Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Bangkitkan Rusnas, Dorong Ekspor Buah Lokal

Indonesia dikenal memiliki kekayaan buah-buahan tropis lokal yang sangat beragam. Keunikan dan cita rasa eksotis buah-buah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara, sekaligus menjadi potensi unggulan dalam perdagangan global.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2019 mencatat, Indonesia merupakan negara penyedia buah tropis terbesar kelima di dunia, setelah India, China, Thailand, dan Meksiko. Namun, dari total produksi nasional, ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah. Komoditas andalan ekspor di antaranya manggis, salak, pepaya, dan mangga.

Isu ini menjadi perhatian dalam diskusi yang diselenggarakan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, pada Rabu, 18 Juni 2025. Hadir sebagai pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi, Ketua Komite Agriculture CTIS sekaligus mantan Deputi Menristek.

 ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah
Diskusi CTIS) bertajuk “Rusnas dan Teknik Biocyclofarming”, Rabu, 18 Juni 2025. Pembicara utama, Prof. Dr. Tien Muchtadi (duduk tengah), Ketua Komite Agriculture CTIS.

Tien mengungkapkan, saat menjabat sebagai Deputi Menristek di era Menteri Hatta Rajasa, pemerintah telah menyusun peta jalan teknologi (technology roadmap) untuk pengembangan buah tropis Indonesia. Peta jalan ini menjadi dasar lahirnya Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) sektor pertanian yang fokus pada pengembangan buah unggulan berbasis riset.

Inovasi Berbasis Pasar dan Potensi Lokal

Menurut Tien, peta jalan teknologi penting untuk memahami tantangan masa depan, memperkuat kolaborasi, serta mengurangi risiko investasi teknologi. Roadmap ini juga membantu mengidentifikasi teknologi kunci, menutup kesenjangan inovasi, dan memperluas akses industri terhadap hasil riset dan pengembangan (R&D).

“Inovasi yang dihasilkan harus terserap pasar dan bisa ditangkap oleh industri,” jelas Tien. Salah satu hasil nyata dari Rusnas adalah pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan peneliti IPB dan kini banyak ditanam petani di seluruh Indonesia karena tingginya permintaan dalam dan luar negeri.

ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah
Pengembangan pepaya varietas Calina yang lebih dikenal sebagai pepaya California. (Dok IPB)

Selain pepaya, beberapa komoditas lain yang dikembangkan lewat Rusnas adalah nanas madu dan manggis tanpa biji. Manggis asal Indonesia dikenal luas karena rasanya manis dan ukuran daging buah yang besar. Produk-produk ini mulai mendominasi pasar modern dan tradisional serta menjadi komoditas ekspor andalan.

Tien menegaskan, Rusnas telah dirancang dengan tujuan besar menjadikan Indonesia sebagai produsen buah tropika terkemuka di ASEAN pada 2025, dan eksportir terbesar dunia pada 2045.

ekspor buah Indonesia ke pasar global masih kurang dari 5 persen, dengan tujuan utama kawasan ASEAN, Australia, dan Timur Tengah.
Pisang, buah tropis yang banyak ditemui di Indonesia merupakan salah satu buah tropika unggulan (dok IPB)

Pentingnya Keberlanjutan dan Dukungan Pemerintah

Sayangnya, menurut Tien, program Rusnas tidak dilanjutkan setelah pembubaran Kemenristek. Hal ini dikhawatirkan menghambat visi besar Indonesia di sektor buah tropis.

Sebagai perbandingan, Tien menyebut keberhasilan Kosta Rika yang dijuluki Banana Republic karena ekspor pisangnya mendominasi pasar dunia. Negara tersebut berhasil mengintegrasikan riset dan teknologi untuk menghasilkan pisang berkualitas ekspor. Contoh lain adalah Argentina yang telah menerapkan teknologi mutakhir untuk pemotongan sapi secara halal dan efisien.

Tien berharap, peta jalan teknologi dan program Rusnas bisa kembali dihidupkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Saya ingin bertemu Presiden Prabowo agar ada kebijakan kelanjutan Rusnas. Beliau pernah memimpin HKTI dan sangat peduli terhadap isu ketahanan pangan,” ujarnya.

Peran Agro Techno Park dan UKM Teknologi

Dukungan terhadap hasil Rusnas juga sempat diwujudkan melalui pembangunan Agro Techno Park (ATP) di sejumlah daerah. ATP berfungsi sebagai pusat riset dan pengembangan teknologi pertanian, termasuk budidaya buah tropika.

“Bibit hasil riset kami ditanam di ATP hingga panen. Kemudian melalui mitra swasta, bibit tersebut dijual ke petani untuk dikembangkan di lahan mereka,” jelas Tien.

Tien menambahkan, Rusnas juga mengarah pada penguatan rantai pasok teknologi dan pengembangan klaster industri berbasis UKM, dengan sektor prioritas seperti budidaya kerapu, buah unggulan, pangan pokok, industri hilir sawit, dan small engine.

Namun tanpa keberlanjutan, potensi ini berisiko hilang. “Impian saya menjadikan pisang sebagai proyek padat karya nasional, seperti di Kosta Rika, belum terwujud,” ujar Tien penuh harap.***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Industrialisasi Kebencanaan: Dari Mitigasi hingga Ketangguhan Nasional

1. Pengantar

Sepanjang setahun terakhir, Indonesia menghadapi peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala bencana. Mulai dari longsor di Gunung Kuda, banjir di Padangsidempuan, Parigi Moutong, dan Flores Timur, hingga gempa di Bogor, Pacitan, dan Bandung. Fenomena ini mencerminkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk mengelola risiko bencana secara sistematis.

Naomi Klein (2007) dalam The Shock Doctrine menyoroti bahaya kapitalisme kebencanaan, yang menjadikan bencana sebagai peluang komersial oleh industri besar. Namun, pendekatan reaktif semata telah terbukti tidak cukup. Pasca tsunami Aceh 2004 dan gempa Tohoku 2011, dunia menyadari bahwa mitigasi bencana harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Muncul konsep industrialisasi kebencanaan, yaitu pendekatan berbasis teknologi, inovasi, dan tata-kelola risiko bencana yang lebih terintegrasi. Istilah ini mulai mendapat perhatian pada 2005–2010, antara lain oleh Hewitt (The Political Economy of Disaster, 2007) dan UNISDR (2009), yang menekankan pentingnya pengembangan pasar teknologi kebencanaan.

