Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

CTIS Bahas Akselerasi Industri Indonesia, Mulai dari Teknologi Rendah Menuju Teknologi Tinggi

Indonesia harus mendorong kemajuan industri manufaktur untuk menjadi negara maju pada tahun 2045. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah strategis dan rencana aksi jangka pendek hingga jangka panjang, dengan terus meningkatkan kandungan teknologi industri manufaktur di dalam negeri. Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 20 November 2024.

Hadir sebagai pembicara pada diskusi dengan topik “Mengakselerasi Industrialisasi Indonesia” itu, Alumnus ITB dan Pendiri Industrial System Engineering Development Center  (ISEDC) Ir. Agus Tjahajana Wirakusumah MSc. Diskusi dipandu Ketua Komite Teknologi Informatika dan Telekomunikasi CTIS Dr. Ashwin Sasongko. Untuk diketahui, hasil pengolahan Data Bank Dunia, BPS dan Bappenas menunjukkan bahwa sumbangsih industri manufaktur di Indonesia pada tahun 2024 baru mencapai 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  Untuk menjadi negara maju maka sumbangsih PDB dari industri manufaktur minimal harus mencapai 28% dari PDB.

Indonesia harus mendorong kemajuan industri manufaktur untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
Ir. Agus Tjahjana Wirakusumah MSc (Depan, No.3 dari kanan), pada paparan Akselerasi Industrialisasi Indonesia di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) /CTIS/

“Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju dan salah satu ciri negara maju ada pada peran dan sumbangsih sektor industri manufaktur yang signifikan,” kata Agus Tjahjana pada awal diskusi.

Agus, yang juga mantan Dirjen dan Sekjen di Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa dari data Bank Dunia tentang negara berbasis manufaktur Dunia, pada tahun 1990 Indonesia ada pada peringkat 18, Republik Korea pada peringkat 16 dan Tiongkok pada peringkat 8.  Setelah 33 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2023, industri manukfatur Indonesia ada pada posisi 10, Korea pada posisi 6 dan Tiongkok pada posisi 1 di dunia.

Jika membandingkan pendapatan per-kapita, Korea pada tahun 1960 memiliki pendapatan per-kapita 158 dolar AS dan Indonesia 597 dolar AS. Sedang pada tahun 2023, pendapatan per-kapita Korea melejit mencapai kapita 33.000 dolar AS, sedang Indonesia sebesar 4.870 dolar AS.

“Ini tiada lain karena Korea mendorong industri manufakturnya semaksimal mungkin dengan teknologi dan sumberdaya manusia, mengingat Korea miskin sumber daya alam,” katanya. Agus menjelaskan bahwa, secara bertahap,  industri manufaktur harus didorong dari industri berteknologi rendah menjadi industri berteknologi menengah dan teknologi tinggi, mengingat nilai tambah yang tinggi diperoleh dari industri yang berteknologi menengah dan tinggi.

Indonesia harus mendorong kemajuan industri manufaktur untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
dok Freepik

Ada 6 industri di Indonesia yang menyumbang hingga 70% dari PDB sektor industri, 40% didominasi industri makanan dan minuman, disusul industri batubara dan pengilangan migas (Non-Migas), industri alat angkutan, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik; dan peralatan listrik,  industri kimia, farmasi dan obat tradisional dan  industri tekstil dan pakaian jadi.

Sub-sektor yang terakhir, walaupun hanya menyumbang 5,2% PDB-Industri, namun membuka banyak lapangan kerja, sehingga saat industri tekstil banyak yang tutup seperti saat ini, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya jumlah pengangguran.

Sebagai langkah awal jangka pendek, Agus mengusulkan agar segera membangkitkan kembali 8 industri yang saat ini tengah lesu, yaitu industri permesinan dan komponen, industri obat-obatan, industri perikanan dan agroindustri, industri elektronika, industri alas kaki, industri barang kayu dan furniture, industri pengolahan tembakau dan industri tekstil.

Indonesia harus mendorong kemajuan industri manufaktur untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
dok Freepik

Kepada Pemerintah, Agus berharap pemberantasan impor ilegal lebih digencarkan, terutama untuk melindungi pasar dalam negeri, lalu menetapkan pelabuhan pelabuhan tertentu untuk masuknya barang impor, serta percepatan pelaksanaan penerapan instrumen trade remedy – World Trade Organization (WTO), seperti kebijakan anti-dumping, countervailing duties dan safeguards. Untuk langkah selanjutnya adalah mengangkat produk industri manufaktur berteknologi rendah, seperti industri makanan dan minuman, industri alas kaki, industri kertas, industri kayu menjadi industri berteknologi menengah dan bahkan berteknologi tinggi.

Pemerintah perlu mendukung dengan regulasi yang konsisten, seperti pengalaman pengembangan industri otomotif di tanah air, sejak dekade 1980-an, diawali dengan melindungi produk otomotif dalam negeri lewat pengenaan pajak 200% bagi kendaraan impor built-up dari luar negeri.

Hasilnya, Indonesia pada tahun 2023 berhasil mengekspor 505.134 unit kendaraan dengan nilai ekspor sekitar 6,12 miliar dolar AS, dan tingkat komponen dalam negerinya (TKDN) sudah mendekati 80%. Untuk mendorong ekspor, perlu ditingkatkan insentif  perpajakan dan insentif non-pajak bagi eksportir-eksportir Indonesia.  Sebagai contoh, bea-masuk produk impor ke Indonesia dikenakan tarif  8%. Pada negara-negara setara dengan Indonesia, tarif  bea-masuk yang dikenakan lebih tinggi, seperti 17% di India, 11,2% di Brasil dan 13,4% di Korea.

Ini semua tiada lain untuk melindungi industri dalam negeri mereka masing-masing.  Agus Tjahajana juga menegaskan bahwa Indonesia belum memanfaatkan secara maksimal Free Trade Agreement (FTA) yang telah disepakati dengan beberapa negara.  Pada tahun 2023 lalu, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan dengan Australia, Korea dan Selandia Baru.  Memang, tahun 2023 perdagangan Indonesia dengan Tiongkok surplus US$ 6.2 milyar, namun ini bukan karena ekspor produk manufaktur, tetapi karena ekspor komoditas tunggal  RI secara besar besaran ke Tiongkok, yaitu nikel. ***

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788817234/ctis-bahas-akselerasi-industri-indonesia-mulai-dari-teknologi-rendah-menuju-teknologi-tinggi?page=all&utm_source=social__whatsapp&utm_medium=social__whatsapp

Kategori
Berita IPTEK Luar Negeri

The Waters of Sulawesi and Northern Papua Are Ideal for Coral Reefs

The Coral Triangle Area consistently draws the attention of marine scientists worldwide. Why does this 75,000-square-kilometer coral reef region, encompassing the waters of six countries—Indonesia, Malaysia, the Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste, and the Solomon Islands—host such extraordinary marine biodiversity? This region is home to 520 coral species, around 3,000 species of fish, and 150 million coastal residents who depend on marine resources, with an economic potential estimated at USD 2.5 billion annually. No other marine region in the world matches its biodiversity richness.

