumi dengan kekuatan 6,5 Skala Richter di wilayah Jawa Tengah. 

Hanya dalam hitungan detik dapat dianalisis seberapa luas dampak bencananya, dan langkah-langkah darurat apa yang perlu diambil secara cepat oleh pihak otoritas maupun masyarakat.  

Bila metoda Chatbox AI bisa menyebar ke seluruh Nusantara menggunakan sistem komunikasi darurat secara cepat  maka dampak bencana dapat ditekan hingga sekecil mungkin.  

Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi,  menanggapi pentingnya Teknologi AI ini didukung sistem komunikasi cepat.  Oleh sebab itu CTIS segera mengundang Direktur Satelit Pasifik Nusantara, Dr. Adi Adiwoso guna membahas implementasi Satelit Jasa Internet SATRIA-1, yang sukses diluncurkan pada 18 Juni 2023 lalu,  untuk penanggulangan bencana. ***

https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/humaniora/pr-1786807202/faktor-manusia-jadi-penentu-bencana-alam-ctis-bahas-peran-penting-teknologi-dan-inovasi-dalam-kebencanaan.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

CTIS: Teknologi dan Inovasi Bisa Tekan Dampak Bencana

Ahli Kebencanaan  dari Center for Environmental Disaster Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER), Universitas Indonesia Profesor Jan Sopaheluwakan  menegaskan bahwa bencana terjadi karena ulah manusia, karena faktor manusia dan karena kebijakan yang dibuat oleh manusia sendiri.

Demikian dipaparkan oleh Profesor Jan Sopaheluwakan pada pada pertemuan Center For Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Rabu 21 Juni 2023.

Dia menjelaskan bencana karena faktor alam itu tidak ada.  Bila terjadi erupsi gunung api di wilayah tanpa penduduk bukanlah sebuah bencana, longsor di tengah hutan lebat tanpa penduduk juga bukan bencana, gempa bumi dan tsunami di pulau terpencil tanpa penduduk juga bukan bencana.

Namun bila banjir menerjang ibukota Jakarta akibat limpahan air sungai kiriman dari Bogor yang disebabkan manusia membangun vila-vila di Puncak, Bogor sehingga volume air hujan yang diserap tanah lebih kecil dibanding air yang mengalir ke sungai maka itu adalah bencana banjir, kata Profesor Jan Sopaheluwakan

Begitu pula, kegiatan  pembalakan kayu di hutan tanpa mengikuti aturan, juga eksploitasi penambangan batubara secara serampangan bisa mengakibatkan bencana tanah longsor dan banjir.  Walaupun ada keuntungan ekonomi disitu.

Penegasan Profesor Jan Sopaheluwakan ditanggapi oleh Sekretaris CTIS, Dr. Andi Eka Sakya, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menggaris-bawahi pernyataan Utusan Khusus Sekjen PBB Mami Mizutori bahwa bencana alam itu tidak ada.

Yang ada adalah bencana yang berdampak pada manusia, pada sosial-ekonomi masyarakat.  Oleh sebab itu, Program PBB “Decade for Natural Disaster Risk Reduction” telah diubah menjadi “Decade for Disaster Risk Reduction”. 

Profesor Jan Sopaheluwakan juga menyampaikan bahwa Bencana memang bisa membawa “Risiko” namun juga memberikan “Rezeki”.  Ini seperti kutipan Alquran Surat Al Insyirah Ayat 94 (5-6) yang berbunyi “Bersama kesulitan pasti ada kemudahan”.

Dia menjelaskan Apabila semua kegiatan umat manusia selalu memperhitungkan faktor  “Risiko”,  maka bencana dapat dimitigasi hingga sekecil mungkin, lalu tingkat ketahanan terhadap bencana di masyarakat muncul, bahkan bisa memberikan “rezeki” kepada pelakunya.

Dicontohkan, bencana akibat jalanan macet menghasilkan jenis pekerjaan baru ojek online. Lalu ada kehadiran pandemi Covid 19 yang justru membuat berkembangnya metoda belajar dari rumah, bekerja dari rumah, serta belanja secara daring.  Dan masih banyak lagi.

Dia mengingatkan setiap program pembangunan harus memasukan faktor risiko, bagaimana memitigasinya, bila terjadi bencana bagaimana operasi tanggap daruratnya dan antisipasi membangun kembali kondisi yang rusak akibat bencana dengan membangun lebih baik lagi. “Build back better & resilient development”.

Dalam diskusi tersebut juga dibahas tentang peran penting teknologi dan inovasi di sektor kebencanaan. Antara lain penerapan teknologi geospasial, sistem komunikasi darurat, Internet of Things, Big Data & Analysis serta Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence-AI).

Pada pertemuan tersebut, Dewan Pengarah CTIS, Prof. Indroyono Soesilo memperagakan simulasi Chat Box AI dengan menetapkan lokasi Lintang-Bujur sebuah pusat gempa bumi dengan kekuatan 6,5 Skala Richter di wilayah Jawa Tengah.

Hanya dalam hitungan detik dapat dianalisis seberapa luas dampak bencananya, dan langkah-langkah darurat apa yang perlu diambil secara cepat oleh pihak otoritas maupun masyarakat.

Bila metoda Chatbox AI bisa menyebar ke seluruh Nusantara menggunakan sistem komunikasi darurat secara cepat  maka dampak bencana dapat ditekan hingga sekecil mungkin.

Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi,  menanggapi pentingnya Teknologi AI ini didukung sistem komunikasi cepat.  Oleh sebab itu CTIS segera mengundang Direktur Satelit Pasifik Nusantara, Dr. Adi Adiwoso guna membahas implementasi Satelit Jasa Internet SATRIA-1, yang sukses diluncurkan pada 18 Juni 2023 lalu,  untuk penanggulangan bencana. ***

https://forestinsights.id/ctis-teknologi-dan-inovasi-bisa-tekan-dampak-bencana/.

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Transisi Energi Menuju Energi Hijau, Indonesia Punya Banyak Potensi

Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menilai Indonesia memiliki banyak potensi untuk mendukung kebijakan Transisi Energi dari energi fosil menuju energi hijau.

Demikian terungkap saat pertemuan CTIS, di Jakarta, Rabu 7 Juni 2023.

“Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya energi untuk bergerak ke kebijakan transisi dari energi fosil menjadi energi yang lebih hijau guna mencapai target NZE 2060, namun perlu terus didukung dengan perencanaan yang rinci dan berlanjut,” demikian ditegaskan Ketua Komisi Energi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Dr. Unggul Priyanto, yang juga Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, Indonesia ditargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. NZE berarti jumlah karbon yang diemisikan dan yang diserap adalah nol.

Di sini peluang dan tantangan harus dihadapi sektor energi, karena bila tidak maka dampak perubahan iklim di Nusantara akan tak terkendali.

Fenomena perubahan iklim kini sudah terjadi seperti peningkatan suhu di permukaan, kenaikan muka laut yang mengakibatkan 1.800 kilometer garis pantai masuk kategori rentan, ditambah lagi gelombang laut ekstrim yang meningkat hingga diatas 1,5 meter, dan turunnya produksi padi di beberapa wilayah.

Dalam Pertemuan CTIS tersebut dipaparkan potensi energi hijau yang dimiliki Indonesia untuk menggantikan energi fosil, seperti energi surya, energi air, bio energi, angin, panas bumi dan gelombang laut.

Total potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini mencapai 3.686 GigaWatt, namun saat ini baru dimanfaatkan sekitar 12 GigaWatt saja.

Penggunaan energi fosil masih tetap tinggi, seperti batubara untuk pembangkit listrik mencapai 73%, belum lagi penggunaan BBM untuk sektor transportasi yang volume impornya terus meningkat dari waktu ke waktu. Indonesia dinilai sebagai penghasil emisi karbon nomor lima terbanyak di Dunia sesudah AS, Tiongkok, India dan Brazil.

Unggul Priyanto menyodorkan berbagai pilihan dalam transisi energi di Indonesia ini, seperti peningkatan efisiensi pembangkit dengan penerapan boiler super-critical dan ultra super-critical .

Juga, pembangunan pembangkit listrik di mulut tambang batubara, seperti yang sudah digagas oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sejak 30 tahun yang lalu.

Di bidang transportasi, komponen bahan bakar minyak (BBM) masih sangat besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sekitar 5% pertahun.

Ini jelas menguras devisa karena Indonesia harus mengimpor BBM sekitar 700 ribu hingga 800 ribu barel minyak bumi per hari. BBM harus dialihkan ke Bahan Bakar Gas (BBG) dan ke Bahan Bakar Nabati (BBN).

Unggul merekomendasikan perlunya dirintis pembangunan kilang minyak nabati sehingga Indonesia semakin mandiri dalam pemanfaatan biofuel.

Di sisi lain, penggunaan kendaraan listrik perlu terus didorong.

Ahli Energi Terbarukan CTIS, Dr. Arya Rezavidi menyodorkan pilihan penggunaan transportasi massal bertenaga listrik, termasuk penggunaan diesel elektrik seefisien mungkin di jalur-jalur kereta api.

Energi listrik untuk memasak juga perlu lebih dipacu untuk mengurangi penggunaan gas LPG yang bersumber dari impor dan terus meningkat. Impor LPG tahun 2016 mencapai 4,48 juta ton dengan nilai Rp20,5 triliun.

Upaya penggunaan energi listrik untuk berbagai sektor kehidupan perlu terus didorong mengingat saat ini PLN kelebihan pasokan listrik.

“Tapi itu sementara, tahun 2028 nanti kita sudah tidak ada kelebihan pasokan dan sudah harus merencanakan pembangunan pembangkit listrik lagi untuk 10 tahun kedepan,” demikian tanggapan M. Fathor Rahman, pakar Markal di CTIS.

Di sini, perencanaan perlu dibuat secara rinci dan dengan tetap berpegang pada perencanaan yang sudah disepakati. Kebijakan energi harus bersifat jangka menengah dan panjang karena investasi yang dibenamkan pada sektor ini cukup besar.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjangkau hingga tahun 2050 harus diimplementasikan dan dievaluasi secara periodik.

Teknologi Market Allocation (MARKAL) untuk perencanaan energi dan bauran energi yang telah diterapkan oleh BPPT sejak 35 tahun lalu dan sekarang terus dipakai, perlu selalu diperbaharui untuk kajian dan evaluasi secara periodik.

Ke depan, Unggul Priyanto menyatakan perlunya terus dikaji tentang penerapan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia mengingat pembangkit energi nuklir mampu menghasilkan pasokan listrik dalam jumlah besar, kontinyu dan ramah lingkungan.

Sebanyak 10% pasokan listrik dunia saat ini menggunakan energi nuklir. ***

https://forestinsights.id/2023/06/08/transisi-energi-menuju-energi-hijau-indonesia-punya-banyak-potensi/