Contohnya, pasca-tsunami 2011, Jepang mengembangkan robot pencari korban dan teknologi tahan gempa untuk infrastruktur strategis seperti misalnya reaktor nuklir. Hitachi dan Toshiba menjadikan teknologi kebencanaan sebagai lini bisnis. Sementara itu, Amerika Serikat merespons Badai Sandy (2012) dengan mendorong konstruksi tahan badai melalui regulasi dan insentif pajak.

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang
Sejumlah teknologi untuk kebencanaan. Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga merujuk hasil Semnas BNPB 21 Mei 2025.

Di Indonesia, sejak 2004 hingga 2025, tercatat rata-rata 3.000 bencana per tahun dengan kerugian mencapai Rp23 triliun (BNPB). Namun, sebagaimana ditekankan Wisner dkk (2003), bencana bukanlah sesuatu yang alami. Sebaliknya, bencana merupakan hasil dari proses sosial yang tercipta sebagai akibat kerentanan dan keterbatasan kemampuan masyarakat yang berkelanjutan dalam menanggapi bahaya. Bencana terjadi karena bahaya alam bertemu dengan kerentanan buatan manusia: tata ruang buruk, deforestasi, atau kurangnya sistem peringatan dini.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga. Contoh: aplikasi @infobmkg dan @PetaBencana.id, serta pengembangan sensor gempa oleh perusahaan dalam negeri. Ini bukan bentuk kapitalisme bencana seperti dikritik Klein, melainkan bentuk kedaulatan teknologi dalam menghadapi risiko.

2. Pola Kebutuhan Teknologi Kebencanaan

Siklus manajemen risiko bencana terdiri dari tiga fase utama:

  • Pra-bencana: mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini. Kebutuhannya mencakup sensor, sistem pemetaan digital, pelatihan, serta penyusunan rencana kontinjensi dan jalur evakuasi.
  • Saat bencana: teknologi dibutuhkan untuk pemetaan kerusakan, penentuan jalur evakuasi, distribusi bantuan, serta identifikasi dan evakuasi korban. Produk seperti drone, citra satelit, dan alat komunikasi darurat sangat vital.
  • Pascabencana: fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain pembangunan infrastruktur tahan bencana, dibutuhkan teknologi yang mendukung pemulihan ekonomi dan sosial.
Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Aplikasi @Magma — informasi tentang kegiatan Gunung Api di Indonesia yang dibuat oleh PVMBG

Kebutuhan teknologi bersifat berkelanjutan dan dinamis. Tahap pra-bencana penting untuk membangun ketangguhan: mendeteksi tanda-tanda bahaya, meminimalkan dampak, dan mempercepat pemulihan. Misalnya, sensor cuaca, seismograf, dan pemetaan risiko berbasis AI. Indonesia baru memiliki sekitar 3.000 AWS (Automatic Weather Stations) dan 500 seismograf, jauh dibandingkan Tiongkok dan Jepang.

Dalam fase darurat, teknologi harus memungkinkan tanggap cepat: pemetaan wilayah terdampak, identifikasi lokasi korban, dan penetapan jalur logistik. Di fase pemulihan, teknologi mendukung rekonstruksi yang adaptif dan berkelanjutan (build-back-better).

UNDRR (2022) menegaskan bahwa keberhasilan pengurangan risiko bencana tidak ditentukan oleh kekuatan bahaya alam, tetapi oleh alokasi sumber daya dan kapasitas pengelolaan risiko. Industrialisasi kebencanaan bukan hanya peluang bisnis, tetapi kebutuhan nasional untuk melindungi kehidupan dan memperkuat ketangguhan bangsa.

3. Ekosistem

Seperti halnya pengembangan industri lain, industrialisasi kebencanaan membutuhkan ekosistem yang kondusif. Ekosistem ini merupakan jaringan luas yang terdiri dari pelaku industri, lembaga riset, penyedia layanan, serta pemangku kepentingan lain yang berkolaborasi dalam menciptakan nilai tambah.

Ambil contoh sistem peringatan dini. Pengembangan teknologinya melibatkan berbagai pihak: perusahaan manufaktur pembuat sensor gempa dan banjir, start-up AI untuk prediksi cuaca ekstrem dan longsor, hingga pengembang drone dan satelit pemantau wilayah rawan bencana.

Lembaga riset dan perguruan tinggi mengembangkan model prediksi berbasis AI. Lembaga standarisasi menetapkan parameter mutu sensor dan integrasi sistem nasional. Pemerintah pusat dan daerah, melalui BNPB dan BPBD, mengatur kebijakan, regulasi, serta integrasi dalam tata ruang dan jaringan komunikasi.

Swasta juga berperan: aplikasi pelaporan komunitas, penyediaan jaringan telekomunikasi tangguh, hingga cadangan energi terbarukan di wilayah rawan bencana. Masyarakat lokal diberdayakan dalam edukasi teknologi, kurikulum sekolah memasukkan mitigasi bencana, dan organisasi kemanusiaan menjangkau wilayah terpencil.

Selain sistem peringatan dini, ekosistem ini juga mencakup konstruksi tahan gempa, logistik darurat, dan pembiayaan berbasis asuransi risiko bencana. Perpres No. 87/2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) menargetkan terwujudnya industri kebencanaan nasional pada 2030–2034, melalui pengintegrasian riset, inovasi, dan teknologi dimulai sejak 2020.

Industrialisasi kebencanaan hadir sebagai solusi yang mengedepankan teknologi lokal dan pemberdayaan warga
Tim SAR menggunakan drone thermal untuk mencari orang hilang di hutan Jambi

4. Langkah Rintisan Strategis

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang. RIPB 2020–2044 menjadi fondasi utamanya. Targetnya jelas: 2020–2024 integrasi riset dan teknologi; 2025–2029 kemandirian teknologi; 2030–2034 pengembangan industri kebencanaan.

Industrialisasi bencana harus dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Sektor industri perlu memandang mitigasi sebagai investasi, bukan beban. Kepala BNPB menyebutkan bahwa risiko bencana dapat mengganggu rantai pasok dan bisnis, sehingga sistem mitigasi seperti pelatihan, sistem peringatan dini, hingga asuransi harus menjadi bagian dari strategi bisnis.

Contoh rintisan strategis: perusahaan perkebunan membangun kanal pengendali banjir; industri migas menerapkan pemodelan geo-hazard; kawasan industri memasukkan risiko bencana dalam RTRW. CTIS (https://ctis.id/) mengangkat topik ini dalam berbagai kajiannya.