While the Amazon rainforest in Brazil boasts the world’s highest terrestrial biodiversity—with 16,000 plant species, 1,300 bird species, and 430 mammal species—the Coral Triangle Area, often called the “Amazon of the Sea,” holds the title for marine biodiversity.

The Coral Triangle Area consistently draws the attention of marine scientists worldwide.
The Coral Triangle Area

Global scientists continue to investigate the reasons behind the Coral Triangle’s incredible richness. Indonesian and Chinese marine experts have linked the presence of coral reefs in Indonesian waters to the phenomenon of marine heat waves (MHW) frequently occurring in the archipelago’s waters. At the International Conference for Sustainable Coral Reefs held in Manado from December 13–15, 2024, Indonesian researcher Dr. Salvienty Makarim, along with Professors Linhai Wang and Weidong Yu1 from Sun Yat-sen University in China, presented their analysis of MHW in Indonesian waters, particularly in the waters of Sulawesi and Northern Papua.

Data from the U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) indeed shows the presence of marine heat waves in Indonesia’s waters. However, these MHWs do not significantly impact coral reef bleaching. Sea surface temperatures in the Coral Triangle region remain stable at just 5–7 degrees Celsius, unlike the MHW in Thailand, where sea surface temperatures can reach 31 degrees Celsius, causing severe coral bleaching and mortality.

The Coral Triangle Area consistently draws the attention of marine scientists worldwide.
source: https://kkprajaampat.com/en/the-reefs/

The Indonesian-Chinese researchers did not stop at this finding. During the El Niño climate variability, which raised sea surface temperatures in Southern Papua and the Torres Strait to 23 degrees Celsius, sea surface temperatures in Sulawesi and Northern Papua waters remained steady at 5–7 degrees Celsius. This stability allows coral reefs to thrive and reproduce, supported by ocean currents flowing from the Pacific Ocean to the Indian Ocean, which maintain favorable conditions for diverse coral species to live healthily and sustainably.

These comfortable environmental conditions also enable various fish species to live, spawn, and reproduce optimally in the Coral Triangle’s waters. This unique and fascinating marine environment has led Indonesia and China to agree on conducting a marine expedition using Sun Yat-sen University’s latest research vessel, Zhongsan Dakeu, in the coming years.

Source: https://environews.asia/the-waters-of-sulawesi-and-northern-papua-are-ideal-for-coral-reefs/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Teknologi Digital Twin 3-D Karya Anak Bangsa, Ukur Kubah Gambut hingga Rekonstruksi Sejarah

Teknologi Digital Twin 3-D yang mengunakan gabungan antara penerapan teknologi geospasial, teknologi pesawat tanpa awak, atau drone, dan pengolahan data secara digital bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari mengukur kubah gambut di Sumatera Selatan hingga merekonstruksi sejarah.

Untuk merekonstruksi suatu wilayah ataupun bangunan bersejarah, seperti kota tua,  istana keraton sebuah kerajaan lama, bangunan candi maupun benteng lama bisa dilakukan secara presisi, dalam bentuk 3-Dimensi, mencapai ketelitian hingga ukuran centimeter.

Karya-karya para ahli Indonesia di bidang teknologi geospasial mutakhir tadi dipaparkan oleh Dr Asep Karsidi, Ketua dan Pendiri Komunitas Informasi Geospasial Indonesia (KIGI) bersama Tim pada dengan paparan berjudul paparan berjudul ”Digital Twin 3-D” pada pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 31 Juli 2024.

Teknologi Digital Twin 3-D bisa digunakan untuk berbagai kepentingan
Dr Asep Karsidi (Depan No.3 dari kanan) Pada Paparan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 31 Juli 2024.

Pada pertemuan yang dimoderatori Dr Idwan Soehardi, mantan Deputi Menteri Ristek dan Ketua Komite Teknologi Kebencanaan itu, menampilkan teknologi akuisisi data menggunakan sensor Light Detection & Ranging (LIDAR) yang dipasangkan pada Pesawat Tanpa Awak (Drone).

LIDAR lalu diterbangkan oleh Drone dan mulai mengirim sinyal gelombang tampak Merah – Hijau – Biru pada rentang panjang gelombang 0,4 – 0,7 mikrometer ke permukaan, untuk kemudian merekam pantulan balik gelombang tampak tadi.

Dari data permukaan Bumi yang terekam LIDAR kemudian diolah menjadi penampakan digital 3-Dimensi dengan ketelitian hingga bilangan centimeter.

Sensor LIDAR tadi juga merekam posisi ketinggian serta posisi lintang-bujur setiap titik yang dipantulkan.  Dengan demikian, penampakan geospasial 3-Dimensi yang dihasilkan memiliki tingkat presisi lintang – bujur – tinggi yang sangat kredibel, sehingga dapat diolah untuk beragam aplikasi.

“Digital Twin 3-D ini merupakan aplikasi pembuatan Peta yang lebih maju dibandingkan dengan cara pembuatan Peta 2-D yang konvensional itu”, demikian disampaikan Asep Karsidi, yang juga mantan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG).

Ditampilkan oleh Asep Karsidi pembuatan Digital Twin 3-D rekonstruksi Istana Keraton Sumedang Larang di Sumedang, Jawa Barat, dan dapat dihasilkan tampilan geospasial serta arsitektur Kraton saat dibangun sekitar 13 Abad lalu.

Drone terbang dan merekam kondisi kraton dari udara menggunakan LIDAR,  lalu juga terbang merekam ruangan-ruangan di dalam Kraton.  Setelah diolah menjadi Citra 3-Dimensi, produk LIDAR ini kemudian dipakai untuk merekonstruksi sejarah Kerajaan Sumedang Larang, yang merupakan Kerajaan Sunda tertua, yang  berdiri pada Abad ke 8 itu.