BNPB juga aktif mendorong kolaborasi. Seminar Nasional 21 Mei 2025 lalu merupakan bagian dari “Road to ADEXCO 2025”. ADEXCO (Asia Disaster and Emergency Expo & Conference) bukan sekadar pameran teknologi, tetapi ajang temu aktor industri, peneliti, dan komunitas. Produk lokal, purwarupa alat, dan start-up kebencanaan mulai bermunculan. Beberapa rekomendasi dari Semnas BNPB:

  • Penguatan sistem satu data bencana berbasis bukti
  • Insentif riset terapan dan pembiayaan purwarupa, termasuk skema PPP
  • Regulasi dan sertifikasi alat kebencanaan
  • Pengembangan kurikulum vokasi dan teknopreneur kebencanaan
  • Pembentukan forum riset dan industri kebencanaan lintas sektor

5. Penutup

Bencana adalah cermin kegagalan kolektif (Wisne dkk, 2003), tapi juga peluang membangun ketangguhan berbasis inovasi. Indonesia memiliki semua bahan mentah: SDM, laboratorium bencana alam, pasar, dan momentum politik. Industrialisasi kebencanaan bukan pilihan, tetapi keharusan untuk mewujudkan ketangguhan nasional berbasis riset, inovasi, dan  teknologi. ***

Industrialisasi kebencanaan memerlukan langkah strategis yang bertahap, lintas sektor, dan berjangka panjang.
Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Opini ini ditulis oleh :

Dr Andi Eka Sakya,M. Eng., Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Laut Indonesia Tak Sehat, Perlu Aksi Nyata

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.

Pakar oseanografi fisik, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan bahwa penyebab utama dari pemanasan air laut ini adalah dampak dari perubahan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Dr. Salveanty Makarim (tengah) dalam diskusi yang digelar Center for Technology and Innovation Studies bertajuk “The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, Rabu, 11 Juni 2025. (Dok CTIS)

Alumnus Xiamen University, Tiongkok, ini menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada 1960-an. Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal 2000-an.

“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi. Laut dalam sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.

ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia

Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut. ENSO adalah pola iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, dan bahkan dapat memengaruhi kesehatan manusia.

ENSO menyebabkan:

  • Pemutihan karang akibat suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari normal.
  • Perubahan arus laut yang berdampak pada distribusi nutrien dan kehidupan biota laut.
  • Perubahan populasi ikan, yang memengaruhi ekosistem dan sektor perikanan.
  • Peningkatan badai tropis, terutama di wilayah Pasifik.

“ENSO yang terjadi secara periodik kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim,” ujar Salveanty.

Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam. Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah memengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.

Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun  dan seterusnya.

“Sebab ENSO salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksi  ENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera.
Pemerintah masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.

Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak

Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi. Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.

“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir. Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.

Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2021–2030), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan air laut yang terus terjadi menjadi sinyal bahwa perairan nasional dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera
Terumbu karang terancam mengalami kerusakan akibat naiknya suhu permukaan laut. (Dok KKP)

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Memprihatinkan

Menurut data terbaru, Indeks Kesehatan Laut Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.

Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan.” Program ini berfokus pada:

  • Laut yang bersih,
  • Laut yang sehat dan tangguh,
  • Laut yang produktif, dan
  • Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.

Dekade ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14, yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudra, dan sumber daya kelautan.

Namun tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai. Saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Pembangunan Indonesia Harus Libatkan Partisipasi Masyarakat

Penggagas dan Ketua Umum Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah, menurutnya, perlu membuka ruang keterlibatan publik dalam menentukan arah pembangunan, mengingat Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan multikultural.

Pernyataan tersebut disampaikan Pontjo dalam diskusi bertema “Peran Iptek dan Inovasi bagi Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 4 Juni 2025.

 

Pmembangun Indonesia harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo (tengah) sebagai narasumber dalam diskusi bertema “Peran Iptek dan Inovasi bagi Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS) pada Rabu, 4 Juni 2025.. (Dok CTIS)

“Budaya dan kondisi alam Indonesia yang majemuk memerlukan satu faktor pemersatu, yaitu Pancasila. Pendekatan budaya dalam membangun peradaban bangsa harus dimulai dari pembangunan jiwa dan raga manusia Indonesia,” ujar Pontjo.

Ia mengutip istilah dari mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, yakni ranah mental-kultural atau tata nilai. Ranah ini secara simultan membangun sistem tata kelola negara (ranah institusional-politikal) serta sistem perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (ranah tata-sejahtera atau material-teknologikal).

Menurut Pontjo, paradigma Pancasila menjadi fondasi dalam membangun ketiga ranah tersebut. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik sangat penting.

Ia mencontohkan program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), yang seharusnya melibatkan masyarakat secara lebih aktif.

“MBG dirancang untuk mencegah stunting. Namun jika masyarakat dilibatkan, misalnya dengan menyertakan pangan lokal, maka program ini bisa mendorong ketahanan pangan daerah dan ekonomi lokal,” katanya.

pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat
Anak-anak sekolah menyantap menu makan siang program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Pontjo menambahkan, setiap daerah memiliki pangan lokal unggulan yang dapat dikembangkan dengan dukungan teknologi agar menjadi produk yang menarik, terutama bagi anak-anak.

Ia juga menyoroti pentingnya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Merujuk pada krisis beras di Jepang akibat gagal panen, Pontjo menilai pendekatan Jepang yang tidak membuka keran impor sebagai bentuk penghargaan terhadap petani lokal.

“Ini bentuk partisipasi masyarakat. Pemerintah Jepang membiarkan harga naik sebagai bentuk penghormatan terhadap petani yang gagal panen. Dengan begitu, kerja sama antara pemerintah dan petani untuk mencegah kegagalan panen bisa terus ditingkatkan,” jelasnya.

Di sektor pendidikan, Pontjo mengkritik rencana pendirian sekolah unggulan baru seperti Sekolah Nusantara dan Sekolah Rakyat. Menurutnya, pemerintah seharusnya memaksimalkan peran sekolah-sekolah yang sudah ada, termasuk sekolah swasta.

“Biaya untuk meningkatkan kualitas sekolah swasta agar setara dengan standar nasional jauh lebih efisien dibandingkan membangun sekolah baru,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti eksklusivitas BUMN yang dianggap menutup ruang partisipasi bagi sektor swasta. “Pemerintah cenderung melihat badan usaha swasta sebagai pesaing, bukan mitra. Ini perlu diubah,” tegasnya.

Pontjo menilai, tata kelola partisipatif di sektor pendidikan maupun BUMN bisa meniru model sistem pertahanan semesta yang diterapkan TNI. Dalam sistem tersebut, Panglima TNI berperan sebagai penentu ancaman dan strategi militer, sementara pelaksanaannya diserahkan kepada Kepala Staf Angkatan yang mengelola sumber daya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sistem perekonomian Indonesia harus berbasis pada pengetahuan. “Sains adalah proses memperoleh pengetahuan melalui observasi dan eksperimen, sedangkan teknologi merupakan penerapannya dalam kehidupan manusia,” jelas Pontjo.

pembangunan Indonesia harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat
PT INKA memproduksi gerbong kereta KRL dengan muatan TKDN . (Dok PT INKA)

 

Namun, ia menilai kebijakan ekonomi pemerintah belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri dalam negeri. Ia mengkritik strategi substitusi impor yang tidak selalu relevan.

“Tidak semua barang impor harus diproduksi dalam negeri. TKDN untuk substitusi impor tidak otomatis mendorong kemajuan industri nasional,” kata Pontjo.

Menutup diskusi, Pontjo mengajak CTIS dan Aliansi Kebangsaan bersama komunitas cendekiawan serta profesional Indonesia untuk merumuskan strategi pembangunan industri berbasis pengetahuan dengan paradigma Pancasila.

“Hasil pemikiran ini nantinya akan disampaikan kepada pemerintah sebagai kontribusi intelektual,” pungkasnya. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Pembangunan Infrastruktur Jalan di Indonesia Mahal dan Tidak Efisien

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satu sorotan utama adalah tingginya biaya penyelenggaraan jalan yang dinilai lebih mahal dibandingkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Malaysia.

Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo, menyatakan bahwa perbaikan jalan di Indonesia dilakukan terlalu sering akibat kualitas infrastruktur yang rendah.

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius.
Narasumber diskusi CTIS Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo (jaket biru). (Dok CTIS)

“Biaya penyelenggaraan jalan di Indonesia mahal karena jalan cepat rusak. Sementara di negara lain bisa bertahan hingga 25–30 tahun, di sini setiap 4–5 tahun harus diperbaiki,” ungkap Purnomo dalam diskusi CTIS bertema “Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan di Indonesia”, Rabu (28/5).

Purnomo mencontohkan Tol Jagorawi yang diresmikan pada 1978 sebagai tol terbaik karena tidak pernah mengalami kerusakan signifikan. Ia menilai tol-tol baru yang dibangun dalam 10 tahun terakhir belum mampu menandingi kualitasnya.

Menurutnya, agar anggaran tidak terbuang percuma, perlu ada solusi konkret mulai dari peningkatan mutu konstruksi, perbaikan sistem drainase, hingga penanganan masalah truk ODOL (Over Dimension Over Load).

Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran jalan nasional mencapai Rp57 triliun, dengan 50% dialokasikan untuk pemeliharaan. Namun, pada 2025 anggaran tersebut turun drastis menjadi Rp28 triliun. “Anggaran terbesar justru habis untuk pemeliharaan karena jalan terus-menerus rusak,” ujar Purnomo.

Salah satu indikator kerusakan jalan adalah nilai International Roughness Index (IRI). Di Indonesia, nilai IRI pada banyak jalan tol mencapai angka 8 m/km, jauh di atas batas maksimal 4 m/km sesuai standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan Dirjen Bina Marga.

“Analisis saya terhadap kondisi jalan periode 2015–2024 menunjukkan kerusakan dini. Dalam lima tahun seharusnya nilai IRI masih 3, tapi kenyataannya sudah 8. Ini menunjukkan mutu pekerjaan belum optimal,” tegasnya.

 Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius
Longsor di Tol Cikopo-Palimanan (Cipali). (Dok Kementerian PUPR)

Ia memperkirakan, jika mutu pembangunan jalan ditingkatkan, penghematan anggaran bisa mencapai Rp5 triliun hingga Rp10 triliun per tahun. Dari simulasi IRI 5,05 m/km, uang publik yang ‘menguap’ setiap tahun diperkirakan mencapai Rp2.467,97 triliun. Jika diturunkan ke IRI 3,79 m/km, kerugian bisa ditekan menjadi Rp2.149,61 triliun.

Selain kualitas konstruksi, masalah ODOL menjadi faktor lain yang mempercepat kerusakan jalan. Kementerian PUPR mencatat kerugian akibat ODOL mencapai Rp43 triliun per tahun. Meski Road Map Zero ODOL sudah dirancang sejak 2020 dan dijadwalkan berlaku 2023, implementasinya terus mundur hingga kini.

“Sudah 50 tahun masalah ODOL tidak terselesaikan. Saya dengar Menko Infrastruktur AHY menargetkan penyelesaian pada 2026. Kita tunggu komitmen itu,” ujarnya.

Ia juga menyayangkan maraknya praktik ‘damai’ di lapangan. “Banyak truk tetap beroperasi dalam kondisi ODOL karena membayar koordinator jalan sebesar Rp1,5 juta per bulan,” katanya.

Dampaknya, biaya logistik di Indonesia terus melonjak, bahkan tertinggi di Asia yakni 23,5% dari PDB. Pemerintah berambisi menurunkannya menjadi 14,1%, namun angka ini hanya mencerminkan biaya logistik domestik. Biaya logistik ekspor sendiri mencapai 8,98% dari PDB.

“Jadi, tantangan kita masih besar untuk benar-benar menurunkan beban logistik secara menyeluruh,” tutup Purnomo.

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia hingga kini terus menuai masalah yang nampaknya tidak pernah terselesaikan.
Diskusi CTIS bertema “Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan di Indonesia”, Rabu (28/5) dengan narasumber Ketua V Bidang Perkerasan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Ir. Purnomo (jaket biru). (Dok CTIS)

 

Solusi ODOL

Masalah ODOL ini menurut Purnomo konsepnya sederhana yaitu dengan menambah atau memperkuat sumbu. Contohnya dari dua sumbu menjadi tiga atau empat dan lima sumbu.

Dengan lebih banyak sumbu, beban muatan dapat tersebar lebih merata di seluruh kendaraan, Juga mengurangi tekanan pada setiap sumbu dan meminimalkan risiko kelebihan muatan.