Tim KIGI yang, antara lain, datang dari Exsa International, Waindo Spectra, Bimtech, Garuda Vision  dan Geomatik Teknologi Reka Cipta ini juga telah menggelar kegiatan Digital Twin 3-D untuk merekonstruksi Kompleks Candi Muaro Jambi di Jambi, yang diprakirakan merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya pada Abad ke-7.

Tim juga merekonstruksi Istana Trowulan, yang merupakan Istana Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada Abad ke-14.  Tidak itu saja, Tim KIGI juga sudah berhasil merekonstruksi Benteng Kuno di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada tahun 2012 lalu.

Tidak hanya dipakai untuk rekonstruksi sejarah masa lalu, teknologi Digital Twin 3-D ini juga amat penting untuk kegiatan pembangunan masa kini, antara lain untuk membuat perencanaan terowongan bawah tanah, seperti kegiatan pembuatan jalur MRT di Jakarta, dan untuk pengukuran kubah-kubah lahan gambut di Sumatera Bagian Timur.

Teknologi Digital Twin 3-D yang mengunakan gabungan antara penerapan teknologi geospasial, teknologi pesawat tanpa awak, atau drone
Penampakan Kraton Kerajaan Sumedang Larang yang dibangun pada Abad Ke-8, hasil rekonstruksi teknologi Digital Twin 3-D

Tidak kalah penting, penerapan teknologi ini untuk merancang besaran pungutan pajak di suatu wilayah, misalnya merancang besaran pungutan pajak rumah-rumah di dalam sebuah kawasan Real Estate.   Perhitungan kasar Tim KIGI mencontohkan, dengan investasi 1 X pengukuran dan perhitungan menggunakan Digital Twin 3-D di suatu wilayah, dapat dihasilkan pajak 3 X lebih banyak.

Para peserta pertemuan CTIS sepakat kiranya kemampuan anak bangsa di bidang teknologi geospasial digital 3-Dimensi, yang merupakan bagian dari industri 4.0,  ini bisa diterapkan secara maksimal oleh Bangsa Indonesia sendiri, tidak harus mengundang pakar pakar dari luar negeri untuk kegiatan sejenis. ***

Sumber: https://forestinsights.id/teknologi-digital-twin-3-d-karya-anak-bangsa-ukur-kubah-gambut-hingga-rekonstruksi-sejarah/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Mampu Angkut Barang Seberat 60 Ton, Balon Udara Flying Whale Hemat Biaya Logistik di Indonesia

Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan. Pemanfaatan sistem logistik ini akan menghemat dan meningkatkan efisiensi di Indonesia. Demikian dibahas pada diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 26 Juni 2024.

Berbicara pada diskusi tersebut Ir Teguh Wibowo, alumnus ITB Bandung yang juga Perwakilan Flying Whales di Indonesia,  dengan moderator Dr Agustan, Ketua Komite Penginderaan Jauh CTIS, alumnus ITB dan Universitas Nagoya, Jepang.  Sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, Indonesia telah membangun sistem logistik darat, laut, udara yang didukung dengan sistem komunikasi Palapa Ring.

 Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan

Teguh Wibowo menjelaskan biaya logistik di Indonesia sangat tinggi sebagai dampak dari luasnya wilayah Indonesia. Sekitar 14% dari PDB, walaupun sudah turun dari sekitar 24% PDB pada 10 tahun lalu.  Sebagai perbandingan, biaya logistik di negara lain berkisar 9%-12%.

Terlebih bila harus menjangkau wilayah terluar, terdepan dan terbelakang di Kepulauan Nusantara yang infrastrukturnya belum sepenuhnya terbangun.  Kondisi serupa pun sebenarnya banyak dijumpai di berbagai negara.  Menyadari akan hal tadi, Teguh menjelaskan, pada tahun 2012 lalu, sekitar 50 industri penerbangan di dunia bergabung untuk merancang-bangun sebuah sistem pesawat terbang balon udara yang mampu mengangkut barang hingga bobot 60 ton.

Balon udara pengangkut barang tadi diberi nama LCA60T Setelah dilaksanakan studi kelayakan selama 5 tahun termasuk pendanaannya, kurun 2012-2017,  maka pada tahun 2017 lalu dimulai rancang-bangun balon udara angkut logistik tadi yang diberi nama Flying Whales, atau Ikan Paus Terbang.   Balon udara ini memiliki panjang 200 meter dan mampu mengangkut barang berukuran  96 meter X 8 meter X 7 meter.

Inovasi sistem logistik memanfaatkan balon udara LCA60T, Flying Whale yang mampu mengangkut barang seberat 60 ton sedang dalam persiapan. Pemanfaatan sistem logistik ini akan menghemat dan meningkatkan efisiensi
Flying Whales (dok flying whales)

Balon udara ini memiliki 14 ruangan yang diisi gas Helium (He), suatu unsur kimia yang sangat ringan sehingga bisa terbang sekaligus mampu mengangkat suatu benda.   Sebagai penggerak, Flying Whales, menggunakan mesin propulsi dengan  7 baling baling yang memungkinkan balon udara ini terbang dengan kecepatan 100 Km per jam, mencapai ketinggian maksimum 3.000 meter dan radius terbang hingga 1.000 kilometer.  Saat ini, tahapan rancang-bangun dan konstruksi tengah berlangsung.  Diharapkan, Flying Whales, akan uji terbang perdana pada tahun 2026 nanti, untuk kemudian masuk ke jalur produksi dan sertifikasi pada tahun 2027.

Teguh menjelaskan bahwa pabrik LCA60T akan dibangun  di tiga negara, yaitu Perancis, Kanada dan Australia.   Direncanakan, pada tahun 2035 nanti sudah akan berdiri 160 pangkalan jasa LCA60T, Flying Whales di seluruh Dunia, 46 diantaranya di wilayah Asia Pasifik.  Sebanyak enam Pangkalan Flying Whales direncanakan akan dibangun di pulau Jawa, Sumatera,  Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.  Ini akan menjawab permasalahan pengiriman logistik ke wilayah terpencil, seperti angkutan peti kemas langsung dari kapal ke lokasi tujuan tanpa harus berhenti di pelabuhan.