Penggunaan truk dengan banyak sumbu dapat meningkatkan efisiensi transportasi, mengurangi biaya per ton dan mengurangi jumlah perjalanan yang dibutuhkan.

Bila cara itu masih kurang ampuh karena perusahaan masih bertahan dengan truk dua sumbu arau tiga sumbu, maka bisa menggunakan Weight In Motion (WIM) System.

Sistem ini sudah dilaksanakan diThailand sejak 2015, China pada 2018 dan Malaysia sejak 2020. Negara-negara tersebut menggunakan  Weight In Motion (WIM) System. Bukan lagi menggunakan jembatan timbang atau cegatan di jalan oleh polisi.

WIM System adalah sistem mengukur berat kendaraan saat sedang bergerak. Sistem ini umumnya dipasang di jalan raya, pelabuhan, dan area lain.

WIM menggunakan sensor khusus yang ditempatkan di permukaan jalan untuk mengukur beban roda kendaraan.

Petugas cukup memantau semua kendaraan yang melintas di area dipasangi WIM System ini di ruang kendali, Kemudian mereka akan mencatat siapa saja truk yang melanggar. Sistem ini mirip dengan tilang elektronik.

 Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius.
proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), termasuk Ruas Rengat-Pekanbaru seksi Lingkar Pekanbaru sepanjang 30,57 km. (dok HK)

Perataan, Pengerasan dan Pemadatan Tanah

Dalam menangani kerusakan jalan maka harus diperhatikan adalah perataan tanah.

Mengapa perataan tanah penting karena untuk menciptakan permukaan yang rata sesuai dengan desain, menghilangkan tonjolan, cekungan yang bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Tingkat kerataan jalan mengacu pada IRI merupakan faktor penting untuk memastikan kualitas konstruksi jalan yang sesuai dan untuk kenyamanan pengemudi.

Prosesnya melibatkan pengukuran dan penentuan perbesaan ketinggian antara ttik-titik permukaan tanah. Data elevasi yang akurat sangat penting untuk konstruksi jalan, sistem drainase dan proyek infrastruktur lainnya.

Sistem perataan tanah harus memiliki persyaratan teknis jalan seperti memiliki kekuatan sesuai dengan umur rencana, mudah pemeliharaannya dan dilengkapi sistem drainase.

Selain perataan juga pemadatan tanah untuk memastikan kekuatan dan stabilitas tanah dasar (subgrade) sebelun konstruksi jalan.

Nilai CBR tanah dasar harus sesuai dengan standar perkerasan jalan dengan lalu lintas terntentu.

jalan.Perkerasan yang baik  dan fleksibel menurut Purnomo, didesain dengan umur rencana 20 tahun dan perkerasan rigid didesain dengan umur rencana 40 tahun.

Peralatan yang digunakan adalah alat leveling rod, total station atau theodolite untuk pengukuran perbedaan ketinggian. Bahkan di AS peralatan yang digunakan masih menggunakan alat-alat lama. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Inovasi Lab Portabel Jawab Tantangan Penguatan Sains di Sekolah

Penguatan sains bagi anak-anak sekolah di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Tingginya angka anak putus sekolah di jenjang SD, SMP, dan SMK menjadi salah satu penyebab utamanya. Selain itu, pelajaran matematika dan sains kerap dianggap menakutkan dan tidak menarik oleh banyak siswa.

“Ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan: bagaimana membuat anak mencintai pelajaran matematika dan sains,” ujar Feddy Djunaedi, Tim Pengembangan Produk Lab Cerdas Teknologi PT Nasio Karya Pratama, dalam diskusi CTIS yang digelar pada Rabu, 21 Mei 2025.

Diskusi yang rutin digelar setiap hari Rabu ini dimoderatori oleh Ketua CTIS, Wendy Aritenang, mengangkat tema “Peningkatan Kompetensi Sains dengan Kit Praktikum Portabel.”

Tantangan Besar: Anak Putus Sekolah dan Mutu Pendidikan

 

Inovasi Lab Portabel untuk anak-anak agar mencintai sains
Feddy Djunaedi, Tim Pengembangan Produk Lab Cerdas Teknologi PT Nasio Karya Pratama menunjukkan inovasi Lab Cerdas Teknologi.

Feddy menyampaikan bahwa visi pembangunan nasional melalui Asta Cita menekankan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Namun, upaya ini masih terkendala tingginya angka putus sekolah.

Menurut data Kemendikbudristek tahun 2024, terdapat sekitar 4,6 juta anak putus sekolah di Indonesia. Penyebab utama adalah faktor ekonomi, sosial, serta terbatasnya akses terhadap pendidikan berkualitas.

“Untuk mendukung Indonesia Emas 2045, mutu pendidikan harus diperkuat, terutama dalam bidang sains dan matematika,” tambahnya.

Indonesia juga turut serta dalam survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan oleh OECD setiap tiga tahun. Hasil PISA 2022 menunjukkan rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam literasi membaca, matematika, dan sains—banyak siswa tidak mampu membaca soal dengan baik, mengidentifikasi masalah, atau menarik kesimpulan.

Praktikum: Solusi dari Pembelajaran Teoritis yang Kaku

Feddy menilai, ada masalah mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia. “Guru tidak menghadirkan metode belajar yang menyenangkan dan membangun ketertarikan siswa terhadap matematika dan sains. Mereka hanya menyalin metode lama tanpa inovasi,” kritiknya.

Pembelajaran masih didominasi oleh metode ceramah dan hafalan, tanpa ruang praktik. Padahal, menurutnya, pembelajaran sains dan matematika akan jauh lebih efektif jika dikombinasikan dengan kegiatan praktikum yang aplikatif.

Sebagai solusi, PT Nasio Karya Pratama menghadirkan Lab Cerdas Teknologi—inovasi laboratorium portabel yang ekonomis dan mudah dibawa, berbentuk koper berisi kit praktikum.

“Selama ini, sekolah-sekolah tidak memiliki fasilitas praktikum karena keterbatasan ruang dan peralatan laboratorium. Kit ini bisa digunakan oleh 5–6 siswa, sehingga memudahkan akses ke praktikum di berbagai kondisi sekolah,” jelas Feddy.

Dengan pendekatan ini, siswa dapat belajar membaca masalah, mengidentifikasi solusi, dan menarik kesimpulan secara langsung—sebuah keterampilan penting dalam pembelajaran sains dan matematika.