Flying Whales juga bisa untuk mengangkut material pembangunan seperti menara listrik, baling baling Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, ataupun mengangkut kayu log dari hutan dipedalaman ke lokasi penimbunan.  Wilayah Nusantara yang rawan bencana juga akan membutuhkan kemampuan pengangkutan rumah sakit lapangan yang siap dioperasikan dan jawabannya ada di Flying Whales ini.

Pada diskusi CTIS tadi, diusulkan kiranya wilayah Indonesia bisa dipakai sebagai lokasi uji-coba balon terbang Flying Whales ini sekiranya produk teknologi tinggi ini selesai di produksi pada tahun 2027.  Selain implementasi jasa logistik, kiranya pihak Flying Whales bisa bekerjasama dengan pabrik pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia  yang sudah memiliki kemampuan untuk membuat komponen komponen pesawat, guna membangun balon terbang, Flying Whales ini di Indonesia, guna mengisi pangsa pasar Asia Pasifik. ***

Sumber : https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788273368/mampu-angkut-barang-seberat-60-ton-balon-udara-flying-whale-hemat-biaya-logistik-di-indonesia

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bio-Arang, Bio-Sintetis Gas dan Turunannya Menuju Energi Hijau di Indonesia

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal yang dihasilkan dari beragam pasokan bahan baku biomassa.

Dari padanya kemudian dapat diproduksi beragam turunnya,  seperti bio-sintetis gas untuk menggantikan peran gas LPG.

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu19 Juni 2024.  Berbicara pada Diskusi berjudul “Smart City Decarbonization”  adalah Co-Founder & CEO After Oil.id, Rifo Romello, dengan moderator Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi yang juga mantan Deputi Menristek.

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal
Ir. Rifo Romello (No.3 dari kanan) pada Diskusi Center fot Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 19 Juni 2024

Rifo Romello mengawali paparannya dengan memperlihatkan data konsumi gas LPG di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Pada tahun 2013, konsumsi gas LPG kita mencapai 5,6 juta ton, dan tahun 2023 sudah mencapai 8,7 juta ton.  Di samping 80% LPG harus di impor, ini menyerap 56% subsidi energi pertahunnya. Gas LPG tadi juga mengemisikan gas CO2 yang berdampak pada perubahan iklim global.

Harus ada upaya mencari alternatif untuk mengurangi konsumsi gas LPG, mengurangi impor, yang berarti juga menghemat devisa kita.

Rifo menawarkan penggunaan bio-charcoal untuk mengganti penggunaan gas LPG dan bisa diproses lagi menjadi beragam produk seperti bio-sintetis gas.

Sebenarnya, unsur kimia energi fosil dan energi biomassa tidak lah terlalu berbeda.  Komponen energi fosil terdiri dari Hidrogen (H) dan Karbon (C), sedang komponen energi biomasa terdiri dari H, C dan Oksigen (O).

Agar tidak terjadi kompetisi sumberdaya biomasa untuk pangan terhadap untuk energi, maka perlu dibuat aturan penggunaan lahannya.  Lahan subur digunakan untuk produksi pangan, sedang lahan tidak subur dan lahan kritis dapat ditanami pepohonan untuk pasokan energi biomasa.

Oleh sebab itu, Uni Eropa sampai menetapkan 17 jenis biomasa yang dapat digunakan sebagai energi, dari sekam padi, limbah pohon sawit, limbah produk kehutanan hingga sampah perkotaan.

Dari pasokan beragam jenis biomasa tadi  kemudian dapat diproduksi bio-charcoal atau bio-arang dalam bentuk pellet, yang memiliki panas hingga diatas 7000 kalori, untuk energi biomasa.

Rifo menegaskan bahwa sudah saatnya, usaha-usaha UMKM, juga warung-warung,  rumah-rumah makan dan pedagang makanan keliling mulai mengalihkan penggunaan bahan bakarnya dari LPG 3 kg ke bio-arang.  Ini akan menghemat biaya, sekaligus mengurangi impor LPG dan menghemat devisa.

Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal
briket arang (dok  rumahsabut.com)

Pada tahapan berikutnya, Rifo menawarkan pengolahan produk dari bio-arang menjadi bio-sintetis gas.  Ini berarti, tabung-tabung gas bekas LPG tidak lagi diisi gas LPG namun bisa diisi oleh  bio-sintetis gas berbahan baku biomasa. Kembali lagi, devisa untuk impor gas LPG bisa dihemat.

Dari produk bio-sintetis gas tadi, bisa diolah lebih lanjut lagi menjadi bio-methanol, bio-gasoline, green diesel dan bio-jet.  Kemudian, turunannya lagi bisa menghasilkan Reformed Methanol Fuel Cell (RMFC) bagi gas hidrogen untuk menggerakkan mobil listrik.  Juga bisa menghasilkan Reformed Dimethyl Ether Fuel Cell (RDMEFC), suatu bentuk gas hidrogen untuk menggerakan kendaraan listrik dan lebih mudah diangkut dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Karya Rifo Romello dan kawan-kawan telah menarik perhatian lembaga lembaga riset di luar negeri dan mendapatkan penghargaan Juara 1 Climate Impact Innovation Challenge yang digelar Temasek Foundation, Singapura.   Juga masuk Top 5 The World’s  Most Innovative Changemaker dari Standford University, AS. ***

Sumber: https://forestinsights.id/bio-arang-bio-sintetis-gas-dan-turunannya-menuju-energi-hijau-di-indonesia/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bantu Kendalikan Perubahan Iklim, Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Makin Berkembang

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi. Saat ini  pemanfaatan panas bumi sekitar 2000 MW saja.

Guna meningkatkan pemanfaatkan energi panas bumi di Indonesia, perlu dipertimbangkan tiga hal. Pertama layak secara teknis, kedua secara ekonomis menguntungkan, dan ketiga adanya regulasi yang ramah investasi.

Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) Tentang “Tantangan Penggunaan Teknologi Konvensional di Geothermal”, Rabu, 6 Maret, 2024.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Dr. Arcandra Tahar (Duduk No.2 dari Kanan), Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Tentang Teknologi Geothermal, Rabu, 6 Maret 2024.

Berbicara dalam diskusi CTIS tersebut, Dr. Arcandara Tahar, mantan Menteri dan Wakil Menteri Energi & Sumberdaya Mineral. Diskusi dimoderatori Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Priyanto yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Arcandra menegaskan bahwa salah satu sumber energi ramah lingkungan dan berpotensi mengurangi dampak perubahan iklim adalah geothermal atau panas bumi.   Lapisan kerak bumi yang panas, dikenal sebagai “Hot Rocks” menghasilkan uap air, antara lain, digunakan sebagai tempat pemandian air panas.

Untuk skala besar, uap geothermal digunakan untuk memutar turbin dan membangkitkan Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). Di tahun 2023, 60% energi panas bumi digunakan untuk pemanas dan sisanya untuk pembangkit listrik, menghasilkan listrik sekitar 16.000 MW. Pada tahun 2050, diperkirakan sekitar 80% energi geothermal akan digunakan untuk pembangkit listrik. Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, Turki, dan Selandia Baru adalah beberapa negara yang sudah memanfaatkan geothermal untuk pembangkit listrik. Sementara China, Turki, Jepang dan Islandia memanfaatkan geothermal untuk pemanas.

Pemanfaatan geothermal untuk energi memerlukan inovasi.  Arcandra menegaskan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah menghitung seberapa besar cadangan terbukti (proven reserve) dari besaran potensi energi geothermal yang diprakirakan.  Berbagai pemboran eksplorasi, survey geologi maupun survey geofisika diperlukan guna menghitung seberapa besar uap air yang dihasilkan agar dapat memutar turbin dan menghasilkan listrik.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
Pertamina Geothermal Energy. (Dok Pertamina)

Sebuah reservoir panas bumi dapat dikembangkan apabila memiliki panas di atas 120 derajat Celcius, lokasi reservoir yang dangkal serta tingkat permeabilitas yang besar, yaitu tingkat kelolosan uap air yang mampu melewati celah-celah batuan di reservoir, dengan ukuran permeabilitas diatas 10 darcy-meter. Semakin tinggi angka permeabilitas maka semakin mudah uap air untuk mengalir.

Lokasi reservoir diupayakan sedangkal mungkin karena menyangkut biaya pemboran yang semakin mahal bila semakin dalam.  Temperatur akan naik sekitar 30 derajat Celcius per-kilometer.  Berarti, untuk mendapatkan temperatur diatas 120 derajat Celcius, diperlukan pengeboran sedalam 4 kilometer, atau 4000 meter.

Mempertimbangkan syarat reservoir geothermal yang harus memiliki temperatur di atas 120 derajat Celcius, tingkat permeabilitas batuan diatas 10 darcy-meter dan lokasi reservoir yang dangkal, maka ternyata hanya 0,6% reservoir panas bumi di Dunia yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi melalui penerapan teknologi konvensional geothermal yang ada saat ini.  Oleh sebab itu, hitung-hitungan dari potensi sumber daya panas bumi untuk menjadi cadangan terbukti (proven reserve) menjadi sangat penting agar dapat ditentukan tingkat keekonomiannya.

Menurut Arcandra para ahli geothermal Dunia saat ini tengah memutar otak guna mengembangkan energi panas bumi tanpa tergantung keberadaan gunung api lagi.  Yang penting dicari adalah keberadaan “Hot Rocks” di kerak Bumi.

Para ahli mengkaji data dari  45.000 sumur pemboran migas di seluruh Dunia guna menentukan lokasi lokasi berpotensi hot rocks untuk pembangkit listrik.  Dicobakan penerapan Advanced Geothermal System (AGS) dengan melakukan pemboran batuan di lapisan kerak bumi tadi guna mendapat batuan panas bertempartur tinggi di kedalaman, lalu dialirkan fluida ke arah batuan panas tadi sehingga memproduksi uap guna memutar turbin dan membangkitkan tenaga listrik.

Ada juga Enhanced Geothermal Systems (EGS) dengan cara melakukan pemboran ke kerak bumi, hingga diperoleh batuan panas di kedalaman, kemudian dimasukkan air ke lubang sumur pemboran tadi agar menghasilkan uap air, lalu melalui saluran pipa lainnya maka uap air tadi dialirkan ke permukaan Bumi guna dipakai untuk memutar turbin pembangkit listrik tenaga panas bumi.  Dengan demikian, potensi panas bumi tidak lagi harus bergantung pada panas dan uap air dari sumber gunung api, melainkan bisa dari sumber batuan panas di lokasi lapisan batuan dimana saja di Bumi.

Istilah “Geothermal Anywhere” pun muncul.  Selama kerak Bumi panas, maka pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat dihasilkan di lokasi mana saja dimuka Bumi.  Perkembangan teknologi mutakhir pemanfaatkan panas bumi tadi diharapkan segera muncul hasilnya dan mulai operasional diterapkan pada sekitar tahun 2025 mendatang.

Indonesia yang memiliki sekitar 400 gunung api dengan 124 diantaranya gunung api aktif, berpotensi membangkitkan 29.000 MegaWatt (MW) Listrik dari panas bumi.
PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW. (dok Star Energy)

Indonesia memang belum memulai konsep “Geothermal Anywhere” mengingat potensi panas bumi konvensional yang dimiliki Kepulauan Nusantara ini masih sangat berlimpah.  Beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah beroperasi di tanah air, antara lain PLTP Kamojang, Jawa Barat dengan daya 235 Megawatt (MW), PLTP Wayang Windu, Jabar, dengan daya  227 MW, PLTP Darajat, Jabar dengan daya 270 MW, PLTP Gunung Salak, Jabar dengan daya 377 MW, PLTP Cibuni, Jabar dengan daya 85 MW,  PLTP Ulubelu, Lampung dengan daya 110 MW, PLTP Sarulla, Sumatera Utara dengan daya  330 MW dan PLTP Lahendong, Sulawesi Utara dengan daya 80 MW.

Mengingat riset tentang PLTP telah dilaksanakan BPPT sejak dekade 1980-an lalu, Dr. Unggul menyarankan kiranya PLTP BPPT di Kamojang dengan daya 3 MW dan PLTP BPPT Siklus Biner di Lahendong, dengan daya 0,5 MW dapat terus dipakai untuk uji coba penerapan beragam teknologi mutakhir energi geothermal, serta dipakai untuk memproduksi energi Hidrogen, selain juga bisa dipakai untuk kegiatan pengeringan produk produk pertanian guna memberikan nilai tambah produk pertanian di wilayah-wilayah tadi. ***

Sumber : https://agroindonesia.co.id/bantu-kendalikan-perubahan-iklim-pemanfaatan-potensi-panas-bumi-makin-berkembang/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Punya Banyak Keanekaragaman Hayati, Ekspor Ikan Hias Indonesia Terhalang Masalah Klasik

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.