Lengkap dan Terjangkau, Didampingi Ahli

Lab Cerdas Teknologi terdiri dari 18 jenis kit praktikum, diperuntukkan bagi siswa SMP hingga SMA kelas 10–12. Kit kimia, misalnya, telah dilengkapi dengan bahan-bahan kimia dalam jumlah terukur, serta disertai pendamping lab untuk panduan praktikum.

“Guru biasanya hanya hafal teori, tetapi tidak paham penerapannya. Ironisnya, mereka tiba-tiba meminta siswa mengikuti tes praktikum, padahal belum pernah melakukan praktikum sebelumnya. Akhirnya, banyak orang tua mendaftarkan anaknya ke les praktikum,” ungkapnya.

Inovasi Lab Portabel menjadi solusi anak sekolah mencintai sains
Diskusi CTIS yang digelar pada Rabu, 21 Mei 2025 mengangkat tema “Peningkatan Kompetensi Sains dengan Kit Praktikum Portabel.”

Produk ini merupakan buatan dalam negeri, menggunakan bahan lokal dan telah tersertifikasi oleh Universitas Negeri Jakarta serta Standar Nasional Indonesia (SNI).

Feddy menegaskan bahwa PT Nasio Karya Pratama tidak hanya menjual produk, tetapi juga layanan edukasi, termasuk pendampingan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pendampingan ini penting karena banyak guru tidak memahami cara mengoperasikan alat bantu pendidikan yang diberikan, bahkan dari bantuan luar negeri.

Dukungan dari Dewan Pakar

Dewan Pakar CTIS, Indroyono Soesilo, turut memberikan dukungan terhadap upaya peningkatan literasi sains dan matematika melalui inovasi seperti Lab Cerdas Teknologi.

“Anak-anak harus diajak menyukai matematika dan sains, serta mampu memecahkan masalah, bukan sekadar menghafal teori,” pungkasnya. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

Gemini Asisten AI Ubah Cara UMKM Bekerja

Kemajuan di bidang Artificial intelligence telah dimanfaatkan banyak perusahan teknologi informasi digital sebagai penyedia data dan informasi yang lebih lengkap karena me-remake apa yang dipikirkan oleh manusia.

Seperti perusahaan Google yang dikenal sebagai perusahaan mesin pencari data, kini mengembangkan Google Gemini.

Diskusi yang digelar oleh CTIS pada Rabu (14/5) mengangkat tema Aplikasi AI untuk Pemberdayaan UMKM Masyarakat di Indonesia dengan nara sumber Sugianto Yoannatan W selaku Education Lead Google Cloud Indonesia dan moderator Dr Ir Jarot S Suroso, MEng.IPU yang juga pengurus CTIS dan Sekjen IATI.

 perusahaan Google yang dikenal sebagai perusahaan mesin pencari data, kini mengembangkan Gemini untuk Google Workspace.
Diskusi CTIS dengan tema Aplikasi AI untuk Pemberdayaan UMKM Masyarakat di Indonesia

Sugianto Yoannatan W menjelaskan bahwa Google menghadirkan Gemini untuk Google Workspace, sebuah inovasi asisten bertenaga kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk merevolusi cara pengguna bekerja sehari-hari.

Terintegrasi dengan aplikasi Google Workspace yang familiar seperti Gmail, Google Docs, Google Sheets, Google Slides, dan Google Meet, Gemini hadir sebagai mitra cerdas yang siap membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Sugi memaparkan beberapa keuntungan spesifik Gemini bagi UMKM, yaitu peningkatan. produktivitas dan efisiensi operasional.

UMKM saat mempromosikan produk melalui website, Gemini akan membantu banyak hal.

Mulai dari menyusun email promosi, membantu menjawab pertanyaan pelanggan, dan membuat pengumuman dengan profesional.

 Google yang dikenal sebagai perusahaan mesin pencari data, kini mengembangkan Gemini untuk Google Workspace.
logo Gemini

 

Membuat konten pemasaran yang lebih mudah. Gemini membantu menghasilkan ide konten, draft postingan di media sosial, deskripsi produk hingga presentasi penjualan yang menarik.

Gemini juga membantu menganalisis data sederhana untu penjualan dan pelanggan di Google Sheets. Hal ini memudahkan pengusaha UMKM untuk mengidentifikasi tren di pasar.

AI buatan Google ini membuat ringkasan informasi penting dengan cepat. Pemilik UMKM mudah memahami poin-poin utama dari email, dokumen, dan transkrip rapat tanpa membuang banyak waktu.

Adanya Gemini,  secara tidak langsung membebaskan waktu pemilik UMKM untuk fokus pada strategi dan pengembangan bisnis.

Tidak kalah menariknya adalah Gemini membantu membangun komunikasi antara pengusaha UMKM dengan konsumen.

Kecerdasan buatan ini membantu merespons pertanyaan dan permintaan pelanggan lebih cepat, personal dan profesional.

Google yang dikenal sebagai perusahaan mesin pencari data, kini mengembangkan Gemini untuk Google Workspace.
Diskusi CTIS dengan tema Aplikasi AI untuk Pemberdayaan UMKM Masyarakat di Indonesia menghadirkan narasumber Sugianto Yoannatan W selaku Education Lead Google Cloud Indonesia (duduk nomor 3 dari kanan)

Bahkan sebagai asisten, Gemini bisa membuat materi promosi lebih menarik dengan ide-ide kreatif dituangkan untuk brosur, postingan di media sosial dan presentasi.

Di tengah maraknya konten-konten promosi produk, Gemini menyumbang ide konten pemasaran yang segar yang menjangkau pasar. Bahkan membantu menuliskan deskripsi produk lebih informatif untuk toko online atau katalog.

“Dan kami menggunakan data-data dari Google untuk membantu semua pengguna Gemini,” ujarnya.

Dengan kata lain hadirnya AI Gemini ini lebih efisien dalam pengoperasian sebuah UMKM.

Sugi mengingatkan bahwa Gemini adalah alat bantu, dan hasil yang dihasilkan tetap memerlukan peninjauan dan penyesuaian sesuai dengan kebutuhan bisnis.

“Secara keseluruhan, Gemini untuk Google Workspace memiliki potensi besar untuk menjadi aset berharga bagi UMKM,” kata Sugi.