Namun, sejak 24 tahun lalu, permasalahan para pengekspor ikan hias di Indonesia hingga sekarang masih sama, yaitu ketiadaan standar produk yang diekspor, masalah kontinuitas produk, masalah logistik dan transportasi serta upaya penetrasi pasar global.

Dalam diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 6 November 2024, disepakati tentang perlunya menggarap potensi ikan hias dari “hilir”, yaitu penetrasi pasar global terlebih dahulu.

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di Dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.
Dr. Joni Haryadi (Depan No.2 dari Kanan), pada Pemaparan Tentang Ikan Hias Indonesia Menerobos Pasar Dunia

Secara bersamaan, para ahli ikan hias Indonesia memperkenalkan berbagai teknik untuk membuat ikan hias lebih cantik dipandang, antara lain dengan pemberian pakan khusus.

Pada tahapan “hulu”, para pembudidaya ikan hias, yang sebagian besar adalah pembudidaya kelas rumah tangga terus dibina agar bisa menghasilkan produk siap ekspor, sekaligus membuka lapangan kerja seluas-luasnya, terutama lapangan kerja bagi generasi Z dan generasi millenial.

Kepala Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Joni Haryadi, dalam paparannya yang berjudul “Peluang Usaha Ikan Hias Untuk Indonesia Maju” menegaskan bahwa dalam lingkup global, data tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia adalah eksportir ikan hias nomor dua terbesar di Dunia setelah Tiongkok.

Tiongkok memang eksportir ikan hias terbesar Dunia, namun ikan yang diekspor sebagian besar diimpor dari Indonesia, lalu diberi nilai tambah, seperti disiapkan pakan khusus agar semakin menyala warnanya, lalu kemasannya dipercantik dan diekspor ke jaringan global konsumen yang telah mereka bangun.

Joni Haryadi, yang Alumnus Universitas Indonesia ini,  menegaskan potensi bahan baku ekspor Ikan hias dimiliki Indonesia.

Khusus untuk ikan hias air tawar, 5 besar jenis ikan hias air tawar yang diminati Dunia adalah Ikan Koi, Ikan Arwana Super Red, Ikan Mas Koki, Ikan Cupang Hias dan Ikan Cupang Laga.

Jenis-jenis ikan hias tersebut mempunyai kriteria langka, unik, memiliki sejarah, eksoktik dan memiliki nilai jual.  Di seluruh Dunia, orang senang memelihara ikan hias untuk mengurangi stress kehidupan, memberikan ketenangan jiwa, melahirkan insiprasi inspirasi baru dan juga membuat manusia lebih fokus.

Sebaran 5 besar provinsi yang melaksanakan budidaya ikan hias adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta.  Diperkirakan, pada tahun 2022, ada sekitar 21.091 orang berbudidaya ikan hias di Indonesia dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal.’

Indonesia memiliki salah satu sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di Dunia, yaitu 4552 jenis ikan hias (ornamental fish) berpotensi ekonomi yang sangat besar.
Ikan hias laut. (Dok KKP)

Menurut data World Integrated Trade Solution (WITS 2022), lima besar negara importir ikan hias dari Indonesia adalah: Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Negara-Negara Asia lainnya dan Singapura.

Memang, ekspor pada tahun 2022 baru mencapai Rp 586 miliar saja, tetapi Joni Haryadi telah menyusun program agar target ekspor ikan hias Rp 1,6 triliun pada tahun 2029 dapat dicapai.

Selain nilai ekspor, usaha ikan hias ini amat berpeluang dikembangkan oleh para millenial, dengan modal yang tidak besar.  Mereka bisa memulainya sebagai broker dan supplier, kemudian meningkat menjadi trader dan terakhir bisa memiliki usaha toko ikan hias sendiri.

Lewat perkembangan teknologi digital maka para generasi millenial dan Gen Z yang melek teknologi digital dan teknologi komunikasi ini bisa langsung terlibat dalam rantai pasok ikan hias Dunia.

Pada akhir Diskusi, disepakati tindak-lanjut kedepannya, diantaranya, guna memperluas pasar maka akan digelar pertemuan lewat zoom antara importir ikan hias di Tiongkok, Amerika Serikat dan Jepang dengan para eksportir ikan hias Indonesia, yang difasilitasi oleh Perwakilan Perwakilan RI di tiga negara tadi.

Lalu, segera diusulkan ke pada UNESCO agar ikan Arwana Super Red, yang merupakan ikan resmi Indonesia, mendapatkan status Warisan Dunia seperti orangutan dan komodo, sehingga dapat dipakai sebagai wahana promosi.

Di samping itu, segera digairahkan kembali lomba-lomba ikan hias, seperti lomba ikan cupang hias dan cupang laga, di tanah air.  Terakhir, para ahli ikan hias Indonesia perlu segera terjun langsung kemasyarakat guna memberikan pelatihan dan penyuluhan, mengingat usaha ini bisa menjadi usaha rumah tangga yang sangat menjanjikan. ***

Sumber: https://agroindonesia.co.id/punya-banyak-keanekaragaman-hayati-ekspor-ikan-hias-indonesia-terhalang-masalah-klasik/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

PII dan CTIS Jalin Kerja Sama Bangun Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menandatangani Naskah Kerjasama (Memorandum of Understanding/MOU) untuk penguatan sumberdaya manusia dan kajian bersama tentang teknologi semikonduktor dan sel surya guna mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.

Penandatanganan MOU dilakukan antara Ketua Umum PII, Dr. Ir. Danis Sumadilaga dan Ketua CTIS, Dr. Ir. Wendy Aritenang, disaksikan Pembina CTIS Prof. Indroyono Soesilo dan Co-CEO Indonesia Solar Energy Research Center (ISEREC), Professor Michael Goutama, di Jakarta, Jumat, 15 November 2024.

Dalam kesempatan itu, Danis Sumadilaga, menegaskan bahwa sesuai UU No.11/Th.2014 Tentang Keinsinyuran, salah satu tugas utama PII adalah pengembangan keprofesian insinyur secara berkelanjutan dan pembinaan keinsinyuran.

Itulah sebabnya pada KTT G-20, yaitu KTT 20 Negara dengan ekonomi terbesar di Dunia, di Bali, November 2022 lalu, PII telah merintis pembentukan Kelompok 20 Negara G-20 untuk mengembangkan keprofesian insinyur, yang dikenal sebagai Engineering 20, atau E-20.