Dengan kemampuannya memberdayakan pengguna dengan bantuan AI di berbagai aspek pekerjaan, Gemini diharapkan dapat membantu UMKM bekerja lebih cerdas, meningkatkan efisiensi, dan membuka jalan menuju pertumbuhan lebih signifikan tanpa memerlukan investasi besar. ***

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri Uncategorized

 Menata Ulang Pendidikan: Anggaran Membengkak, Hasil Merosot

 Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membubarkan Kementerian Pendidikan sebagai bagian dari Project 2025 yang diprakarsai oleh  Kelompok Konservatif  (Partai Republik). Langkah ini diambil sebagai respons atas menurunnya kualitas pendidikan di AS, meskipun anggaran terus meningkat.

Berdasarkan Project 2025, perhatian diarahkan pada rendahnya “education outcome” warga Amerika, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan membaca. Di tengah derasnya regulasi dan besarnya anggaran, hasil yang dicapai justru melemah. Hal ini mendorong Trump memindahkan urusan pendidikan ke level negara bagian, membubarkan kementerian di tingkat federal.

Mengacu pada pemikiran Milton Friedman (1985), pendidikan idealnya berada di bawah keputusan keluarga, bukan negara. Pemerintah cukup menyediakan pembiayaan, sementara masyarakat menentukan pilihan pendidikan anak.

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi.
Penerimaan siswa baru di Indonesia yang menggunakan sistem zonasi.

Kondisi di Indonesia menunjukkan pola serupa. Meski 20% APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan, kualitas lulusan belum menunjukkan peningkatan signifikan yang antara lain ditunjukkan oleh hasil tes PISA yang mengalami stagnasi sejak tahun 2000. Sistem zonasi, kebijakan yang berubah seiring pergantian menteri, serta birokrasi yang membebani guru dan dosen memperburuk situasi.

Data menunjukkan bahwa 85% kualitas pendidikan ditentukan oleh guru yang kompeten dan murid yang sehat dan cerdas , sementara hanya 15% oleh infrastruktur. Namun, anggaran lebih banyak terserap oleh birokrasi. Guru dan dosen terpaksa menghabiskan waktu menyusun laporan administratif dibanding fokus pada proses belajar-mengajar.

Rekomendasi Reformasi Pendidikan:

  1. Fokus Anggaran pada Guru dan Murid
    • Alokasikan anggaran untuk diprioritaskan meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru serta untuk perbaikan gizi/kesehatan serta kecerdasan siswa.
    • pendidikan karateristik sesuai wilayah dan masyarakatnya
  2. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Guru
    • Kenaikan gaji dan tunjangan di daerah terpencil.
    • Pengurangan beban administratif melalui digitalisasi dan dukungan staf.
    • Jam kerja tepat waktu dan tidak boleh lembur, serta ambil cuti untuk menjaga kesehatan mental.
    • Pelatihan berkelanjutan dan mentoring.
    • Dukungan psikologis dan lingkungan kerja sehat.
    • Sistem penghargaan dan retensi guru.
    • Keterlibatan guru dalam kebijakan pendidikan.
  3. Meningkatkan Keterlibatan dan Kenyamanan Siswa
    • Lingkungan sekolah aman dan anti-bullying.
    • Pembelajaran aktif dan kontekstual sekaligus mengasah kemampuan murid dalam membaca, mendengar, menulis dan berbicara. 
    • Ruang untuk kreativitas dan eksplorasi.
    • Dukungan emosional dari guru dan orang tua.
    • Apresiasi atas usaha, bukan sekadar hasil.
    • Penguatan interaksi sosial dan kegiatan kelompok.
    • Orang tua mendukung tanpa tekanan berlebihan.

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi. ***

Saatnya merefleksi ulang arah pendidikan Indonesia. Anggaran besar harus berdampak nyata pada kualitas pendidikan, bukan sekadar terserap oleh birokrasi.
Penulis opini dari kiri-kanan, Soekotjo Soeparto, Bambang Goeritno, Chairil Abdini, Wawan Bayu PS, dan Wendy Aritenang.

Tulisan ini dirangkum dari hasil diskusi mini Rabu 7 Mei 2025 menjadi tulisan opini oleh anggota CTIS ; Wendy Aritenang, Bambang Goeritno, Chairil Abdini, Soekotjo Soeparto dan Wawan Bayu PS 

 

Kategori
Uncategorized

Gempa Tak Terduga Bangunan Harus Siaga

Dua tahun terakhir ini, dunia diguncang bencana gempabumi bertubi-tubi. Pada Februari 2023, gempa M7,8 mengguncang Turki dan Suriah, menewaskan lebih dari 50.000 orang dan meluluh-lantakkan ribuan bangunan dalam hitungan detik. Awal tahun 2024, Semenanjung Noto, pantai barat Jepang, diguncang oleh gempa kuat dengan M7.5. Gempa yang memicu tsunami tersebu dan evakuasi masif masyarakat di sekitarnya. Namun, menelan 542 korban jiwa, menghancurkan 13.000 bangunan lebih, di berbagai lokasi terdampak. Awal April 2024, Taiwan dilanda gempa M7.4  mengguncang wilayah timur pulau itu. Belum cukup sampai di situ, Myanmar dan Filipina masing-masing mengalami gempa bermagnitudo di atas 6,5 pada awal 2025. Dan terakhir, 23 April 2025 yll, Istambul, Turki, dikagetkan dengan gempa yang mengguncang dengan magnitudo 6.2SR, kendati tidak menimbulkan korban jiwa.

Gempa Palu di Sulawesi Tengah tahun 2018 (M7,4) memicu kombinasi likuifaksi, tsunami, dan ambruknya bangunan, serta menyebabkan lebih dari 4.300 korban jiwa. Gempa Cianjur pada November 2022, yang “hanya” berkekuatan M5.6, namun menewaskan lebih dari 600 orang dan merusak lebih dari 53.000 bangunan. Mayoritas rumah tinggal yang tidak dibangun sesuai standar tahan gempa (non-engineered). Gempa Sumedang pada Januari 2024, berkekuatan M4,8, juga menyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak, dengan puluhan korban luka-luka. Di Bawean, Jawa Timur, dua gempa berturut-turut pada Maret 2024 (M6,0 dan M6,5) merusak ratusan rumah dan infrastruktur desa.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Rumah-rumah warga hancur dampak gempa tektonik. (Dok BNPB)

Taiwan atau Jepang, atau Chile sekalipun kerap mengalami gempa di atas M7, namun mampu menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan. Jika hal ini dibandingkan dengan kondisi Indonesia di atas, ini menegaskan bahwa keberhasilan mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada magnitudo dan teknologi peringatan dini, tetapi lebih pada kesiapan struktural, kualitas bangunan, dan disiplin dalam penerapan standar teknis.