Salah satu implementasi E-20 adalah pembangunan Industri Semikonduktor dan Sel Surya di Indonesia dengan pendekatan “End To End”, atau “Hulu – Hilir.

Para ilmuwan Indonesia mengembangkan Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
Penandatangan Naskah Kerjasama antara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) diwakili Ketua Umum PII. Dr. Danis Sumadilaga dan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), diwakili Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang

PII kemudian menggalang kerjasama dengan berbagai universitas dan lembaga riset di tanah air, salah satunya adalah dengan CTIS.

Dewan Pembina CTIS, Professor Indroyono Soesilo, dalam kesempatan itu menyambut baik kerjasama PII – CTIS ini, mengingat CTIS memiliki pakar pakar senior yang dapat menyumbangkan pengalaman mereka demi terwujudnya industri semionduktor dan sel surya kelas Dunia, yang siap masuk dalam rantai pasok Dunia di industri ini.

Indroyono mengatakan bahwa ide pembangunan industri semikonduktor di tanah air telah dirintis oleh Menteri Ristek/Kepala BPPT, Prof. BJ Habibie pada tahun 1978 lalu, yang menugasi Professor Samaun Samadikun dan Professor Barmawi, keduanya dari ITB-Bandung untuk membangun purwa rupa industri sel surya di tanah air.

Laboratorium Sel Surya dan Semikonduktor kemudian di bangun oleh LIPI di Puspiptek – Serpong, Jawa Barat, dan pada tahun 1992 sudah berhasil membangun purwa rupa waffer dan sel surya produksi dalam negeri.

Namun, Industri ini baru akan  terwujud setelah hampir 40 tahun dikerjakan oleh ahli-ahli Indonesia sendiri, mengingat, kala itu, pasar dalam negeri belum ada.

Sekarang, Indonesia siap memasuki era industri semikondutor dan sel surya dengan kekuatan pasar dalam negeri dan juga mendorong ekspor, pertama ke Singapura dan kemudian ke mancanegara dengan memposisikan diri sebagai salah satu bagian dari rantai pasok industri sel surya dan semikonduktor Dunia.

ISEREC sekarang sedang menyusun Peta Jalan (Road Map) industri ini di Indonesia serta riset pengukuran irradiasi sinar matahari dibeberapa lokasi di tanah air guna mendapatkan energi optimum untuk membangun pembangkit listrik tenaga sel surya.  NUS-Singapura juga mulai menawarkan beasiswa Program Doktor untuk kandidat Doktor dari Indonesia.

pengembangan  Industri Semi Konduktor dan Sel Surya dari hulu ke hilir di Indonesia.
dok Freepik

Rencana ini disambut baik oleh Dirut Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Dr.Andin Hadiyanto yang siap mendukung lewat program Co-Funding LPDP.  Apabila NUS menyiapkan 5 Beasiswa Doktor maka LPDP akan menyiapkan beasiswa dalam jumlah yang sama, sehingga kandidat Doktor dari Indonesia ke NUS mencapai 10 orang.  Kebetulan NUS dan LPDP sudah mempunyai Program Kerjasama.

Bersamaan dengan pendandatangan MOU antara PII – CTIS, maka diresmikan pula Sekretariat ISEREC dengan Sekretaris ISEREC Dr. Andhika Prastawa.

Hadir pada acara penandatangan MOU, antara lain, Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI), yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Marzan Azis Iskandar, Ketua Komite Energi CTIS dan Mantan Kepala BPPT, Dr. Unggul Priyanto.

Mantan Ketua Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) Prof. Harijono Djojodihardjo, Ketua Komite Telekomunikasi & Informatika CTIS, yang juga mantan Dirjen di Kementerian Komunikasi & Informatika, Dr. Ashin Sasongko, para ahli energi surya Indonesia, seperti Dr. Arya Rezavidi, Dr. Martin Djamin dan Ir.Wisnubroto, serta perwakilan dari BRIN dan Universitas Negeri 11 Maret. ***

Sumber: https://forestinsights.id/pii-dan-ctis-jalin-kerja-sama-bangun-industri-semikonduktor-dan-sel-surya-di-indonesia/

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Logam Tanah Jarang Bisa Dukung Industri Baterai Listrik di Indonesia, Apa Itu?

Ketika Presiden Jokowi berbicara tentang potensi “harta karun” mineral logam tanah jarang (LTJ) yang dimiliki Indonesia, 30 Mei 2023 lalu, banyak orang yang mengerenyitkan dahi.  Mineral apa ini? Ternyata inilah mineral yang dikenal sebagai Rare-Earth Minerals, yaitu mineral ikutan di tambang-tambang timah.

Bila saat ini Indonesia menambang bijih timah dari mineral Cassiterite (SnO2), maka ternyata banyak mineral ikutannya, seperti Monasit,  Zirkon (ZrSOI4),  Ilemenit (TiO3), Rutil (TiO2), Pasir Kwarsa (SiO2) dan  Xenotime (YPO4).  Dari mineral-mineral ikutan tadi, terutama mineral Monasit, dapat dihimpun 17 unsur kimia logam tanah jarang (LTJ), antara lain Er, Eu, Gd, Ho, La, Lu, Nd, Pr, Sm, Tb, Tm dan Yb.

para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan ogam tanah jarang untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia. 
Ahli Logam Tanah Jarang (LTJ), Purwadi Kasino Putri (No.4 dari kanan) pada Paparan di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024. /CTIS/

Ternyata para ahli Indonesia sudah mulai memanfaatkan LTJ untuk mendukung industri baterai listrik di Indonesia.  Demikian dipaparkan pada diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 Mei 2024,

Ahli nuklir Indonesia, Purwadi Kasino Putro dari Prime Energi Terbarukan  dalam paparannya yang berjudul “Baterai Untuk Kendaraan Listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Berbasis Logam Tanah Jarang (LTJ), Menuju Kemandirian Energi di Indonesia”, memperlihatkan bahwa proses pemisahan LTJ dari mineral Cassiterite sudah bisa dilaksanakan di Indonesia. Beragam purwa rupa baterai dari LTJ juga sudah bisa diproduksi di tanah air.

Purwadi, yang insinyur teknik nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada dan ahli bahan bakar nuklir lulusan Universitas di Jerman itu menegaskan bahwa dengan mencampurkan LTJ pada komponen baterai listrik berbasis Nikel yaitu NMC (Lithium, Manganese, Cobalt Oxide ) atau baterai yang berbasis Lithium, yaitu Lithium Iron Phsophate (LFP), maka baterai listrik ini akan memiliki energi yang lebih kuat, efisiensi yang tinggi, juga baterai akan berusia  lebih panjang.