Sebagai salah satu negara dengan aktivitas seismik tertinggi di dunia, Indonesia tak bisa hanya bergantung pada sistem peringatan dini. Teknologi deteksi memang mampu memberikan beberapa detik jeda sebelum guncangan tiba, cukup untuk menyelamatkan nyawa, jika infrastruktur dan masyarakat siaga. Namun kenyataannya, dalam berbagai peristiwa gempa belakangan ini, tingkat kerusakan dan jumlah korban tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan gempa itu sendiri.

Gempa di Turki pada 2023, meskipun tidak jauh berbeda intensitasnya dengan gempa di Taiwan pada 2024, menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang jauh lebih besar. Di sisi lain, Taiwan berhasil menekan jumlah korban dan kerusakan secara signifikan, berkat penerapan disiplin terhadap standar bangunan tahan gempa dan kesiapan sistem tanggap darurat. Ini membuktikan bahwa keberhasilan mitigasi, sekali lagi bukan soal teknologi peringatan dini semata, tetapi juga soal kepatuhan dan kesiapan struktural yang menyeluruh.

Gempa Tak Terduga, Bangunan Harus Siaga
Indonesia Tsunamy Early Warning System (InaTEWS). (Dok PT PAL)

Peringatan Dini Tak Bisa Berdiri Sendiri

Sistem peringatan dini gempabumi, termasuk jaringan sensor seismik, sirene peringatan, notifikasi seluler, dan protokol evakuasi telah menjadi garda terdepan dalam mitigasi bencana di banyak negara. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus mengembangkan jaringan peringatan dini, bahkan terhubung ke sistem peringatan tsunami (InaTEWS). Namun demikian, efektivitas sistem ini tetap sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat dan infrastruktur merespons peringatan tersebut.

Turki, misalnya, telah memiliki standar bangunan tahan gempa yang diperbarui setelah gempa besar di Marmara tahun 1999. Revisi kode bangunan terakhir dilakukan pada 2018, menekankan desain struktur untuk menahan beban lateral dari guncangan. Ketika gempa dahsyat melanda pada 2023, banyak bangunan yang runtuh justru bangunan baru.

Di sisi lain, Taiwan menunjukkan gambaran yang kontras. Gempa magnitudo 7,4 pada April 2024 mengguncang wilayah Hualien dan memicu kekhawatiran tsunami. Namun, jumlah korban jiwa sangat minim, dan sebagian besar gedung tetap berdiri kokoh. Hal ini tak lepas dari pengalaman panjang Taiwan dengan gempa dan komitmen kuat terhadap penerapan seismic design dalam setiap tahapan pembangunannya.

Jepang juga menjadi contoh global dalam upaya menekan risiko bencana. Melalui sistem Early Earthquake Warning (EEW) yang dikomandoi oleh JMA dan terintegrasi ke dalam sistem transportasi dan layanan publik, masyarakat Jepang terbiasa merespons peringatan dalam hitungan detik. Yang membuat Jepang berbeda bukan hanya teknologinya, tetapi juga budayanya, keteguhan terhadap norma bangunan, simulasi bencana secara rutin, dan kesadaran publik yang tinggi.

Belajar dari mereka

Indonesia tidak kekurangan regulasi. SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk perencanaan bangunan tahan gempa sudah ada sejak lama dan terus disempurnakan, seperti SNI 1726:2019. Tetapi seperti halnya Turki, tantangan terbesar kita adalah di ranah implementasi dan pengawasan. Banyak bangunan, termasuk fasilitas publik dan permukiman padat penduduk, tidak dibangun sesuai standar. Dalam sejumlah kasus gempa besar di Indonesia, seperti di Padang (2009), Palu (2018) dan Cianjur (2022), struktur bangunan yang runtuh mendominasi jumlah korban.

Dari data gempa BMKG, BNPB dan BPS, Indonesia mengalami puluhan kali gempa besar sejak tahun 2000, dan hampir semua menimbulkan dampak signifikan terhadap infrastruktur. Beberapa bahkan menyebabkan korban jiwa meskipun pusat gempanya berada di laut. Ini memperkuat urgensi, tidak hanya untuk memiliki sistem peringatan dini yang mumpuni, tetapi juga sistem konstruksi yang tangguh dan patuh aturan.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Membangun sistem peringatan dini yang canggih adalah langkah penting, tetapi tidak cukup. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-layered dalam mitigasi risiko gempa, yang mencakup:

  1. Penegakan Building Code SNI 1726:2019 secara afirmasi perlu menjadi standar wajib dalam semua jenis pembangunan, bukan hanya proyek pemerintah atau komersial berskala besar.
  2. Audit dan pengawasan konstruksi melalui pemeriksaan rutin terhadap proyek bangunan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran konstruksi.
  3. Reformasi perizinan bangunan dengan menerapkan secara terintegrasi kajian risiko bencana di sekitarnya ke dalam proses perizinan dan pengawasan tata-ruang, ruang publik.
  4. Edukasi dan simulasi dengan mendorong peningkatan literasi gempa bagi masyarakat umum dan pelatihan evakuasi secara rutin.
  5. Penguatan infrastruktur kritis dan strategis, termasuk misalnya sekolah, rumah sakit, dan fasilitas vital lainnya harus direnovasi agar sesuai standar tahan gempa.

Perjalanan menuju zero victim bukanlah utopia. Negara-negara seperti Jepang dan Taiwan membuktikan bahwa disiplin terhadap kode bangunan dan budaya siaga bencana menyelamatkan ribuan nyawa. Indonesia, sebagai negara yang terletak di “Ring of Fire”, tidak memiliki pilihan selain mengejar standar tersebut.

Sistem peringatan dini “hanyalah alarm”. Namun demikian, bangunan yang kokoh, masyarakat yang sadar, dan pemerintah yang tegas, bisa memastikan alarm tersebut menyelamatkan. ***

Andi Eka Sakya penulis opini
Dr Andi Eka Sakya M Eng
Periset diPeriset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

*) tulisan ini adalah opini ditulis oleh Dr Andi Eka Sakya M Eng Periset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), BRIN

Kategori
Berita IPTEK Dalam Negeri

59 Iptek Pilihan untuk Indonesia  Emas

Inilah daftar 59 Iptek Pilihan untuk Indonesia  Emas yang sudah disusun oleh para pakar di bidang masing-masing tergabung dalam Center of Technology and Innovation Studies.