Secara ekonomis, ini akan sangat menguntungkan Dalam presentasi yang dipandu oleh Dr. Arie Rahmadi, Peneliti Senior BRIN, Purwadi menyampaikan bahwa bahan baku LTJ di Indonesia sangat melimpah, namun  belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bernilai tinggi.  Sebagai contoh, pasir kwarsa yang merupakan hasil sampingan produk timah, diekspor keluar negeri sebagai bahan tambang galian C.

“harta karun” mineral logam tanah jarang  yang dimiliki Indonesia
Logam Tanah Jarang (LTJ)

Padahal di situ banyak dijumpai mineral LTJ. Purwadi juga menyatakan bahwa tahap berikutnya dalam pembangunan baterai berbasis LTJ adalah membuat baterai dengan campuran komponen NMC dan LTJ yang siap mengisi pasar baterai mobil listrik dan sepeda motor listrik di tanah air.  Sumberdaya nikel dan LTJ sudah ada di Indonesia.  Tidak itu saja, baterai jenis ini juga dapat mengisi kebutuhan baterai di kapal-kapal nelayan yang sudah tidak menggunakan minyak solar lagi, namun sudah menggunakan motor listrik.

Dalam rangka transisi energi dan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maka ada potensi sangat besar untuk penggunaan baterai NMC-LTJ untuk PLTS di tanah air. Menurut Purwadi, target awal industri baterai berbasis LTJ mencapai produksi 7 MegaWatt per-harinya. Apalagi, Pemerintah sudah mematok Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mobil listrik dan motor listrik pada tahun 2026 adalah 80%.

Seperti diketahui, salah satu komponen bernilai ekonomi terbesar pada mobil listrik dan sepeda motor listrik adalah pada komponen baterainya.  Inilah pasar yang dibidik dari industri baterai berbasis LTJ di Indonesia. *

Sumber: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1788078581/logam-tanah-jarang-bisa-dukung-industri-baterai-listrik-di-indonesia-apa-itu?page=all

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Vela-Alpha: Pesawat Listrik Karya Insinyur Indonesia yang Rendah Karbon

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.

Rancang bangun VELA-Alpha dipaparkan kepada hadapan para anggota Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) oleh Chief Engineer Vela Prima Nusantara, Ilman Pamungkas, Rabu  22 Januari 2025.

VELA-Alpha dirancang oleh sepuluh insinyur muda Indonesia. Ini adalah pesawat Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik, yang bisa beroperasi seperti helikopter dan mampu mengangkut 1 Pilot dan 6 penumpang.

PT Vela Prima Nusantara merancang bangun pesawat sebuah pesawat transport Advanced Air Mobility (AAM) bertenaga listrik bernama VELA-Alpha yang rendah karbon.
pesawat rendah karbon Vela Alpha. (dok Vela Alpha)

Menurut Ilman Pamungkas AAM masuk sebagai kategori pesawat mobil udara berteknologi maju untuk transportasi  di wilayah urban dan wilayah regional.

Kajian potensi pasar pesawat AAM memperlihatkan bahwa pada tahun 2030, Dunia membutuhkan sekitar 7000 pesawat AAM. Separuh diantaranya untuk wilayah Asia Pasifik.

Kebutuhan pesawat jenis AAM ini akan meningkat terus menjadi 47.000 di tahun 2040, dimana 24.000  pesawat diantaranya akan beroperasi di wilayah Asia Pasifik.  Sudah pasti, negara kepulauan seperti Indonesia akan membutuhkan banyak pesawat jenis ini.

Oleh sebab itu, tahap pertama yang mereka bangun adalah pesawat untuk taksi udara wilayah urban dengan radius jangkauan sekitar 100 kilometer, cocok untuk angkutan antar-kota, untuk transportasi dari pusat kota ke bandara, untuk evakuasi medis, juga untuk pariwisata.

Hasil kajian awal, transportasi menggunakan kendaraan taksi dari pusat kota Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta membutuhkan waktu 60 hingga 90 menit, karena kemacetan lalu lintasnya, sedang dengan pesawat VELA-Alpha hanya membutuhkan waktu 8 menit saja.

Ilman juga menjelaskan bahwa pesawat VELA-Alpha bertenaga listrik, berarti skala kebisingan akan turun dan mengurangi emisi karbon. Juga berkemampuan Vertical Take Off & Landing (VTOL), sehingga tidak memerlukan landasan pacu.

Di samping itu, lewat perkembangan teknologi digital saat ini maka VELA-Alpha bisa bermitra dengan sistem transportasi darat lewat program “Ride-Sharing”, atau menumpang bersama.

Markas Vela Prima Nusantara berada di dalam kompleks Pabrik Pesawat Terbang Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung. Di sanalah kegiatan rancang-bangun pesawat digelar.  Direncanakan, kegiatan produksi pesawat VELA-Alpha akan dilaksanakan di fasilitas PT DI.

Sementara uji terowongan angin pada model pesawat telah dilaksanakan di Laboratorium Aeordinamika, Gas dan Getaran (LAGG) di Puspiptek Serpong, Jawa Barat.  Untuk Uji-Simulasi dilaksanakan di Laboratorium Vela Prima Nusantara sendiri.

Ilman dan group insinyur muda Indonesia ini mentargetkan bahwa Desain Rekayasa Rinci (Detailed Engineering Design) sudah bisa selesai pada  tahun 2025 ini.  Sedang terbang perdana diharapkan akan berlangsung tahun 2026 dan sertifikasi pesawat akan selesai pada tahun 2027, siap memasuki tahapan produksi.

Telah dijalin kerja sama dengan industri-industri pesawat terbang dunia untuk pengadaan baling baling, motor listrik, material komposit, baterai listrik, roda pendarat, struktur pesawat, kontrol pesawat dan avionic, untuk membangun VELA-Alpha sesuai Desain Rekayasa Rinci para Insinyur Indonesia.

Saat tampil pada Singapore Air Show 2024 lalu, telah terhimpun minat awal dari para kostumer untuk membeli pesawat VELA-Alpha sebanyak 120 unit. ***

sumber : https://ecobiz.asia/article/vela-alpha-pesawat-listrik-karya-insinyur-indonesia-yang-rendah-karbon